Oleh Bambang Kussriyanto
Adaptasi Perubahan Iklim 3 telah membahas Rencana Adaptasi Nasional hingga Sub Nasional dan kota-kota. Menarik untuk dikaji pernyataan 10 butir aksi para Walikota sedunia, sementara pemerintah-pemerintah pusat sibuk dengan perundingan iklim multilateral, berikut ini:
- Perubahan iklim adalah nyata, langsung dan global. Kota-kota kita berada dalam risiko. Adaptasi lokal mutlak perlu.
- Banyak kota di seluruh dunia sudah mengembangkan dan melaksanakan strategi adaptasi untuk memecahkan persoalan setempat berhubungan dengan dampak perubahan iklim, sementara belum ada kesepakatan global yang mengikat mengenai adaptasi.
- Strategi adaptasi lokal harus menopang pembangunan berkelanjutan lokal dan meningkatkan mutu hidup penduduk, terutama kaum miskin perkotaan, yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
- Pemahaman dan kapasitas lokal merupakan aset yang mutlak diperlukan untuk adaptasi global terhadap perubahan iklim dan dapat segera dimobilisasikan.
- Anggaran dan kapasitas pemerintah daerah baik di negara maju maupun di negara berkembang harus diperkuat hingga memadai untuk melaksanakan adaptasi iklim.
- Pemerintahan lokal memerlukan akses langsung pada mekanisme keuangan dan sumber teknis dari semua tingkatan – multilateral, nasional dan lokal – untuk implementasi strategi dan prakarsa memanajemeni perubahan iklim setempat.
- Kepemimpinan lokal wajib diberdayakan dalam memastikan tindakan iklim global.
- Kemitraan global di antara lembaga-lembaga multilateral, pemerintah nasional, sektor swasta dan masyarakat sipil, baik perkotaan maupun perdesaan, serta kerjasama antar kota, sangat menentukan keberhasilan di dalam adaptasi terhadap perubahan iklim di tingkat lokal. Kami mengikatkan diri dalam mengusahakan dialog, kerjasama dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan, kapan saja dan di mana saja. Program Kerja Nairobi (NWP) dari UNFCCC menjadi contoh yang harus dilanjutkan.
- Kota-kota perlu memperdengarkan suara lebih keras dan menguatkan kehadiran dalam perundingan iklim global. Tanpa peranserta yang efektif dari pemerintah kota dan lokal, pemerintah nasional akan gagal mencapai target-target emisi dan aksi-aksi sehingga mereka harus diikutsertakan dalam perjanjian iklim global.
- Menyongsong COP UNFCCC ke-16 Desember 2010 di Cancun, Pertemuan Puncak Iklim Para Walikota Dunia yang diselenggarakan di Mexico City 21 November 2010, menghimpun bersama-sama para walikota untuk menciptakan suatu mekanisme internasional yang inovatif untuk advokasi dan aksi pemerintah lokal pada COP 16 dan selanjutnya.
Dewan Walikota Dunia untuk Perubahan Iklim (World Mayors Council on Climate Change) merupakan suatu aliansi pemimpin pemerintahan lokal untuk advokasi peningkatan keterlibatan mereka dalam upaya multilateral, guna mengatasi soal perubahan iklim dan isu-isu terkait keberlanjutan global (global sustainability). Pertemuan perdana diselenggarakan seiring dengan COP-11 UNFCCC tahun 2005 di Montreal, Canada. Disadari, karena perubahan iklim, “pembangunan akan lebih berat, bukannya lebih mudah”, [World Development Report 2010]; beberapa bidang yang setelah proses bertahun-tahun sudah dianggap mendapat kemajuan, hanya dalam seketika saja terpukul mundur lagi oleh bencana iklim.
Kendati ada banyak ketidakpastian tentang perubahan iklim dan dampaknya di masa depan, kota-kota perlu mengambil keputusan dan bertindak sekarang berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan [Dessler et al. 2010].Maka asosiasi kota besar sejak 1990 sudah berusaha melakukan dialog dan kerjasama seperti ICLEI, C-40, WMCCC, Cities Alliance, dan lain-lain. Untuk membangun kapasitas dalam hal menghimpun informasi mengenai situasi dan proyeksi dampak perubahan iklim, suatu kota dapat memanfaatkan jasa lembaga-lembaga epistemik setempat (universitas, sekolah tinggi, pusat penelitian) dan jaringannya dalam suatu kerjasama, yang bahkan mampu mengadakan seminar atau simposium internasional, mengundang pakar dunia, sekaligus mengangkat peringkatnya. Pendekatan partisipasi berbasis komunitas juga akan memunculkan informasi-informasi yang tidak kalah dengan pakar akademis nilainya, utamanya terkait kearifan lokal. Gabungan antara pendekatan pada pusat-pusat keilmuan dan pendekatan partisipatif pada komunitas memperkaya keduanya, sekaligus menguatkan kapasitas internal kota.
Semakin banyak kota di dunia memulai upaya adaptasi iklim untuk persoalan yang mendesak dengan rencana khusus dulu untuk memelajari semua aspeknya. Sesudah mengenal semua aspek dan sisi adaptasi iklim, barulah dilancarkan memadukan upaya adaptasi ke dalam kebijakan, rencana dan proyek pembangunan kota yang berkesinambungan untuk jangka panjang. Namun tidak jarang upaya informal berbasis masyarakat yang spontan di luar semua rencana dan dirasa tidak eksplisit terkait iklim sekalipun, dapat menjadi peluang untuk meningkatkan ketangguhan kota jangka panjang terhadap perubahan iklim, dan bisa dijadikan titik-tolak. Maka diperlukan kreativitas dalam memelihara dan mendayagunakan hubungan-hubungan untuk ketahanan iklim kota.
Upaya adaptasi perubahan iklim kota-kota dapat terkait dan menyumbang banyak pada upaya mitigasi. Pembangunan gedung dan rumah-rumah baru di kota dengan rancangan hijau (green design) mengurangi konsumsi energi gedung untuk AC, menghemat biaya, sekaligus mengurangi emisi CO2. Prakarsa tindakan masyarakat sipil dapat mengilhami aksi adaptasi dengan biaya rendah dan melancarkan strategi adaptasi iklim “no-regrets” (tanpa penyesalan) di kemudian hari karena relatif murah. Misalnya operasi bank sampah perkampungan di perkotaan yang mencegah penyumbatan selokan dan gorong-gorong oleh sampah merupakan adaptasi terhadap dampak banjir karena iklim. Selain itu penanganan sampah perkotaan dengan partisipasi yang lebih luas dari masyarakat juga mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari sampah. Praktek kerjabakti warga dalam membersihkan selokan dan gorong-gorong sekitar rumah tinggal mereka pun perlu diberdayakan secara sadar dan disemangati, dan kesempatan warga berkumpul dapat diisi dengan sosialisasi tentang rencana, metode dan jalur evakuasi warga setempat jika terjadi dampak merugikan perubahan iklim seperti banjir, atau kebakaran (di musim kemarau). Dapat juga diisi dengan sosialisasi yang menyangkut rencana adaptasi dari segi kesehatan masyarakat.
