Oleh Bambang Kussriyanto
Ekonomi dan Biaya Kegiatan Mitigasi
Salah satu pertimbangan besar untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah beban biaya dan dampaknya pada perekonomian pada masing-masing pihak negara nasional. Menurut kelaziman ekonomi, PDB atau GDP digunakan untuk menaksir biaya kebijakan dan mitigasi perubahan iklim. Tol (2009) membuat ikhtisar 13 perkiraan “dampak perubahan iklim atas kesejahteraan dinyatakan dengan perolehan atau kehilangan sebagian persentase PDB/GDP” . Juga ada yang memerkirakan biaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai kehilangan PDB/GDP secara nyata, dalam pernyataan seperti: “Dalam perekonomian yang bertumbuh 2,5% setahun, tingkat pertumbuhan ekonomi yang umum untuk negara maju, membelanjakan 2,5% PDB/GDP untuk perlindungan iklim sama saja dengan merelakan pertumbuhan setahun, dan kemudian berjalan biasa lagi. Akan diperlukan waktu 29 tahun untuk mendongkrak PDB jadi lipat dua, atau 28 tahun lagi tanpa biaya iklim.” (Ackerman et al., 2009. hal 5).
Stern (2006), mantan presiden Bank Dunia dan penasehat ekonomi Inggris, menulis: “… bolehlah dipikirkan mengurangi PDB/GDP tak sampai 1% pada tingkat pertumbuhan yang sama setelah penyesuaian awal,” . Dari situ Stern menyimpulkan bahwa “tambahan biaya sampai 1% GDP hingga 2050 hanya sedikit mengganggu standar hidup, jika keluaran ekonomi negara-negara OECD selanjutnya meningkat hingga 200% secara riil, dan negara-negara sedang berkembang secara keseluruhan mengalami peningkatan ekonomi 400% atau lebih.” . Sebaliknya, jika tidak berbuat apa-apa, biaya untuk dampak perubahan iklim bisa mencapai 5% dari GDP global setiap tahun dan seterusnya setelah 2050 . Stern Review on the Economic of Climate Change disusun Nicholas Stern dengan bantuan suatu tim yang terdiri dari 23 orang dan sejumlah konsultan dan pada akhir 2006 diserahkan kepada Perdana Menteri Inggris. Karena kontroversial, hitungan-hitungan Stern memancing diskusi dan ulasan dari seluruh dunia, namun sejak itu pemikiran tentang biaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dipikirkan semakin luas, dalam dan serius.
Hubungan antara biaya mitigasi dan adaptasi dengan laju pertumbuhan ekonomi bergantung terutama kepada besarnya pembelanjaan lain yang kena gusur. Penggunaan keluaran tambahan ekonomi dari tahun yang satu ke tahun berikutnya juga menjadi dasar penentuan laju pertumbuhan. Sekiranya suatu pengurangan besar investasi untuk kapasitas yang produktif dialihkan kepada proyek mitigasi perubahan iklim yang tidak produktif, misalnya Carbon Capture and Storage (CCS) yang tidak menghasilkan produk yang dapat dipasarkan, maka mustahil menyatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi tidak terpengaruh. Pernyataan bahwa pada dasarnya tidak ada dampak yang terasakan atas laju pertumbuhan jika biaya mitigasi dan adaptasi sama besarnya dengan angka laju pertumbuhan sungguh tidak bernalar dan sama sekali tidak meyakinkan (Jackson, 2009, pp. 83–85).
Dalam kemasan yang berbeda namun masih dalam garis dan pola pikir yang sama Nicholas Stern pada tahun 2014 muncul lagi dengan dokumen yang lebih bersifat “global” karena timbul dari “Global Commission on the Economy and Climate, GCEC”, tidak jelas legitimasi komisi dari mana tetapi tampak dari diri sendiri karena dalam komisi itu terdapat 5 mantan kepala negara, 2 mantan walikota, 13 bendahara negara dan bankir, 4 pemimpin organisasi internasional (World Bank, OECD, IEA, ITUC) plus Stern sendiri. Dalam bulan September 2014 GCEC menerbitkan “Better Growth, Better Climate”, yang di awal 2015 menerbitkan gelombang debat lagi.
Lihat juga: MITIGASI PERUBAHAN IKLIM 1
“Beberapa strategi untuk mengurangi emisi gas polutan mengusahakan internasionalisasi biaya lingkungan, dengan risiko bahwa negara-negara yang kekurangan sumber daya harus menanggung kewajiban pengurangan emisi yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara industri. Memaksakan tindakan pencegahan itu merugikan negara-negara yang paling membutuhkan pembangunan. Demikian ditambah sebuah ketidakadilan baru dengan kedok perlindungan lingkungan. Seperti biasa, orang miskin akhirnya membayar ongkosnya”. (Paus Fransiskus. 2015. Art. 170).
Implementasi Bersama
Berkenaan dengan prinsip biaya-efektif, Artikel 3.3 Konvensi menyatakan bahwa upaya mengenai perubahan iklim dapat dilaksanakan dalam kerjasama oleh pihak-pihak yang berminat. Artikel 4.2a menjelaskan bahwa pihak Annex I dapat melaksanakan kebijakan dan tindakan mitigasi “bersama -dengan pihak-pihak lain dan membantu pihak-pihak lain dalam pencapaian sasaran Konvensi” dan, terutama, sasaran artikel 4.2a untuk mengubah kecenderungan emisi jangka panjang. Selanjutnya artikel 4.2d menentukan bahwa dalam COP 1 keputusan harus diambil mengenai kriteria pelaksanaan bersama (Joint-Implementation). Suatu fase perintisan ditetapkan untuk AIJ (activities implemented jointly) dalam COP 1/1995 (keputusan 5/CP.1) di mana pihak-pihak atas dasar sukarela melaksanakan proyek pengurangan emisi GRK, atau meningkatkan serapan GRK ke dalam endapan-endapan di wilayah pihak-pihak lain. Pengurangan emisi yang dihasilkan proyek-proyek ini harus melampaui target pihak-pihak bersangkutan. Namun, tidak ada kredit (ERU) yang diberikan kepada pihak-pihak untuk pengurangan emisi atau serapan. Selama masa rintisan AIJ dapat terjadi antara pihak Annex I dan atas dasar sukarela, dengan pihak non-Annex I yang meminta. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukannya, misalnya dalam menetapkan baseline dan menaksir manfaat lingkungan suatu proyek. Keputusan 5/CP.1 memerjelas bahwa AIJ antara pihak Annex I dan pihak non-Annex I tidak diperhitungkan dalam komitmen pihak Annex I menurut artikel 4.2b tentang pengurangan emisi, namun dapat memberi kontribusi pencapaian sasaran Konvensi dan memenuhi komitmen pihak non-Annex I menurut artikel 4.5 (tentang alih teknologi). AIJ bersifat “suplemen pelengkap, dan hanya diperlakukan sebagai sarana bantuan untuk mencapai sasaran Konvensi”. Tidak mengubah komitmen pihak-pihak. Pendanaan AIJ adalah tambahan pada kewajiban pendanaan pihak Annex II menurut Konvensi (berhubung dengan mekanisme keuangan), dan aliran bantuan pengembangan resmi di masa berlaku. Pihak-pihak dianjurkan menyampaikan laporan AIJ fase rintisan menggunakan URF (Uniform Reporting Format). Model terakhir URF ditetapkan dalam COP 8 2002 (keputusan 20/CP.8), menggantikan model URF pertama yang ditetapkan COP 3 1997 (keputusan 10/CP.3) Kyoto. Sebagian besar pihak-pihak sudah menentukan badan nasional masing-masing untuk kontak mengenai AIJ. Protokol Kyoto mengatur pelaksanaan bersama (joint implementation, JI) lebih lanjut . Implementasi Bersama merupakan mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Artikel 6 Protokol Kyoto. Implementasi Bersama mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang paling menguntungkan. Kegiatan Implementasi Bersama (AIJ) menghasilkan unit penurunan emisi atau Emission Reduction Units (ERU) untuk diperhitungkan.
