60 Tahun Ensiklik Pacem in Terris – Perdamaian Dunia

Pada tanggal 11 April 1963, Paus St. Yohanes XXIII mengeluarkan ensiklik Pacem in Terris, suatu seruan kuat untuk mewujudkan dunia tanpa korban maupun algojo, yang mengukuhkan reputasi Paus Yohanes XXIII sebagai “Paus yang Baik.” Sementara dunia terhuyung-huyung di ambang perang nuklir selama krisis rudal Kuba Oktober 1962, seruan Paus untuk “perdamaian dunia” diterima dengan baik di mana-mana, termasuk Uni Soviet – meskipun menurut pengamatan jurnalistik di beberapa tempat di Vatikan sendiri memandang para penguasa di Kremlin menganggap pesan ensiklik itu agak naif.
Ditulis di penghujung awal tahun pertama Konsili Vatikan II, adalah untuk yang pertama kalinya suatu dokumen Ajaran Sosial Katolik ditujukan bukan hanya kepada umat Katolik, tetapi juga kepada “semua orang yang berkehendak baik”. Dalam Ensiklik Pacem in Terris Paus Yohanes XXIII menyatakan bahwa tanggung jawab mengusahakan perdamaian tidak hanya tanggungjawab negara dan para pemimpin, tetapi tanggungjawab semua orang yang harus bekerja sama dalam komunitas global yang semakin saling tergantung.
Apa yang diajarkan Pacem in Terris? Dan bagaimana tampaknya hasil analisis keadaan dunia, enam dekade kemudian?
Lihat juga: Ensiklik Pacem in Terris – Perdamaian Dunia
Paus Yohanes XXIII mengajarkan bahwa dunia telah memasuki momen sejarah baru, yang dicirikan oleh keyakinan luas bahwa “semua manusia setara karena martabat kodrati mereka.” Keyakinan itu menyiratkan prinsip ajaran sosial Katolik klasik tentang kesejahteraan umum yang memiliki dimensi global, tidak hanya nasional, — yang pada gilirannya menyatakan bahwa “perdamaian dunia” harus diupayakan melalui pembentukan “otoritas publik sedunia”. Bahwa otoritas global harus menjadikan perlindungan dan perkembangan hak asasi manusia – yang didefinisikan secara luas oleh Paus Yohanes – sebagai tujuan fundamentalnya.
Paus Yohanes XXIII mengusulkan tatanan sosial dan politik yang melayani kesejahteraan umum. Damai lebih dari situasi tidak ada perang; tidak akan ada pembicaraan tentang perdamaian tanpa kebebasan dan pembangunan. Dan keduanya didasarkan pada tegaknya keadilan. “Tidak ada gunanya mengakui hak manusia atas hidup, tanpa melakukan segala daya untuk memberi kepada mereka sarana yang cukup untuk penghidupan mereka” (#31).
Berkenaan dengan negara-negara komunis, mereka juga harus dilibatkan dalam komunitas politik global, karena gerakan komunis, walaupun mengandung “kekeliruan ajaran filosofis”, mereka bisa saja “memiliki unsur-unsur yang positif dan pantas mendapat persetujuan.” Akhirnya, Pacem in Terris mengajarkan bahwa perlombaan senjata adalah jebakan dan khayalan; pelucutan senjata universal adalah keharusan moral berdasarkan alasan yang benar, karena, “di zaman seperti kita, yang bangga akan energi atom, melakukan perang adalah bertentangan dengan cara yang tepat untuk memulihkan hak-hak yang telah dilanggar.”
Menurut analisis pasca-fakta, orang bisa saja mengritik visi mulia Yohanes XXIII dalam Ensiklik yang telah mengobarkan harapan bahwa dunia dapat menemukan jalan keluar, menerobos kebuntuan perundingan-perundingan Perang Dingin, mempunyai kelemahan teknis yang oleh para kritikus dikemukakan meliputi – kurangnya pemahaman pada realitas kekuasaan politik dunia, kekeliruan membaca hubungan intrinsik antara gagasan Marxis dengan politik totaliter, hal-hal yang di luar jangkauan Paus dan harus dilengkapi oleh para praktisi politik dan militer, atau bahwa tampaknya dampak dosa asal di bidang politik tidak diperhitungkan- dalam retrospeksi setelah 60 tahun.
Perang Dingin dalam kenyataannya kemudian berakhir. Menurut Analisa politik pasca fakta orang bisa berkata bahwa penyelesaian Perang Dingin bukan karena adanya sikap “saling percaya” (tema kunci lain dalam ensiklik) telah dibangun di antara pihak demokrasi yang tidak sempurna dan pihak tirani; Perang Dingin di satu pihak dinilai berakhir karena apa yang dijelaskan oleh William Imboden (dalam The Peacemaker: Ronald Reagan, The Cold War, and the World on the Brink) sebagai strategi “angkat-tangan melalui negosiasi” menurut rancangan Amerika Serikat dan sekutunya. Kita melihat kecongkakan sepihak dalam konstatasi yang menampar pihak lain itu. Di pihak lain orang tidak bisa menduga seberapa jauh kekuatan moral, harapan dan doa mendorong pengambilan keputusan-keputusan untuk mengakhiri Perang Dingin. Demikian pula berkenaan dengan perlombaan senjata, yang pada tahun 1980-an, kendati mengintensifkan bahaya perang nuklir untuk beberapa saat, namun juga dikatakan berhasil mengikis kapasitas (dan kemauan) Uni Soviet untuk melanjutkannya. Perlombaan senjata dan perdagangan senjata masih berlanjut dalam skala yang berbeda dengan pelaku yang berbeda menyebabkan konflik bersenjata dan membawa korban hingga sekarang, bahkan di satu negara di antara warga se tanah air, situasi yang masih terus memerlukan dorongan moral untuk mengakhirinya. Pacem in Terris tentang masalah pelucutan senjata, menyerukan diakhirinya perlombaan senjata, pelarangan senjata nuklir dan program perlucutan senjata. Suatu “perdamaian sejati dan abadi di antara bangsa-bangsa tidak dapat dibangun atas kepemilikan pasokan persenjataan yang setara” kata Paus Yohanes XXIII “tetapi hanya dalam rasa saling percaya.”
Saran ensiklik untuk pengembangan “otoritas publik universal” yang mampu mengatasi masalah perdagangan global, kekurangan, dan korupsi yang ditunjukkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak Pacem in Terris dikeluarkan, setidaknya dalam membela hak asasi manusia, bagi sementara pihak telah menimbulkan keraguan akan kelayakan (bahkan keinginan) dari usaha semacam itu. Namun kendati berbagai kekurangannya, PBB mencatat banyak prestasi keberhasilan dalam mengusahakan Kerjasama internasional dan global dalam pembangunan banyak negara, mengatasi bahaya kelaparan, memajukan perdagangan yang adil, memerangi wabah penyakit menular dan memajukan Kesehatan, memajukan pendidikan dan kebudayaan, yang merupakan bagian-bagian dari “kesejahteraan umum”. Melalui badan-badan yang dibentuknya, PBB mengusahakan tercapainya sasaran-sasaran pembangunan berkelanjutan di antara negara-negara anggotanya hingga 2030 nanti. PBB juga menginspirasi Kerjasama-kerjasama internasional untuk mengusahakan pemeliharaan bumi, mencegah berbagai kerusakan, agar tetap dapat mendukung kehidupan di atasnya.
Penekanan Yohanes XXIII yang disambut baik tentang hak asasi manusia sebagai isu penting dalam kehidupan publik internasional disahkan oleh revolusi hati nurani — revolusi hak asasi manusia — yang dikobarkan oleh penerusnya yang ketiga, Paus St Yohanes Paulus II, di Eropa Tengah bagian timur pada tahun 1979: suatu revolusi yang merupakan revolusi yang menjadi faktor penentu lain dalam keruntuhan komunisme Eropa tanpa kekerasan. Tetapi ada pandangan bahwa baik Gereja maupun politik dunia belum terpuaskan oleh kecondongan Pacem in Terris menempelkan label “hak asasi manusia” pada hampir setiap tatanan politik, sosial dan ekonomi yang dikehendaki; kecenderungan yang kemudian selalu ditampilkan Tahta Suci dalam amanatnya tentang politik dunia. Kekurangan itu justru menyingkapkan peluang untuk penghormatan yang lebih baik lagi pada hak-hak asasi manusia di pelbagai sektor kehidupan yang perlu ditindaklanjuti secara bijaksana ke masa depan.
Kritik bahwa visi yang inspiratif dan mulia Pacem in Terris tidak didukung analisis yang memadai berkenaan dengan factor-faktor hambatan untuk realisasinya tampaknya merupakan penilaian yang masuk akal atas Ensiklik Pacem in Terris pada hari jadinya yang ke-60. Sekaligus kritik itu menjadi undangan kepada pihak-pihak yang mempunyai kompetensi operasional untuk lebih memerhatikan seruan-seruan moral Pacem In Terris dan memeriksa situasi riil sekarang dengan lebih rinci untuk melaksanakannya.
Berbahagialah orang yang membawa damai
Paus Fransiskus bicara tentang “perang dunia ketiga” yang dilakukan sedikit demi sedikit. Di awal tahun dalam pidatonya kepada para diplomat internasional di Tahta Suci, dia mengatakan “hari ini perang dunia ketiga terjadi di dunia global di mana konflik hanya melibatkan area tertentu di bumi ini secara langsung, tetapi sebenarnya melibatkan semuanya. ” Beliau meminta komitmen ulang atas fundamental yang digariskan oleh Pacem in Terris: kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan.
Paus St Yohanes XXIII benar-benar percaya bahwa perdamaian dimungkinkan di dunia kita. Keyakinannya adalah harapan yang pasti, bersumber dari Yesus “Raja Damai” (#167). Pada peringatan 60 tahun ensiklik ini, mari memperbarui harapan kita untuk dunia yang lebih baik dan menguatkan komitmen lagi untuk mengupayakan perdamaian dan keadilan, karena “dijiwai cintakasih. Setiap orang beriman di dunia kita ini harus menjadi terang cahaya, inti cintakasih…” (#164)