Perubahan musim terutama membebani kaum miskin kota, penduduk di kampung-kampung informal, dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan, anak-anak, para lanjut usia dan disabel. Kepadatan penduduk kota bertambah karena arus urbanisasi yang cepat. Kampung-kampung informal bertumbuh di lahan-lahan sempit dalam dan pinggir kota, khususnya di bantaran sungai, di lereng-lereng curam, di sepanjang rel kereta api dan berbagai koridor transportasi, dan dataran banjir. Umumnya mereka kekurangan air bersih, sarana sanitasi, ruang hidup yang sehat, struktur bangunan tempat tinggal ala kadarnya, dan kurang rasa aman (UN-Habitat 2006; 2008). Mereka ini selalu berada dalam risiko terpapar hujan/angin, banjir, longsor, kekeringan dan kepanasan. Dampak perubahan iklim makin menambah berat risiko mereka (IISD 2011). Mereka menjadi kekuatan ketahanan jika dilibatkan dalam program adaptasi iklim, tetapi menjadi halangan ketahanan jika dilupakan atau digusur. Penataan kampung pinggir Kali Code Yogyakarta yang dilakukan Y.B. Mangunwijaya Pr almarhum mengambil jalan ramah kepada mereka dan kepada alam, dan berhasil melestarikan dan meng-asri-kan bantaran sungai, menertibkan pemukiman, sehat, aman, dan menjadikan mereka warga kota yang bertanggungjawab [Wahono, Francis. 2013. 155-158].
Kota dalam kenyataannya merupakan titik konsentrasi kemakmuran, sehingga menjadi lokasi penampungan dan titik pertemuan banyak ragam mitra. Adaptasi perubahan iklim memerlukan kerjasama para mitra dan koordinasi lintas sektor dalam hal: tataguna lahan, perumahan, transportasi, kesehatan masyarakat, penyediaan air bersih dan sanitasi, penanganan sampah dan penghematan energi. Jika tidak melakukan aksi adaptasi sekarang, pengorbanan dan biaya di kemudian hari akan sangat besar tak tertanggungkan. AS terbebani kerugian lebih dari AS$ 100 milyar karena Badai Katrina (NOAA 2011). Terjangan topan tropis diperkirakan dapat menyebabkan kerugian antara AS$28-68 milyar setahun hingga tahun 2100 (World Bank 2010b). Kota-kota Manila, Bangkok dan Ho Chi Minh City terbebani biaya kerusakan akibat banjir karena perubahan iklim yang menekan pendapatan daerah antara 2-6 persen. Banjir yang ditengarai Manila datang 30tahun sekali masih tetap menguras kocek kota antara AS$900 juta hingga $1,5 milyar kendati tersedia prasarana pengendali banjir yang berfungsi (World Bank 2010a). Melibatkan mitra-mitra kota dalam pemecahan masalah sejak awal akan menyumbang ketangguhan kota melalui jaringan kekuatan antara pemerintah (dalam semua lapisan vertikalnya), komunitas lokal, organisasi nirlaba, lembaga-lembaga akademis, dan pengusaha sektor swasta.
Aksi adaptasi akan memerlukan dana besar karena merupakan upaya yang kompleks. Sementara sumber keuangan daerah untuk adaptasi relatif masih kecil terkait sumber konsesional yang diatur oleh pemerintah pusat, kota-kota menghadapi tantangan berat dalam pendanaan. Kreativitas diperlukan dalam menggunakan keperluan dana adaptasi untuk perintisan instrumen baru keuangan, meningkatkan aksi, dan mengusahakan leverage untuk menghimpun lebih banyak dari para donor dan sektor swasta, dalam relasi dengan sumber-sumber: (1) dana alokasi internal dan dari pemerintahan yang lebih tinggi; (2) sumber bantuan hibah multilateral dan bilateral; dan (3) mekanisme basis pasar untuk meningkatkan efisiensi dan keterlibatan sektor swasta.
Adaptasi bukan proyek sekali selesai, melainkan berkelanjutan sepanjang keberadaan kota dengan siklus perencanaan – implementasi – penyempurnaan yang berulang dalam suatu spiral dinamika mengikuti informasi-informasi baru. Kepemimpinan dan komitmen dalam mengukur kemajuan pengembangan kapasitas adaptif kota dan tingkat efektivitasnya niscaya menghasilkan manfaat bersama yang optimal dan menghindari konsekuensi yang tak diharapkan, misalnya pemangku kepentingan merasa tidak diperlukan dan ditinggalkan; karena itu pembangunan kapasitas adaptif kota menghadapi perubahan iklim sepanjang masa juga perlu menjadi bagian dari pembangunan nasional berkelanjutan jangka panjang yang meliputi program pengentasan kemiskinan (yang didalamnya mencakup pengurangan kerentanan dan pengurangan risiko bencana).
DKI Jakarta
Jakarta, ibukota Indonesia, sekaligus adalah kota terbesar di Indonesia, terletak di pesisir pantai utara sebelah barat di Pulau Jawa. Jakarta meliputi dataran rendah seluas 662km2, yang 40% di antaranya berada di bawah permukaan laut. Ada 13 sungai mengalir melintasi kota menuju Teluk Jakarta, yang terbesar adalah Sungai Ciliwung. Penduduk Jakarta 9,59 juta orang pada 2010, perkembangan besar dari 2,7 juta jiwa pada 1960 dan 8,4 juta pada tahun 2000.
Terhadap dampak perubahan iklim, Jakarta sangat rentan. Suhu udara maksimum di Jakarta berkisar antara 32,7°C-34,5°C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar antara 23,8°C-25,4°C pada malam hari. Suhu permukaan rata-rata di Jakarta tahun 1881–1991 meningkat lebih dari 1,5o Celcius. Pemanasan global diperkirakan akan menaikkan suhu rata-rata Jakarta sebesar 1o Celcius tahun 2030, dan sebesar 3o Celcius pada tahun 2100. Pada puncak musim penghujan bulan Januari dan Februari rata-rata curah hujan di Jakarta 350 milimeter (mm). Curah hujan rata-rata tahunan di Jakarta diproyeksikan meningkat 2% pada periode 2030-2049 (dibandingkan dengan 1980-1999), namun intensitas hujan serta perubahan secara keseluruhan diperkirakan akan meningkat pula. Penurunan tanah, meski bukan diakibatkan oleh perubahan iklim, merupakan salah satu penyebab utama kerentanan Jakarta. Laju penurunan muka tanah rata-rata adalah 7,5 cm per tahun, tetapi di beberapa wilayah pesisir laju penurunan muka tanah ini terukur mencapai 17 cm per tahun, meliputi hampir 40% dari wilayah Jakarta. Tingginya debit sungai dan curah hujan menyumbang besarnya banjir. Kemiringan lereng wilayah provinsi DKI Jakarta sekitar 0 – 3% sehingga cenderung datar, sementara daerah hulu sungai- sungai yang bermuara di Provinsi DKI Jakarta memiliki kemiringan cukup tinggi antara 8 – 15%. Maka menyebabkan limpasan air semakin tinggi ke Jakarta, sehingga Jakarta amat rentan pada paparan banjir. Aksi adaptasi Jakarta terfokus pada penanganan banjir.
