Dalam WAG kita sering kita jumpai perkataan: “Jangan lupa berbahagia”. “Bahagia selalu”. “Pilih Bahagia!”. Mari kita merenungkan “kebahagiaan” itu, sambil mengingat kembali traktat Teologi Moral Rm. Kieser SJ.
Filsafat dan teologi memiliki pemahaman atas kebahagiaan yang beragam dan seringkali berlawanan. Keduanya menawarkan wawasan unik dan berharga tentang kebahagiaan, tetapi konsep kebahagiaan keduanya dapat dikritik pada poin-poin krusial. Karya Paul Ricoeur tentang kebahagiaan pada awalnya adalah sebagai seorang filsuf, tetapi dia mengubah wacananya menjadi lebih religius, yang menghargai suasana bahasa yang optatif. Dalam nuansa optatif inilah Ricoeur berhasil membawa konsep filsafat dan teologi tentang kebahagiaan ke dalam dialektika yang subur. Citra dan metafora optatif dan religius memberinya cara berpikir yang lebih holistik dan terpadu tentang kebahagiaan dalam kaitannya dengan ketidakbahagiaan dan kemalangan. Upaya untuk menerjemahkan pemahaman optatif ini kembali ke indikatif atau imperatif oleh teologi dan filsafat akan membuat kebahagiaan kembali terfragmentasi dan direduksi menjadi deskripsi dan preskripsi.
Anné Verhoef dari North-West University, Potchefstroom, Afrika Selatan, mencoba rekonstruksi pandangan Paul Ricoeur tentang kebahagiaan.
- Pendahuluan
Bicara tentang Kebahagiaan Paul Ricoeur berulang kali bertanya kepada para mahasiswanya: D’ou parlez vouz? (Dari mana Anda berbicara?). Kesadaran dan eksplorasi atas sudut pandang kita, secara teoretis, kontekstual, dan dalam hal disiplin ilmu, tidak merugikan apa yang ingin kita katakan, tetapi justru dapat membuka wawasan dan kemungkinan baru dalam berpikir dan berbicara. Ricoeur menjelajahi gagasan ini dalam pemikirannya sendiri dengan berbicara kadang-kadang sebagai filsuf dan kadang-kadang sebagai teolog. Setiap cara bicara memiliki motivasi dan manfaat, tetapi juga keterbatasannya, sehingga Ricoeur dapat mengatakan “lebih” dengan berbicara dari “tempat” yang berbeda. Ini adalah karakteristik cara Ricoeur bicara tentang kebahagiaan juga.
Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana Ricoeur berbicara tentang kebahagiaan sebagai filsuf, dan bagaimana dia kemudian berbicara (menguraikan tulisan-tulisannya sebelumnya) tentang kebahagiaan dari perspektif teologis atau agama. Dengan mengubah wacana atau perannya, dia memberi kita beberapa wawasan penting tentang kebahagiaan itu sendiri. Pertama-tama mari kita lihat perbedaan pemahaman filsafat dan teologi kebahagiaan, dan kemudian beralih ke diskusi tentang pemahaman Ricoeur tentangnya.
2, Filsafat dan teologi tentang kebahagiaan
Filsafat dan teologi memiliki caranya masing-masing yang berbeda dan seringkali bertentangan dalam berbicara tentang kebahagiaan. Analisis tentang persamaan dan perbedaan tentang kebahagiaan antara kedua disiplin ini bisa menjadi buku tersendiri.
Diskusi di sini dibatasi hanya pada beberapa kecenderungan utama dalam dua disiplin ini, untuk memberikan beberapa latar belakang diskusi Ricoeur.
Dalam filsafat, kebahagiaan mempunyai lingkup yang sangat luas, yang mencakup gagasan tentang kebahagiaan seperti keadaan mental seperti kegembiraan atau kesenangan (Haybron 2011, Feldman 2010, Haidt 2006), kesejahteraan atau perkembangan manusia (Diener 1984, Griffen 1986, Haybron 2008), cara hidup etis (Aristoteles, Nussbaum 2001), nasib baik/keberuntungan (Gilbert 2006), tidak adanya rasa sakit (McMahon 2006), kemustahilan (Schopenhauer 1966) atau produk sampingan. Sebagian besar pengertian kebahagiaan ini melibatkan sesuatu yang harus diperjuangkan, dikejar, dan dituju dalam kehidupan sehari-hari. Kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam “aktivitas harian yang kita sengaja” (Haidt 2006:22), dalam hal duniawi setiap hari, bukan dalam hal supernatural.
Wacana filosofis tentang kebahagiaan sebagian besar adalah imanensi, keterbatasan, dan analisis, dan dengan cepat mereduksi kebahagiaan menjadi sesuatu yang lain (misalnya kegembiraan). Wacana didominasi oleh pertanyaan tentang apa itu kebahagiaan (“indikatif” seperti yang dirujuk Ricoeur) dan bagaimana mendapatkannya (“imperatif” dalam referensi Ricoeur).
Dalam teologi, kebahagiaan dapat mencakup beberapa pengertian filosofis tentang kebahagiaan, tetapi perbedaan utama antara kedua pendekatan adalah bahwa dalam teologi, kebahagiaan terkait dengan Tuhan (“mengenal, mencintai, dan mensyukuri Tuhan” – Charry 2006:150). Agustinus mengatakan misalnya: “Kebahagiaan sejati adalah bersukacita di dalam Engkau, Tuhanku … Ini adalah kebahagiaan yang diinginkan semua orang” (1961:229). Wacana tentang kebahagiaan dalam teologi mencakup pengertian seperti kasih, harapan, rahmat, berkat (makarios), penyembuhan, keindahan dan kedamaian (shalom), dan memungkinkan lebih banyak ruang untuk menerima kebahagiaan daripada hanya mengusahakannya. Ini adalah kebahagiaan yang mencakup pengertian transendensi, yang penuh misteri dan supranatural, tanpa mengecualikan yang imanen dan duniawi. Kebahagiaan, misalnya, terkait erat dengan doktrin keselamatan (Marais 2015b:6), tetapi juga ekologis, perkembangan duniawi (Marais 2015a:141). Oleh karena itu, tugas Teologi Kristen ke depan, menurut Venter, adalah “mendapatkan kembali pengertian tentang Allah Tritunggal, dan mengeksplorasi potensi simbol ini untuk berkontribusi pada perkembangan manusia dalam konteks spesifik dan konkret” (2016:5).
