Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Oleh Bambang Kussriyanto
Mitigasi merupakan upaya utama untuk stabilisasi iklim. Tetapi mitigasi perubahan iklim juga merupakan kegiatan paling berat untuk skala global. Perlu kerjasama internasional untuk usaha secara serentak. Perbedaan riwayat emisi yang menghasilkan nilai ekonomis di masa lalu menyebabkan beban yang berbeda. Usaha mitigasi dalam konsekuensinya akan menimbulkan biaya besar yang membebani pertumbuhan ekonomi. Karena itu perundingan internasional sangat alot jalannya.
Perubahan iklim dipandang sebagai ancaman paling serius bagi pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia. Dampaknya yang merugikan sudah dan akan terpapar pada lingkungan hidup, kesehatan manusia, persediaan pangan, kegiatan perekonomian, sumberdaya alam dan prasarana fisik. Penyebab utama perubahan iklim menurut penelitian adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari kegiatan manusia memadat di atmosfer, yang pada gilirannya menyebabkan pemanasan global. Kenaikan suhu global menyebabkan perubahan iklim global dengan segala akibat atau dampak yang sudah dirasakan, termasuk kejadian-kejadian cuaca ekstrem, dan yang masih dalam proses namun akan datang, yang umumnya menimbulkan kerusakan dan kerugian berat bagi dunia, meski sebagian menguntungkan bagi daerah tertentu. Langkah kewaspadaan dan tindakan segera diperlukan untuk menghadapi perubahan iklim yang sudah nyata dan makin berkembang. Rangkaian tulisan berikut ini mengenai usaha mengatasi penyebab perubahan iklim, yaitu langkah mitigasi berupa pengurangan emisi gas rumah kaca dan peningkatan serapan gas rumah kaca oleh sistem bumi.
Dalam seri pertama tulisan ini tentang keadaan bumi (1,2,3) sudah kita lihat secara menyeluruh kronologi kejadian dan upaya yang relevan dengan perubahan iklim, termasuk kejadian-kejadian yang merupakan dampak perubahan iklim. Seri tulisan II menunjukkan sebab-sebab dan pengaruh perubahan iklim pada seluruh sistem bumi dan undangan stabilisasi (1,2,3,4), yang merupakan tantangan bagi seluruh umat manusia, pada umumnya dengan mencantumkan kecenderungan yang makin berat ke masa depan. Seri tulisan III secara khusus menunjukkan kronologi upaya dunia dalam kerangka politik dan kerjasama internasional negara-negara di dunia (1,2,3), merundingkan bersama-sama usaha melakukan stabilisasi iklim. Seri tulisan IV (1,2,3) menunjukkan upaya melakukan adaptasi terhadap dampak merugikan perubahan iklim yang sudah dialami secara nyata, sekaligus mengantisipasi dampak yang akan datang. Namun dampak perubahan iklim akan terus bertambah lebih serius, lebih “berbahaya”, dan upaya adaptasi akan selalu tidak memadai sementara kerugian dan kerusakan bertambah semakin besar, jika pangkal soalnya belum kunjung ditangani.
Penyelenggaraan Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) pada tahun 1992 dan berlaku mengikat sejak 21 Maret 1994 dan sekarang diikuti 195 pihak (negara), pada dasarnya merupakan kerangka aksi untuk stabilsasi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer utamanya karbon doiksid (CO2), metana (CH4) dan nitrus oksid (N2O) yang berasal dari kegiatan manusia di bumi, untuk menghindarkan dunia dari gangguan serius perubahan iklim (United Nations.1992). Pada intinya, kerangka aksi yang digalang UNFCCC adalah upaya mitigasi perubahan iklim. Dari tahun 1995 hingga saat ini, UNFCCC setiap tahun sekali menyelenggarakan konferensi para pihak (COP) di dalamnya, jadi hingga akhir 2014 sudah 20 kali COP, di mana wakil-wakil dari negara-negara merundingkan kesepakatan untuk mitigasi. Dalam Artikel 17 Konvensi diatur mengenai Protokol, yang ditetapkan dalam perundingan para pihak (COP). Protokol merupakan suatu sistem prosedur untuk pelaksanaan Konvensi . Pada bulan Desember 1997, COP 3 di Kyoto, Jepang, menyepakati suatu Protokol untuk UNFCCC dalam rangka mencapai sasarannya, dan disebut Protokol Kyoto (United Nations. 1998). Diperlukan waktu 8 tahun untuk Protokol Kyoto untuk mendapatkan penerimaan dan pengesahan sehingga dapat berlaku mengikat pada tahun 2005. Hingga 2015 sejumlah 192 negara telah mensahkan Protokol Kyoto.
Konvensi Mengenai Mitigasi
Kerjasama internasional sungguh penting karena masalah iklim berdimensi global. Akibat atau dampak perubahan iklim dialami di seluruh dunia. Aktor penyebabnya yang manusiawi juga tersebar di seluruh dunia. Maka aksi mitigasi juga perlu dilakukan seluruh dunia. “Mutlak diperlukan sebuah konsensus global untuk menghadapi masalahmasalah yang lebih dalam, yang tidak dapat diatasi dengan tindakan sepihak setiap negara sendirian” (Paus Fransiskus. 2015. Art. 164). Ada dua cara mitigasi perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan UNFCCC.
Yang pertama adalah pembatasan atau pengurangan sejauh mungkin emisi GRK ke atmosfer.
Dan yang kedua meningkatkan sejauh mungkin serapan/endapan dan penyimpanan GRK ke dalam reservoir sistem bumi.
Artikel 1 Konvensi merumuskan sumber emisi GRK adalah “setiap proses atau kegiatan yang melepas suatu GRK, aerosol atau bakal GRK ke dalam atmosfer”; suatu serapan/endapan adalah “setiap proses, kegiatan atau mekanisme yang mengambil suatu GRK atau arosol atau bakal GRK dari atmosfer” dan reservoir adalah “suatu komponen atau beberapa komponen dari sistem iklim di mana suatu GRK, aerosol atau bakal GRK disimpan”. Sedang sistem iklim adalah keseluruhan atmosfer, geosfer, hidrosfer dan biosfer dan interaksi mereka satu sama lain, sehingga bukan menyangkut udara, tetapi juga bumi, air, dan semua mahluk hidup.
Semua pihak yang ikut serta dalam Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (hingga 2015: 195 negara+ 1 Uni Eropa) menurut Artikel 3.3 Konvensi wajib melakukan tindakan prakarsa mengantisipasi, mencegah dan menekan hingga sekecil-kecilnya penyebab perubahan iklim dan dampaknya yang merugikan. Untuk memastikan manfaat diperoleh secara global dengan biaya yang sehemat mungkin, kebijakan dan tindakan haruslah memerhitungkan konteks sosio-ekonomi yang berbeda, komprehensif, mencakup semua sumber GRK yang relevan, serapan dan reservoir penyimpanan, serta tindakan adaptasi dan meliputi seluruh sektor ekonomi. Semua itu dapat dilaksanakan dengan cara kerjasama di antara pihak-pihak yang berminat. Konvensi berkenaan dengan semua jenis GRK (CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6) kecuali GRK yang sudah dikendalikan melalui Protokol Montreal berkenaan dengan Zat-zat Perusak Lapisan Ozon (lihat kembali Bab III alinea tentang Kerjasama Soal Ozon).