Gambaran beberapa banjir di Jakarta:
Tahun | Curah Hujan | Luas Genangan | Korban Jiwa | Jumlah Pengungsi |
2002 | 361,7mm (rata-rata DKI Jakarta selama 10 hari) | 331 km2 di Jakarta 100 km2 di Botabek | 80 orang | 381 orang |
2007 | 327mm (rata-rata Jabodetabek selama 6 hari) | 454,8 km2 di Jakarta, 221km2 diTanggerang, 250 km2 total Depok, Bogor, Bekasi | 79 orang (status 12 Feb 07) | 590.407 orang (status 6 Feb 07) |
2013 | 250-300mm (rata-rata DKI Jakarta) | 500 RT, 203 RW di 44 kelurahan di 25 kecamatan di Jakarta | 20 orang (status 22 Januari 13) | 33.500 orang di Jakarta (status 22 Januari 2013) |
2014 | 135-195mm (Jakarta), 76-118,5mm (Bogor), 65-147mm (Depok) | 564 RT di 97 kelurahan di 30 kecamatan di DKI Jakarta | 23 orang (status 26 Januari 2014) | 63.958 orang di Jakarta (status 21 Januari 2014) |
Dalam upaya adaptasi mengatasi banjir, pemerintah daerah Jakarta mendapat bantuan pemerintah pusat melalui Kementrian Pekerjaan Umum. Aksi adaptasi struktural (pembangunan fisik) dan non-struktural telah dikembangkan untuk mengatasi situasi banjir yang makin buruk di masa depan.
Manajemen pengendalian banjir meliputi tiga aksi: menahan sebanyak mungkin air di wilayah reservoir, retensi air di bagian hulu di selatan; di bagian tengah disimpan di waduk dan dam-dam, dan sebagian aliran air dilepas secara wajar melalui kali-kali dan kanal; di bagian muara membantu aliran air dengan pompa-pompa pembuangan. Langkah struktural menyangkut pengembangan, peremajaan dan perawatan sistem polder Jakarta. Sistems polder Jakarta terdiri dari saluran drainase kota, dam atau waduk retensi, tanggul dan bendung, pintu-pintu air dan pompa-pompa air di seluruh Jakarta. Upaya teknis yang dilakukan di antaranya: Perbaikan Kapasitas Saluran Makro, Banjir Kanal Barat (BKT); Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT), Sodetan Banjir Kanal Timur-Banjir Kanal Barat, Pengerukan dan Pelebaran Sungai , Perbaikan Pintu Air, Penambahan Dan Perbaikan Sistem Sub-Makro ; Perbaikan Sistem Mikro ; Pengembangan Dan Pembuatan Sumuran/Resapan Air ; Pembangunan Bangunan Penahan Lumpur (Kantong Lumpur) ; Pengembangan Tampungan Setempat
Adaptasi non-struktural meliputi: Penataan tata ruang ; Pembatasan penggunaan airtanah ; Pengembangan dan pemanfaatan situ/waduk ; Pengembangan pemanfaatan bantaran sungai ; Pengaturan Penataaan Ruang (Redevelopment) Kawasan Permukiman ; Pengaturan Limbah Dan Sampah ; Penertiban permukiman Yang Menjorok Ke Badan Sungai/Saluran ; Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Aksi Adaptasi Pemerintah DKI
Aksi | Sektor Area | Sasaran | Keterangan |
Konstruksi Tanggul laut | Infrastruktur | Kenaikan permukaan laut, banjir rob | Konstruksi tanggul laut di Jakarta Utara yang mengalami peningkatan volume dan frekuensi banjir rob. |
Penanaman Bakau | Lingkungan/ Masyarakat/ Swasta | Kenaikan permukaan laut, banjir rob | Pemerintah DKI dan berbagai kelompok masyarakat setempat menanam bakau di Jakarta Utara. |
Pemukiman informal | Perumahan/ Pemanfaatan Ruang | Banjir kanal dan sungai/banjir rob | Keberadaan permukiman informal di sepanjang pinggiran sungai mengganggu drainase sehingga harus digusur. Tambahan pula, masyarakat di lokasi ini rentan terhadap banjir. |
Pengelolaan Limbah | Limbah Padat/ Sanitasi | Banjir kanal dan sungai/mitigasi emisi gas rumah kaca | Upaya pemerintah provinsi untuk mengembangkan program-program pengelolaan limbah di seluruh kota. |
Sistem Peringatan Ketinggian Air di Bogor dalam Jaringan | Meteorologi | Banjir kanal dan sungai | Pengadaan situs web dan sistem pengukuran ketinggian air di hulu sungai yang mengalir ke Jakarta. |
Konstruksi Kanal Banjir Timur dan Barat | Infrastruktur/Air dan Sanitasi | Banjir kanal dan sungai | Konstruksi dua kanal drainase utama untuk Jakarta. |
Perlindungan dan Pengembangan Ruang Hijau | Lingkungan/ Pemanfaatan Ruang | Penyerapan limpasan dan endapan karbon | Perlindungan dan pemeliharaan ruang hijau yang sudah ada serta penggusuran permukiman informal dari lahan yang akan dikembalikan ke fungsi ruang hijau. |
Kelompok kerja adaptasi dan mitigasi tingkat nasional | Advokasi, Pendidikan dan Pemerintahan | Adaptasi pengurangan kemiskinan/ Pendidikan/ Mitigasi | Kelompok kerja, advokasi kebijakan, pendidikan |
Aksi Adaptasi Masyarakat
Aksi | Entitas | Sektor | Area Sasaran | Keterangan |
Peninggian Rumah | Masyarakat setempat/ perseorangan | Masyarakat/ swasta | Kenaikan permukaan laut, banjir rob | Masyarakat setempat menyesuaikan diri dengan banjir musiman dengan meninggikan rumah atau membangun rumah panggung, misalnya di Kampung Melayu, Kamal Muara, Bukit Duri. |
Sistem Peringatan Dini lewat SMS | Organisasi kemasyarakatan dan RT/RW | Masyarakat/ swasta | Banjir kanal dan sungai akibat hujan | Masyarakat di tingkat RT dan RW bersiaga ketika menerima peringatan dari Bogor mengenai kemungkinan banjir. |
Kanal Swadaya di Jakarta Timur | Organisasi kemasyarakatan dan RT/RW | Infrastruktur/ Masyarakat/ Limbah Padat | Banjir kanal dan sungai | Beberapa RW bergerak dengan upaya dan dana |
Pindah ke Lantai Atas | Adaptasi perilaku masyarakat | Masyarakat/ swasta | Banjir kanal dan sungai/hujan/ kenaikan permukaan laut | Keluarga di kampung-kampung yang rentan banjir pindah ke lantai atas rumah mereka jika banjir terjadi lebih dari 10 kali dalam sebulan. |
Suatu kerjasama Indonesia-Korea Selatan sedang berlangsung untuk program “Ciliwung River Restoration” (Pemulihan Kualitas Sungai Ciliwung) hingga tahun 2031. Dengan teknologi ramah lingkungan diusahakan membangun Sungai Ciliwung sebagai suatu sungai ekologis, multi-fungsi dan mendatangkan manfaat sosio-ekonomis. Diupayakan pengendalian pencemaran air dengan penanganan limbah rumahtangga, limbah industri, limbah padat (dengan prinsip 3-R), limbah pertanian. Pengendalian kerusakan lingkungan diusahakan melalui pengendalian lahan kritis dan pengendalian daerah resapan air serta rehabilitasi bantaran sungai. Penataan ruang meliputi revisi tata ruang, pemantauan dan evaluasi. Dalam jangka menengah akan diusahakan kelanjutan pembuatan cek dam di hulu (program seribu cek dam) sebagai penampung air skala kecil; memulihkan daerah hulu dengan menanam dan memelihara pohon terutama di daerah sumber air, di tanah terbuka dan semak belukar melalui pemberdayaan masyarakat. Membangun pola penanganan sistem tanggap darurat yang lebih menekankan kerjasama dengan masyarakat. Membangun dan memobilisasi komunitas yang berada di daerah banjir dengan komunitas masyarakat di lokasi yang akan dijadikan tempat evakuasi/penampungan pengungsi.