Perbedaan pendekatan pada kebahagiaan oleh filsafat dan teologi menimbulkan kritik yang berbeda satu sama lain. Gagasan Filsafat tentang kebahagiaan dianggap reduksionis, hedonistik, individualistis, dan didominasi oleh penelitian empiris tentang keadaan mental (misalnya Psikologi Positif). Kurangnya definisi yang jelas tentang pemenuhan, makna hidup, harapan, rasa memiliki (untuk sesuatu yang lebih besar) dan kesatuan dalam konsep. Gagasan teologi tentang kebahagiaan dianggap eksklusif (hanya berlaku untuk orang beriman), kontradiktif (ateis juga bahagia), dan terlalu fokus pada akhirat (kebahagiaan maksimal). [i] Dilemanya adalah bahwa “bentuk kebahagiaan tertinggi yang mungkin hanya tersedia untuk orang yang religius” (Verhoef 2014b:543) dan gagasan imanen filsafat tentang kebahagiaan dipandang rendah. Namun, ada cara berbeda di mana filsafat menegaskan “saling ketergantungan antara kebahagiaan dan transendensi” (Verhoef 2014b:544). Ricoeur, misalnya, berpendapat dalam antropologi filosofisnya (Fallible Man) bahwa kebahagiaan bersifat transendental. Itu adalah sesuatu yang tak terbatas. Ricoeur berpendapat bahwa “konsep imanen tentang kebahagiaan cenderung mereduksi kebahagiaan dan manusia menjadi sekadar makhluk kausal –tanpa kerumitan dan misteri” (Verhoef 2014a:772). Tekanan pada transendensi (menjadi bagian dari sifat kebahagiaan) membuat Ricoeur menjadi lawan bicara penting antara filsafat dan teologi.
Yang membuat Ricoeur semakin signifikan dalam wacana ini adalah bahwa ia memisahkan karyanya sebagai filsuf dari karyanya sebagai teolog.[ii] 2 Menjadi seorang filsuf dan seorang beriman, menurutnya, adalah “dua cara komitmen yang berbeda, yang mewakili tingkat kehidupan dan pemikiran saya yang sama sekali berbeda” (Van Tongeren 2014:169). Dalam fragmen lain Ricoeur menulis: “Saya bukan seorang filsuf Kristen […]. Saya di satu sisi hanya seorang filsuf […] dan di sisi lain seorang Kristen yang mengekspresikan dirinya secara filosofis” (Ricoeur 2007:69). Dia memang mengakui bahwa masih ada sesuatu yang skizoid dalam perbedaan tersebut tetapi menyatakan bahwa situasi skizoid ini “memiliki dinamikanya, penderitaannya serta saat-saat kecil kebahagiaannya” (Ricoeur 2007:69). Kita melihat skizoid ini juga dalam diskusinya tentang kebahagiaan, ketika dia mengubah seluruh pendekatannya, bahasa/wacananya, dan mendaftar dari filosofis ke religius. Bagaimana dan mengapa Ricoeur melakukan ini, akan dieksplorasi di sisa artikel. Dalam diskusi ini saya akan menunjukkan wawasan yang unik tetapi juga terbatas yang ditawarkan oleh teologi dan filsafat dalam pemahaman masing-masing tentang kebahagiaan, dan bagaimana kita dapat memperoleh wawasan baru tentang kebahagiaan ketika kita bergerak dalam ‘ruang antara’ dari kedua disiplin ini.
3. Ricoeur tentang kebahagiaan
Ricoeur belum menulis buku yang khusus berfokus pada kebahagiaan; tetapi kebahagiaan dan kerinduan kita akan hal itu, adalah bagian mendasar dari filsafatnya. Fokus ini terutama tampak dalam antropologi filosofisnya – Fallible Man (1960) (dan The Symbolism of Evil, 1960), Oneself as Another (1990), dan Course of Recognition (2004). Ini semua adalah karya filosofis.
Di mana menemukan kebahagiaan – secara filosofis
Baru setelah Oneself as Others pada tahun 1994, Ricoeur menulis esai filosofis yang sepenuhnya membahas topik kebahagiaan, yaitu “Le Bonheur Hors Lieu” (Kebahagiaan Lepas Dari Tempat). Esai ini diterbitkan dalam buku Ou est le bonheur? (Di mana kebahagiaan?) Sebagai seorang filsuf, Ricoeur menjawab pertanyaan ini: kebahagiaan itu “di luar sana”, atau “lepas dari tempat”, tetapi bukan “sans lieu” (tanpa tempat). Ricoeur menyusun esai ini dalam tiga bagian, yaitu 1) Kebahagiaan dan sifat, 2) Kebahagiaan dan yang dekat: persahabatan, dan 3) Kebahagiaan dan yang jauh: keadilan. Struktur ini kira-kira mengikuti pembahasan tentang kebahagiaan yang telah ditemukan dalam karya Ricoeur sampai sekarang, yaitu bahwa kebahagiaan adalah bagian dari keinginan individu manusia akan kehidupan yang lengkap dan penuh (Fallible Man), dan bahwa kebahagiaan selalu melibatkan orang lain: teman atau orang-orang yang dekat, dan orang-orang yang jauh (“untuk hidup baik dengan dan untuk orang lain dalam institusi yang adil”, seperti dalam Oneself as Another). Namun, ketiga petunjuk ini kebahagiaan ini “di luar batasan”, menurut Ricoeur. Pertanyaannya : “mengapa?” Dan di manakah kebahagiaan dapat ditemukan, menurutnya? Ricoeur menunjukkan tiga utas atau tema kebahagiaan dalam karyanya “Le Bonheur Hors Lieu”.