Ketentuan-ketentuan umum mengenai komitmen mitigasi untuk semua pihak ditetapkan dalam Artikel 4.1 Konvensi, sedang Artikel 4.2 mengatur komitmen khusus negara-negara maju atau pihak-pihak yang dikelompokkan dalam Annex-I .
Pada awalnya, dalam artikel 4.1 Konvensi meminta perhatian pada perbedaan kebutuhan dan kapasitas pihak-pihak di dalam implementasi komitmen. Yaitu bahwa pihak-pihak memerhitungkan “tanggungjawab yang sama namun berbeda-beda beban, karena prioritas pembangunan nasional dan regional yang spesifik, sasaran-sasaran dan situasinya masing-masing”. Selanjutnya pihak-pihak menurut Artikel 4.1(b) Konvensi diminta “merumuskan, melaksanakan, mengumumkan dan secara teratur membarui program nasional, dan bila sesuai, program daerah, yang berisi tindakan mitigasi perubahan iklim dengan mengatur emisi GRK dari aktivitas manusia menurut sumber-sumbernya dan dengan melakukan serapan semua GRK yang tidak diatur dalam Protokol Montreal”. Mengenai serapan dan reservoir, dalam Artikel 4.1 (d) Konvensi , pihak-pihak diminta “memajukan manajemen yang berkelanjutan, dan memajukan dan bekerjasama dalam melindungi dan menambah jika mungkin serapan dan reservoir semua GRK yang tidak diatur dalam Protokol Montreal, termasuk biomasa, hutan dan lautan termasuk ekosistem daratan, pesisir dan bahari”. Artikel 4.1 (f) meminta pihak-pihak “sejauh mungkin mempertimbangkan perubahan iklim di dalam kebijakan dan tindakan dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan”. Juga diharapkan agar pihak-pihak “menggunakan metode yang tepat, misalnya untuk mengadakan penilaian atas dampak, untuk merumuskan dan mengambil keputusan secara nasional”, dengan maksud menekan hingga sekecil mungkin dampak yang merugikan dari proyek atau tindakan yang dilakukan dalam rangka mitigasi, yang mungkin berpengaruh “atas perekonomian, kesehatan umum atau atas mutu lingkungan.” Di antara pihak-pihak, menurut Artikel 4.1 (h), hendaknya dimajukan dan diadakan kerjasama sepenuhnya, secara terbuka dan segera dalam hal pertukaran informasi ilmiah, teknologis, teknis, sosio-ekonomis dan legal yang relevan berkenaan dengan sistem iklim dan perubahan iklim, serta berkenaan denan konsekuensi ekonomis dan sosial dari berbagai strategi tanggapan. Artikel 4.7 mengatur bahwa sejauh mana pihak-pihak negara berkembang hendak melaksanakan komitmen mereka secara efektif dalam hal sumber keuangan dan alih teknologi akan bergantung kepada implementasi yang efektif yang telah dilaksanakan oleh pihak negara maju atas komitmen mereka di bawah Konvensi, dan harus sepenuhnya memerhitungkan pembangunan ekonomi dan sosial serta pengentasan kemiskinan yang merupakan prioritas utama pihak-pihak negara berkembang.
Untuk aspek ilmiah dan teknis serta sosial-ekonomi dari upaya mitigasi, (juga untuk upaya adaptasi), Konvensi menyediakan untuk pihak-pihak bantuan-bantuan pedoman melalui Badan Penunjang di dalamnya (SBSTA dan SBI), antara lain tentang: inovasi teknologi, penyebaran dan penerapan, pengenalan dan mengatasi hambatan; peluang praktis dan solusi yang memberi kontribusi pada pembangunan berkelanjutan; pertanian, kehutanan dan pengembangan perdesaan; rencana dan pembangunan perkotaan, termasuk transportasi; efisiensi energi, baik untuk rumahtangga, kompleks perdagangan maupun industri; pembangkitan tenaga listrik, baik dengan energi terbarukan maupun bahan bakar fosil yang bersih; penangkapan dan daur ulang emisi non-CO2 termasuk metana.
Konvensi walau pun menerapkan prinsip kesetaraan tetapi berdasarkan situasi obyektif juga membedakan negara maju, negara dalam transisi ekonomi, dengan negara-negara berkembang (dan terbelakang,) yang memengaruhi kemampuan mereka di dalam membuat kebijakan dan menentukan tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Maka negara-negara maju ditentukan menjadi perintis dalam upaya melindungi iklim (Artikel 3.1).
Negara-negara maju dan dalam transisi ekonomi yang dimaksudkan untuk menjadi perintis perlindungan iklim kemudian dikelompokkan dalam Annex-I Konvensi. Yaitu : Australia, Austria, Belarus, Belgia, Bulgaria (dalam transisi), Canada, Croatia (dalam transisi, masuk melalui amandemen 1998), Cyprus (amandemen 2013), Czech (dalam transisi, amandemen 1998), Denmark, Uni Eropa, Estonia (dalam transisi), Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria (dalam transisi), Iceland, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia(dalam transisi), Liechtenstein (amandemen 1998), Lituania (dalam transisi), Luxembourg, Malta (amandemen 2010), Monaco (amandemen 1998), Netherlands, New Zealand, Norwegia, Polandia (dalam transisi), Portugal, Romania (dalam transisi), Federasi Rusia (dalam transisi), Slovakia (dalam transisi, amandemen 1998), Slovenia (dalam transisi, amandemen 1998), Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina (dalam transisi), Inggris dan Irlandia Utara, dan Amerika Serikat. Di luar negara-negara ini, semua negara yang lain disebut pihak-pihak (negara-negara) Non-Annex I.
Komitmen khusus pihak-pihak dalam Annex-I Konvensi dalam mitigasi perubahan iklim ditetapkan dalam Artikel 4.2 Konvensi. Berdasarkan situasi obyektif, bahkan di antara negara-negara maju dan dalam transisi yang termasuk Annex-I, Konvensi mengingatkan adanya perbedaan “titik tolak, pendekatan, stuktur ekonomi, basis sumberdaya, kebutuhan pembangunan, tingkat teknologi” masing-masing, sehingga tidak bisa disamaratakan dalam memikul beban tanggungjawab (Artikel 4.2a). Namun masing-masing pihak “harus menerapkan kebijakan nasional dan menentukan tindakan mitigasi perubahan iklim dengan membatasi emisi GRK antropogenik negaranya, melindungi dan meningkatkan serapan dan reservoir GRK negaranya” sehingga pada akhir 1990-an kembali pada tingkatan dasawarsa sebelumnya, dan dengan demikian menjadi perintis aksi pengurangan emisi jangka panjang sesuai sasaran Konvensi. Protokol Kyoto 1997 mengikat negara-negara maju dan negara dalam transisi ekonomi dalam Annex-I Konvensi untuk mencapai pengurangan emisi 6 GRK secara kuantitatif (PK artikel 2), secara keseluruhan rata-rata 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990, selama periode antara 2008-2012 (periode komitmen pertama), dengan target yang berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain (PK artikel 3.1).
Selain itu Artikel 4.2(b) Konvensi menetapkan pihak Annex-I “harus menyampaikan informasi rinci” mengenai kebijakan dan tindakan mereka dalam rangka mengembalikan emisi GRK masing-masing atau bersama-sama kepada tingkat tahun 1990. Protokol Kyoto mengatur agar perubahan netto yang terjadi mengenai status GRK pihak-pihak sejak 1990 berdasarkan sumber-sumber dan serapannya menurut ragamnya harus dihitung secara transparan, dapat dibuktikan dan dapat ditinjau supaya bisa digunakan untuk mengukur kemajuan (PK artikel 3.2). Maka sebelumnya perlu diadakan inventarisasi stok karbon masing-masing pihak tahun 1990 (PK artikel 3.3).