Upaya yang lain adalah proyek membangun pertahanan daerah pesisir utara, baik dari kenaikan air laut di bagian depan maupun ancaman banjir dari belakang. Proyek “National Capital Integrated Coastal Development” (NCICD, Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara) merupakan kerjasama dengan Belanda. Intinya jawaban atas tiga ragam banjir di Jakarta adalah melakukan reklamasi seluas 5000 hektar di lepas pantai di Teluk Jakarta, 32 km dari daratan, membangun tembok laut raksasa yang melindungi pantai sekaligus berfungsi sebagai kota satelit, dengan suatu ujung berbentuk kepala garuda, dan tembok laut membentuk bentangan sayap garuda dari barat ketimur, badan dan ekor merupakan pemukiman sekaligus merupakan pengatur ruang laut di antara bentangan sayap barat dan timur yang adalah suatu dam penampung air banjir dari belakang dan pengolahan air tawar. Maka proyek bernilai sekitar AS$ 103 milyar ini sekaligus akan merupakan aksi adaptasi perlindungan banjir, manajemen air, reklamasi dan pengembangan kota sekaligus.
Suatu rencana besar pengerukan sungai merupakan kerjasama antara Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP), World Bank, pemerintah pusat dan pemerintah daerah (APBN dan APBD). Pengerukan sungai sangat penting mengingat setiap hari sampah sebanyak 300 ton dibuang ke sungai mengakibatkan pendangkalan, penyumpalan sampah dan menahan aliran air sungai. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup sebanyak 70.000 ton sampah dibuang di Sungai Ciliwung setiap tahun, 70% di antaranya adalah sampah rumah tangga.
Pemangku Kepentingan: Adaptasi Berbasis Komunitas (Community based adaptation)
Di atas sudah disebutkan, beberapa program adaptasi non-struktural untuk menangkal banjir dan meningkatkan kesiagaan sistem di Jakarta antara lain merupakan aksi adaptasi komunitas. Kerugian terbesar karena banjir bukan di pihak pemerintah, melainkan masyarakat, terutama justru masyarakat kecil yang terdampak banjir secara langsung. Maka untuk menghindari kerugian masa depan di pemukiman mereka, di tingkat Rukun Tetangga dan Rukun Warga, mereka membentuk jaringan elektronik (SMS, HT, Website) informasi dini memantau status ketinggian air di pintu-pintu air untuk disebarluaskan kepada penduduk. Rumah-rumah ditinggikan lantainya. Selain itu dibuat lantai kedua, tempat keluarga berkumpul ketika air banjir datang. Warga juga bekerja sama menguatkan tanggul-tanggul sungai, serta membuat dam-dam kecil setelah konsultasi dengan pemerintah lokal. Komunikasi secara baik dengan komunitas pada akhirnya berhasil menelurkan upaya relokasi warga ke tempat yang lebih aman, meninggalkan bantaran sungai dan menempati rumah-rumah susun yang disediakan pemerintah daerah.
Upaya komunitas rakyat kecil karena berasal dari kekuatan dana kecil mungkin hanya sedikit kontribusinya pada ketahanan daerah terhadap dampak perubahan iklim yang merugikan. Pemangku kepentingan lainnya adalah perusahaan dan pengusaha daerah yang ketika daerah mengalami dampak perubahan iklim tidak dapat bekerja dan kehilangan kesempatan untuk memeroleh pendapatan. Mereka berkepentingan untuk menghindari sebagian dari risiko seperti itu bersama-sama. Etika manajemen mengajak mereka untuk melaksanakan tanggungjawab sosial (Corporate Social Responsibility, CSR), melakukan kegiatan sukarela badan usaha dengan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sekitarnya. Pemerintah daerah dapat memberikan arahan agar bentuk-bentuk CSR pengusaha/usahawan difokuskan pada upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam menangani dampak perubahan iklim [Bappenas. 2014. 59]. Misalnya (menghadapi banjir) bersama-sama sebagai komunitas usahawan mendanai pembuatan sumur-sumur resapan, embung retensi air, yang dibangun warga di lokasi-lokasi strategis yang secara teknis diberi petunjuk oleh komponen pemerintah daerah; atau (menghadapi abrasi pesisir) berperan serta dalam pemulihan hutan bakau; (untuk retensi air) penanaman pohon-pohon di hulu, pembangunan jalur hijau dan taman-taman di kota-kota; (untuk semua jenis bahaya) penguatan sistem peringatan dini; (untuk ketahanan pangan) memercepat alih teknologi tepatguna di bidang pertanian pangan [padi SRI], (untuk respon cepat pada bencana) melengkapi sarana-sarana evakuasi yang diperlukan, penyelenggaraan dan pemeliharaan jalur evakuasi dan alternatifnya, pos-pos pengungsian, dan lain-lain. Partisipasi logistik yang bersifat reaktif-responsif yang sering ditampilkan dalam berita-berita media masa pada kejadian bencana selalu diperlukan dan baik, namun kurang memadai. Partisipasi antisipatif dengan membangun kapasitas ketahanan sistem (masyarakat dan derah) menghadapi bencana iklim lebih diperlukan.
Perusahaan-perusahaan lokal yang mengikuti dinamika aliansi internasional seperti Earth Charter (dicetuskan Maurice Strong, Mikhail Gorbachev, Jim McNeill, Ruud Lubbers, pada 1994), Global Compact (diproklamirkan Sekjen PBB Kofi Annan, pada 2000), dan GRI atau Global Report Initiative yang diprakarsai oleh Coalition for Environmentally-Responsible Economies (CERES) dan United Nations Environment Programme (UNEP) dan diluncurkan pada tahun 2002, pada umumnya mempunyai komitmen untuk memelihara lingkungan hidup terhadap dampak (kegiatan) yang merugikan termasuk dampak kegiatan usaha dan dampak iklim. Mereka mempunyai komitmen dan tingkat kepatuhan dalam mengikuti standar-standar internasional seperti serial ISO 14.000 (dampak lingkungan) dan ISO 26.000 (tanggung-jawab sosial perusahaan). Di dalam standar-standar itu terdapat sistem dan banyak prosedur yang ditempuh untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan tangguh (ISO 14.000), dan lingkungan sosial yang yang sehat dan tangguh pula (ISO 26.000) dengan peranserta entitas-entitas ekonomi. Tentu saja peserta Global Compact dan GRI di daerah setempat dapat berbuat banyak untuk ketahanan sistem daerah masing-masing dalam menghadapi dampak yang merugikan dari perubahan iklim.