Yang pertama adalah bahwa kebahagiaan belum berada dalam jangkauan kita, melainkan berada dalam tujuan kita. Pertanyaan dengan utas ini adalah apakah kebahagiaan adalah pemberian untuk diterima, atau kesempatan yang pantas untuk seseorang. Dengan kata lain, apakah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan dalam arti etis, tanggung jawab dan kewajiban untuk ditunaikan; atau itu hanya keberuntungan, sesuatu yang diberikan, atau tidak diberikan oleh kekuatan jahat (dé monique)? Selanjutnya: bagaimana kita bisa membedakan kebahagiaan (antisipasi kebahagiaan yang melampaui) antara yang baik (yang dapat diperoleh/etis), dan yang jahat (yang baru saja diberikan oleh yang jahat – dé monique )? Di sini, Ricoeur mempertentangkan tujuan (baik/etis) kebahagiaan dari pemberian (peristiwa/iblis) kebahagiaan, sebagai cara untuk menjelaskan masalah keberuntungan ini lebih jauh.
Utas kedua yang diidentifikasi Ricoeur adalah bahwa kebahagiaan membutuhkan kebalikannya, yang pada saat yang sama akan menjadi pendamping, kaki tangan, dan mungkin ganda (1994:327), yaitu ketidakbahagiaan. Kaitan antara kebahagiaan dan ketidakbahagiaan ini sudah terlihat dalam Fallible Man, di mana kerinduan kita akan kebahagiaan telah digambarkan sebagai bagian dari sintesis hati manusia yang rapuh yang kemudian menemukannya dalam disproporsi manusia, falibilitas; yang memiliki potensi untuk melakukan kejahatan dan menyebabkan ketidakbahagiaan.
Utas ketiga adalah hubungan antara hasrat pribadi saya akan kebahagiaan dan peran yang dimainkan orang lain dalam menyangkal atau menawarkan kebahagiaan kepada saya. Orang lain ini dapat dibagi menjadi mereka yang saya kenal, mereka yang dekat (dengan wajah), dan mereka yang tidak akan pernah saya lihat, tetapi panggilannya untuk keadilan tetap ada (yang tak berwajah). Utas ketiga ini dikembangkan lebih lanjut oleh Ricoeur, untuk melihat apakah kebahagiaan dapat ditemukan di salah satu tempat ini: saya sendiri, dengan karakteristik kebahagiaan saya sendiri; dengan orang terdekat: teman; atau dengan orang lain: dalam keadilan.
Kebahagiaan sebagai hasrat pribadi saya, sebagai kelengkapan tugas manusiawi saya (ergon), dan sebagai sesuatu yang dapat saya capai sebagai pelaku, adalah pendekatan teleologis menuju kebahagiaan. Masalah dengan pendekatan ini adalah, bagaimanapun, bahwa kita selalu menjadi bagian dari berbagai sistem sosial yang darinya kita mengharapkan intervensi tertentu untuk kebahagiaan kita. Oleh karena itu, tidaklah mudah untuk mendapatkan kebahagiaan sendiri – “berjalan menembus tembok” (Ricoeur 1994:329). Selain itu, menurut Ricoeur, hasrat untuk kepuasan integral yang tidak terbagi (di luar kepuasan lokal, topikal, parsial) inilah yang membuat ketidakbahagiaan di sepanjang jalan. Karena itu, haruskah kita menerima kebahagiaan dan sedikit kepuasan? Ricoeur mengatakan inilah yang direkomendasikan pandangan kuno, tetapi dia menganggap sikap ini terlalu naif (sebab masih ada lebih banyak kebahagiaan), tetapi kita setidaknya harus menyambut situasi kebahagiaan sebagai “kilat cahaya yang pijar sebelum waktunya” (fulgurances intempestives) (Ricoeur 1994 :330).
Bisakah kebahagiaan ditemukan dengan orang-orang yang dekat dengan kita, teman-teman kita? Apa artinya “memberikan kebahagiaan” – bukannya “menuntut kebahagiaan”? Dengan kata lain: apa itu kebahagiaan bersama? Apakah ini tempat di mana kebahagiaan bisa ditemukan? Ricoeur menjawab ini dengan kembali ke Aristoteles dan konsepnya tentang persahabatan philia, karena dalam persahabatan inilah terjadi transisi antara tujuan hidup baik yang tampaknya soliter dan keadilan (kebajikan pluralitas manusia yang berorientasi politik).[iii] Dalam persahabatan untuk kebaikan, berlawanan dengan persahabatan untuk kesenangan dan manfaat, di mana terdapat kemungkinan untuk menjalani kehidupan yang baik bersama. Timbal balik persahabatan memahkotai pengejaran kebahagiaan pribadi. Dengan demikian, kebahagiaan telah beralih dari keinginan pribadi untuk pemenuhan pribadi menuju pertukaran dengan memberi dan menerima. Akan tetapi, tampil gambaran pasangan kebahagiaan/ketidakbahagiaan karena kebahagiaan bersama terbukti menjadi kebaikan yang paling rapuh. Adalah kemungkinan di mana persahabatan membawa kesepian dan kesedihan karena kehilangan seorang teman. Ricoeur berkata: “Kematian yang suatu hari akan memisahkan kita tidak terbatas pada peristiwa yang belum terjadi; bayangannya membentang ke depan dalam bentuk ketakutan yang tiada tara” (1994:332). Gambaran baru dari pasangan keberuntungan, antara tujuan/hadiah juga muncul di sini. Di satu sisi, persahabatan adalah sesuatu yang harus kita “inginkan benar-benar” (sasar/tuju) dan kita harus memupuk kebahagiaan dalam persahabatan, tetapi di sisi lain, kita menerimanya (sebagai hadiah/pemberian) dengan rela berkorban dan menanggung rasa sakit yang mungkin terbawa. Oleh karena itu, keadaan persahabatan harus dihargai sebagai hadiah karena keadaan ini sangat tidak pasti dan rapuh.