Komunikasi nasional harus disampaikan pihak-pihak “dalam enam bulan setelah Konvensi berlaku” dan “secara berkala sesudahnya” menurut ketentuan Artikel 12. Informasi dalam Komunikasi Nasional juga harus menyertakan perkiraan atas dampak kebijakan dan tindakan atas emisi GRK antropogenik dan serapannya dalam tiap-tiap endapan. Komunikasi nasional harus diserahkan “dalam periode yang disebutkan Artikel 4.2a”, yaitu pada akhir tahun 1990-an.
Menurut Artikel 4.2 (g) setiap pihak yang tidak termasuk Annex I kapan saja boleh menyampaikan pemberitahuan kepada Sekjen PBB, sebagai Pelindung Konvensi bahwa menginginkan terikat pada artikel 4.2 (a) dan 4.2 (b). Protokol Kyoto mengatur agar pemberitahuan itu dilaksanakan sebelum pihak bersangkutan menyerahkan Komunikasi Nasional mereka yang pertama (PK artikel 3.5), termasuk inventarisasi karbon masing-masing pada tahun dasar acuan. Pemberitahuan itu dilakukan oleh Croatia, Czech, Kazakhstan, Liechtenstein, Monaco dan Slovakia. Namun selain Kazakhstan, pemberitahuan itu tidak efektif karena negara-negara itu sudah termasuk dalam Annex I. Artikel 4.6 menentukan bahwa COP dapat membolehkan negara-negara dalam transisi ekonomi mendapatkan “fleksibilitas tertentu” dalam mengimplementasikan komitmen mereka menurut artikel 4.2. Hal ini meliputi tingkat emisi GRK historis yang hendak mereka jadikan acuan. Ketentuan itu dimaksudkan untuk memerhitungkan gejolak politik dan ekonomi yang dialami negara-negara ini pada akhir 1980-an dan awal 1990-an yang menyebabkan, antara lain, merosotnya secara luar biasa emisi GRK. Beberapa negara dalam transisi ekonomi menggunakan fleksibilitas menentukan tahun dasar ini. Bulgaria memilih tahun 1988 sebagai tahun acuan mereka, Hungaria memilih angka rata-rata antara 1985-1987. COP 2/1986 menyetujui perubahan tahun acuan untuk dua negara, Polandia (1988) dan Romania (1989). Dalam COP 4/1988 untuk Slovenia berlaku tahun acuan 1986. Tahun 2005, COP 11 merundingkan tahun acuan Croatia. Semua pihak lain dalam Annex I menggunakan tahun acuan 1990.
Target-target
Dengan bergulirnya wacana internasional tentang perubahan iklim sejak 1985 dan perlunya upaya pengurangan emisi GRK dari kegiatan manusia, khususnya CO2, secara unilateral dan sukarela banyak negara sudah menerapkan kebijakan nasional dan upaya yang relevan, tanpa ikatan hukum internasional. Pada 1989, Belanda bermaksud melakukan stabilisasi emisi CO2 hingga 1995 sama dengan tingkatan 1989, dilanjut dengan sasaran ambisius untuk tahun 2000 berturut-turut -3-5% emisi CO2 ditetapkan tahun 1990, dan kemudian -20-25% emisi GRK ditetapkan tahun 1991; target Jerman yang ditetapkan tahun 1990, adalah mengurangi emisi CO2 25% hingga 2005 dibanding tingkat 1987; target Belgia, ditentukan tahun 1991, adalah mengurangi emisi CO2 sebesar 5% dibanding 1990 hingga 2000; target Inggris pada 1997 mengurangi emisi GRK 20% hingga 2010. Hanya beberapa negara Eropa yang bertumbuh cepat dan yang lebih miskin yang penetapan targetnya sangat berbeda dari stabilissi hingga tahun 2000 atau pengurangan 20% hingga 2005 (semuanya untuk CO2 antara 1990-2000): Spanyol (pada 1992, mula-mula +25%, lalu turun jadi +15%), Irlandia (pada 1993, +20%), Yunani (pada 1995, +15%) dan Portugal (pada 1996, +40%). Di antara negara-negara Annex-II Konvensi, hanya Italia dan Turki yang tidak menetapkan target nasional mereka dalam hal emisi. Ketika laporan-laporan berupa Komunikasi Nasional pihak-pihak dievaluasi oleh Sekretariat UNFCCC, dicatat sebagai “observed situation” (situasi yang teramati) agregat emisi GRK pihak Annex I telah menurun rata-rata 3 persen antara 1990 dan 2000. Itu berarti secara bersama-sama Annex I telah mencapai sasaran Konvensi , bahwa pada tahun 2000 tingkat emisi GRK sama dengan tingkat tahun 1990. Pada tahun 2003, keseluruhan emisi GRK pihak Annex I turun lagi menjadi 5,9% dibanding tingkat tahun 1990. Sedang pihak non-Annex I sangat bervariasi hasilnya, namun positif meningkat hingga 8,4% dibanding tahun 1990.
Perubahan Emisi GRK 1990-2002
Sumber: Key GHG. 1990-2003. UNFCCC.
Mungkin upaya-upaya yang telah dilakukan secara unilateral oleh beberapa negara antara 1990-2000 merupakan langkah percobaan. Dari percobaan itu timbul pembelajaran. Ada berbagai langkah yang dilakukan pada suatu sektor atau bidang dalam rangka mitigasi (tentang ini kita bicarakan lebih luas sedikit di bawah nanti berkenaan dengan Kegiatan Mitigasi). Dan setiap langkah melibatkan berbagai proses, yang untuk masukan, sarana dan prasarana menjalankan proses, dan keluarannya, membutuhkan sejumlah biaya. Hasil agregat dari upaya-upaya itu adalah pengurangan atau penurunan emisi GRK dalam persentase tertentu. Pembelajaran tentang bidang kegiatan, proses-proses, tuntutan biaya (tentang ini juga akan kita bicarakan lebih luas sedikit di bawah nanti berkenaan dengan Ekonomi dan Biaya Kegiatan Mitigasi), dan hasil akhir itu menjadi faktor-faktor dalam menentukan kemampuan menetapkan “jumlah pembatasan atau pengurangan emisi GRK” sebagai sasaran. Dari pengalaman yang telah diperoleh, atau pengalaman pihak lain yang telah dipelajari, berbagai pihak dalam Annex-I semakin bertambah semangat, namun sebagian yang lain malahan menjadi gamang ketika dalam kancah perundingan internasional harus menentukan target sasaran penurunan emisi GRK sejak 2001.
Target penurunan emisi yang disebut Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 Protokol Kyoto adalah ketentuan pokok dalam Protokol Kyoto 1997. Emisi GRK menurut Annex A Protokol Kyoto meliputi : Karbon Dioxid (CO2), Metana (CH4), Nitrous Oxid (N2O),Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurhexafluoride (SF6). Target penurunan emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara pada Annex I. Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.