COP secara teratur meninjau kemajuan AIJ berdasar Konvensi selama masa rintisan melalui laporan-laporan pihak-pihak, dan memutuskan apakah masa rintisan itu akan dilanjutkan atau tidak. Suatu “tinjauan komprehensif” pertama berdasar keputusan 5/CP.1, dilaksanakan dalam COP 5 1999 dan menghasilkan keputusan untuk melanjutkan masa rintisan itu hingga sesudah tahun 2000 (keputusan 13/CP.5). Pihak-pihak sepakat bahwa dalam masa kelanjutan fase rintisan, ketimpangan dalam sebaran geografis proyek diatasi, khususnya kurangnya proyek-proyek di Afrika dan negara-negara berkembang di pulau-pulau kecil (SIDS). Keputusan melanjutkan masa rintisan berlanjut dalam COP 7 (keputusan 8/CP.7), COP 8 (keputusan 14/CP.8) dan COP 10 (keputusan 10/CP.10).
Laporan AIJ pada tahun 2002 menunjukkan adanya lebih dari 150 proyek, melibatkan sekitar seperempat pihak-pihak dalam Konvensi, baik sebagai investor maupun sebagai tuan rumah. Minat pada AIJ terus bertumbuh, terutama sejak Protokol Kyoto berlaku (2005). Terjadi peningkatan 50% dalam jumlah proyek sejak 1997, mungkin karena adanya harapan bahwa proyek-proyek ini pada akhirnya dinaungi mekanisme biaya efektif CDM (PK, artikel 12) atau JI (PK, artikel 11)yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto. Pihak non-Annex I merupakan 70% dari negara tuan rumah, dan kebanyakan proyek terpusat di negara-negara ekonomi dalam transisi, namun kemudian ada pergeseran keseimbangan menuju negara-negara berkembang. Kebanyakan proyek AIJ terkait energi terbarukan dan efisiensi energi, walau proyek yang terbesar berkaitan dengan konservasi, penanaman kembali dan pemulihan hutan-hutan.
Walau Konvensi meminta pihak Annex I menerapkan kebijakan dan tindakan mitigasi perubahan iklim (artikel 4.2a) dan menyampaikan laporan (Artikel 4.2b), Konvensi tidak menentukan jabaran kebijakan dan tindakan apa yang dilakukan pihak-pihak. Terserah kepada pihak-pihak untuk menentukan sendiri sesuai dengan situasi nasional masing-masing. Namun Artikel 4.2(e)(i), meminta pihak-pihak dalam Annex I untuk “berkoordinasi bila mungkin dengan pihak-pihak lain berkenaan dengan instrumen ekonomis dan administratif yang dikembangkan untuk mencapai sasaran Konvensi . Selain itu, Artikel 7.2(c) menetapkan bahwa COP harus “memberi kemudahan, atas permintaan dua atau lebih pihak, untuk koordinasi tindakan yang dilakukan mereka dalam tata kelola perubahan iklim dan dampaknya”. Hingga 2006 belum ada permintaan semacam itu, sehingga koordinasi tindakan-tindakan tidak dilakukan di tingkat COP. Dalam COP 4 timbul prakarsa untuk mengolah apa yang disebut “good practices” dalam kebijakan dan tindakan-tindakan. Ini didasarkan pada Protokol Kyoto Artiel 2.1, berkenaan dengan kebijakan dan tindakan spesifik dan meminta agar pihak-pihak berbagi pengalaman dan melakukan pertukaran informasi untuk meningkatkan efektivitas. Sebagai bagian dari Buenos Aires Plan of Action (BAPA), keputusan 8/CP.4 meminta sekretariat UNFCCC menyiapkan laporan tentang best practices dalam kebijakan dan tindakan berdasar komunikasi nasional pihak-pihak Annex I dan hasil tinjauan atas mereka, dan informasi tambahan yang disampaikan oleh pihak-pihak, serta informasilainnya yang relevan. Selanjutnya soal itu dibicarakan dengan judul “good practices” bukannya “best practices”, sebab konsep “good practice” dipandang lebih relevan dalam konteks international, sedang “best practice” adalah khusus untuk menilai praktek dalam satu wilayah negara saja.
Dalam Marrakesh Accords, keputusan 13/CP.7 menetapkan bahwa kerjasama di antara pihak-pihak Annex I untuk meningkatkan efektivitas kebijakan dan tindakan satu pihak dan bersama-sama diatur dalam suatu panduan. Ini dimaksudkan untuk memajukan transparansi, efektivitas dan perbandingan kebijakan dan tindakan. Transparansi pelaporan kebijakan dan tindakan dalam komunikasi nasional pihak-pihak Annex I perlu ditingkatkan dengan menyebutkan kriteria-kriteria dan parameter kuantitatif sejauh mungkin. Soal itu selanjutnya dirundingkan terkait dengan metodologi, atribusi, dan situasi nasional. Termasuk berbagi berkenaan dengan kebijakan dan tindakan atas dampak merugikan dari kebijakan dan tindakan dapat ditekan hingga sekecil mungkin, termasuk yang menimpa negara berkembang, dengan memanfaatkan informasi dari pihak- non-Annex I. Keputusan 13/CP.7 juga meminta sekretariat UNFCC membuka akses pada informasi tentang kebijakan dan tindakan yang disampaikan dalam komunikasi nasional ketiga pihak-pihak Annex I.
