Untuk Pewarta dan Pro-Diakon Awam
Oleh: FX Bambang Kussriyanto
Mrk 2:1-12 Ampunan dosa menyulut konflik
2:1 Kemudian, sesudah lewat beberapa hari, waktu Yesus datang lagi ke Kapernaum, tersiarlah kabar, bahwa Ia ada di rumah. 2 Maka datanglah orang-orang berkerumun sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintu pun tidak. Sementara Ia memberitakan firman kepada mereka, 3 ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang. 4 Tetapi mereka tidak dapat membawanya kepada-Nya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring. 5 Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” 6 Tetapi di situ ada juga duduk beberapa ahli Taurat, mereka berpikir dalam hatinya: 7 “Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” 8 Tetapi Yesus segera mengetahui dalam hati-Nya, bahwa mereka berpikir demikian, lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu? 9 Manakah lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan? 10 Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” — berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu –: 11 “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!” 12 Dan orang itu pun bangun, segera mengangkat tempat tidurnya dan pergi ke luar di hadapan orang-orang itu, sehingga mereka semua takjub lalu memuliakan Allah, katanya: “Yang begini belum pernah kita lihat.”
↘↘↘
[Perikop Mrk 2:1-12 – digunakan dalam Liturgi pada hari Jumat dalam Pekan Biasa I dan pada Hari Minggu Biasa 7 – Tahun B]
Setelah beberapa hari berkeliling, Yesus dan murid-murid pulang kembali ke Kapernaum. Segera tersiar informasi bahwa Dia ada di rumah (ay 1). KehadiranNya segera menarik kedatangan tamu-tamu dengan berbagai kepentingan mereka. Rumah jadi penuh sesak oleh tamu termasuk mereka yang penasaran setelah mendengar berita tentang Yesus, ingin mendapat penjelasan lebih banyak tentang ajaran baru dan wibawa besarNya (Mrk 1:27-28) Maka datanglah orang-orang berkerumun sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintu pun tidak. (ay 2). Sebagai Guru dan tuan rumah Yesus menyajikan pengajaran iman kepada mereka bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, perlunya bertobat dan percaya kepada Injil (Mrk 1:14). “Sementara Ia memberitakan firman kepada mereka, ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang” (ay 2-3). Kiranya iman si sakit dan teman-teman yang menggotongnya mendorong mereka mencari cara untuk mendekat pada Yesus. Karena sulit masuk dari pintu yang dijejali banyak orang, “lalu mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring” (ay 4). Iman bukannya membuat orang jadi pasif melainkan aktif berusaha. Struktur rumah orang Yahudi menyediakan tangga ke atas atap datar yang sering menjadi tempat orang mencari angin (peranginan). Empat teman menggotong orang lumpuh itu naik ke peranginan, membuka atap dan dengan tali mereka menurunkan pembaringan si sakit di hadapan Yesus.
“Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” (ay 5). Setidaknya membobol atap tanpa izin adalah kesalahan. Tetapi kesalahan itu dilakukan karena iman mereka bahwa Yesus mau dan mampu menyembuhkan si sakit, kekelituan mereka menimbulkan rasa haru dan penghargaan. “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” Yesus memunculkan satu aspek baru dalam ajaran dan tindakanNya yang penuh kuasa: mengampuni dosa. Perkataan Yesus mungkin lewat begitu saja bagi orang sederhana yang lebih diliputi rasa haru dari kejadian itu. “Tetapi di situ ada juga duduk beberapa ahli Taurat, mereka berpikir dalam hatinya: “Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” (ay 6-7).
Untuk pertama kalinya Injil Markus menampilkan ahli Taurat. Mereka adalah ahli kitab, pakar-pakar Hukum (Taurat). Dalam masa Yesus, kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan yang sangat ketat di dalam menafsirkan Hukum. Mereka merupakan salah satu dari tiga komponen yang terdapat dalam Sanhedrin atau Mahkamah Agama (bersama dengan para penatua dan imam-imam kepala). Mereka mempunyai murid-murid yang belajar Hukum (Taurat). Murid-murid itu menyebut mereka dengan sebutan kehormatan sebagai rabi dan para murid itu diharapkan meneruskan ajaran tanpa menyeleweng. Mungkin mereka terusik dan penasaran ketika masyarakat membicarakan Yesus yang dikatakan membawa ajaran baru dan wibawa besar (Mrk 1:27-28) dan ingin tahu dan hadir di rumah Yesus. Karena kepakaran mereka dalam hukum Taurat itulah maka mereka berpikir: “Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” Dalam paham mereka mengampuni dosa adalah hak Allah saja. Dan seseorang yang meng-klaim hak yang semata-mata milik Allah dikatakan melakukan hujat. Adapun hujat adalah pelanggaran terbesar yang menurut hukum harus dijatuhi hukuman mati dengan dilempari batu. Kesan awal ahli Taurat dalam perjumpaan pertama dengan Yesus itu tampaknya menjadi bara yang nanti akan menyala berkobar-kobar dan menelan Yesus.