Di dalam Protokol Kyoto 1997 pada mulanya ditetapkan sasaran-sasaran pengurangan GRK sbb: Austria, Belgia, Bulgaria, Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, Inggris dan Irlandia Utara, Irlandia, Italia, Jerman, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Monaco, Netherlands, Portugal, Prancis, Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol,Swedia, Swiss, Uni Eropa, Yunani, masing-masing -8%. AS -7%. Canada, Hungaria, Jepang, Polandia, masing-masing -6%. Croatia, -5%. New Zealand, Rusia, Ukraina, masing-masing 0%. Norwegia, dibatasi +1%. Australia, dibatasi +8%. Iceland, dibatasi +10%. (United Nations. 1998. Annex B). Satuan ukuran yang digunakan adalah t-CO2eq, atau ton setara CO2.
Ketentuan target-target Protokol Kyoto tidak segera diterima dan disahkan oleh pihak-pihak nasional, terutama negara-negara Annex B Protokol (Atau Annex-I Konvensi), karena konsekuensi-konsekuensi berkenaan dengan aktivitas, proses-proses, dan biaya yang terkait dalam implementasi sungguh besar. Negosiasi antar-negara lanjutan diperlukan. Setelah 4 tahun, emitor GRK terbesar di dunia, Amerika Serikat, pada tahun 2001 bahkan mundur, tidak ikut Protokol Kyoto. Syarat pemberlakuan Protokol Kyoto (yaitu disahkan oleh 55% negara dalam daftar Annex-B, yang mewakili 55% dari total emisi GRK global) baru terpenuhi pada akhir tahun 2004, dan Protokol Kyoto sah berlaku 90 hari sesudah syarat-syarat legalitas sebagai hukum internasional yang mengikat terpenuhi sepenuhnya. Protokol Kyoto efektif berlaku sejak April 2005. Sehubungan dengan target ini, dalam periode implementasi, kegamangan akan kegagalan dalam mencapai target dan karena tekanan politik dalam negeri , Canada pun pada tahun 2011 mengundurkan diri dari Protokol Kyoto menjelang periode implementasi pertama selesai (2012). Dari penilaian tahunan sejak 2008, tampaknya di berbagai bidang implementasi, catatan resmi Canada setelah diperiksa pihak lain dinyatakan gagal mencapai target-target atau tidak jelas. Keruwetan itu merepotkan. Negara-negara Annex-B Protokol juga terkesan gamang sejak COP tahun 2005 di Montreal dalam merundingkan target-target baru untuk Protokol Kyoto periode implementasi kedua pasca 2012.
Pada bulan April 2014 diterbitkan hasil penilaian atas prestasi periode I Protokol Kyoto (2008-2012). Secara keseluruhan, negara-negara Annex B telah berhasil mengurangi emisi GRK mereka hingga 24% dalam periode komitmen I Protokol Kyoto, dan bersama-sama dapat mengurangi tingkat emisi global 9% dari tingkatan tahun 1990, melebihi target yang ditetapkan untuk mereka. Namun jika dirinci lebih jauh, hanya negara-negara Eropa barat dan timur yang berhasil memenuhi komitmen mereka dan mengurangi emisi GRK hingga berlebih. Kelebihan prestasi itu menimbulkan produk serapan karbon yang bisa diperdagangkan antar negara Annex B Protokol Kyoto [Morel, R dan Shishlov, I. 2014]. Jepang, Australia, New Zealand malah meningkat emisi GRK-nya. Namun Jepang memenuhi target Protokol Kyoto dengan membeli karbon negara lain. AS tidak ikut Protokol Kyoto; negara itu mengalami pemuncakan emisi GRK tahun 2007, namun selanjutnya berhasil kembali ke level emisi tahun 1994, atau pengurangan emisi 11% antara 2007-2012. Canada mengalami pemuncakan emisi tahun 2007, namun kemudian dapat menurunkan emisi walau hasilnya tidak terlalu bagus. Penilaian itu dipelajari dalam COP-20 di Lima, Peru, 2014. Tetapi setelah itu, hingga awal 2015 belum ada kepastian mengenai target-target baru dalam pembatasan dan pengurangan emisi GRK dan masa implementasi Protokol Kyoto yang kedua pasca 2012. Target-target negara maju dan negara berkembang untuk tahun 2020 diwacanakan menurut COP-18 Doha dan ditegaskan COP-20 Lima lebih longgar, ditentukan sendiri oleh tiap-tiap negara sendiri sebagai sasaran kontribusi yang dikehendaki secara nasional “Intended nationally determined contributions” (INDC) melalui Konferensi Iklim Desember 2015 di Paris.
Pengembangan Kapasitas
Menurut Konvensi Artikel 4.1. semua pihak/negara berkewajiban untuk ikut membatasi atau menurunkan emisi GRK nasional dalam rangka melindungi sistem iklim global. Negara berkembang pun mempunyai kewajiban itu. Namun pertama-tama negara maju akan merintis jalan, dan kemudian negara berkembang ikut berpartisipasi namun beban yang diberikan harus sesuai dengan kemampuannya. Agar kemampuan negara berkembang bertambah besar sehingga dapat efektif memberikan kontribusi pada tercapainya tujuan Konvensi bersama-sama dengan negara-negara maju, maka diaturlah usaha-usaha untuk pengembangan kapasitas negara-negara berkembang. Konvensi Artikel 5b dan 5c mewajibkan semua pihak dalam Konvensi membantu upaya antar-pemerintah dan internasional antara lain dalam pengembangan kapasitas negara berkembang. COP-5 di Bonn 1999 sudah membuka jalan untuk pembicaraan khusus tentang pengembangan kapasitas di negara berkembang (Keputusan 10/CP.5) dan negara dalam transisi ekonomi (Keputusan 11/CP.5). COP-7 Marrakesh tahun 2001 merupakan forum pembicaraan khusus tentang kerangka pengembangan kapasitas sehubungan perubahan iklim yang diharapkan segera dilakukan di negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi (Keputusan 1/CP.7).
Maksud dan tujuan kerangka Marrakesh adalah untuk menetapkan lingkup dan dasar tindakan, untuk membantu negara berkembang “membangun, mengembangkan, menguatkan, meningkatkan dan memajukan kemampuan mereka dalam mencapai sasaran Konvensi melalui implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan persiapan partisipasi efektif dalam proses Protokol Kyoto” (Keputusan 2/CP.7), dan untuk membantu negara dengan ekonomi dalam transisi “memampukan mereka mengimplementasikan sasaran Konvensi secara efektif dan menyiapkan partisipasi mereka dalam Protokol Kyoto begitu berlaku secara sah” (Keputusan 3/CP.7).
Lingkup pengembangan kapasitas: Komunikasi Nasional, Perencanaan dan Penyusunan Program; Inventarisasi GRK nasional; penilaian kerentanan dan adaptasi; penilaian pilihan tindakan mitigasi untuk implementasi; alih teknologi; riset dan pengamatan sistematik; pendidikan, pelatihan dan kesadaran publik; mekanisme Kyoto: CDM untuk negara berkembang, JI dan Perdagangan Emisi untuk negara dalam transisi ekonomi, mekanisme ini akan dibahas lebih lanjut di bawah nanti.