Catatan negara-negara tuanrumah yang menjadi mitra “implementasi bersama” hingga 2012: Russia, Ukraina, Bulgaria, Czech, Romania, Polandia, Hungaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Slovakia, Belgia, Jerman, Finlandia, Perancis, Yunani, Spanyol, Swedia, New Zealand. Jenis kegiatan yang diimplementasikan bersama dalam 761 proyek: Aforestasi, Agrikultur, cegah deforestasi, energi biomasa, semen, penggunaan CO2, metana tambang batubara, distribusi energi, Efisiensi Energi (EE) rumahtangga, EE industri, EE pembangkit sendiri, EE jasa, EE pemasok, pergantian bahan bakar Fossil, gas fugitif, Geothermal, gas HFC, Hidro, gas Landfill sampah, meninggalkan Metana, energi terbarukan campuran, N2O, PFCs dan SF6, Reforestasi, Energi matahari (Solar), Transport, Energi Angin. Pada 2012 dari antara proyek yang terdaftar 499 proyek telah menghasilkan 863,51 juta ERU.
Clean Development Mechanism (CDM)
Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) yang diuraikan dalam Artikel 12 Protokol Kyoto merupakan prosedur keuangan penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama saling membantu di antara negara industri yang termasuk dalam Annex I Konvensi dengan negara berkembang. Pihak negara industri Annex I melakukan investasi di negara berkembang untuk membantu negara berkembang dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan memberi sumbangan pada tujuan utama Konvensi. Dalam konteks ini, sebaliknya, negara berkembang membantu negara industri Annex I untuk mencapai target penurunan emisinya. Kegiatan proyek penurunan emisi di negara berkembang melalui MPB harus disertifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk oleh COP/MOP Protokol Kyoto (CMP) untuk menghasilkan certified emission reductions (CER). CER yang diperoleh dalam proyek MPB dibeli atau diakuisisi negara industri Annex I bersangkutan sebagai bagian dari prestasinya dalam pengurangan emisi. CER yang diakuisisi sejak tahun 2000-2007 dapat diperhitungkan untuk prestasi penurunan emisi dalam periode I implementasi Protokol Kyoto (2008-2012).
Hingga tahun 2013 telah tercatat 7.300 proyek CDM di seluruh dunia, tersebar di 89 negara, dan menghasilkan 1,4 milyar ton reduksi emisi, senilai AS$ 315 milyar. Sebagian besar dari proyek yang sedang berjalan berada di kawasan Asia-Pasifik (84,25%; a.l. RRC 51%, India 19%, Vietnam 3,36%, Malaysia 1,94%, Thailand 1,93%), 12,72% berada di kawasan Amerika Latin dan Karibia, dan 2,4% berada di Afrika. Dari 1,4 milyar sertifikat reduksi emisi yang telah diterbitkan 61,22% untuk RRC, 13,38% untuk India, 8,3% untuk Korea Selatan, 6,42% untuk Brazil, 1,56% untuk Mexico, dan untuk negara-negara lain 9,03%. Sementara itu banjir pendaftaran proyek CDM terjadi tahun 2012 di meja Dewan Eksekutif CDM, di mana 7.000 proyek baru minta didaftar sebagai proyek CDM, 5.000 di antaranya datang pada semester akhir. Setelah diadakan penilaian pada tahun 2013, hanya 3.300 diterima sebagai proyek baru, yang berpotensi akan menghasilkan 2,8 milyar CER pada 2023. CER diperdagangkan dalam pasar karbon internasional.
Proyek CDM yang sedang berjalan di Indonesia per 1 September 2015 berjumlah 161 proyek, baik dari usaha pemerintah maupun dari swasta. Proyek-proyek itu ada dalam bidang: biomasa (18 proyek), semen (1), listrik industri (5), pembangkit listrik untuk keperluan sendiri (2), pemasok listrik (5), upaya beralih dari bahan bakar fosil (5), emisi fugitif (3), panas bumi (14), PLTA (21), gas timbunan sampah (10), menghindari metana (73), 2 terkait N2O, 1 PFCs dan SF6, 1 energi matahari. Tahun 2012 proyek CDM Indonesia telah menghasilkan 28,37 juta CER. Sekarang sedang dalam proses mendaftar tambahan 17,88 juta CER. Proyeksi tahun 2020 akan dicapai 156,97 juta CER. (UNEP Riso Center.2015).
Perdagangan Emisi
Untuk mencapai target jumlah pembatasan dan pengurangan emisi QUELRO (quantified emission limitation and reduction objectives) pihak Annex-I Konvensi atau Annex B Protokol diberi bantuan kemudahan berupa mekanisme perdagangan emisi, yang bersifat suplementer terhadap aksi mitigasi dalam negeri. Jadi perdagangan emisi yang diatur dalam Artikel 17 Protokol merupakan mekanisme yang hanya dapat dilakukan antar negara industri Annex I Konvensi atau Annex B Protokol untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU) yang dikurangkan dari kredit negara penjual untuk ditambahkan pada QUELRO negara pembeli. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya di dalam negeri sendiri.
Negara-negara maju tidak mungkin dapat mencapai target mitigasi yang dibebankan kepadanya hanya dengan mengandalkan lembaga, badan-badan dan perusahaan pemerintah, sebab banyak emitor adalah usaha swasta. Terhadap pihak swasta pemerintah tidak bisa menggunakan cara komando main perintah (command and control). Ketimbang menetapkan target pengurangan emisi kepada swasta, pemerintah menganjurkan masing-masing perusahaan menetapkan sendiri sasaran pembatasan dan pengurangan emisi GRK sendiri untuk masa tertentu, yang didaftar oleh pemerintah sebagai sasaran yang mengikat, harus dicapai. Sama seperti negara, akan ada pihak yang dapat mencapai sasaran hingga berlebih, ada pihak yang tidak mampu mencapai sasaran. Prestasi-prestasi diperiksa dan diberi sertifikasi. Kelebihan prestasi dapat dialihkan secara jual-beli kepada pihak yang kekurangan prestasi berdasar sertifikat karbon yang telah diperoleh. Maka di dalam negeri sendiri, negara industri mengembangkan suatu pasar (perdagangan) karbon, untuk memenuhi sasaran pembatasan atau pengurangan emisi GRK, yang seluruhnya akan ditotal menjadi prestasi nasional. Kekurangan prestasi nasional untuk memenuhi target nasional dilengkapi dengan membeli prestasi karbon negara lain. Jika kelebihan, dapat dijual kepada negara lain yang kekurangan. Sistem perdagangan emisi yang sekarang berjalan baik dan teruji adalah sistem perdagangan karbon Uni Eropa, yang sudah mulai dijalankan dengan masa percobaan tahun 2005-2007. Tahun 2008-2012 sistem perdagangan karbon Uni Eropa memasuki tahap operasional ke-2. Dan sejak 2013 memasuki tahap operasional ke-3. Sistem perdagangan karbon yang lain sedang diusahakan di Amerika Serikat, Canada, Australia, Jepang dan China. Banyak pihak yakin, dengan cara ini pembatasan dan pengurangan emisi GRK dilaksanakan sungguh-sungguh dan semakin efektif, baik melalui kebijakan dan tindakan oleh negara melalui badan-badan dan perusahaan pemerintah, maupun dengan kerjasama aktif sektor swasta yang mengendalikan banyak usaha-usaha industri yang menjadi emitor besar GRK.
Negara maju dapat membeli prestasi karbon negara berkembang melalui proyek CDM. Misalnya, Swedia atau negara Annex I mana pun dapat membeli CDM Indonesia. Jual beli emisi karbon bisa dilakukan bilateral, tetapi juga multilateral. Pasar karbon dunia sedang dalam tahap pengembangan dengan mekanisme yang sangat rapi terkendali, dan banyak pihak menyiapkan diri untuk bisa menjadi pedagang perantara di dalamnya. ADB (Asian Development Bank) adalah salah satu pemain perdagangan karbon yang paling aktif untuk kawasan Asia dan Afrika. Selain CER dari CDM, instrumen lain yang diperdagangkan adalah AAU (assigned amount unit) yaitu hasil usaha mitigasi negara Annex-I sendiri, ERU (emission reduction unit) hasil implementasi bersama (JI), dan RMU (removal units) hasil dari perhitungan LULUCF (peningkatan serapan dan endapan karbon melalui pembuatan hutan baru dan peremajaan hutan). CDM merupakan instrumen pertama yang diperdagangkan di pasar emisi global, dan untuk tahun 2011 World Bank memperkirakan nilainya sebesar AS$ 2,98 milyar. Pada tahun 2012 pasar CDM global dibanjiri CER dari Uni Eropa yang mendominasi penawaran hingga 88%. Antara 2008-2013 dari mekanisme joint-implementation (JI, implementasi bersama) terjadi perdagangan ERU di pasar sekunder meliputi 453 juta tCO2e.
Namun perlu dikemukakan lagi, bahwa jumlah pembelian emisi GRK suatu pihak melalui pasar karbon dibatasi dan dikendalikan melalui persetujuan terbuka di dalam COP yang dicermati seluruh dunia, agar pihak negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya membatasi dan mengurangi emisi GRK di dalam negeri sendiri, dan tidak mengandalkan prestasi hasil pembelian dari luar negeri. “Strategi jual-beli ‘kredit karbon’ dapat menimbulkan bentuk baru spekulasi, yang tidak akan membantu mengurangi emisi gas polutan secara global. Sistem ini tampaknya suatu solusi yang cepat dan gampang, dengan kedok komitmen terhadap lingkungan, tetapi sama sekali tidak membawa perubahan radikal pada taraf yang dibutuhkan. Sebaliknya, hal itu bisa menjadi dalih yang mengizinkan beberapa negara dan sektor tertentu untuk mempertahankan kelebihan konsumsi.” (Paus Fransiskus. 2015. Art. 171)
Praktek Mitigasi Nasional dan Sub-nasional
Dengan diratifikasi oleh 195 negara+Uni Eropa, Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB, UNFCCC, menunjukkan bahwa semua negara di dunia peduli dengan perubahan iklim dan setuju dengan tujuan UNFCCC untuk melindungi iklim dan mengusahakan upaya untuk mengurangi emisi GRK yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim. Namun negara-negara di dunia berlainan kemampuannya. Paus Fransiskus mengingatkan: “Bagi negara-negara miskin, pemberantasan kemiskinan dan pengembangan sosial penduduknya harus menjadi prioritas. …. Juga benar bahwa mereka harus mengembangkan bentuk-bentuk produksi energi yang kurang mencemari, tetapi untuk itu mereka harus dapat memperhitungkan bantuan negara-negara yang telah mengalami pertumbuhan yang tinggi, dengan menyebabkan pencemaran planet saat ini. Eksploitasi langsung energi matahari yang melimpah membutuhkan ditetapkannya mekanisme dan subsidi agar negara-negara berkembang memiliki akses ke transfer teknologi, ke bantuan teknis, dan ke sumber daya keuangan, namun selalu dengan memperhatikan situasi konkret, karena ‘kecocokan rancangan infrastruktur dengan konteks nyata, tidak selalu dievaluasi secara memadai’. Biayanya akan rendah bila dibandingkan dengan risiko perubahan iklim. Bagaimana pun juga, ini terutama merupakan keputusan etis yang didasarkan pada solidaritas di antara semua bangsa.” (Paus Fransiskus. 2015. Art. 172). Betapa pun kerjasama internasional tetap diperlukan dalam mengatasi perubahan iklim.
Kendati hubungan bilateral bisa membantu, namun pengawasan multilateral diperlukan. “Sangat dibutuhkan perjanjian-perjanjian internasional yang dapat ditegakkan, karena pemerintah-pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara efektif. Hubungan antarnegara harus menjaga kedaulatan masing-masing negara, tetapi juga membangun jalur-jalur kesepakatan untuk mencegah bencana lokal yang akhirnya akan menimpa semua orang. Diperlukan kerangka peraturan global untuk memaksakan kewajiban, dan mencegah tindakan yang tidak dapat diterima, misalnya, ketika beberapa negara yang kuat memindahkan limbah dan industri yang sangat mencemari ke negara-negara lain.” (Paus Fransiskus. 2015. Art. 173). Namun yang terutama, kerangka kerjasama global adalah untuk mengkoordinasikan, mengarahkan dan mengendalikan sejauh mana upaya bersama dalam hal iklim sesuai dengan kebutuhan global.
Sinyal-sinyal mengenai upaya meredam perubahan iklim telah bertaburan pada pertengahan tahun, setelah Juni 2015. Melalui upaya dekarbonasi bauran energinya, China bermaksud mengurangi emisi karbon per unit GDP dari rata-rata 3,9% antara 2005-2020, menjadi rata-rata 4,4% antara 2020-2030, kemudian 6,3% antara 2030-2040, dan 9,1% antara 2040-2050. AS akan menurunkan tingkat emisi hingga antara 19,5-23% dari tingkat emisi tahun 2005 pada tahun 2025. Uni Eropa secara keseluruhan (27 negara) telah berusaha menurunkan emisi GRK 1990-2013 seluruhnya 19%, sementara GDP meningkat seluruhnya 45%.Pengalaman itu menguatkan tekat UE untuk selanjutnya mengurangi emisi di dalam negeri secara ambisius hingga 40% pada 2030 dan 80% pada 2050. Federasi Rusia bertekat akan mengurangi emisi hingga antara 70-75% dari tingkatan tahun 1990 antara 2020-2030. Komunikasi nasional India tahun 2014 hanya memaparkan proyek-proyek yang dilaksanakan namun tidak menyertakan target nasional dengan jelas. Jepang, walau menolak tak mau lagi ikut Protokol Kyoto babak kedua, bertekat akan mengurangi emisi 25% tahun 2020 dan 80% pada 2050. Korea Selatan akan mengurangi emisi hingga 37% dari kondisi situasi normal (b.a.u) pada tahun 2030. Canada menyatakan akan mengurangi emisi 30% di bawah level 2005 pada tahun 2030. Iran akan mengurangi emisi GRK hingga 30% dari situasi normal (b.a.u) pada tahun 2025, 34% jika mendapat bantuan internasional. Mexico akan mengurangi emisi hingga 25% dari situasi normal (b.a.u) pada tahun 2030. Jika dengan bantuan luar-negeri pengurangan akan mencapai 40%. Indonesia akan mengurangi emisi hingga 25% dari situasi normal (b.a.u) pada tahun 2020. Jika dengan bantuan luar-negeri pengurangan akan mencapai 41%. Australia akan mengurangi emisi hingga 26-28% di bawah level tahun 2005 pada tahun 2030. Sejauh mana kesungguhan negara-negara dalam upaya menangani perubahan iklim dapat dibandingkan dengan kedudukannya dalam status emisi CO2 global di bawah ini (di luar emisi hutan dan perubahan tataguna lahan).
Status Emisi CO2 Global dan Negara-negara Emitor (2011)
Perumusan dan implementasi mitigasi nasional di pelbagai negara didelegasikan lebih jauh kepada kepemimpinan sub-nasional, dengan pola koordinasi pusat yang berbeda-beda, bergantung konteks nasional dan kelembagaannya. Di beberapa negara dengan sistem pemerintahan federal, target nasional yang ditetapkan pemerintah pusat selanjutnya dialokasikan kepada provinsi-provinsi melalui proses dan rumusan tertentu (IPCC, 2014. Hal 1147-1191). Misalnya di Belgia, karena kewenangan pemerintah federal pusat adalah di bidang hukum-keadilan, pemerintahan dalam negeri, pertahanan, jaminan sosial dan pajak (Swenden & Jans, 2006: 885), maka target mitigasi iklim Kyoto dialokasikan ke tingkat daerah yang mempunyai kewenangan dalam hal lingkungan, perencanaan ruang, pertanian, kebijakan energi , prasarana dan transpor. Melalui negosiasi di antara pemerintah daerah (hanya ada tiga di Belgia: Flanders, Brussels dan Wallonia), dan kemudian dituangkan dalam rencana-rencana implementasi daerah, target-target dikomunikasikan ke pusat (Happaerts, Sander, 2013). Pola Belgia lebih bersifat bottom-up. Ketika ternyata total sasaran dan rencana daerah masih tidak memenuhi target nasional untuk Protokol Kyoto, barulah digunakan pendekatan ofset nasional untuk memenuhi target Kyoto. Di China yang merupakan sistem ekonomi terpusat, aksi nasional ditetapkan dan dipantau pemerintah pusat dalam konsultasi dengan provinsi-provinsi, sedang implementasinya didelegasikan kepada provinsi-provinsi. Target pengurangan intensitas energi 20% dari tingkatan tahun 2005 yang telah ditetapkan dicantumkan dalam Program Perubahan Iklim Nasional sebagai bagian dari Rencana Lima Tahun ke-11 (2006-2010) yang diimplementasikan melalui mekanisme komunike provinsial dan dipantau, terutama melalui National Leading Group untuk Perubahan Iklim, Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi di bawah National Development and Reform Commission (NDRC, Komisi Nasional untuk Pembangunan dan Reformasi). NDRC mengembangkan dan mensupervisi secara langsung program tingkat nasional Top 1000 Perusahaan, Program Energi Terbarukan dan Standar Efisiensi Energi untuk Industri. Provinsi menerapkan semacam Top 1000 Perusahaan tingkat provinsi di luar yang sudah dikendalikan pusat. Dengan pengalaman itu, pada bulan November 2009, RRC menyatakan akan mengurangi intensitas energi nasional antara 40-45% di bawah level tahun 2005 pada tahun 2020, sasaran yang kemudian dimasukkan dalam Rencana Lima Tahun ke-12 (2011-2015). (Tsang and Kolk, 2010; Kostka and Hobbs, 2012; Pat Hogan et al. 2012). India mengembangkan kebijakan nasional campuran melalui Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim 2008 (National Action Plan on Climate Change, NAPCC) yang dimasukkan di dalam Rencana Lima Tahun ke-12 tahun 2012 di bawah tanggungjawab para menteri pemerintahan pusat, dan Rencana Aksi Negara Bagian untuk Perubahan Iklim . Walau fokus utama adalah implementasi arahan nasional mewujudkan misi “Green India” (World Resources Institute. 2014), namun ada ruang yang sangat leluasa bagi pemerintah negara bagian untuk aksi yang selaras situasi dan kepentingan masing-masing (Dubash. 2012), dan beberapa negara bagian mengembangkan mekanisme baru dengan membentuk departemen perubahan iklim sendiri dan menyelenggarakan dana hijau di Kerala (Atteridge et al., 2012).
Kadang yurisdiksi sub-nasional berusaha melengkapi kekurangan momentum politik tingkat nasional (Schreurs, 2008; Dubash, 2011). Di Amerika Serikat langkah pemerintah federal dalam soal iklim lamban dan tersendat. Lalu ada usaha tingkat sub-nasional baik secara unilateral maupun dengan koordinasi negara bagian lain, intervensi yudisial dan pemerintahan kota melakukan terobosan (Carlarne, 2008; Rabe, 2009, 2010; Posner, 2010). Beberapa negara bagian bergabung bersama membentuk mekanisme baru seperti Regional Greenhouse Gas Initiative (RGGI, prakarsa GRK regional) di antara negara-negara bagian timur laut AS menyelenggarakan program perdagangan emisi, dan Western Climate Initiative (WCI, Prakarsa Iklim Bagian Barat) antara California dan beberapa provinsi Canada , walau gagal mewujudkan maksudnya (Mehling and Frenkil, 2013). Kebijakan iklim di negara bagian California, dengan program pengurangan dan perdagangan emisi perlu diperhatikan karena besaran ekonominya dan karena California mempunyai riwayat sebagai perintis pembaruan lingkungan hidup (Mazmanian et al., 2008; Farrell and Hanemann, 2009).