Masyarakat keagaman juga ikut memberi sumbangan kepada upaya adaptasi.
Kelompok-kelompok petani lokal sangat berkepentingan dalam mengusahakan keberlanjutan usaha-tani mereka dan sesuai dengan bidang mereka melakukan langkah-langkah adaptasi berupa pengolahan lahan, pengaturan air, diversifikasi tanaman, peningkatan pola dan teknik bercocok tanam, menyelenggarakan lumbung desa dan lain-lain.
Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak henti-henti melakukan advokasi untuk kebijakan perlindungan masyarakat dan lingkungan terhadap dampak merugikan dari perubahan iklim. Mereka juga ikut serta menyumbang tenaga dan informasi yang berharga dalam meningkatkan kapasitas adaptif sistem masyarakat dan sistem lingkungan setempat. Di banyak tempat LSM/NGO menjadi perintis aksi adaptasi dampak perubahan iklim secara konkret-nyata, terpisah-pisah, sporadis, dalam bidang yang berbeda-beda [Wahono, Francis. 2013. 97-140], dan sering malahan harus menghadapi hambatan institusional perangkat dan pemerintah daerah yang mencurigai gerakan mereka, hanya karena pihak pemerintah setempat belum cukup paham.
Upaya menjalin komunikasi di antara kelompok-kelompok dalam suatu jejaring, dan dialog antar jejaring demi menghasilkan koordinasi dan konsolidasi untuk saling memperkaya, menguatkan dan meneguhkan, sangat diperlukan [Ibid. 141-159]. Akan sangat bagus jika secara sadar pertemuan-pertemuan berkala diselenggarakan sebagai upaya membangun sinergi di antara kelompok, federasi kelompok, dalam rangka gerakan yang lebih besar secara nasional. Jalinan aksi adaptasi kelompok dalam suatu jejaring, juga bisa dirancang terbuka untuk menampung aliansi-aliansi atau federasi, dapat dimulai di tingkat daerah, untuk kemudian diangkat ke tingkat nasional.
Pribadi dan Keluarga
“Situasi di sekitar kita mempengaruhi cara kita melihat kehidupan, menaruh perasaan, dan bertindak… di kamar kita, di rumah kita, di tempat kerja dan di wilayah kita…” [Paus Fransiskus. 2015. Art. 147]. “Kreativitas dan kemurahan hati yang mengagumkan diperlihatkan oleh orang-orang maupun kelompok yang mampu melampaui keterbatasan lingkungan, mengubah efek negatif dari situasi itu dan belajar untuk hidup terarah di tengah-tengah kekacauan dan kerawanan. Misalnya, di beberapa tempat di mana sisi luar bangunan sangat rusak, ada orang yang dengan penuh hormat merawat sisi dalam rumah mereka, atau…. sesak napas yang disebabkan oleh wilayah pemukiman padat penduduk, diimbangi dengan membangun hubungan bertetangga yang ramah, menciptakan komunitas, serta membuat setiap orang merasa diikutsertakan dalam kebersamaan yang saling memiliki. Dengan cara ini, setiap tempat bukan menjadi neraka tetapi berubah menjadi tempat kehidupan yang bermartabat” [Ibid. Art. 148].
Dengan meningkatnya keprihatinan akan lingkungan dalam beberapa dasawarsa, sedang pendekatan politik internasional berlomba-lomba untuk membangun kerjasama mengatasinya, tak pelak rasa kewargaan setiap orang terpengaruh juga. Berkenaan dengan perubahan iklim terdapat juga aksi-aksi perorangan, yang menegaskan keprihatinan akan implikasi sekarang dan masa depan dari standar dan cara hidup, didorong oleh rasa tanggungjawab pribadi sebagai warga, dan melancarkan perubahan pada bidang-bidang yang tidak terjangkau oleh negara. Menurut Dobson (2003) tugas dan tanggungjawab ekologis warga perorangan timbul dari kesadaran bahwa dampak (“ecological footprint”) yang dibuat warga perorangan di tempatnya, memengaruhi peluang-peluang warga lain di negeri yang sama atau di luarnya. Pertama, warga yang berwawasan ekologis merasa berkewajiban memastikan bahwa dampak yang ditimbulkannya tidak menutup peluang-peluang orang lain. Kedua, warga yang berwawasan ekologis mempunyai cita rasa keadilan dan solidaritas lintas batas negara, bahkan lintas generasi dalam hal iklim (Dobson. 2003. Hal. 123). Pertama, karena disadari bahwa tindakan pribadi mempunyai dimensi sosial dalam hal implikasinya, dan kedua, karena cita rasa perhatian dan kasih sayang pada sesama yang ada dalam setiap orang mengaitkan ranah pribadi dengan hubungan-hubungan antar pribadi yang bersifat sosial. Pemikiran dan sikap ini terutama akan melahirkan tindakan-tindakan mitigatif yang akan kita bahas dalam bab kelima. Namun dari sikap ini terdorong pula aksi-aksi pribadi untuk adaptasi.
Persepsi pribadi mengenai adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah melakukan penyesuaian-penyesuaian pribadi pada rangsangan iklim yang telah dirasakan, atau pun yang masih dalam perkiraan. Sekedar contoh: menggunakan payung di kala hujan, atau sedia payung ketika memperkirakan hari akan hujan. Maka dalam prinsipnya, aksi adaptasi pribadi warga merupakan tanggapan pada dampak perubahan iklim yang terjadi sekarang atau di masa depan; atas dampak yang telah dialami sebagai aksi adaptasi pribadi reaktif ex post; dan atas dampak yang masih diperkirakan akan datang sebagai aksi adaptasi antisipatif ex ante (jaga-jaga), sejauh yang bisa dilakukan dalam ranah pribadi. Melalui komunikasi, yang dilakukan seseorang dapat dicontoh oleh orang lain. Dalam kedua ragam aksi adaptasi pribadi, reaktif maupun antisipatif, sama-sama diupayakan peningkatan kemampuan adaptif (adaptive capacity) yaitu potensi, kemampuan, atau kebisaan pribadi atau pribadi-pribadi bersama-sama untuk menyesuaikan diri dengan rangsangan, pengaruh, atau dampak perubahan [Smit, B., Pilifosova, O. (2001) hal. 894). Misalnya upaya untuk memiliki payung di rumah. Tidak hanya satu, malah beberapa. Dan juga payung yang lebih baik dan lebih kuat. Terutama dengan upaya menutup kekurangan yang diketahui, yang merupakan bentuk “kerentanan”. Wisner et al. (2004) dalam hal ini merumuskan kerentanan sebagai “karakteristik seseorang atau kelompok dan situasi mereka yang memengaruhi kemampuan mereka di dalam mengantisipasi, berurusan, bertahan dan bangkit dari dampak bencana alam”. Misalnya, dulu menaruh payung sembarangan, sehingga susah dicari ketika harus berjalan dalam hujan. Sekarang mengusahakan membuat tempat khusus untuk payung, dan menaruh payung ditempat strategis agar mudah dijangkau dan digunakan, baik untuk keperluan sendiri, anggota keluarga maupun tamu. Dengan cara berangsur-angsur, aksi perorangan sekarang membentuk dan tampak dalam karakteristik-karakteristik itu, di masa sekarang maupun ke masa depan. Dampak perubahan iklim dengan demikian juga membangkitkan rasa kewajiban pada diri warga perorangan karena menghadapkan pada mereka pilihan-pilihan untuk bertindak, yang berangsur-angsur juga akan menghubungkan mereka dengan sesama, bahkan orang lain yang sama sekali tidak dikenal, warga di tempat lain, di masa depan.