Kesetaraan dan Keadilan
Tanggungjawab bersama menghadapi perubahan iklim antara negara industri yang termasuk pada Annex I Konvensi dengan negara berkembang (non Annex-I) dalam mitigasi dan adaptasi diatur dengan prinsip sama-sama memikul tanggungjawab bersama, namun dibedakan bebannya berdasarkan kemampuan masing-masing (Konvensi Art. 3). Negara-negara maju ditentukan menjadi “perintis” (take the lead)dalam upaya mitigasi dan adaptasi. Hal ini selanjutnya dijabarkan dalam Artikel 10 dan 11 Protokol Kyoto. Artikel 10 merupakan penekanan kembali kewajiban tersebut tanpa menambahkan komitmen baru bagi para Pihak, baik negara industri maupun negara berkembang seperti dimaksud dalam Artikel 4 ayat (1) Konvensi Perubahan Iklim (maksudnya adalah bahwa setiap pihak, termasuk negara berkembang, harus berusaha melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam rangka pembangunan berkelanjutan). Artikel 11 Protokol menekankan kembali kewajiban negara industri yang menjadi Pihak dalam Protokol Kyoto namun termasuk dalam Annex II Konvensi untuk menyediakan bantuan dana baru dan dana tambahan berdasar kesepakatan, untuk “perencanaan nasional, dan jika mungkin regional, tindakan mitigasi dan adaptasi” sesuai Artikel 10(a) Protokol atau Artikel 4.1(a) Konvensi. termasuk alih teknologi untuk melaksanakan komitmen Artikel 10 Protokol Kyoto. Sebagian besar negara berkembang memahami kewajiban negara maju terhadap negara berkembang sebagai “hutang sejarah” Utara-Selatan dan menunjukkan sikap itu seperti “menagih” di dalam perundingan UNFCCC. Sebagian negara pihak Annex I berkeberatan dengan istilah “hutang sejarah”, namun setuju dengan prinsip keadilan segenerasi maupun antar-generasi melalui distribusi manfaat pembangunan yang lebih merata, untuk kebaikan bersama, sebagai dasar kerjasama negara maju dan negara berkembang. Berulang kali nuansa perundingan menjadi panas karena aspek politik, namun seringpula didinginkan dengan nuansa teknis dan keilmuan yang sulit dibantah.
Dari dasar penggolongan negara-negara dalam klasifikasi negara industri/negara maju juga dipersoalkan. Masalahnya, sebagian dari pihak negara yang dicantumkan dalam Annex I Konvensi dan Annex B Protokol, dari angka Pendapatan Domestik Bruto (Gross Domestic Production, GDP) sebagai ukuran ekonomi, sekarang berada di bawah beberapa negara berkembang. Selanjutnya, dari sudut inventarisasi emisi GRK, banyak dari negara-negara Annex I emisinya tidak lebih banyak dari negara-negara berkembang. Maka di dalam perundingan UNFCCC terus bergulir tuntutan untuk memerhatikan prinsip “kesetaraan” dalam memikul tanggungjawab, termasuk juga keadilan, sebab menurut hasil inventarisasi emisi GRK nasional dari pembakaran dan dari deforestasi, beberapa negara berkembang menjadi emitor besar GRK (China, India, Indonesia, Brazil, dll), namun “seolah-olah” dibebaskan dari tanggungjawab memikul beban. Dalam dinamika perundingan UNFCCC hal itu memunculkan ide mengenai “komitmen sukarela” dari negara-negara berkembang (mulanya diusulkan Rusia tahun 1998, ditolak Indonesia yang waktu itu sedang dilanda krisis moneter dan sebelum inventarisasi emisi GRK nasional; tetapi setelah inventarisasi emisi GRK nasional dilaksanakan, Indonesia malah secara progresif unilateral memelopori “komitmen sukarela” peningkatan mitigasi itu untuk masa 2011-2020 sejak COP-15/2009 di Copenhagen). Komitmen sukarela negara berkembang dimaksudkan sebagai pendamping “komitmen wajib” negara-negara Annex I Konvensi, atau Annex B Protokol, dan dalam rangka “kerjasama jangka panjang” (menurut Bali Road Map) dalam merintis penanggulangan perubahan iklim. NAMA merupakan suatu kerangka kerja untuk pengurangan emisi GRK yang diikuti oleh negara-negara Non-Annex 1 secara sukarela. COP 16 di Cancun (2010) mengakui (i) NAMA sukarela yang dilakukan di dalam negeri masing-masing oleh pihak-pihak Non-Annex I dan (ii) NAMA yang secara global mendapat dukungan dunia internasional. Pada akhir Januari 2012, sejumlah 44 negara berkembang telah menyampaikan niat mereka untuk berpartisipasi dalam NAMA.
Persoalan lainnya, kewajiban negara maju untuk “take a lead” (merintis) mitigasi dan adaptasi itu hingga kapan? Rupa-rupanya beberapa pihak menganggap periode implementasi pertama Protokol Kyoto 2008-2012 sudah cukup sebagai masa rintisan, sehingga kini menimbang prinsip kesetaraan, keadilan, dan tanggungjawab bersama, diharapkan pengaturan baru dalam tata-kelola iklim global untuk target-target negara maju dan negara berkembang melalui Konferensi Iklim 2015 di Paris. “Mengurangi gas rumah kaca membutuhkan kejujuran, keberanian dan tanggung jawab, terutama dari pihak negara-negara yang paling kuat dan yang paling mencemari…. Negosiasi internasional tidak dapat maju secara signifikan karena posisi negaranegara yang menempatkan kepentingan nasional mereka di atas kesejahteraan umum global. Mereka yang akan menderita akibat dari apa yang kita coba sembunyikan, tidak akan melupakan kurangnya hati nurani dan tanggung jawab kita. Sementara Ensiklik ini sedang disiapkan, perdebatan telah mencapai suatu intensitas khusus.” (Paus Fransiskus. 2015. Art. 169).
Agar kenaikan suhu global maksimum hanya 2oC hingga tahun 2100, selanjutnya diharapkan sasaran kontribusi yang ditetapkan secara nasional (“Intended nationally determined contributions” INDC) yang akan diserahkan negara-negara bulan Desember 2015 di Paris nanti hendaklah sangat ambisius, tetapi juga masih harus dianggap sebagai dasar yang masih bisa bertambah tinggi ketimbang sebagai pagu yang sudah mentok untuk tahun-tahun selanjutnya. Semua INDC akan dihitung oleh suatu panitia asessmen untuk kemudian dibandingkan dengan kebutuhan global dalam upaya memelihara iklim global. Diperkirakan adanya “gap, atau kesenjangan” antara total kontribusi yang diinginkan nasional negara-negara dengan kebutuhan global. Kiranya perundingan-perundingan akan lebih fokus menyikapi “gap” atau “kesenjangan” itu. Bagaimana cara menutupnya?
Kegiatan Mitigasi
Target-target dan sasaran diwujudkan melalui pelaksanaan kebijakan, praktek dan aksi mitigasi. Artikel 4.2 Konvensi tidak hanya mengatur kebijakan dan tindakan yang dapat menyumbang pada pencapaian sasaran Konvensi, tetapi juga praktek yang menghasilkan dampak yang merugikan. Artikel 4.2(e)(ii) meminta tiap-tiap pihak dalam Annex I untuk “mengenali dan secara berkala meninjau kebijakan dan praktek yang malahan meningkatkan emisi GRK antropogenik di luar yang telah dikendalikan oleh Protokol Montreal di mana saja terjadi”. Hal ini tercermin dalam pedoman untuk Komunikasi Nasional pihak Annex I, yang menetapkan agar pihak-pihak melaporkan juga tindakan yang diambil sehubungan dengan Artikel 4.2(e)(ii) Konvensi, dan memberikan latar belakang penalarannya. Sebagai contoh, Uni Eropa dalam Komunikasi ketiga menyatakan maksud untuk berangsur-angsur menghapuskan subsidi produksi dan konsumsi bahan bakar fosil pada tahun 2010, dan melakukan pemeriksaan dan tinjauan atas praktek subsidi di negara-negara anggota, dan mempertimbangkan keselarasannya dengan sasaran penanggulangan perubahan iklim.
Selain pengurangan emisi GRK pada sumbernya, Konvensi juga mengupayakan peningkatan penyerapan dan penyimpanan GRK dalam reservoir (misalnya dalam Artikel 4.1(b), (d) dan 4.2(a)) sebagai pilihan untuk mitigasi perubahan iklim. Dalam dinamika proses perkembangan Konvensi, istilah “Land use, land-use change and forestry (LULUCF)” (tataguna lahan, perubahan tataguna lahan dan kehutanan) digunakan untuk merujuk pada kegunaan kategori-kategori lahan yang dapat meningkatkan serapan GRK dari atmosfer (misalnya untuk menanam pohon dan membuat hutan) sekaligus mengurangi emisi (karena melawan deforestasi). Kategori-kategori dalam LULUCF dapat menjadi cara yang murah untuk menanggulangi perubahan iklim; tetapi juga ada kelemahannya. Seringkali sulit menghitung serapan dan emisi GRK dari LULUCF. Selain itu, GRK dapat tanpa sengaja dilepaskan dari suatu endapan-penyimpanan yang rusak atau hancur, misalnya karena hutan terbakar atau diterjang hama/penyakit tanaman. Pihak-pihak dalam Annex I dalam Komunikasi Nasional mereka yang ketiga melaporkan jajaran berbagai kebijakan dan tindakan di sektor LUCF. Umumnya fokus pada pembuatan hutan baru, pemulihan hutan dan manajemen hutan serta berbagai program kehutanan yang lebih luas tujuannya ketimbang mitigasi perubahan iklim. Terasa kurangnya perhatian pada penggunaan lahan, misalnya untuk pertanian pangan dan padang penggembalaan, penanaman kembali tutupan lahan dan peran tanah untuk pengikatan karbon. Isu-isu terkait LULUCF selanjutnya membangkitkan kerjasama di antara banyak organisasi dan lembaga-lembaga yang mempunyai pengalaman dan keahlian berkenaan dengan hutan dan pertanian, dalam rangka perubahan iklim. Hal ini juga besar sekali pengaruhnya untuk Indonesia.
Walau situasi negara-negara dalam Annex I berbeda-beda, namun pada umumnya mereka mempunyai sasaran kebijakan yang kurang lebih sama berkenaan dengan pengurangan emisi GRK dan perubahan iklim sesuai Protokol Kyoto Art. 10.(b)(i) dan Annex A Protokol. Selanjutnya dalam konsep negara-negara sedang berkembang mengenai aksi mitigasi yang tepat secara nasional (nationally appropriate mitigation actions, NAMA) aksi mitigasi perlu diusahakan sungguh-sungguh secara nasional tepat mengingat kepentingan dan kondisi yang berbeda-beda namun memberi sumbangan kepada upaya pembangunan nasional. Kerangka kebijakan dan praktek rendah emisi GRK dapat dipikirkan menggunakan kerangka yang bersifat umum, dengan penyesuaian seperlunya. Yang pertama adalah Bidang Energi.
Maksudnya adalah emisi GRK yang terjadi dari pembakaran bahan bakar stasioner. Terutama dalam pembangkit listrik; pemanasan; kilang pengolahan minyak/gas; lokasi penambangan minyak/gas; generator off-grid (pusat perdagangan, perkantoran, rumahtangga); generator dan motor bakar di basis pertanian, kehutanan, perikanan. “Kita tahu bahwa teknologi yang menggunakan bahan bakar fosil sangat mencemari—terutama batubara, tetapi juga minyak dan, pada tingkat lebih rendah gas—perlu diganti, secara bertahap dan tanpa menunda. Selama pengembangan energi yang terbarukan—yang seharusnya sudah berjalan—belum memadai, adalah sah untuk memilih yang kurang jahat dan beralih kepada solusi sementara. Namun, masyarakat internasional gagal mencapai kesepakatan yang memadai tentang tanggung jawab mereka yang harus menanggung biaya transisi energi ini. Dalam beberapa dekade terakhir, soal-soal lingkungan telah menimbulkan debat publik yang luas, yang telah menumbuhkan suatu ruang masyarakat sipil untuk aneka bentuk komitmen dan dedikasi yang murah hati. Politik dan dunia usaha bereaksi lambat, jauh dari sepadan dengan tantangan-tantangan global. Meskipun umat manusia dari masa pasca-industri mungkin akan diingat sebagai yang paling tidak bertanggung jawab dalam sejarah, namun perlu diharapkan bahwa umat manusia dari awal abad kedua puluh satu akan dikenang sebagai bermurah hati karena menerima tanggung jawabnya yang besar.” (Paus Fransiskus. 2015. Art. 165).
Bidang Energi (emisi akibat pembakaran; emisi fugitif bahan bakar) | |
Latar belakang: Menurut AR5 IPCC pangsa emisi global dari bidang energi adalah yang terbesar dibanding sektor lain (25%). Laju pertambahan meningkat dari 1,7% per tahun antara 1990-2000, menjadi 3,1% per tahun terutama karena permintaan listrik dan meluasnya penggunaan bahan bakar batubara. Tingkat emisi GRK bidang energi 14.4 GtCO2 pada 2010 menjadi 18 GtCO2. Pada 2012 dan akan meningkat menjadi antara 24–33 GtCO2 /tahun pada 2050. Jika dibiarkan begitu saja tanpa upaya mitigasi, kecenderungan ini akan menyumbang pemanasan global antara 3-4oC pada 2100. Emisi GRK dapat terjadi sepanjang mata rantai proses bidang energi mulai dari penambangan, pengubahan, penyimpanan, transmisi dan distribusi. | |
Sasaran: Menahan pemanasan global 2oC pada 2100. Stabilisasi emisi GRK pada 2050. Pengurangan pangsa global pembangkit listrik berbahan bakar fosil dari 70% tahun 2010, menjadi 30% di tahun 2050. | |
Aksi Mitigasi | Keterangan |
– mengusahakan penyediaan dan penggunaan energi yang secara ekonomi hemat; low carbon; | Beralih sistem pembangkit listrik dari bahan bakar minyak dan batubara ke gas bumi. Mengurangi energy losses (kehilangan) dan energy escapes/fugitives (menjadi GRK) pada tahapan transisi proses. Mengurangi hingga menghapuskan subsidi harga energi. |
– melakukan diversifikasi sumber energi untuk meningkatkan keamanan penyediaan; | Meningkatkan porsi bahan bakar terbarukan (listrik air, panasbumi, angin, surya). Peningkatan energi biomasa/bio-fuel. |
– melindungi lingkungan dari pencemaran, khususnya mutu udara; | Menerapkan teknologi CCS (carbon capture and storage) |
– melakukan reformasi sektor energi untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dengan privatisasi atau partisipasi swasta, lebih bersaing di bidang penyediaan dan distribusi, dan memajukan pilihan konsumen atas pemasok energi mereka; | – privatisasi pemasok energi listrik – privatisasi distribusi energi listrik |
– efisiensi penggunaan sumber-sumber, termasuk sumber energi, dengan melakukan perubahan “pajak hijau”; | Pajak pertambangan Pajak penjualan BBM |
– mitigasi perubahan iklim melalui perdagangan emisi. | Mekanisme fleksible untuk memenuhi target pembatasan/pengurangan GRK emisi nasional. |
Selanjutnya Bidang Transportasi. Emitor besar pengguna bahan bakar fosil yang terutama adalah kendaraan transportasi darat. Emisi terjadi dalam pembakaran bahan bakar bergerak. Jumlah kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua, meningkat luar biasa. Maka emisi GRK dari transpor darat mengalami jumlah peningkatan besar (80%). “….Transportasi, seringkali menjadi sumber banyak penderitaan bagi rakyat. Banyak mobil yang hanya digunakan oleh satu dua orang, berkeliling di kota, sehingga lalu lintas menjadi macet, tingkat polusi menjadi tinggi, dan menghabiskan begitu banyak energi yang tak terbarukan. Diperlukan pembangunan jalan raya tambahan dan tempat parkir yang semuanya merusak pemandangan kota. Banyak ahli sependapat bahwa harus diberi prioritas kepada angkutan umum. Namun, langkah-langkah yang diperlukan, tak akan mudah diterima masyarakat kalau tanpa perbaikan besar pada sistem transportasi, yang di banyak kota memperlakukan rakyat tak layak karena kondisi berdesak-desakan tak nyaman, frekuensi yang kurang, dan tidak aman”. (Paus Fransiskus. 2015. Art. 153). Manajemen transportasi terutama perkotaan (dalam kota dan antar kota) perlu dikembangkan semakin rendah emisi dan semakin mampu memenuhi kebutuhan pengguna.