Beberapa instrumen digunakan dalam upaya mitigasi gas rumah kaca. Instrumen ekonomi yang kadang disebut pendekatan ‘berbasis pasar’ menggunakan harga-harga dalam menyusun kebijakan. Instrumen ekonomi ini dalam mitigasi perubahan iklim meliputi pajak-pajak (termasuk bea masuk), pemberian atau penghapusan subsidi, dan skim perdagangan emisi. Pajak dan subsidi disebut instrumen harga, sedang skim perdagangan emisi disebut instrumen kuantitas. Peraturan dan standar-standar merupakan inti kebijakan awal untuk lingkungan dan masih cukup penting di seluruh dunia. Pada dasarnya menetapkan aturan atau norma yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan pencemaran dan ketidakpatuhan mendatangkan denda atau penalti. Beberapa di antaranya:
• standar emisi, yang membatasi jumlah maksimum polutan yang dilepas ke lingkungan, dan disebut standar kinerja;
• standar teknologi yang mengharuskan diterapkannya metode produksi dan teknologi penapis polusi tertentu (IPCC, 2007); dan
• standar produk yang menentukan karakteristik produk yang dapat menyebabkan polusi (Gabel, 2000).
Masyarakat umum juga perlu dilibatkan dalam upaya stabilisasi iklim. Untuk itu informasi tertentu diperlukan masyarakat untuk mengambil keputusan. Misalnya mengenai informasi mengenai kualitas yang baik berkenaan dengan proses-proses stabilisasi iklim. Perusahaan tertentu yang telah diverifikasi mengikuti proses-proses stabilisasi iklim dengan menerapkan standar emisi, standar teknologi dan standar produk diberi tanda tertentu, dibedakan dari yang tidak. Tanda itu memberi informasi kepada konsumen, apakah akan memilih memberi dukungan atau tidak (terutama kepada masyarakat investor). Instrumen informasi semacam ini bagi konsumen meliputi eco-labelling, atau skim sertifikasi produk (misalnya, beras organik) atau teknologi produksi yang sesuai standar, serta pernyataan data untuk publik mengenai kemajuan atau kinerja emisi GRK pihak polutan tertentu dalam laporan tahunan (Krarup and Russell, 2005).
Prakarsa Aksi Bersama (Collective Action)
Iklim yang berubah dapat dipandang secara khas sebagai “keburukan umum”. Sedang aksi dan program yang dilakukan pemerintah dan banyak pihak baik mitigasi maupun adaptasi untuk mengatasinya dapat disebut “kebaikan umum”. Ada banyak sekali yang bisa dilakukan baik kategori mitigasi maupun kategori adaptasi dalam rangka kebaikan umum mengatasi perubahan iklim. Termasuk mengatasi hambatan kelembagaan dan rintangan hukum untuk meningkatkan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Kesanggupan masing-masing negara diatur sendiri-sendiri oleh pemerintahan nasional melalui instrumen kebijakan dan tindakan. Namun di situ ada keterbatasan pula. Di depan tadi telah ditulis: “Negara-negara maju tidak mungkin dapat mencapai target mitigasi yang dibebankan kepadanya hanya dengan mengandalkan lembaga, badan-badan dan perusahaan pemerintah, sebab banyak emitor adalah usaha swasta. Terhadap pihak swasta pemerintah tidak bisa menggunakan cara komando main perintah (command and control)”. Maksudnya adalah lingkup negara-negara demokrasi , sedang lingkup negara-negara dengan ekonomi yang dikendalikan pemerintah, semua dilakukan dengan cara komando main perintah (command and control). “Ketimbang menetapkan target pengurangan emisi kepada swasta, pemerintah menganjurkan masing-masing perusahaan secara sukarela menetapkan sendiri sasaran pembatasan dan pengurangan emisi GRK sendiri untuk masa tertentu, yang didaftar oleh pemerintah sebagai sasaran yang mengikat, harus dicapai”. Bahkan perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga menyadari perlunya mengatasi perubahan iklim dan ingin berbuat sesuatu juga.
Sekalipun semua negara berdasar Artikel 3 dan 4.1 Konvensi harus ikut serta melakukan aksi mengatasi perubahan iklim dengan mengurangi tingkat emisi GRK mereka, termasuk program NAMA negara berkembang, dari sekarang hingga tahun 2020 ada celah yang perlu diisi. Jika tidak, apa yang telah dijanjikan tidak cukup untuk memertahankankan kenaikan pemanasan suhu global maksimum 2oC. Menurut dokumen Emissions Gap Report (UNEP 2013), diperkirakan ada celah pengurangan emisi GRK yang harus diisi sebesar antara 8–10 GtCO2e hingga tahun 2020. Sumber yang bukan-negara harus dikembangkan untuk menjembatani celah kekurangan itu, dan banyak pihak mengusahakan pelbagai prakarsa. Jumlah dan lingkup prakarsa-prakarsa belakangan berkembang pesat. Pada akhir tahun 2014 terdapat lebih dari 180 prakarsa kerjasama internasional yang berfokus mitigasi (Climate Initiatives Platform, 2015). Di luar prakarsa-prakarsa internasional yang telah berjalan dan sangat dikenal, masih ada ribuan lainnya yang berskala kecil dan terbatas peserta atau anggotanya.
Sementara fokus perundingan internasional antar-negara adalah periode sesudah 2020 yaitu 2025 atau 2030, banyak prakarsa kerjasama menetapkan fokusnya pada kurun waktu dekat, dengan target hingga tahun 2020. Prakarsa-prakarsa ini merupakan aksi sukarela yang diambil perusahaan, NGO/LSM, dan aktor-aktor lain di luar gelanggang persyaratan formal internasional.
Sektor usaha memainkan peran penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Top 1.000 perusahaan meitor GRK terbesar bertanggung jawab atas emisi sebesar 10 GtCO2e per tahun, atau sekitar 20% dari emisi GRK dunia setiap tahunnya. Berbagai prakarsa yang ada berusaha menjembatani pengurangan emisi dari sektor ini, dan kira-kira seperempat dari top 1.000 perusahaan emitor turut serta dalam satu atau dua macam prakarsa (Wouters, 2013).