Karena pengalaman kekeringan di masa lalu, seseorang di kampung berprakarsa membuat embung di pekarangan belakang rumahnya, untuk menampung air hujan baik limpasan dari cucuran atap rumah, atau dari talang rumah, maupun dari parit sekeliling rumah, sebelum kelebihannya dialirkan ke selokan kampung di belakang rumah. Ketika musim kemarau tiba, dan kekeringan mulai dirasakan, keluarga dan tetangga memanfaatkan air embung itu bersama-sama, untuk mencuci, memberi minum hewan piaraan atau menyiram tanaman. Tindakan pribadi itu ternyata penting untuknya sendiri dan untuk tetangga-tetangga, meski dilakukan bukan untuk menjawab situasi langsung pada waktu itu, dan meski semula tidak dipikirkan untuk digunakan bersama-sama tetangga. Tindakan membuat embung itu dilakukan begitu saja untuk kebaikan di masa kekeringan, tanpa pikiran untuk meminta balas jasa, baik dari anak cucu maupun tetangga. Tindakan itu berakar pada rasa kewajiban pribadi dalam suatu jaringan hubungan, untuk berbuat sesuatu dengan air menghadapi kesulitan di masa kekeringan untuk tanaman, untuk hewan dan keperluan sesama manusia. Tindakan pribadi si pembuat embung memberikan pengertian kepada para tetangga: “Siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian kekeringan?” Kita. “Siapa yang harus bertindak melakukan sesuatu untuk mengatasi kekeringan itu?” Setiap orang di antara kita.
Tindakan pribadi (dan keluarga) dalam praktek tradisional memanen air hujan dan membuat bak tampungan dibeberapa tempat meluas dalam dimensi sosial, menjadi praktek bersama, yang kemudian dikuatkan oleh praktek CSR yang menyediakan dana bergulir untuk pinjaman pembelian bak tampungan hasil teknologi modern yang ringan dan dapat dipindah-pindahkan tempatnya.
Dalam hal persediaan pangan di masa yang lalu, mengikuti kearifan lokal, prinsip serupa dilakukan petani kepala keluarga dengan membuat lumbung pribadi (keluarga) di luar rumah, suatu bangunan kecil dengan struktur panggung. Sebagian bahan pangan disimpan di situ berangsur-angsur, untuk menghadapi masa sulit ketika bencana iklim tiba, entah kekeringan, entah banjir, entah serangan hama, yang menyebabkan panen gagal, dan bahaya kekurangan pangan mengancam. Tetangga yang membutuhkan di masa sulit acap kali datang “meminjam” sebagian bahan simpanan dari lumbung pribadi/keluarga. Di dalam rumah, ibu rumah tangga mengurangi konsumsi beras tiap hari dengan menyimpan “sejimpit” dalam tempat “daringan” khusus, untuk jaga-jaga di masa kekurangan. Praktek pribadi itu kemudian melebar dalam dimensi sosial, dengan terbentuknya lumbung desa. Dan praktek “jimpitan” rumah tangga diterapkan melebar di tingkat RT/RW, dukuh, untuk mengisi kas sosial kerukunan setempat atau gereja, dalam rangka membantu sesama yang berkekurangan. “Dari kita, oleh kita, untuk kita”, begitu bunyi kata-kata kearifan lokal dari masa lalu.
Mungkin tak ada hubungan langsung, namun persepsi beberapa pribadi tentang peran mereka dalam kebersamaan global perlu diperhatikan. Ada percikan pendapat mengenai kontribusi pribadi yang bersifat meningkat berangsur-angsur sebagai tanggungjawab pada “kebaikan umum” (atau dalam istilah yang lebih besar lagi “kesejahteraan umum”) dan luasnya kemungkinan-kemungkinan masa depan bersama: “Tidak harus mempunyai wawasan perubahan iklim untuk menjadi warga yang baik yang bertanggungjawab dan hemat dalam menggunakan air, dalam memanen hujan, dalam membersihkan selokan di depan rumah sendiri, dalam melakukan jimpitan untuk sesama yang kekurangan”. Kiranya aksi kewajiban pribadi, tanggungjawab pribadi, ditempatkan dalam perspektif “kewargaan”, warga yang baik. Dengan demikian aksi adaptasi pribadi dikaitkan dengan keberadaan sebagai bagian dari komunitas lokas, warga komunitas lokal. Dan karena keterkaitan komunitas lokal dengan seluruh rakyat dalam negara nasional, dan kaitan nasional dengan hubungan antar-negara dalam komunitas internasional, bahkan global, maka sesungguhnya aksi pribadi yang disadari dengan sudut pandang sederhana mempunyai hubungan pengaruh nasional, bahkan global. Bahwa “keburukan global” (termasuk pemanasan global dan perubahan iklim global) terkait dengan tindakan buruk pribadi-pribadi secara global, dan sebaliknya, bahwa “kebaikan global” juga terkait dengan tindakan aksi yang baik dari pribadi-pribadi yang mengglobal juga. “Betapa pun kecil, aksi yang kita lakukan berdampak di tempat lain” – “Saya melaksanakan kewajiban pada diri sendiri untuk bertindak selaras hati nurani. Saya bangga dengan apa yang saya lakukan secara sadar. Saya bisa tidur nyenyak tanpa diganggu rasa bersalah, sebab saya tahu bahwa tindakan yang saya lakukan dapat meringankan beban banyak orang dan dunia”. Ungkapan-ungkapan ini ditemukan dalam suatu penelitian menggunakan metode wawancara kelompok [Johanna Wolf. 2007]. Hasil penelitian itu dituangkan dalam suatu diagram korelasi di bawah ini, yang tentunya dapat berbicara lebih banyak.
[Johanna Wolf. 2007].