Namun perlu diperhatikan pula pergerakan manusia dan barang dalam skala internasional. Peningkatan perdagangan internasional dengan sendirinya meningkatkan angkutan barang melalui pelayaran dan penerbangan. Peningkatan frekuensi pelayaran dan penerbangan menambah emisi CO2.
Bidang Transportasi (emisi akibat pembakaran; emisi fugitif bahan bakar) | |
Latar belakang: Menurut AR5- IPCC bidang transpor adalah pengguna 27% dari seluruh produksi energi, menghasilkan emisi GRK 7 Gt-CO2-e tahun 2010; pangsa emisi global dari bidang transportasi adalah 14% relatif terhadap emisi GRK global dari sektor lain. Kecenderungan emisi GRK 12 Gt-CO2-e tahun 2050. | |
Sasaran: Menahan pemanasan global 2oC pada 2100. Stabilisasi emisi GRK dari bidang transpor pada 2050. Pengurangan pangsa emisi CO2 transpor antara 15-40% hingga 2050. | |
Aksi Mitigasi: | Keterangan: |
– Pengurangan intensitas energi | Perbaikan rasio JutaJoule/penumpang-km dan JutaJoule/ton-km melalui peningkatan kinerja kendaraan dan mesin; penggunaan bahan lebih ringan; meningkatkan faktor beban angkutan barang atau tingkat okupansi penumpang. |
– Pengurangan intensitas karbon bahanbakar | Perbaikan rasio CO2e/JutaJoule, dengan mengganti bahan bakar minyak dengan BBG, bio-metana, bio-fuel, listrik atau hidrogen dari mesin-rendah- karbon. |
– Pembangunan transportasi berkelanjutan; – Pilihan pengguna atas moda transportasi rendah karbon. | Mengurangi alat transpor pribadi, meningkatkan alat transpor umum. Peralihan produksi kendaraan high-duty (HDV) kepada jenis low-duty (LDV). Pilih Kereta api ketimbang pesawat udara. |
– manajemen kualitas udara; | Pemantauan dan manajemen ambang polusi udara; penerapan standar emisi GRK kendaraan di jalan raya. |
– manajemen kemacetan; | Menyelenggarakan sistem info digital kemacetan lalulintas; buka-tutup mengurai kemacetan. |
Kemudian Bidang Industri. Laju pembangunan dan kemajuan mendorong perkembangan industri. Terutama dalam beberapa dasawarsa terakhir di negara-negara berkembang. Khususnya industri emitor besar: semen, kimia, logam, kertas, dan lain-lain. Efisiensi energi dan penangkapan emisi karbon perlu dikembangkan.
Bidang Industri | |
Latar belakang: Menurut AR5-IPCC pangsa emisi global dari bidang industri adalah 19% dari keseluruhan emisi GRK global. Pada tahun 2010 tingkat emisi GRK Industri adalah 15,44 GtCO2eq. Emitor kedua terbesar sesudah Bidang Energi. Antara 1970 hingga 2012, emisi GRK Industri terutama didorong oleh peningkatan produksi global semen; aluminium; baja, ammonia ; dan kertas (USGS, 2013), terutama di negara berkembang (China, India, Indonesia). | |
Sasaran: Menahan pemanasan global 2oC pada 2100. Stabilisasi emisi GRK pada 2050. | |
Aksi Mitigasi: | Keterangan: |
– Pengendalian emisi 4 industri utama, yaitu semen, besi dan baja, kimia dan petrokimia, dan pulp dan kertas | Tingkat emisi CO2 2010 Semen 2,6 GtCO2 ; besi dan baja 1,9 GtCO2 ; kimia dan petrokimia 0,6 GtCO2; pulp dan kertas 0,2 GtCO2. |
– Mengurangi emisi gas sebagai produk-sampingan; | CO2 adalah obyek pengendalian utama. Namun beberapa GRK juga perlu dikendalikan juga. Misalnya dalam industri logam baja dan bukan baja: tingkat emisi 2010 dalam Jt tonCO2-ek CO2: 2.127; CH4: 18,87; SF6: 8,77; PFC: 52,45; N2O: 4,27. Dalam industri Kimia: CO2: 1.159; HFC: 206,9; N2O: 139,71; SF6: 11,86; CH4: 4,91. |
– Peningkatan efisiensi; | Efisiensi Energi. Rasio penggunaan energi per GDP Industri. Inovasi teknologi diharapkan menghasilkan efisiensi energi 20%. Efisiensi Emisi GRK; alih bahan-bakar industri. Perbandingan pembangkit bbm dan batubara diharapkan turun dari 42% jadi 30% pada 2035, dan peran pembangkit BBG naik dari 20% jadi 24%. |
– menekan hingga serendah mungkin penggunaan dan emisi gas-gas fluor. | Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC) dan Sulphur hexafluoride (SF6) |
Dunia berkepentingan terhadap keamanan pangan. Namun perkembangan dalam pertanian pangan tidak diharapkan menghasilkan tekanan pada iklim global, terutama melalui paparan metana dan nitrus oksida.
Bidang Pertanian | |
Latar belakang: Pangsa emisi GRK global dari bidang Pertanian adalah 14% terutama non-CO2 [Claire Schaffnit-Chatterjee. 2011]. Emisi total GRK non-CO2 dari pertanian pada 2010 sekitar 5,2–5,8 Gt-CO2eq / th. Emisi CO2 bahan bakar fosil antara 0,4–0,6 Gt CO2eq / th pada 2010 dari penggunaan mesin-mesin pertanian seperti traktor, pompa irigasi, dll. Peningkatan emisi GRK total bidang pertanian 0,9% per tahun . | |
Sasaran: Menahan pemanasan global 2oC pada 2100. Stabilisasi emisi GRK pada 2050. | |
Aksi Mitigasi: | Keterangan: |
– Peningkatan tatakelola kimia pertanian dan peternakan | Pengurangan emisi GRK enterik (2,1 GtCO2eq /th dari daging sapi, kambing, ayam, telur, produk susu), dan kotoran hewan (0,99 GtCO2eq /th). Pengurangan emisi CH4 dan N2O dari lahan pertanian dan dari kegiatan peternakan. Penggunaan N dengan cermat. |
– mencegah pencemaran air tanah; | Meningkatkan kondisi lingkungan, aliran dan resapan air sekitar lokasi peternakan dan pertanian. |
– memperbesar daya keberlanjutan antara lain dengan peningkatan mutu pangan | Manajemen tanah pertanian (baik secara tata-ruang maupun waktu-temporal rotasional pemanfaatan tanah pertanian memerhatikan keberlanjutan jangka panjang; termasuk pemeliharaan mutu tanah); Usaha tani padi (tingkat emisi 0,52 GtCO2eq /th) memerhatikan pola tanam yang efektif meningkatkan hasil produksi namun rendah emisi dan biaya murah; Pembakaran ladang lalang dikurangi; Pembakaran sisa tanaman di sawah dikurangi. |
– pengembangan tata kehidupan perdesaan | Ketahanan pangan bertambah. Daya tahan dan daya adaptif pada dampak perubahan iklim meningkat. Sebagai sistem kompak dan tangguh menghadapi krisis. |
– pertanian organik | Prinsip gunakan ulang dan daur ulang sumberdaya alam. Mengurangi pencemaran kimia atas tanah. |
– perencanaan penggunaan lahan. | Menahan ikatan CO2 lahan selama mungkin agar tidak lepas ke udara (atmosfer). |
Bidang Kehutanan dan perubahan tataguna lahan menjadi perhatian sejak COP-3 Kyoto untuk diperhitungkan dalam upaya stabilitasi iklim. Dalam amatan IPCC, jasa hutan dan lahan dalam menyerap karbon dari udara antara 1989-1998 adalah 3,9 GtC. Tetapi karbon dilahan dan hutan dilepas kembali ke udara karena deforestasi dan pembakaran lahan sebesar 1,6 GtC. [IPCC, 2000]. Maka perlu usaha untuk meningkatkan kinerja hutan dan lahan dalam menyerap karbon dari udara dan memertahankan endapan karbon dalam biomasa dan lahan selama mungkin. “Kita harus ingat bahwa banyak ekosistem berperan dalam penangkapan karbon dioksida, dalam pemurnian air, pengendalian penyakit-penyakit dan epidemi, dalam pembentukan tanah, pembusukan sampah, dan dalam banyak jasa lainnya yang kita lupa atau tidak tahu. Setelah mengamati hal itu, banyak orang mulai menyadari kembali bahwa kita hidup dan bertindak berdasarkan suatu realitas yang terlebih dahulu telah diberikan kepada kita, dan mendahului keberadaan dan kemampuan kita. Itu sebabnya, ketika kita berbicara tentang ‘penggunaan yang berkelanjutan’, kita selalu harus mempertimbangkan juga kemampuan regeneratif setiap ekosistem dalam berbagai bidang dan aspeknya”. (Paus Fransiskus. 2015. Art. 140).
Bidang Kehutanan dan Perubahan penggunaan lahan (FOLU) | |
Latar belakang: Menurut AR5-IPCC pangsa emisi global dari bidang kehutanan dan perubahan penggunaan lahan adalah 3,2 GtCO2eq/th, 12% dari keseluruhan emisi GRK global, terutama dari deforestasi. Jika digabungkan dengan bidang pertanian (AFOLU= Agriculture, Forestry, Land-Use) menjadi sangat signifikan, sekitar 25%. Fungsi hutan merupakan serapan dan reservoir karbon. Deforestasi menyebabkan karbon yang tersimpan di tanah dan pohon terlepas lagi ke udara. | |
Sasaran: Menahan pemanasan global 2oC pada 2100. Stabilisasi emisi GRK pada 2050. Mengurangi deforestasi dan kebakaran hutan. Membuat hutan baru, dan meremajakan hutan lama. | |
Aksi Mitigasi: | Keterangan: |
– Proteksi hutan dan manajemen hutan yang berkelanjutan; – Menerapkan agro-forestry | Menambat Karbon lebih lama pada tanaman dan tanah dengan konservasi, mengurangi deforestasi; dan mengurangi kebakaran hutan (menahan CH4, N2O pada tanah becek) . Produksi kayu berkelanjutan dengan siklus rotasi lebih panjang, kurangi kerusakan pada pohon tersisa, kurangi limbah logging, konservasi dan penyuburan tanah, efisiensi penggunaan kayu. Melindungi hutan sekunder dan hutan kritis agar makin mampu menyerap karbon melalui pohon dan tanah dengan pemeliharaan tanaman dan penyuburan lahan. CH4, N2O mengubah kebiasaan membakar hutan. Memadukan praktek pertanian dan kehutanan untuk manfaat lahan dan sosio-ekonomi yang lebih besar. |
– Konservasi keanekaragaman hayati, satwa liar, tanah dan air; | Perluasan kawasan hutan lindung dan hutan lestari. |
– pembuatan hutan baru dan peremajaan hutan untuk meningkatkan kapasitas serapan karbon. | Membuat hutan baru di lahan baru, baik monokultur maupun tanaman campuran untuk meluaskan ikatan karbon; dan meremajakan hutan lama. |
Akhirnya, sampah juga menjadi sumber masalah perubahan iklim karena memapar emisi CH4. Jumlah sampah meningkat tinggi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi dan tingkat kemakmuran.
Bidang Pengelolaan sampah dan limbah (sampah padat, limbah cair, pembakaran sampah dll) | |
Latar belakang: Menurut AR5 IPCC pangsa emisi global dari bidang limbah adalah 3% dari keseluruhan emisi GRK global. Jumlahnya selama 10 tahun meningkat 13% dari 1.278 Jt t-CO2eq pada tahun 2000 jadi 1.446 Juta t-CO2eq pada 2010. Terdiri dari metana sampah padat di tanah (CH4) sebanyak 43%, metana limbah cair CH4 sebanyak 53%, dan nitrous oksid (N2O); dan dalam jumlah kecil karbon dioksid (CO2) dari pembakaran sampah plastik, kain sintetis. Namun kemudian juga dihitung “limbah” yang tak diperhitungkan (karena merupakan ‘losses’) pada proses-proses produksi energi, manufaktur dll. | |
Sasaran: Menahan pemanasan global 2oC pada 2100. Pengurangan emisi CH4 tahun 2030 >1000 MtCO2-eq (atau 70% taksiran emisi). Stabilisasi emisi GRK pada 2050. Aksi Pengurangan, penggunaan ulang, dan daur ulang limbah (3R). | |
Aksi Mitigasi: | Keterangan: |
– mengurangi dampak limbah atas udara, tanah dan air; | Program reduce, reuse, recycle (3R) material produk seoptimal mungkin pada manufaktur. |
– menekan adanya sampah hingga sekecil mungkin | |
– melakukan daur ulang. | |
– Peningkatan efektivitas penanganan sampah | Metode meminimalkan pembuangan sampah untuk penimbun tanah: Kompos; pembakaran; mekanik; biologik. |