Tempat ketiga yang mungkin untuk menemukan kebahagiaan adalah dengan orang-orang yang jauh: dalam keadilan. Ricoeur mengatakan masalah ini muncul segera setelah kita mengakui bahwa keinginan untuk hidup di antara lembaga-lembaga yang benar pada awalnya merupakan rencana etis terdalam, ditentukan oleh keinginan untuk menjalani kehidupan yang baik. Dengan kohesi kehidupan yang terpenuhi atau bahagia dan tuntutan akan keadilan, gagasan tentang orang lain tidak habis hanya dengan persahabatan, tetapi mencakup juga “orang lain yang tak berwajah” (1994:333). Hidup di bawah institusi yang adil dengan orang lain tanpa wajah, bagaimanapun, tidak menghilangkan upaya pencarian kebahagiaan, karena dua alasan. Yang pertama adalah kepuasan dari ‘kebaikan bersama’ bukanlah kebahagiaan, tetapi sebagian darinya. Kebahagiaan meminta integrasi proyek-proyek parsial dalam “urutan pengakuan” untuk mendapatkan kedamaian publik sebagai tata-ketenteraman pada tingkat kosmopolitik (Ricoeur 1994:334). Yang kedua adalah masalah ketika kekuatan politik dipercayakan untuk mewujudkan kebahagiaan publik, gagasan keadilan menjadi antagonistik terhadap kebahagiaan, karena di sini kebahagiaan dipaksakan kepada masing-masing oleh penguasa. Dengan demikian ada sikap ambivalen ketika menyangkut hubungan yang dapat diterima di antara keadilan dan kebahagiaan dalam perjalanan sejarah. Pasangan kebahagiaan/ketidakbahagiaan menjadi terlihat di bidang ini, di mana keadilan dicari tanpa mempedulikan kebahagiaan orang lain, dalam situasi historis di mana kebahagiaan sebagian orang dibayar dengan ketidakbahagiaan orang lain. Kerapuhan kehidupan yang baik di bawah institusi yang adil semakin memperlihatkan pasangan tujuan /pemberian dalam kenyataan situasi kebahagiaan “ditambahkan kepadamu” sebagai kondisi yang tidak pasti dalam pencarian kita akan keadilan (Ricoeur 1994: 336).
Ricoeur, sebagai filsuf, menyimpulkan kebahagiaan tetap “hors lieu“, di luar sana, atau lepas dari tempat, jika disamakan dengan hasrat yang dipaksakan untuk mendapatkan kebahagiaan pribadi, timbal balik antar teman, dan upaya keadilan yang dibebankan kepada penguasa. Di semua tempat atau proyek ini, kebahagiaan secara intrinsik tetap terhubung dengan ketidakbahagiaan – tidak ada yang menawarkan kebahagiaan yang penuh yang bebas dari ketidakbahagiaan. Ketiganya lebih lanjut menunjukkan bahwa kebahagiaan itu “lepas dari tempat” dibandingkan dengan hasrat obsesif kita untuk membuat diri sendiri bahagia (tujuan), karena kebahagiaan sering kali merupakan keberuntungan (pemberian). Itu tetap menjadi sesuatu yang rapuh, tidak pasti dan cepat berlalu.
Namun, kebahagiaan bukannya “sans lieu”, tanpa tempat. Ricoeur mengatakan bahwa kita punya kemungkinan mengalami keadaan bahagia yang singkat, tetapi ini tidak akan dibahas dalam bahasa moral dan politik – wacana filosofis dalam pengertian rasionalnya yang ketat mencapai batasnya di sini. Ricoeur mengusulkan agar wacana kebahagiaan diubah menjadi bahasa puisi.[iv] Dia menyatakan bahwa hanya dalam bahasa liris dinyatakan bahwa kebahagiaan dibagikan, karena bahasa semacam ini melampaui bahasa kebahagiaan yang selama ini digunakan selama ini. Hanya dalam bahasa inilah pasangan keberuntungan antara tujuan / hadiah dapat dilampaui; dengan kata lain, ketika kita bisa berhenti bicara tentang kebahagiaan baik sebagai “pencarian sukarela” atau “hadiah sebelum waktunya” (1994:336). Di sinilah dalam bahasa optatif (bahasa liris dan puisi) “semoga aku bahagia” kebahagiaan dapat dipahami dan dibagikan tidak hanya sebagai hasrat (pencarian/tujuan) atau tuntutan (etis/politik), tetapi sebagai lagu yang menyatukan “kebahagiaan dan kebaikan” (que dans le chant qui joint bonheur et bonté ) (1994:336). Dengan kata lain, dalam nuansa optatif bahasa, dalam lagu, “momen kebaikan etis bergabung dengan momen yang jahat secara kebetulan” (laquelle joint de facon opaque le moment éthique de la bonté et le moment d é monique de la chance ) (1994:335). Bagaimana tepatnya ini terjadi dalam mode optatif?
Kebahagiaan dalam mode optatif – cara bicara (religius) yang berbeda
Ricoeur menjawab pertanyaan itu beberapa tahun kemudian dalam karyanya “L’optatif du bonheur” (2001), dalam buku Demain L’Église (Gereja masa depan). Dalam konteks religius buku ini, Ricoeur berpendapat bahwa ‘tempat’ kebahagiaan dapat ditemukan dalam nuansa bahasa yang optatif – satu-satunya cara yang dapat mengakomodasi pasangan kebahagiaan sebagai keberuntungan tujuan/pemberian, dan yang menerima pasangan kebahagiaan/ketidakbahagiaan pada saat yang sama. Kebahagiaan dipahami di sini sebagai penyelesaiannya, sebagai pemenuhan keinginan spiritual (eros) seperti yang dia diskusikan dalam Fallible Man. Dia menemukan contoh bahasa optatif ini (puisi, liris) tentang kebahagiaan dalam Sabda Bahagia Injil Matius 5.
Dalam bahasannya tentang Sabda Bahagia, Ricoeur menekankan istilah Bahagia (Sukacita, Keberkahan)[v] langsung diikuti gambaran yang “tidak bahagia” – yang miskin, yang berdukacita, yang lemah lembut, yang lapar dan haus, yang teraniaya. Orang-orang yang dituju puisi ini adalah mereka yang hidup di antara dua kutub, kekurangan, dan “kesulitan belaka” (entre les deux pôles du manque et de la franche adversité ) (Ricoeur 2001:34). Puisi itu mengubah pengakuan ketidakbahagiaan menjadi janji kebahagiaan: pembalikan akan terjadi, yang terakhir menjadi yang pertama. Suasana optatif tidak terbatas pada pembalikan simetri, tetapi “memicu ledakan verbal yang keberaniannya tidak pernah berhenti mengejutkan kita: memiliki kerajaan surga, melihat Tuhan” (2001:35). Kekuatan janji pemenuhan ini diungkapkan dalam karakter tidak bersyarat dan Ricoeur menemukan di sini sebuah “paradoks logika kelimpahan” (2001:36).