PRAKARSA PERUSAHAAN | |
Business Environmental Leadership Council (BELC) | BELC merupakan kelompok perusahaan AS yang terbesar. Perusahaan-perusahaan menetapkan target pengurangan emisi sukarela dan menerapkan program inovasi di bidang energi, pengikatan karbon di bumi, dan manajemen limbah. |
Cement Sustainability Initiative (CSI) | CSI adalah aliansi sekitar 25 perusahaan besar dalam industri semen global dan dibentuk di bawah WBCSD. Para peserta mengikatkan diri untuk mengembangkan suatu strategi perubahan iklim, menentukan target pengurangan gas CO2 dan membuat laporan tahunan atas kemajuan mereka. |
World Wide Fund for Nature (WWF) Climate Savers | WWF Climate Savers terdiri dari perusahaan-perusahaan yang berusaha sebanyak mungkin mengurangi jejak karbon mereka. Masing-masing peserta menetapkan target pengurangan absolut dalam kerangka waktu yang pasti. |
Ultra-Low CO2 Steelmaking (ULCOS) | ULCOS merupakan konsorsium 48 perusahaan dan organisasi Eropa 15 negara. Tujuan program ULCOS adalah mengurangi emisi CO2 saat ini di sepanjang jalur produksi baja terbaik setidaknya 50%. |
Caring for Climate | Caring for Climate merupakan suatu prakarsa yang ditujukan untuk memajukan peran bisnis dalam mengatasi perubahan iklim. Para peserta mengikatkan diri untuk menetapkan target sukarela dalam memajukan efisiensi energi dan mengurangi jejak karbon mereka. |
Science-Based Targets | Suatu gabungan prakarsa dari CDP, UN Global Compact, World Resources Institute dan WWF yang diluncurkan tahun 2014, bertujuan meningkatkan ambisi perusahaan dalam melancarkan aksi iklim yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu global kurang dari 2°C dibanding suhu masa pra-industri (1850). |
Prakarsa yang diselenggarakan sebelum tahun 2000: Responsible Care, terdiri dari 152 perusahaan. WBCSD = World Business Council for Sustainable Development meliputi 192 perusahaan. BELC = Business Environmental Leadership Council, dibentuk tahun 1998 di AS, terdiri dari 32 perusahaan. CSI = Cement Sustainability Initiative dibentuk tahun 1999, terdiri dari 25 perusahaan. ULCOS = Ultra-Low CO2 Steelmaking merupakan suatu konsorsium 48 perusahaan di 15 negara Eropa, prakarsa terdiri dari 10 perusahaan. WWF Climate Savers, meliputi 29 perusahaan.
Prakarsa yang timbul antara 2000-2010 : Caring for Climate diprakarsai UN Global Compact pada tahun 2007, terdiri dari 399 perusahaan. ACCO = Association of Climate Change Officers, meliputi 100 perusahaan. CDP Supply Chain, terdiri dari 75 perusahaan multi nasional. Haga Initiative, 12 perusahaan.
Prakarsa sesudah 2010: CDP Carbon Action, meliputi 370 investor besar, pribadi maupun lembaga. The Clean Revolution meliputi 37 perusahaan. Science Based Targets dibentuk tahun 2014, terdiri dari 39 perusahaan. RE100, 16 perusahaan, baru dibentuk pada Desember 2014.
Kota-kota menjadi pusat upaya dunia dalam mengatasi ancaan perubahan iklim. IPCC memerkirakan daerah perkotaan menimbulkan emisi CO2 terkait energi sekitar 71–76% dan kota-kota di seluruh dunia menghasilkan sekitar hampir separo (37–49%) dari GRK global (Christ, 2014). Prakarsa kota memampukan kota-kota anggota dan para walikota maju memimpin, menunjukkan kepada pemerintah nasional mereka jangkauan aksi yang telah mereka lakukan dan memengaruhi secara positif strategi dan kebijakan tingkat nasional. Prakarsa kota diikuti kota-kota berbagai ukuran. Demikian pula pada tingkat subnasional, berbagai bentuk desentralisasi memberikan kepada pemerintah daerah tanggungjawab untuk merencanakan dan menetapkan mekanisme kelembagaan mereka sendiri sebagai pendekatan mitigasi perubahan iklim.
PRAKARSA KOTA DAN DAERAH | |
C40 | C40 cities merupakan suatu jaringan megapolis dunia yang mengikatkan diri untuk bertindak mengurangi emisi GRK global. |
carbonn Climate Registry (cCR) | cCR sendiri sebenarnya bukan hanya murni suatu prakarsa tindakan,tetapi juga suatu platform pelaporan untuk dua prakarsa lain: The Global Cities Covenant on Climate – The Mexico City Pact . |
Covenant of Mayors | CoM merupakan kelompok untuk para walikota, terutama di Eropa, yang mengikatkan diri hendak memenuhi bahkan melampaui target pengurangan emisi CO2 Eropa 20% pada 2020 (dari baseline tahun 1990). |
The Climate Group’s State and Regional Alliance | The State and Regional Alliance menghimpun pemimpin 27 pemerintah subnasional untuk berbagi informasi dan keahlian, menunjukkan dampak dan pengaruh dialog iklim internasional. Pada tahun 2005 mereka menandatangani Montreal Declaration of Federated States & Regions, di mana mereka mengikatkan diri untuk menetapkan target dan mengimplementasikan aksi iklim dalam daerah yurisdiksi mereka.. |
Beberapa prakarsa berasal dari tahun 1990-an: Climate Alliance, diikuti 1705 kota. Energy Cities, meliputi 1000 kota. ICLEI, diikuti 1000 kota. C40, menghimpun 75 kota. States and Regions Alliance, terdiri dari 27 anggota. MCPA, meliputi 1500 kota. World Mayors Council on Climate Change (WMCCC), diikuti 80 kota. Connected Urban Development, terdiri dari 7 kota. Beberapa prakarsa sekitar tahun 2005: The ClimateRegistry, mengimpun 30 anggota. Covenant of Mayors, lebih dari 6320 kota. EUROCITIES Declaration on Climate Change, 34 kota. Carbonn, menghimpun 538 kota. Mexico City Pact, terdiri dari 268 kota. R20, diikuti 34 kota. Prakarsa dari 2014: WWF Earth Hour City Challenge, menghimpun 163 kota. The Clean Revolution diikuti 24 kota. CDP terdiri dari 207 kota. Compact of Statesand Regions, diikuti 12 anggota. District Energy Accelerator mempunyai 19 anggota.
Blok et al. (2012) memperkirakan prakarsa kota-kota dapat menyumbang mengurangi emisi GRK global hingga 0.7 GtCO2e pada tahun 2020. Wouters (2013) menyampaikan hitungan pengurangan emisi sebesar 0.86 GtCO2e dari prakarsa kota-kota, namun dalam suatu bentang yang lebih besar antara 0.67–1.10 GtCO2e.
Selanjutnya ada pula prakarsa lintas sektor yang merupakan kerjasama di antara pihak-pihak, terutama antara perusahaan-perusahaan dan aktor non-pemerintah (ornop) dengan kriteria mengusahakan efisiensi energi (termasuk sektor bangunan, penerangan dan peralatan), pengurangan emisi hulu industri minyak dan gas bumi, kehutanan, pertanian dan keuangan. Setidaknya ada 14 prakarsa efisiensi energi dengan potensi besar mengurangi emisi. Tuhuh inisiatif terkait efisiensi energi di gedung-gedung; lima inisiatif terkait efisiensi peralatan (termasuk lampu penerangan), dan satu prakarsa terkait kompor yang bersih dan efisien. UNEP/GEF membangun jaringan prakarsa en.lighten yang diluncurkan sejak 2009, dan Global Alliance for Clean Cookstoves, tahun 2010. Global Buildings Performance network (GBPN) berambisi mengurangi energi dunia yang menyebabkan emisi CO2 hingga 25% dalam kondisi normal BAU pada 2020. Prakarsa serupa Renovate Europe, merupakan kampanye komunikasi politik dengan ambisi mengurangi permintaan energi kompleks bangunan-bangunan Eropa hingga 80% pada 2050, terhadap tingkatan tahun dasar 2005, melalui program legislasi dan renovasi ambisius (GBPN, 2015; Renovate Europe, 2015).