“Tetapi Yesus segera mengetahui dalam hati-Nya, bahwa mereka berpikir demikian, lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu? Manakah lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan?” (ay 8-9). Yesus mengetahui pikiran mereka. Maka sesuai dengan jalan pikiran mereka Ia menyampaikan perkataannya. Para guru hukum Taurat itu memegang pedoman: “Kerjakan yang sulit dulu, baru kemudian yang mudah”. Berkata mengampuni dosa itu mudah karena hasilnya tidak langsung kentara, sedang menyembuhkan itu lebih sulit karena harus tampak hasilnya. Maka Yesus bertanya, “Manakah lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan?” Sebetulnya dalam kaitan dengan iman, Yesus menantang, kalau Dia dapat menyembuhkan orang lumpuh itu “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan”, sanggupkah ahli Taurat itu percaya bahwa Yesus juga bisa mengampuni dosa yang dianggap mudah? Yesus tidak memberi ahli Taurat kesempatan untuk memberi jawaban karena Ia langsung melakukan perkataanNya. “Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” — berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu –: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!” Dan orang itu pun bangun, segera mengangkat tempat tidurnya dan pergi ke luar di hadapan orang-orang itu” (ay 10-12).
Ada dua hal yang dikemukakan Yesus dalam perkataan itu: (1) Untuk pertama kalinya Ia menyebut diri sebagai Anak Manusia. (2) Ia berkuasa mengampuni dosa di dunia. Dan semua itu dikatakan di hadapan orang banyak. Jika disadari, kedua hal itu menambah khasanah pengertian mereka akan diri Yesus.
Di dalam Perjanjian Lama, “anak manusia” dapat dianggap padan-kata yang sifatnya puitis dari “manusia” yang sungguh fana (Bil 29:19; Mzm 8:4; Sir 17:30). Istilah itu banyak sekali digunakan dalam Kitab Yehezkiel, di mana sang nabi disebut sekitar 90 kali oleh Allah sebagai “anak manusia” (Yeh 2:1.3 dst). Dalam Kitab Daniel satu-satunya penggunaan sebutan “anak manusia” dengan konotasi makna seperti itu adalah pada Dan 8:17. Sedangkan dalam Dan 7, sesudah munculnya keempat binatang yang besar, dahsyat menakutkan, Allah duduk di atas takhtanya seperti “dahulu kala” (Dan 7:9) dan ke hadapanNya datanglah ”seorang seperti anak manusia” dengan awan-awan langit (Dan 7:13). “Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah” (Dan 7:14). Karena baru pertama kali digunakan, orang belum menangkap dalam konotasi makna yang mana Yesus menyebut diriNya sebagai Anak Manusia. Tetapi dikaitkan dengan kekuasaan mengampuni dosa, maka gambaran Anak Manusia menurut Dan 7 tampil lebih kuat.
Reaksi semua orang yang ada di tempat itu dan melihat orang lumpuh itu bangun dan berjalan pulang, “mereka semua takjub lalu memuliakan Allah, katanya: “Yang begini belum pernah kita lihat.” (ay 12). Yesus menuntun orang-orang yang datang kepadaNya untuk “memuliakan Allah”.
“Ya Yesus, melalui kasih dan pengampunan-Mu, Engkau memberikan kesembuhan dan pemulihan pada tubuh, jiwa, dan pikiran. Semoga daya penyembuh dan cinta-Mu menyentuh setiap aspek hidupku – pikiran, perasaan, keinginan dan tindakanku. Maafkan pelanggaranku dan ubahlah aku dalam kuasa Roh Kudus-Mu, agar aku dapat berjalan dengan iman yang mendalam akan kebenaran dan kekudusan-Mu.”
Mrk 2:13-17 Aku datang untuk orang berdosa
2:13 Sesudah itu Yesus pergi lagi ke pantai danau, dan seluruh orang banyak datang kepada-Nya, lalu Ia mengajar mereka. 14 Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!” Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia. 15 Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya, sebab banyak orang yang mengikuti Dia. 16 Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat, bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” 17 Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”
↘↘↘
[Perikop Mrk 2:13-17 – digunakan dalam Liturgi pada hari Sabtu dalam Pekan Biasa I; dan 21 September, Peringatan St Matius Rasul Penulis Injil].
“Sesudah itu Yesus pergi lagi ke pantai danau, dan seluruh orang banyak datang kepada-Nya, lalu Ia mengajar mereka” (ay 13). Yesus mengajar di mana-mana kapan saja ada kesempatan. Di rumah ibadat, di rumah, dan sekarang di tepi danau. Ia tidak menyia-nyiakan waktu. Sepulang dari danau Ia berjalan melewati suatu rumah cukai tak jauh dari pantai, mungkin di dekat tempat pelelangan ikan tangkapan. “Ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!” Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia” (ay 14). Yesus memanggil orang yang dipilihNya utntuk menjadi muridNya. Ia memerkuat tim kerja yang sedang dibentukNya dengan merekrut Lewi anak Alfeus. Dan secara spontan Lewi yang sedang duduk “berdiri dan mengikut Dia”. Lewi, atau juga dikenal dengan nama Matius adalah seorang pemungut cukai. Di Israel pada masa itu pemungut cukai adalah petugas yang menarik uang dari para wajib pajak atas nama dan untuk pemerintah penjajah. Umumnya para pemungut cukai ini pengusaha swasta (dalam istilah sekarang out-sourcing) yang pada awalnya berani membayar kepada pemerintah panjar taksasi dalam jumlah tertentu yang ditaksirkan dengan berbagai perhitungan. Berdasarkan persetujuan pemerintah jika ia kemudian berhasil menarik uang pajak melebihi taksasi yang harus ia bayarkan kepada pemerintah, kelebihan itu menjadi bagian kepunyaannya sebagai bentuk komisi pribadi. Karena alasan yang jelas, sistem perpajakan itu terbuka untuk penyalahgunaan dan karena itu pemungut cukai pada abad pertama di Palestina dipandang hina sama dengan pendosa dan bangsa asing (ay 11; 11:19; 18:17). Pemungut cukai mewakili aspek yang yang memalukan dari penindasan dan pemerintahan Roma di Palestina. Kaum Yahudi ortodoks memperlakukan pemungut pajak dan cukai sebagai warga negara kelas dua. Mereka menghindari pergaulan, menolak berurusan dengan mereka, menolak memberi atau menerima apa pun dari mereka, menolak kawin campur, dan menghindari segala bentuk hiburan dengan mereka, termasuk makan bersama di satu meja.
Markus dalam Injilnya menonjolkan Yesus yang bertindak lain. Ia memanggil Lewi si pemungut cukai yang segera mengikut Dia. “Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya, sebab banyak orang yang mengikuti Dia” (ay 15). Mereka “mengikuti Dia” juga berarti melakukan tindakan yang sama seperti Dia, terutama murid-muridNya. “Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat, bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (ay 16). “Bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu” adalah fakta. Dan fakta itu menimbulkan pertanyaan protes: : “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” Bergaul dan makan satu meja dengan orang berdosa dianggap ikut berdosa, dan tidak pantas bagi seorang yang seperti Guru (rabi) apalagi nabi.
Pada bagian ini Markus setelah ahli-ahli Taurat menampilkan kelompok kedua yang berhadapan dengan Yesus dan menyulut konflik denganNya, yaitu golongan orang Farisi. Farisi adalah golongan atau sekte di dalam agama Yahudi yang berkembang dalam abad kedua SM sampai dengan abad pertama M. Menurut sejarawan Yosefus, pada awal abad pertama terdapat lebih dari enam ribu orang Farisi (Ant. 17.42). Nama Farisi maknanya dalam bahasa Ibrani, “mereka yang terpisahkan” karena mereka memisahkan diri sendiri dari segala bentuk kenajisan dan ketidaktahiran keagamaan dan upacara. Mereka dikenal sangat ketat mematuhi aturan kesalehan ritual, ketahiran, dan memberikan persembahan dan kegigihan mereka dalam menjauhkan iman Yahudi dari pengaruh praktek agama lain, dan untuk itu mereka menekankan pemisahan bangsa Israel dari bangsa-bangsa lain
“Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (ay 17). Melalui dialog dan jawabanNya itu Yesus menyingkapkan misi perutusanNya. Bahwa Ia datang untuk orang berdosa. Seorang tabib (Ia dikenal banyak orang sebagai penyembuh) tidak perlu mengunjungi orang sehat; sebaliknya dia pergi menemui mereka yang sakit. Yesus juga mencari orang-orang yang paling membutuhkan. Seperti tabib sejati yang mengusahakani kesembuhan total seluruh pribadi pasiennya — tubuh, pikiran, dan jiwanya, Ia datang untuk orang berdosa agar bertobat (ay 17).