Pilihan aksi adaptasi pribadi juga menyangkut kesehatan, terutama terhadap perubahan cuaca. Kabut asap menjadi gangguan serius di beberapa tempat dalam musim tertentu. Untuk mencegah sakit pernapasan diperlukan persiapan seperlunya, terutama persediaan masker. Juga obat yang biasa diperlukan bagi mereka yang menderita asma. Upaya pencegahan penularan malaria perlu diusahakan dengan kebiasaan tidur menggunakan kelambu; beberapa daerah mengenal ramuan tradisional untuk menghindari gigitan nyamuk malaria, serta minuman herbal untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap malaria. Langkah-langkah pencegahan bisa dilakukan keluarga menangkal demam berdarah dengue (DBD) melalui abatisasi, pengasapan rumah dan pekarangan untuk memberantas jentik-jentik nyamuk, penggunaan minuman ramuan tradisional begitu dirasakan ada gejala DBD dilanjut segera dengan pemeriksaan ke dokter. Praktek yang sama dilakukan terhadap perkembangan dan gejala Chikungunya. Di daerah di mana terdapat banyak genangan banjir diperlukan kewaspadaan terhadap diare, kolera, disentri, dan penyakit kulit. Di semua tempat, dalam segala cuaca, diperlukan persediaan air minum yang bersih, sehat, dan memadai jumlahnya.
Rujukan:
Adger,W.N., N.W.Arnell and E.L. Tompkins, 2005: Successful adaptation to climate change across scales. Global Environ. Chang., 15, 77-86.
Andrea Prutsch, Torsten Grothmann, Inke Schauser,Sonja Otto, Sabine McCallum. 2010. Guiding principles for adaptation to climate change in Europe.ETC/ACC Technical Paper 2010/6 November 2010. The European Topic Centre on Air and Climate Change (ETC/ACC).
Arief Anshory Yusuf & Herminia A. Francisco. 2009. Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia. Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA). Singapore.
Bappenas. 2011. National Action Plan for Climate Change Adaptation (RAN-API). Synthesis Report. Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (Bappenas). Jakarta.
Bappenas. 2014. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Kementerian PPN/Bappenas. Jakarta. 2014.
Burton, I., S. Huq, B. Lim, O. Pilifosova, E.L. Schipper, 2002. From Impacts Assessment to Adaptation Priorities: the Shaping of Adaptation Policy. Climate Policy, Amsterdam, Vol.2, 145-159.
Charlotte Sterrett, 2011. Review of Climate Change Adaptation Practices in South Asia, Oxfam Research Report, November 2011.
DEFRA, 2006: The UK’s Fourth National Communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change. United Kingdom Department for Environment, Food and Rural Affairs (DEFRA), London.
[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2011. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta.
[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2013. Perubahan Iklim dan Tantangan Perubahan Bangsa. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta.
Dobson, A. (2003). Citizenship and the Environment. London: Routledge.
Easterling,W.E., B.H. Hurd and J.B. Smith, 2004: Coping with Global Climate Change: The Role of Adaptation in the United States. Pew Center on Global Climate Change, Arlington, Virginia.
Government of The Netherlands, 1997: Second Netherlands’ Communication on Climate Change Policies. Prepared for the Conference of Parties under the Framework Convention on Climate Change. Ministry of Housing, Spatial Planning and the Environment, Ministry of Economic Affairs, Ministry of Transport, PublicWorks andWaterManagement,Ministry ofAgriculture, Na-ture Management and Fisheries, Ministry of Foreign Affairs, The Hague.
Government of The Netherlands, 2005: Fourth Netherlands’National Communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change. Ministry of Housing, Spatial Planning and the Environment, The Hague.
Helen Rouse, Paula Blackett et al. 2011. Engaging with communities on coastal adaptation to climate change: Whitianga experience. NIWA (National Institute of Water & Atmospheric Research). New Zealand.
HM Government (2010): Climate change: Taking action. Delivering the Low Carbon Transition
Plan and preparing for a changing climate. Crown Copyright, UK.
Indonesia. 1998/89. Indonesia: The First National Communication on Climate Change Convention. State Ministry of Environment.
Indonesia. 2010. Indonesia’s Second National Communication, under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). State Ministry of Environment.
IPCC, 2007. Lihat Parry ML, et al. di bawah.
IPCC, 2012: Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate Change Adaptation. A Special Report of Working Groups I and II of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Field, C.B., V. Barros, T.F. Stocker, D. Qin, D.J. Dokken, K.L. Ebi, M.D. Mastrandrea, K.J. Mach, G.-K. Plattner, S.K. Allen, M. Tignor, and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, UK, and New York, NY, USA.
IPCC, 2014: Climate Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Field, C.B., V.R. Barros, D.J. Dokken, K.J. Mach, M.D. Mastrandrea, T.E. Bilir,M. Chatterjee, K.L. Ebi, Y.O. Estrada, R.C. Genova, B. Girma, E.S. Kissel, A.N. Levy,S. MacCracken, P.R. Mastrandrea, and L.L. White (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
JAKARTA. Tantangan Perkotaan Seiring Perubahan Iklim. Kerjasama Satuan Tugas Walikota untuk Perubahan Iklim, Risiko Bencana & Masyarakat Miskin Perkotaan dan World Bank.
Johanna Wolf. 2007. The ecological citizen and climate change. Tyndall Centre for Climate Change Research. University of East Anglia. Norwich, UK.
Lasco, R., R. Cruz, J. Pulhin and F. Pulhin, 2006: Tradeoff analysis of adaptation strategies for natural resources, water resources and local institutions in the Philippines. AIACC Working Paper No. 32, International START Secretariat, Washington, District of Columbia, 31 pp.
Lim, B, and Spanger-Siegfred, E (eds). 2005. Adaptation Policy Framework for Climate Change. Developing Strategies, Policies and Measures. Cambridge: Cambridge University Press.
McCarthy JJ, Canziani OF, Leary NA, Dokken DJ, White KS (eds). 2001. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press.
Mekong River Commission.2010. Review of climate change adaptation methods and tools. MRC Technical Paper No 34. December 2010
Muhamad, A., A. Aryoseno dan R. Yuliantri. 2011. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta.
Nigel Goodhue, Helen Rouse, Doug Ramsay, Rob Bell, Terry Hume, Murray Hicks. 2012. Coastal Adaptation to Climate Change: Mapping a New Zealand’s Coastal Sensitivity Index. NIWA (National Institute of Water & Atmospheric Research) New Zealand.
OECD, 2003: Development and Climate Change in Bangladesh: focus onCoastal Flooding and the Sundarbans, COM/ENV/EPOC/DCD/DAC(2003) 3/FINAL, Organisation for Economic Co-operation and Development, Paris.
OECD, 2009: Integrating Climate Change Adaptation into Development Co-operation, Policy Guidance, OECD Publishing, Paris, France.
Osman-Elasha, B., N. Goutbi, E. Spanger-Siegfried, B. Dougherty , A. Hanafi , S. Zakieldeen,A. Sanjak, H.Atti and H. Elhassan. 2006: Adaptation strategies to increase human resilience against climate variability and change: Lessons from the arid regions of Sudan. AIACC Working Paper 42, International START Secretariat,Washington, District of Columbia.