Prakarsa Lintas Sektor | |
en.lighten | Prakarsa yang diberi nama en.lighten diluncurkan untuk percepatan transformasi global menuju teknologi penerangan yang efisien dalam pemanfaatan energi, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Menggerakkan negara-negara peserta untuk mengembangkan strategi dan kebijakan yang menghentikan penggunaan lampu-lampu yang boros listrik. Didukung OSRAM dan Philips Lighting. Diperkirakan hingga saat ini para mitra en.lighten menghemat 0.055 GtCO2e dalam bentang antara 0.04–0.07 GtCO2e tiap tahun hingga 2020. |
Global Alliance for Clean Cookstoves | Global Alliance for Clean Cookstoves bermaksud membantu meluaskan produksi, penyebaran dan penggunaan kompor masak bersih di negara-negara sedang berkembang. Dimulai tahun 2010 sebagai prakarsa bersama pemerintah, organisasi antar-pemerintah dan LSM/NGO serta sektor swasta. Sasarannya pada tahun 2020, sekitar 100 juta rumah tangga menggunakan kompor masak yang bersih dan efisien dalam hal penggunaan bahan bakar. Priorotas programatik ini diharapkan menghasilkan pengurangan emisi dalam bentang antara 0.1–0.2 GtCO2e setahun. |
Global Gas Flaring Reduction Partnership (GGFR) | Program kerja GGFR berfokus pada pengurangan hambatan meminimalkan praktek tradisional pembakaran gas di negara-negara mitra. Terdiri dari anggota-anggota pemerintahan dan perusahaan dan dikelola dan dilancarkan oleh suatu tim dari Bank Dunia (World Bank). GGFR mengusahakan agar semua penghasil minyak/gas bumi di dunia untuk terus mengurangi praktek flaring (pembakaran gas pada sumur-sumur) hingga 30% dalam lima tahun mendatang, hingga susut dari 140 bcm (milyar meter kubik) pada 2011 menjadi 100 bcm pada akhir 2017 (setara pengurangan emisi sebesar 0,085 GtCO2e/tahun. Sasaran ini niscaya dapat dicapai, mengikuti kecenderungan antara 2005–2011 yang lalu hingga pada tahun 2020 nanti akan menyumbangkan pengurangan pembakaran gas sebesar 92 bcm, setara 0,1 GtCO2e/tahun hingga nanti pada tahun 2020. |
Tropical Forest Alliance | Tropical Forest Alliance – bersama dengan dua prakarsa lain yang terkait – membantu sktor swasta anggotanya berhubungan dengan pemerintah, pemimpin masyarakat sipil dan perusahaan lain di seluruh dunia, untuk mengurangi deforestasi hutan-hutan tropik. Para mitra dengan sukarela melakukan tindakan sendiri atau bersama-sama mengurangi pembabatan hutan terkait dengan pengembangan sumber komoditi seperti minyak sawit, kedelai, daging sapi, pulp dan kertas. Yang terbayang dalam program ini antara lain pembabatan hutan tropis dalam bentang antara 5–10% di Indonesia dan 2.5–3.6% di Malaysia. Jika dapat dicapai suatu kinerja zero deforestation hingga 2020, TFA dapat mengklaim pencegahan emisi sekitar 0.1 GtCO2e dalam bentang antara 0.02–0.2 GtCO2e pada sumbernya dan menjamin kelangsungan kelapa sawit mereka 100% berkelanjutan. Seluruh sektor industri sawit diharapkan mengurangi emisi dalam bentang antara 0.05–0.45 GtCO2e. |
The New Vision for Agriculture | Sebagai mitra World Economic Forum yang didirikan tahun 2009, New Vision for Agriculture yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhan dunia, pertanian yang berkelanjutan perlu mewujudkan keamanan pangan, memelihara keberlanjutan lingkungan dan mengembangkan peluang ekonomis. Bersama dengan 32 organisasi mitra, prakarsa ini dapat menggandeng 350 organisasi lain. New Vision for Agriculture menetapkan sasaran untuk setiap dasawarsa mencapai peningkatan produksi pertanian 20%, seraya mengurangi emisi per ton produksi hingga 20% dan mengurangi kemiskinan perdesaan 20% juga, hingga tahun 2030. Usaha ini dalam kondisi usaha normal BAU akan mencapai sasaran pengurangan emisi GRK prakarsa sekitar 0.29–0.33 GtCO2e. |
Sehubungan dengan upaya mengisi celah kekurangan target iklim antara sekarang hingga tahun 2020, secara keseluruhan dari prakarsa-prakarsa iklim sukarela yang ada, baik menyangkut upaya subnasional, kota-kota, perusahaan dan sektor-sektor akan menghasilkan pengurangan potensi emisi GRK global sebesar 2,9 GtCO2e, dalam bentang antara 2.5–3.3 GtCO2e (UNEP 2015).
Prakarsa-prakarsa lebih lanjut untuk perubahan iklim dapat dikembangkan untuk mewujudkan manfaat bersama – baik manfaat langsung yang terkait dengan upaya iklim, maupun upaya untuk pembangunan (nasional maupun pengembangan masing-masing lembaga) dengan manfaat tidak langsung untuk jangka panjang. Manfaat bersama itu niscaya menjadi dasar penalaran yang kuat untuk prakarsa aksi lintas sektor di mana saja, dan umumnya menyangkut pemikiran keberlanjutan dalam aspek-aspek:
Ekonomi : Keamanan suplai Energi; dampak penyediaan kerja; peluang usaha baru /kegiatan ekonomi; Produktivitas / daya saing; alih teknologi / inovasi.
Sosial : dampak kesehatan (mislanya mutu udara, air dan kebisingan); akses energi / mobilitas; pengentasan kemiskinan (di bidang bahan bakar); keamanan pangan; pengrangan konflik lokal; keamanan/ ketahanan terhadap bencana; kesetraan gender.
Lingkungan: Ekosistem yang berkelanjutan; tata-guna lahan yang lebih baik dan menunjang keberlanjutan; penggunaan dan utu air; perlindungan keanekaragaman hayati; perlindungan pulau dan kota pesisir; penggunaan sumberdaya dan material yang berkelanjutan.