“Yesus, izinkan kami datang kepadaMu. Ketika hati kami dingin; hangatkan dengan cintaMu yang tulus suci. Ketika hati kami penuh dosa; bersihkan dengan darahMu yang mulia. Ketika hati kami lemah; kuatkan dengan sukacita RohMu. Ketika hati kami kosong; penuhi dengan kehadiran ilahiMu. Ya Yesus, hati kami sepenuhnya milikMu; kuasailah selalu untukMu sendiri. ” (Doa Agustinus, abad ke-4)
Mrk 2:18- 22 Tuntutan Perlunya Cara Baru
2:18 Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: “Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” 19 Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. 20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. 21 Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya. 22 Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula.”
↘↘↘
[Perikop Mrk 2:18-22 – digunakan dalam Liturgi pada hari Senin dalam Pekan Biasa II dan pada Hari Minggu Biasa 8 – Tahun B]
Kebaruan yang dibawa Yesus di dalam praktek hidup dalam mewartakan Kerajaan Allah menimbulkan persoalan. Setelah gaya hidup sosial yang baru dengan mana para pendosa dirangkul oleh Yesus (Mrk 2:13-17), Markus menambahkan lagi protes atas fakta praktek hidup Yesus. “Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: “Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” (ay 18). Puasa adalah salah satu dari tiga kewajiban agama yang paling penting, selain doa dan amal sedekah. Menurut Hukum Musa, satu-satunya hari yang ditentukan untuk berpuasa adalah hari kesepuluh bulan ketujuh, yaitu Hari Pendamaian (Im 16:29; 23:27.32; Bil 29:7). Namun, praktek puasa di masa Perjanjian Lama diperluas sehubungan dengan bencana-bencana (Hak 20:26; 1 Sam 7:6; 14:24; 2 Sam 12:16; 1 Raj 21:12.27; 2 Taw 20:3; Ezr 8:21; Tob 12:8; Yer 14:12; 36:9; Yl 1:14; 2:15; 1 Mak 3:47; 2 Mak 13:12) dan di masa duka cita (Bil 30:13; 1 Raj 21:27; 1 Sam 31:13; 2 Sam 1:12; 3:25.36). Demikian pula puasa pribadi diperbolehkan, walaupun untuk seorang isteri hanya diperbolehkan jika ada persetujuan dari suaminya (Bil 30:14-16). Nabi-nabi berbicara tentang semangat yang tepat dalam melakukan puasa supaya diterima Allah: puasa itu harus menjadi tanda lahir dari tobat dan penyesalan yang benar (Yes 58:1-6; Yer 14:12; Za 7:5). Pada masa Yesus puasa merupakan tradisi kesalehan yang kuat.
Yesus menjawab pertanyaan yang diajukan kepadaNya dengan memberi gambaran bahwa orang tidak berpuasa ketika bersama dengan mempelai, tetapi setelah mempelai itu diambil maka tibalah waktunya untuk berpuasa (ay 18). Maksudnya, selagi Dia masih berada di dunia, situasinya diibaratkan seperti dalam jamuan nikah, dan Dia adalah mempelai laki-laki, maka murid-muridNya yang adalah sahabat-sahabatNya, tidak selayaknya berpuasa. Mereka akan berpuasa jika Dia tidak lagi berada bersama para murid itu. Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. 20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. (ay 19-20).
Selanjutnya Yesus memberi perumpamaan untuk menyikapi kebaruan ajaran dan praktek hidup yang dibawaNya. Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya (ay 21). Perumpamaan adalah suatu cerita gambaran pendek yang digunakan untuk menyampaikan suatu pelajaran atau kebenaran dengan cara yang mudah diingat. Cerita dalam perumpamaan membangkitkan tanggapan dengan segera, dan memaksa pendengar untuk berpikir. Karena itu Markus tidak menuliskan arti perumpamaan itu. Markus bermaksud menyiapkan pembacanya untuk menerima rangkaian perumpamaan yang nanti digunakan Yesus untuk membuka rahasia-rahasia dalam pengajaranNya tentang Kerajaan Allah. Dalam perumpamaanNya, Yesus menggunakan gambaran yang akrab bagi para pendengarNya. Seperti Guru memberi pekerjaan rumah Yesus malah menambahkan perumpaan lain sebagai teka-teki yang harus dipecahkan pendengar untuk menyikapi kebaruan yang Ia bawa: “Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula.” (ay 22). Pada zaman Yesus, anggur disimpan dalam kantong kulit, bukan botol. Anggur baru yang dituangkan ke dalam kantong kulit masih berfermentasi. Gas-gas yang dikeluarkan memberi tekanan kuat. Kantong kulit anggur yang baru akan cukup elastis untuk menahan tekanan, namun kantong kulit anggur yang lama mudah pecah karena sudah mengeras. Dengan demikian diperlukan cara berpikir dan sikap baru yang sesuai untuk menerima kebaruan, jangan menggunakan cara berpikir dan sikap tradisional yang kaku.
“Ya Yesus, penuhi aku dengan Roh Kudus-Mu, agar aku dapat bertumbuh dalam pengetahuan akan kasih dan kebenaran-Mu yang besar. Bantulah aku mencari Engkau dengan sungguh-sungguh melalui doa dan puasa agar aku dapat berpaling dari dosa dan menyesuaikan hidupku sepenuhnya dengan. kehendakMu. Semoga aku selalu menemukan kegembiraan dalam mengenal, mencintai, dan melayaniMu.”
Mrk 2:23-28 Anak Manusia Tuhan atas Sabat
2:23 Pada suatu kali, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-muridNya memetik bulir gandum. 24 Maka kata orang-orang Farisi kepada-Nya: “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” 25 Jawab-Nya kepada mereka: “Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, 26 bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu — yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam — dan memberinya juga kepada pengiku-tpengikutnya?” 27 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, 2:28 jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.”
↘↘↘
[Perikop Mrk 2:23—3:6 atau 2:23-28 – digunakan dalam Liturgi pada hari Selasa dalam Pekan Biasa II dan pada Hari Minggu Biasa 9 – Tahun B]
Pada hari Sabat Yesus diikuti para murid melintasi ladang gandum. Karena lapar para murid memetik bulir gandum dan memakannya. Hal itu menimbulkan protes orang-orang Farisi kepada-Nya: “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.” (ay 23-24). Para murid dianggap melanggar hukum Sabat (Kel 20:8-11: “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat, enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya. Lih juga Ul 5:12-15).
“Istirahat Sabat” dimaksudkan sebagai waktu untuk mengingat dan merayakan kebaikan Allah dan kebaikan karya-Nya, baik dalam penciptaan maupun penebusan manusia. Hari itu dikhususkan untuk memuji Tuhan, karya penciptaan-Nya, dan karya keselamatan-Nya demi kita. Hal ini dimaksudkan untuk menghentikan pekerjaan sehari-hari dan memberikan istirahat dan penyegaran yang diperlukan. Murid-murid Yesus dimarahi oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, bukan karena memetik dan memakan jagung dari ladang, namun karena melakukannya pada hari Sabat.
Dalam membela murid-muridnya, Yesus mengambil ayat-ayat kitab suci bahwa kebutuhan manusia lebih diutamakan daripada kebiasaan ritual: Pertama, ketika lapar, Daud dan orang-orangnya makan roti suci yang dipersembahkan di Bait Suci (1Sam 21:2-7). Murid-murid Yesus hanya mencontoh yang dilakukan Daud dan orang-orangnya. Kedua, Yesus menegaskan maksud Allah mengadakan Sabat untuk manusia, bukannya manusia untuk Hari Sabat (ay 27) menurut pola dalam 2 Mak 5:19, (Tuhan tidak memilih bangsa ini demi Tempat itu, melainkan Tempat itu dipilihNya demi bangsa ini), dan menyatakan Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat (ay 28).
Perkataan yang terakhir itu, “jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” tampaknya lebih ditujukan kepada pembaca Injil Markus alih-alih kepada orang Farisi, untuk lebih mengenal siapa Yesus, serta untuk menguatkan dasar perubahan tradisi.
“Ya Yesus, izinkan aku memberikan penghormatan yang layak kepada-Mu dalam caraku menjalani hidupku dan caraku memperlakukan sesamaku. Semoga aku menghormati Hari Tuhan sebagai hari yang kudus bagi-Mu. Dan semoga aku selalu memperlakukan sesama dengan belas kasih dan kebaikan seperti yang telah Engkau tunjukkan kepadaku. Bebaskan aku dari sikap terlalu kritis dan tidak toleran, agar aku selalu mengupayakan kebaikan bagi sesama.”