Mengikuti karakteristik nuansa optatif pada kebahagiaan ini, Ricoeur bertanya bagaimana kita bisa menghadapi tantangan kebahagiaan itu. Dengan kata lain: Apakah bahasa yang melampaui pasangan keberuntungan dari tujuan/hadiah dan yang menjaga ketegangan antara kebahagiaan/ ketidakbahagiaan ini, memberitahu kita tentang kebahagiaan dalam hidup kita? Bagaimana kita bisa menerjemahkan bahasa ini kembali ke keinginan agen pelaku untuk kehidupan yang baik (kesejahteraan dengan institusi lain dan di bawah keadilan)? Ricoeur membuat tiga poin, yang menjadi dasar pemahamannya sendiri tentang kebahagiaan dalam hubungannya dengan ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan.
Yang pertama adalah adanya ketidakpastian tentang ketidakbahagiaan. Apakah ketidakbahagiaan adalah kekurangan, kesulitan, atau hidup miskin bersama? Daftar ketidakbahagiaan juga tidak ditutup dalam Sabda Bahagia. Ada, misalnya, ketidakbahagiaan dan kemalangan yang timbul di antara hasrat dan kejadian. Ketidakbahagiaan dengan demikian dapat meliputi situasi yang belum dapat dikenali dan juga sesuatu yang berbeda dari kejahatan, baik yang diderita maupun yang ditimbulkan.[vi] Oleh karena itu, Ricoeur menyimpulkan bahwa lingkup ketidakbahagiaan sangat luas.
Yang kedua adalah skandal nuansa kebahagiaan optatif. Mendengarkan lagu kemuliaan kebahagiaan adalah penghinaan bagi mereka yang menderita. Mereka mungkin bertanya: Bagaimana mungkin kebahagiaan ada di hadapan kejahatan dan penderitaan? Di mana Tuhan (kebahagiaan) di kamp Nazi Auschwitz? Menurut Ricoeur kita hanya bisa menjawab bahwa Tuhan (kebahagiaan) tidak ada di Auschwitz, tetapi kebahagiaan (itu) terdengar di tempat lain. Kegigihan “kata kebahagiaan” terdiri dari yang akan didengar, yang diharapkan: “Hidup itu indah” (Ricoeur 2001:38). Kebahagiaan bukanlah, bagi Ricoeur, penghinaan terhadap kemalangan, melainkan tantangan terhadapnya, dan oleh karena itu memerlukan kesabaran.
Yang ketiga adalah bahwa nuansa kebahagiaan optatif membuka banyak jalur: kebahagiaan dapat dipikirkan dalam banyak cara dalam nansa optatif. Salah satu cara – “untuk intelektual yang dipuaskan dari sumber-sumber Ibrani dan Hellenis” – adalah dengan menghidupkan kembali konteks di mana kata-kata Sabda Bahagia ini memiliki makna (2001:38). Dari perspektif Yahudi dapat dikatakan bahwa di balik utopia ‘kerajaan surga/Tuhan’ masih ada pertanyaan tentang hilangnya raja dan pemerintahan, simbol-simbol yang digantikan oleh republik yang dikehendaki abad Pencerahan. Siapa yang akan kita muliakan sekarang? Siapa dan apa yang dimuliakan sekarang secara tidak adil? Dan dari sisi Yunani kita mendengar peringatan agar tidak berada dalam kerajaan yang dikuasai oleh keinginan ekstrim kita, tetapi untuk menemukan kebahagiaan dalam Kebaikan. Kontras di antara kedua tradisi ini muncul dalam cara yang berbeda untuk mengejar kebahagiaan. Matius 6:33 mengatakan bahwa Kerajaan Allah pertama-tama harus dicar dahului, dan kemudian hal-hal lain akan ditambahkan. Dikatakan dengan cara yang mungkin sangat disederhanakan: masyarakat yang adil, ‘Kerajaan Allah’, diprioritaskan dulu, dan kemudian kebahagiaan akan mengikuti.
Aristoteles berpendapat sebaliknya: “Kebahagiaan akan ditemukan sebagai sesuatu yang sempurna dan mandiri, menjadi tujuan dari tindakan kita”.[vii] Ini adalah pandangan yang lebih optimis tentang kemungkinan kebahagiaan daripada orang Kristen, yang sering dibandingkan dengan pandangan “sinis” Yunani (Ricoeur 2001:39). Ricoeur, bagaimanapun, tidak memilih salah satu dari jalan ini, tetapi menemukan arah dalam teks Yahudi Franz Rosenzweig, The Star of Redemption.