Parry ML, Canziani OF, Palutikof JP, van der Linden PJ, Hanson CE (eds). 2007. Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press. (Lihat IPPC, 2007).
Paus Fransiskus. 2015. Ensiklik “Laudato Si” tentang Pemeliharaan Rumah Kita Bersama.
Pouliotte, J., N. Islam, B. Smit and S. Islam, 2006: Livelihoods in rural Bangladesh. Tiempo, 59, 18-22.
Rosenzweig, Cynthia, William Solecki, Stephen A.Hammer and Shagun Mehrotra. 2010. “Cities Lead the Way in Climate-change Action.” Nature 467:909-911.
Rosenzweig, Cynthia, William Solecki, Stephen A. Hammer, and Shagun Mehrotra, eds. 2011. Climate Change and Cities: First Assessment Report of the Urban Climate Change Research Network. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Smit, B., Pilifosova, O. (2001). Adaptation to climate change in the context of sustainable development and equity. Dalam J.J. McCarthy, O.F. Canzianni, N.A. Leary, D.J. Dokken and K.S. White: Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability – Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press.
Susanne Moser, Julia Ekstrom, Guido Franco. 2012. Our Changing Climate 2012: Vulnerability & Adaptation to the Increasing Risks from Climate Change in California. State of California and California Environmental Protection Agency (Cal/EPA).
UNDP, 2004: Adaptation Policy Frameworks for Climate Change: Developing Strategies, Policies, and Measures. United Nations Development Programme (UNDP), Cambridge University Press, Cambridge, UK.
UNDP, 2010a: Designing Climate Change Adaptation Initiatives: A UNDP Toolkit for Practitioners. United Nations Development Programme (UNDP) Bureau of Development Policies, Environment and Energy Group, New York, NY, USA.
UNDP, 2010b: Mapping Climate Change Vulnerability and Impact Scenarios: A Guidebook for Sub-National Planners. United Nations Development Programme (UNDP) Bureau of Development Policies, Environment and Energy Group, New York, NY. USA.
UNFCCC. 1995. REPORT OF THE CONFERENCE OF THE PARTIES ON ITS FIRST SESSION, HELD AT BERLIN FROM 28 MARCH TO 7 APRIL 1995. Addendum. PART TWO: ACTION TAKEN BY THE CONFERENCE OF THE PARTIES AT ITS FIRST SESSION. FCCC/CP/1995/7/Add.1. 6 June 1995.
UNFCCC. 1998. REPORT OF THE CONFERENCE OF THE PARTIES ON ITS THIRD SESSION, HELD AT KYOTO FROM 1 TO 11 DECEMBER 1997 Addendum. PART TWO: ACTION TAKEN BY THE CONFERENCE OF THE PARTIES AT ITS THIRD SESSION. FCCC/CP/1997/7/Add.1. 25 March 1998.
UNFCCC. 1999. REPORT OF THE CONFERENCE OF THE PARTIES ON ITS FOURTH SESSION, HELD AT BUENOS AIRES FROM 2 TO 14 NOVEMBER 1998. Addendum. PART TWO: ACTION TAKEN BY THE CONFERENCE OF THE PARTIES AT ITS FOURTH SESSION. FCCC/CP/1998/16/Add.1. 25 January 1999.
UNFCCC. 2002. REPORT OF THE CONFERENCE OF THE PARTIES ON ITS SEVENTH SESSION, HELD AT MARRAKESH FROM 29 OCTOBER TO 10 NOVEMBER 2001. Addendum. PART TWO: ACTION TAKEN BY THE CONFERENCE OF THE PARTIES. FCCC/CP/2001/13/Add.1. 21 January 2002.
UNFCCC. 2005a. Report of the Conference of the Parties on its tenth session, held at Buenos Aires from 6 to 18 December 2004. Addendum. Part Two: Action taken by the Conference of the Parties at its tenth session. FCCC/CP/2004/10/Add.1. 19 April 2005.
UNFCCC. 2005b. Synthesis of Available Information for the Preparation of National Adaptation Programmes of Action. Technical Paper FCCC/TP/2005/2, Least Developed Countries Expert Group, UNFCCC: Bonn, Germany.
UNFCCC. 2005c. Synergy Among Multilateral Environmental Agreements. Technical Paper FCCC/TP/2005/3, Least Developed Countries Expert Group, UNFCCC: Bonn, Germany.
UNFCCC. 2005d. Regional synergy in the Context of National Adaptation Programmes of Action. Technical Paper FCCC/TP/2005/4, Least Developed Countries Expert Group, UNFCCC: Bonn, Germany.
UNFCCC. 2005e. Elements for Implementation Strategies for National Adaptation Programmes of Action. Technical Paper FCCC/TP/2005/5, Least Developed Countries Expert Group, UNFCCC: Bonn, Germany.
UNFCCC. 2011. Report of the Conference of the Parties on its sixteenth session, held in Cancun from 29 November to 10 December 2010. Addendum. Part Two: Action taken by the Conference of the Parties at its sixteenth session. FCCC/CP/2010/7/Add.1. 15 March 2011
UNFCCC. 2012. Report of the Conference of the Parties on its seventeenth session, held in Durban from 28 November to 11 December 2011. Addendum. Part Two: Action taken by the Conference of the Parties at its seventeenth session. FCCC/CP/2011/9/Add.1. 15 March 2012.
UNFCCC. 2013. Report of the Conference of the Parties on its eighteenth session, held in Doha from 26 November to 8 December 2012. Addendum. Part Two: Action taken by the Conference of the Parties at its eighteenth session. FCCC/CP/2012/8/Add.1. 28 February 2013.
USAID, 2007: Adapting to Climate Variability and Change: A Guidance Manual for Development Planning. United States International Development Agency (USAID), Washington, DC, USA.
Wahono, Francis. 2013. Ekonomi Hijau, Manajemen Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Komunitas Dari Papua sampai Aceh. Cinde Books Yayasan Cindelaras Paritrana-Yogyakarta dalam kerjasama dengan GEF-SGP Indonesia-UNDP, Jakarta.
Wehbe, M., H. Eakin, R. Seiler, M. Vinocur, C. Afila and C. Marutto, 2006: Local perspectives on adaptation to climate change: lessons from Mexico and Argentina.AIACCWorking Paper 39, International START Secretariat,Washington, District of Columbia.
Wisner, B., et al. (2004). At Risk. London: Routledge.
World Bank, 2009a: Adapting to Climate Change in Europe and Central Asia. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank, Washington, DC, USA.
World Bank. 2009b. Climate Resilient Cities: A Primer onReducing Vulnerabilities to Disasters. Washington,DC: World Bank.
World Bank. 2010a. Climate Risks and Adaptation in AsianCoastal Megacities: A Synthesis Report. http://siteresources.worldbank.org/EASTASIAPACIFICEXT/Resources/226300-1287600424406/coastal_megacities_fullreport.pdf. Washington DC: World Bank.
World Bank. 2010b. Natural Hazards, Unnatural Disasters. http://www.gfdrr.org/gfdrr/sites/gfdrr.org/files/nhud/files/NHUD-Overview.pdf. