Untuk Pewarta dan Pro-Diakon Awam
Oleh: FX Bambang Kussriyanto
![](https://cakrawala.org/wp-content/uploads/2023/12/markus-1.jpg)
Mrk 7:1-13 Konflik dengan tradisi
7:1 Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. 2 Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. 3 Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; 4 dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. 5 Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” 6 Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. 7 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. 8 Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”
9 Yesus berkata pula kepada mereka: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. 10 Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. 11 Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban — yaitu persembahan kepada Allah –, 12 maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. 13 Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.”
↘↘↘
[Mrk 7:1-13 digunakan dalam Liturgi pada hari Selasa dalam Pekan Biasa V Perikop Mrk 7:1-8, 14-15, 21-23 – digunakan dalam Liturgi pada Hari Minggu Biasa XVII – Tahun B]
Perikop ini mengisahkan “serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus” di Galilea (ay 1) dan melakukan tanya jawab dengan Yesus berkenaan dengan adat-istiadat nenek moyang. Ada sejumlah tradisi ritual tentang kekudusan yang pelaksanaannya dikawal para ahli Taurat memastikan kesesuaian dengan perintah Tuhan kepada Musa di Gunung Sinai: “jadilah kudus, sebab Aku kudus” (Im 11:44; 19:2). Dalam semangat menuju kekudusan, dari masa silam dikembangkan tradisi yang mulanya untuk ibadat tapi kemudian secara rinci diperluas untuk masyarakat dalam hidup sehari-hari. Para orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem yaitu Kota Kudus pusat keagamaan Israel itu menggugat Yesus dalam persoalan pertama, mengapa Ia membiarkan murid-murid-Nya melanggar tradisi ritual makan dengan tangan najis karena tidak dibasuh lebih dahulu” (ay 2). Mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang; kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga (ay 3-4). Jawaban Yesus melancarkan kecaman atas praktek mereka itu dengan mengutip kata-kata Nabi Yesaya (Yes 29:13): “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (ay 6-8)
![](https://cakrawala.org/wp-content/uploads/2024/01/mrk-5-21-24.jpg)
Yesus ganti menggugat praktek hidup mereka yang melanggar perintah utama yang sudah jelas untuk menghormati ayah dan ibu (Kel 20:12, 21:17; Ul 6:16). Tetapi demi menghindari kewajiban menafkahi orang tuanya pada hari tua atau sakit, mereka membuat aturan kesalehan palsu bahwa uang atau harta “yang diberikan kepada Tuhan” dibebaskan dari tuntutan amal kasih atau kewajiban untuk membantu orang tua. Dengan memraktekkan aturan adat kesalehan palsu, kurban akal-akalan itu mereka melanggar hukum Allah, demi menggenapi aturan hukum yang mereka buat sendiri. Yesus menjelaskan bahwa mereka membatalkan perintah Allah karena membiarkan hati dan pikiran mereka dikaburkan oleh gagasan mereka sendiri tentang hidup keagamaan (ay 9-13). “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban — yaitu persembahan kepada Allah–, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.”
Yesus secara tajam mengecam mereka dalam dua hal. Pertama kemunafikan. Bagaikan di atas pentas sandiwara, orang Farisi dan ahli Taurat tampak menaati firman Tuhan dalam praktik lahiriah saja, sementara dlam hati mereka terpendam keinginan dan niat jahat. Kedua, Ia menuduh mereka meninggalkan firman Tuhan dan menggantikannya dengan penalaran dan tafsiran mereka sendiri meleset dari apa yang Tuhan kehendaki. Yesus memakai rujukan nubuat Yesaya (29:13) dimana sang nabi menuduh orang-orang pada zamannya memuliakan Tuhan dengan bibir mereka sementara hati mereka tersesat karena ketidaktaatan pada hukum Tuhan.
Sekaligus kecaman Yesus itu tertuju kepada komunitas para murid agar selalu mengutamakan firman Allah yang sudah jelas membuahkan kebaikan, dan jangan menggantikannya dengan dalih berputar-putar yang mengutamakan penalaran manusia dan membuahkan keruwetan.
“Tuhan, izinkan aku tinggal di hadirat-Mu dan penuhi aku dengan pengetahuan tentang kebenaran dan kebaikan-Mu. Ajarilah hatiku agar aku dapat berjalan di jalan kasih dan kesucian-Mu.”
Mrk 7:14-23 Sumber Kenajisan
7:14 Lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. 15 Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” 16 [Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!] 17 Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu. 18 Maka jawab-Nya: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, 19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. 20 Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, 21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, 22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. 23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”
↘↘↘
[Perikop Mrk 7:14-23 digunakan dalam Liturgi pada hari Rabu dalam Pekan Biasa V]
Ketika “serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus” di Galilea (ay 1) dan menggugat Yesus mengenai ritual kebersihan, Yesus mengecam praktek ritual yang dasarnya pikiran manusia dan mengesampingkan perintah Allah (ay 2-13). Yesus kemudian tidak hanya bicara pada delegasi ahli kitab dan orang Farisi Yerusalem itu, sebaliknya Ia memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka seperti suatu maklumat : “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (ay 14-15). Pernyataan itu merupakan penghakiman tegas pada ahli kitab dan orang Farisi berkenaan dengan aturan-aturan ritual najis dan halal. Yesus Anak Manusia yang adalah Tuhan atas Sabat (Mrk 2:28) kini membatalkan semua hukum ritual menyangkut makanan dari Perjanjian Lama. Hukum itu bukan asli namun berkembang belakangan. Manusia ciptaan Allah pada dasarnya kudus, bersih, suci. Tetapi karena dari dalam hati mereka timbul hasrat yang tak terkendali, mereka menjadi jahat dan bertentangan dengan Allah, itulah yang menajiskan [Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!] ay 16.
![](https://cakrawala.org/wp-content/uploads/2024/01/mrk-3-13-19.jpg)
Tentu saya ajaran revolusiner itu menjadi “batu sandungan” bagi para ahli Taurat dan orang Farisi yang mengawal aturan adat istiadat lama (ay 3). Yesus memurnikan dan mengembalikan semua tatanan kepada perintah Allah dan memberi tafsiran yang sesuai dengan menegaskan pentingnya kemurnian hati. “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” Kata-kata Yesus itu mengandung gambaran perumpamaan yang mengajak pendengarnya berusaha memahami dan mengambil sikap [Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!]. Yesus selalu mengajukan ajaran dalam perumpamaan kepada orang luar yang dari niatnya bukan mencari pengertian sejati melainkan mau memenangkan pendapatnya sendiri, supaya mereka sunggh aktif mencari dan menemukan sendiri kebenaran di dalamnya.
Sayangnya bahkan para murid Yesus sendiri juga lamban mengerti. Namun kepada mereka diberikan karunia, kesempatan untuk mengerti melalui Yesus. “Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu.” (ay 17). Karena kesibukan menyertai Yesus waktu mereka sangat sedikit untuk mencerna ajaran Yesus. Namun karena selalu bersama dan berada “di dalam kalangan” Yesus, mestinya mereka lebih cepat menangkap ajaranNya daripada orang-orang “di luar”. Maka jawab-Nya: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal (ay 18-19) Para murid hanya perlu mengenal dan memilih mana yang berguna, mana yang sehat, mana yang enak untuk kebaikan badan.
Namun perkataan Yesus itu lebih luas dari sekedar soal makanan atau kebersihan lahiriah. Aturan-aturan ritual terkait kenajisan dan kebersihan memang berguna pada tempat dan masa khusus. Juga bisa merawat iman yang dilindungi dalam dan melalui aturan ritual itu. Namun seringkali aturan ritual jika disikapi dengan kaku menjadi faktor pembeda yang menghalangi pergaulan, (sekelompok orang disebut Farisi karena terpisah lain dari yang lain dalam tatacara keagamaan,) maka juga menyendiri dari mereka yang tidak seiman. Sikap demikian membuat orang beriman terpisah dari masyarakatnya yang pluralis. Para murid dan pengikut Yesus tidak boleh manjadikan praktek keagamaan mereka faktor yang memisahkan mereka dari masyarakat. Alih-alih membuat perbedaan dari aspek lahiriah, Yesus mengarahkan mereka pada aspek batiniah yang sama bagi semua orang yang lebih penting. Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (ay 20-23). Dengan kata-kata itu Yesus mengajak para murid dan pengikutNya lebih memerhatikan kualitas hati, pusat pribadi mereka dan harus menjaga kemurniannya. Pengabdian kepada Allah dan pelayanan kepada sesama harus terutama “timbul dari dalam” hati yang tulus, bebas dari niat jahat, hasrat yang tidak terkendali percabulan, pencurian, korupsi, pencederaan, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat.
“Tuhan, penuhi aku dengan Roh Kudus-Mu dan jadikan hatiku seperti milik-Mu. Kuatkan hatiku dan kemauanku agar aku dapat memilih untuk mencintai apa yang baik dan membenci apa yang jahat.”
C. Rahasia Kristus (Mrk 7:24-8:30)
Blok teks Injil Markus II B (Yesus Mengajar Rahasia Kerajaan Allah Mrk 3:13-7:23) diakhiri dengan kisah konflik yang meningkat, dari gugatan orang Farisi dan ahli Taurat atas cara hidup Yesus dan para murid yang menyimpang dari adat-istiadat dan tradisi. Yesus mengajak para murid agar lebih memerhatikan maksud dan kehendak Allah dalam segala sesuatu dan mengolahnya dalam hati, menjadi bagian yang kuat dari iman yang dilaksanakan. Untuk itu selanjutnya perlu diperhatikan kualitas hati yang mengendalikan pikiran, perkataan, keinginan dan hasrat serta kemauan, dan menggerakkan tindakan. Yesus menempatkan hukum Musa di bawah Kerajaan Allah sehingga harus mengalami perubahan dan penyempurnaan.
Dengan menempatkan kisah konflik dan ajaran dasar di dalamnya itu, Markus mau menyiapkan para pembaca Injil di satu pihak dengan laju dan intensitas perkembangan Injil yang makin cepat dan dengan hati yang makin murni mencermati tindakan-tindakan mujizat Yesus berikutnya, yang menyingkapkan rahasia jatidiri dan perutusan Yesus (Mrk 7:24-8:30) dengan lebih baik lagi.
Ia pun membuka jalan bagi hubungan yang lebih baik antara orang Yahudi dan bukan Yahudi dalam Kerajaan Allah, yang ditunjukkan dengan kepergian-Nya ke wilayah di luar Galilea, di luar wilayah iman Israel. Untuk perbandingan serupa lihat Mrk 2:1–3:6; 3:20–35; 6:1–6.
Sambil berjalan mengikuti alur kisah selanjutnya, Markus mengajak kita para pembaca Injilnya untuk berproses mengevaluasi cara kita memahami iman kita sendiri dan cara melaksanakan iman itu agar lebih tepat berdaya guna dan berhasil guna sesuai kehendak Tuhan.
![](https://cakrawala.org/wp-content/uploads/2023/02/ikafitelogo-1.jpg)
Mrk 7:24-30 Iman Perempuan Siro Fenesia
7:24 Lalu Yesus berangkat dari situ dan pergi ke daerah Tirus. Ia masuk ke sebuah rumah dan tidak mau bahwa ada orang yang mengetahuinya, tetapi kedatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan. 25 Malah seorang ibu, yang anaknya perempuan kerasukan roh jahat, segera mendengar tentang Dia, lalu datang dan tersungkur di depan kaki-Nya. 26 Perempuan itu seorang Yunani bangsa Siro-Fenisia. Ia memohon kepada Yesus untuk mengusir setan itu dari anaknya. 27 Lalu Yesus berkata kepadanya: “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” 28 Tetapi perempuan itu menjawab: “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” 29 Maka kata Yesus kepada perempuan itu: “Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu.” 30 Perempuan itu pulang ke rumahnya, lalu didapatinya anak itu berbaring di tempat tidur, sedang setan itu sudah keluar.
↘↘↘
[Perikop Mrk 7:24-30 – digunakan dalam Liturgi pada hari Kamis dalam Pekan Biasa V]
Tirus dan Sidon terletak sekitar 90 km di sebelah utara perbatasan Israel dan masih ada sampai sekarang di Lebanon modern. Yesus pergi ke sana, tampaknya sengaja menjauh dari gangguan para ahli-Taurat dan orang Farisi yang datang dari Yerusalem (Mrk 7:1). Ia masuk ke sebuah rumah dan tidak mau bahwa ada orang yang mengetahuinya, tetapi kedatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan (ay 24). Walau sudah berusaha menyembunyikan diri, berita tentang kedatanganNya tak urung tetap tersebar juga. Ia dan para muridNya di rumah singgah itu kedatangan tamu seorang wanita Yunani di wilayah budaya Suriah-Fenisia. Markus menekankan jalannya percakapan antara Yesus dan perempuan itu.
Perempuan asing itu seorang ibu, yang anaknya perempuan kerasukan roh jahat, segera mendengar tentang Dia, lalu datang dan tersungkur di depan kaki-Nya (ay 25). Ia memohon kepada Yesus untuk mengusir setan itu dari anaknya (ay 26). Jawab Yesus kepadanya: “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ay 27). Baru saja Yesus menggandakan roti untuk memberi makan banyak orang di Genesaret (Mrk 6:30-44). Gambaran perjamuan makan itu membayang lagi dalam percakapan Yesus menanggapi permohonan perempuan itu: “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ay 27). Anak-anak yang dimaksud adalah bangsa Israel. Orang Yahudi sering menyebut orang-orang bukan Yahudi dengan arogan sebagai “anjing najis”, karena orang-orang bukan Yahudi tidak diikutsertakan dalam perjanjian Allah dan Israel. Bagi orang Yunani, ungkapan “anjing” adalah simbol aib dan digunakan untuk menggambarkan wanita yang tidak tahu malu dan berani. Sungguh aneh bahwa gambaran perjamuan makan dan perbandingan itu juga dimengerti perempuan Yunani Siro-Fenisia itu, sehingga ia memberi tanggapan yang sesuai. Kata perempuan itu: “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay 28). Jawaban perempuan yang menyebutnya “Tuhan” dan mau merendahkan diri diumpamakan dengan anjing itu sangat menggerakkan hati Yesus. Yesus menangkap ada iman pada perempuan itu. Maka kata Yesus kepada perempuan itu: “Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu.” (ay 29). Tidak dilukiskan bagaimana terjadinya mujizat yang dilakukan Yesus, tetapi oleh perkataan Yesus, dari jarak jauh anak perempuan itu yang di awal dikatakan “kerasukan setan dan sangat menderita” lalu sembuh. “Perempuan itu pulang ke rumahnya, lalu didapatinya anak itu berbaring di tempat tidur, sedang setan itu sudah keluar” (ay 30).
Walau rahmat Yesus kepada orang bukan Yahudi di sini tampak sebagai kekecualian dari rute perjalanan yang normal biasa, namun adanya iman yang besar di antara bangsa lain kiranya membuka ufuk baru: Kerajaan Allah juga akan datang pada bangsa-bangsa lain.
Selalu ada kekecualian. Diperlukan kebijakan yang luwes dalam setiap rencana dan pelaksanaan tugas perutusan untuk menerima kekecualian yang merupakan peluang untuk menghasilkan manfaat dalam rangka mencapai tujuan.
Mrk 7:31-37 Tuli dan Bisu
7:31 Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. 32 Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu. 33 Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jariNya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. 34 Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! 35 Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. 36 Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapa pun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. 37 Mereka takjub dan tercengang dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.”
↘↘↘
[Perikop Mrk 7:31-37 – digunakan dalam Liturgi pada hari Jumat Pekan Biasa V dan Hari Minggu Biasa XXIII – Tahun B ]
Yesus meninggalkan daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi kembali ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis (ay 31). Dekapolis di Transyordania, sebelah timur danau Galilea dari jauh di utara hingga jauh di selatan, masih menjadi bagian dari Palestina pada waktu itu, namun penduduknya bukan orang Yahudi. “Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu” (ay 32). Yesus menghargai prakarsa orang yang bersusah payah membawa orang bisu tuli itu kepadaNya di daerah di luar iman Israel akan Allah. Ia memenuhi permohonan orang itu.
Tetapi supaya tidak terjadi salah paham di daerah yang berada di perbatasan iman Israel itu, prinsip yang diterapkan Yesus masih sama “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ay 27). Pelayanan kepada orang Yahusi harus diutamakan. Namun sekali lagi dalam peristiwa ini di sini ada kekecualian oleh adanya iman kepada Yesus. Maka Yesus memisahkan dia dari orang banyak (ay 33). Maksudnya supaya tidak menjadi batu sandungan terhadap prindip utama yang diterapkanNya.
Biasanya Yesus menyembuhkan dengan perkataanNya, tanpa tindakan yang aneh-aneh atau mantra-mantra. Mungkin juga orang itu “dipisahkan dari orang banyak” karena ada kekecualian, kesulitan yang berbeda. Setelah terpisah dari orang banyak namun tentu di hadapan beberapa murid yang menjadi saksi peristiwa ini dan mereka sendirian, Ia memasukkan jariNya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu (ay 33). Tindakan yang dilakukan Yesus dengan menyentuh pusat penyakit dan menggunakan ludah adalah sama dengan tindakan kebanyakan penyembuh pada masa itu. Ia mau menunjukkan bahwa dalam menghadapi kekecualian, ia melakukan tindakan yang umum berlaku di antara mereka. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! (ay 34).
Khasiat mujizat Yesus sama saja: Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik (ay 35). Bagi saksi-saksi peristiwa itu yang orang Yahusi, Markus hendak mengingatkan nubuat nabi Yesaya mengenai Mesias atau Kristus: “Pada waktu itu mata orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang tuli akan dibuka” (Yes 35:5). Bagi Markus adalah Mesias, Kristus, memenuhi nubuat Yesaya. Markus di sini menyampaikan perspektif untuk melihat mujizat Yesus dalam kapasitasNya sebagai Mesias atau Kritus. Dari urutan tindakan Yesus, Markus menempatkan lebih dulu tindakan Yesus pada telinga orang itu. Ia memasukkan jariNya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu (ay 33). Markus mengingat tindakan Mesias Hamba Tuhan dalam Yes 50:4-5 “Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku, untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan Allah telah membuka telingaku dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang”. Baru kemudian membuka pengikat lidah menurut Yes 50:4 “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu”. Mendengar dulu sebagai seorang murid, dan kemudian berkata-kata sebagai seorang murid Yesus. Namun semua itu masih “tersembunyi” karena menurut pertimbanganNya sendiri “Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapa pun juga (ay 36 a). Yang disembunyikan itu menunggu saat yang tepat akan dibuka dan diterangkan bagi para murid dan pengikutNya. “Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya.” (ay 36b). Perhatian orang masih fokus tertuju pada aspek lahiriah: “Mereka takjub dan tercengang dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.” (ay 37). Markus pun ingin pembaca Injilnya mengolah lebih lanjut pernyataan itu dalam hati dan menggali lebih dalam: “Siapa Dia” yang berkuasa “menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.”
“Tuhan, penuhi aku dengan Roh Kudus-Mu dan kobarkan hatiku dengan cinta kasihMu. Buatlah aku memperhatikan kebutuhan orang lain agar aku dapat menunjukkan kebaikan dan perhatianMu kepada mereka. Jadikan aku alat belas kasih, sukacita dan damaiMu sehingga aku dapat membantu orang lain menemukannya dalam diriMu.”
Kembali pada Injil Markus (Pengantar)
Kembali pada Injil Markus 6
Lanjut pada Injil Markus 8