Buku Rosenzweig dibagi menjadi tiga tema besar yang menyusun pengalaman kita tentang waktu (masa lalu, sekarang, dan masa depan) dan Ricoeur berpendapat bahwa tema-tema ini dapat menghasilkan tiga gambaran utama kebahagiaan. Tema pertama adalah tentang penciptaan (masa lalu, tetapi masih berlangsung di sini kini). Dalam penciptaan kita dapat menemukan kebahagiaan dalam kekaguman dan ketakjuban (seperti yang dilakukan oleh pemazmur dan penyair modern). Yang kedua adalah wahyu (saat ini): “kata diarahkan sekarang pada karakter jiwa yang intim” (Ricoeur 2001:39). Kebahagiaan ditemukan pada wahyu dalam kata-kata yang diucapkan satu sama lain dalam kegembiraan (seperti kata-kata pertama kegembiraan Adam atas Hawa). Di sini kebahagiaan adalah ikatan pribadi, kata-kata dari orang ke orang yang berpuncak pada nuansa optatif, kegembiraan kebahagiaan: “kamu, cintai aku” (seperti dalam Kidung Agung). Yang ketiga adalah tema penebusan (masa depan): “memproyeksikan melihat masa depan komunitas yang masih akan datang” (Ricoeur 2001:40) – dalam kata-kata Sabda Bahagia, Kerajaan Allah, atau dalam istilah Ricoeur: hidup dengan baik dengan dan untuk orang lain di bawah institusi yang adil. Inilah kebahagiaan yang kita nantikan – atau lebih tepat: kebahagiaan dalam penantian. Ricoeur bertanya: Apa yang bisa kita sebut kebahagiaan dalam penantian? (Komentar nommer le bonheur d’attendre?), dan jawabnya “mungkin aspirasi” (2001:40). Tetapi apakah ada kebahagiaan aspirasi? Ini adalah pertanyaan penting dalam kaitannya dengan argument bahwa kerinduan dan hasrat kita akan kebahagiaanlah yang membuat kita tidak bahagia. Ricoeur menjawab ya: adalah mungkin untuk menemukan kebahagiaan dalam aspirasi, dan alasan untuk ini dia temukan dalam suasana bahasa optatif lainnya, yaitu himne Kasih dalam 1Kor 13. Ini perlu dijelaskan dengan hati-hati karena membentuk sebuah bagian dari dialektika Ricoeur antara kebahagiaan, ketidakbahagiaan dan keberuntungan, dan karena dia menggunakan teks keagamaan untuk menghadapi dilema kebahagiaan.
Ricoeur menekankan bahwa Rasul Paulus menempatkan kata “berusaha memperoleh” (menginginkan, mengejar, mencita-citakan/aspirez) sebelum bab tentang kasih (1 Kor 13), di ayat terakhir dari 1 Kor 12: 31: ”) dan juga langsung setelah pasal ini dalam 1 Korintus 14:1 (“Kejarlah kasih, dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia rohani, terutama karunia untuk bernubuat”). Frasa-frasa itu menempatkan himne kasih dalam konteks mengusahakani dan mencita-citakan. Bagi Ricoeur “benar-benar luar biasa” bahwa dalam teks Paulus ini, “gagasan aspirasi diasosiasikan dengan pemberian (karunia)” (2001:40). Dalam pendapatnya inilah yang membuat kebahagiaan aspirasi menjadi suasana hati yang optatif. Dengan kata lain, cita-cita (bertujuan) menyatu dalam lagu, dalam bahasa liris/puisi ini, dengan karunia yang tidak dapat dijelaskan (dalam contoh kasih). Pasangan keberuntungan tujuan / pemberian di sini bersatu. Upaya penerjemahan kembali ke bahasa indikatif dan imperatif niscaya memecah kesatuan ini – dan menjadi masalah diskursus filosofis. Maka, yang terbaik yang bisa dikatakan seseorang adalah bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dalam aspirasi (mengusahakan) kebahagiaan sekaligus dengan menerima/karunia kebahagiaan (sebagai keberuntungan). Berorientasi ke masa depan, dengan harapan akan pekerjaan dan pemenuhan cita-cita (keinginan yang penuh semangat seperti dalam 1 Kor.), tetapi sekaligus dengan kesadaran bahwa pemenuhan (kebahagiaan/cinta/keadilan) adalah anugerah yang niscaya diterima. Untuk dikasihi, dan untuk mengasihi (dalam kaitan dengan keadilan seperti yang ditulis Ricoeur dalam Amour et justice, 1990) tanpa syarat, dengan semua risikonya. Ini menjadikannya usaha yang sangat rapuh: kerapuhan yang terus-menerus disadari oleh Ricoeur dalam dialektikanya antara kebahagiaan, ketidakbahagiaan, dan keberuntungan.
Lihat Juga: Kebahagiaan dan Cara Merawatnya
4. Kesimpulan
Dalam karyanya tentang kebahagiaan, Ricoeur jelas beranjak dari wacana filosofis, dari indikatif (Fallible Man), ke imperatif (Oneself as Another)[viii] di mana kebahagiaan adalah ‘hors lieu’ (di luar sana), kepada wacana yang lebih religius dari bahasa optatif tentang kebahagiaan ( L’optatif du Bonheur). Wacana rasional asli filsafat didapatkan terlalu terbatas, sementara wacana keagamaan lebih beragam atau ‘bercampur’ secara alami – memungkinkan pilihan untuk disuarakan bersama yang lain. Dalam bahasa optatif inilah teks dan metafora religius menawarkan visi dan gambaran Ricoeur dari mana kemungkinan kebahagiaan (dan etika)[ix] dapat dipikirkan. Filsafat baginya punya kekurangan dalam hal ini. Gambaran dan metafora optatif dan religius pada akhirnya memberikan cara berpikir yang lebih terpadu tentang kebahagiaan dalam kaitannya dengan ketidakbahagiaan dan keberuntungan – ketiganya dianggap tidak terpisahkan. Kebahagiaan selalu rapuh, ketidakbahagiaan adalah hasil dari tragedi (kesedihan dari kebahagiaan), dan keberuntungan adalah hasil dari keduanya. Berbagai kutub kebahagiaan, yaitu kebahagiaan/ketidakbahagiaan dan tujuan/pemberian (keberuntungan), berada dalam jangkauan optatif yang tersimpan dalam ketegangan dialektis yang rapuh menurut Ricoeur. Ia mengakui kebahagiaan (ketidakbahagiaan dan keberuntungan) sebagai hal yang sangat besar, tidak dapat dijelaskan dan transenden[x]. Pada akhirnya dimungkinkan pemahaman kebahagiaan yang lebih holistik daripada pemahaman yang sebagian besar terfragmentasi secara indikatif atau imperatif.
Berbicara secara filosofis, kebahagiaan karenanya akan selalu ‘di luar batasan’, tetapi mode bahasa optatif (seperti yang ditemukan dalam wacana religius oleh Ricoeur) memungkinkan momen rapuh dan ketersediaan pemikiran dan berbagi kebahagiaan – meskipun hanya sebagai antisipasi kebahagiaan yang melampaui; dengan pengetahuan bahwa pemenuhan (kebahagiaan/kasih/ keadilan) adalah anugerah yang niscaya akan diterima. Sifat kebahagiaan yang melampaui dan tidak terbatas inilah yang luput dari pikiran kita, yang luput dari bahasa kita, seperti halnya pemikiran kita tentang Tuhan. Oleh karena itu, untuk menghindari pemikiran reduksionis atau absolutis tentang kebahagiaan, cara bahasa yang berbeda harus dicari. Tanpa membatasi bahasa semacam itu hanya pada wacana Kristen, Ricoeur menunjukkan nilai optatif dalam bahasa agama yang berfungsi dengan cara unik dalam membantu kita mendapatkan lebih banyak wawasan tentang kebahagiaan.
Mencoba menerjemahkan ungkapan optatif kembali ke nuansa indikatif atau imperatif, adalah sia-sia bagi teologi dan filsafat. Apresiasi Ricoeur terhadap nuansa optatif dengan demikian menjadi kritik terhadap kecenderungan baik dalam teologi maupun filsafat yang ingin mengatakan apa itu kebahagiaan akhirnya (indikatif) – misalnya kegembiraan atau Tuhan – dan bagaimana seseorang harus memperoleh kebahagiaan (imperatif) – misalnya melalui kegiatan sehari-hari yang disengaja. atau melalui “mengenal, mencintai dan bersukacita dalam Tuhan” (Charry 2006:150). Bahasa optatif tentang kebahagiaan (dengan contoh religius eksplisit yang digunakan oleh Ricoeur) berfungsi sebagai kritik terhadap gagasan imanen tentang kebahagiaan yang lazim dalam wacana filosofis tentang kebahagiaan. Ricoeur secara konsisten berargumen untuk gagasan transenden tentang kebahagiaan di seluruh karyanya, dan daya tariknya pada bahasa optatif cocok dengan karya-karyanya yang lain. Penghargaan transenden sehubungan dengan kebahagiaan ini, bagaimanapun, tidak berarti bagi Ricoeur bahwa agama tertentu memiliki monopoli atau akses eksklusif kepada kebahagiaan. Eksklusivitas gagasan teologis tentang kebahagiaan (hanya untuk orang beriman atau hanya untuk agama tertentu) ditolak oleh Ricoeur[xi]. Kebahagiaan dan kerinduan kita akan kebahagiaan melampaui batas-batas teologi dan filosofi, budaya dan bahasa, sebagai lagu, sebagai harapan, yang mengingatkan kita akan kemanusiaan kita yang terdalam; kemanusiaan yang berani mengatakan “Ya” untuk hidup dalam kesedihan yang terbatas.
Catatan Akhir
[i] Kebahagiaan maksimal “tidak sesuai dengan keberadaan duniawi” dan “harus ‘transenden'” (Theron 1985:363). Argumennya adalah bahwa “dalam arti harafiah tidak ada kebahagiaan dalam tatanan temporal” (Theron 1985:366) dan bahwa kebahagiaan mustahil hanya menjadi masalah aktualisasi diri secara penuh. Kebahagiaan hanya ‘sempurna’ ketika “dunia telah berakhir, yaitu [ketika] semua kemalangan orang lain, dan kebangkitan umum … [telah] terjadi” (1985:367), untuk membentuk ‘sempurna utuh’. Hanya di akhirat seseorang dapat mengalami kebahagiaan yang sempurna.
[ii] Ricoeur menggambarkan pemisahan filsafat dari karya religius sebagai berikut: “Saya selalu berjalan dengan dua kaki. Bukan hanya karena alasan metodologis saya tidak mencampur genre, itu karena saya bersikeras untuk menegaskan referensi ganda, yang mutlak utama bagi saya ”(1998: 139). Dia menambahkan bahwa hubungan yang satu adalah kritik, dan yang lain keyakinan, tetapi “… filsafat tidak hanya kritis, tetapi juga termasuk dalam tatanan keyakinan. Sedang keyakinan agama sendiri juga memiliki dimensi internal dan kritis” (Ricoeur 1998:139).
[iii] “Orang yang bahagia membutuhkan teman,” menurut Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, IX, 9
[iv] Ricoeur berkata: “Mungkin berkat puisi keberuntungan dapat diterima sebagai pemberian” (C’est peut-être par la grâce de la poésie que la chance peut être accueillie comme un don) (1994:336 ). Ricoeur menemukan contoh-contoh puisi ini terutama dalam teks-teks keagamaan, seperti yang akan diperlihatkan nanti.
[v] Dalam bahasa Inggris, Sabda Bahagia biasanya menerjemahkan istilah Yunani makarios (bahagia, diberkati, sukaicitai) sebagai “diberkatilah…”, sedangkan dalam bahasa Prancis, diterjemahkan sebagai “berbahagialah…”, maka berhubungan dengan kebahagiaan di sini.
[vi] Menurut Ricoeur, mengabaikan “kepasifan kejahatan yang diderita, berarti meremehkan perubahan kejahatan yang tidak dapat direduksi” (Verhoef 2014c:267).
[vii] Nicomachean Ethics, I, 5
[viii] Kebahagiaan tidak dapat ditemukan tanpa mencarinya bersama orang lain. Dalam pengertian itu kebahagiaan adalah istilah politik. Dalam mencari kebahagiaan dengan orang lain, Ricoeur menunjukkan bahwa hubungan pertemanan terlalu pendek jika tidak menyertakan keadilan. Keadilan ini terlihat dalam hubungan dengan orang lain yang terikat dengan saya melalui institusi. Ini semua hanya merupakan bagian dari kebahagiaan, menurut Ricoeur, dan kebahagiaan tetap menjadi pengganti di tempat-tempat ini. Bahkan dengan keadilan (sebagai bagian dari keinginan kita untuk kehidupan yang baik di antara lembaga-lembaga yang benar) tidak hanya ada kebahagiaan, karena gagasan kekuasaan diperkenalkan – kekuasaan untuk menegakkan keadilan dan itu mungkin termasuk kekuatan. Dalam kaitan antara kebahagiaan dan politik (otoritas untuk menggunakan kekerasan) bagi Ricoeur ada “ancaman teror” (1994:341) – lagi-lagi kebahagiaan dan ketidakbahagiaan tidak dapat dipisahkan.
[ix] Dalam artikel “Memori, Sejarah, Melupakan” Ricoeur merasa perlu beralih ke mode bahasa optatif ketika dia menulis dalam epilognya tentang pengampunan dan pertobatan. Untuk melampaui paradoks alasan belaka, hanya “tata bahasa dari nuansa optatif” (Ricoeur 2004:493) yang layak.
[x] Dalam pengertian inilah kita dapat lebih memahami salah satu pandangan Ricoeur yang paling terkenal dan mendasar tentang kemanusiaan, yaitu bahwa itu adalah “Kegembiraan Ya dalam kesedihan yang terbatas” (1986: 140).
[xi] Ricoeur, seorang Kristen dalam tradisi Protestan, tidak memiliki pemahaman eksklusif tentang Tuhan atau tradisi keagamaannya. Dia berbicara tentang “Esensi” yang inklusif, itu adalah “yang umum untuk setiap agama dan apa, di ambang kematian, melanggar batasan konsubstansial dari agama yang diakui dan diakui” (Ricoeur 2009:14). Dalam sebuah wawancara dengan Richard Kearney Ricoeur mengatakan “Saya tidak yakin tentang ketidaksesuaian antara Tuhan dalam Alkitab dan Tuhan Wujud” (Kearney 2004:169) dan dia kemudian menambahkan bahwa “‘Tuhan’ dapat dikatakan dalam banyak cara” (Kearney 2004:169).
Bahan Rujukan:
Aristotle, Nicomachean Ethics [Ed. Roger Crisp, 2000. Cambridge Texts in the History of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press]
Augustine. Confessions. [1961]. Terj. R.S. Pine-Coffin. London: Penguin Books.
Charry, E.T., 2006, ‘Walking in the truth: On knowing God’, dlm A.G.Padgett & P.R. Keifert (eds.), But is it all true? The Bible and the question of truth, pp. 144–169, William B. Eerdma ns Publishing Company, Grand Rapids, MI.
Diener, E. 1984. Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95(3), 542–575.
Feldman, F. 2010. What is this thing called happiness? Oxford: Oxford University Press.
Gilbert, D. 2006. Stumbling on Happiness. New York: Knopf.
Griffin, J. 1986. Well-Being: Its Meaning, Measurement and Moral Importance. Oxford: Oxford University Press.
Haidt, J. 2006. The happiness hypothesis. Putting ancient wisdom and philosophy to the test of modern science. London: Arrow Books.
Haybron, D.M. 2008. The Pursuit of Unhappiness. The Elusive Psychology of Well-Being. Oxford: Oxford University Press.
Haybron, D.M. 2011. “Happiness”, The Stanford Encyclopaedia of Philosophy, Edward N. Zalta (ed.). [Online]. Available: https://plato. stanford.edu/archives/fall2011/entries/happiness/ [Accessed 10 January 2015].
Kearney, R. (ed). 2004. On Paul Ricoeur: The Owl of Minerva. London:Ashgate.
Marais, N. 2015a. Fully alive? On God and human flourishing. Dlm: Potgieter, A. & Wepener, C (eds). Jong teoloë praat saam … oor God,gemeentes en geloof. Wellington: Bybel-Media. 129–142.
Marais, N. 2015b, Happy? A critical analysis of salvation in Ellen Charry that portrays human flourishing as healing, beauty and pleasure, Verbum et Ecclesia 36(1), Art. #1359, 10 pages. http://dx.doi. org/10.4102/ve.v36i1.1359
McMahon, D.M. 2006. Happiness: A History. New York: Grove Press.
Nussbaum, M.C. 2001. The Fragility of Goodness. Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy. Revised edition (2). Cambridge: Cambridge University Press.
Ricoeur, P. 1967 [1960]. The Symbolism of Evil. Terj. Emerson Buchanan. Boston: Beacon Press.
Ricoeur, P. 1986 [1960]. Fallible Man. Terj. Charles E. Kelbey. New York: Fordham University Press.
Ricoeur, P. 1992 [1990]. Oneself as Another. Terj. Kathleen Blamey. Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, P. 1994. Le Bonheur Hors Lieu. Dlm: Droit, R.-P. (Ed.). Où est le bonheur? Paris: Le Monde Editions. 327–341.
Ricoeur, P. 1998 [1995]. Critique and Conviction. Conversations with Francois Azouvi and Marc de Launay. Terj. Kathleen Blamey. New York: Columbia University Press.
Ricoeur, P. 2001. L’optatif du bonheur. Dlm: Duchesne, J. & Ollier, J. (Eds.). Demain L’Église. Paris: Flammaration. 33–40.
Ricoeur, P. 2005 [2004]. The course of recognition. Terj. David Pellauer. Cambridge: Harvard University Press.
Ricoeur, P. 2009 [2007]. Living up to death. Terj. David Pellauer. Chicago: University of Chicago Press.
Schopenhauer, A. 1966 [1819]. The World as Will and Representation. Terj. E.F.J. Payne, 2 jilid. New York: Dover Publications.
Theron, S. 1985. Happiness and Transcendent Happiness, Religious Studies 21 (3), pp. 349–367.
Van Tongeren, P.M. 2014. Salvation and creation: on the role of forgiveness in the completion of Paul Ricoeur’s philosophy, International Journal of Philosophy and Theology, 75:2, 169–182, DOI:10.1080/21692327.2014.939935
Venter, R., 2016, ‘Theology and the (post-)apartheid university: Mapping discourses, interrogating transformation’, Transformation in Higher Education 1(1), a5. http://dx. doi.org/10.4102/the.v1i1.5
Verhoef, A.H. 2014a. Paul Ricoeur and the importance of a transcendent nature of happiness. Journal for Humanities/Tydskrif vir Geesteswetenskappe, 54(4), 771–786.
Verhoef, A.H. 2014b. Sisyphus, happiness and transcendence, South African Journal of Philosophy 33(4), 537–546. http://dx.doi.org/10.1080/02580136.2014.976757
Verhoef, A.H. 2014c. The relation between evil and transcendence: new possibilities? South African Journal of Philosophy 33(3), 259–269. http://dx.doi.org/10.1080/02580136.2014.914321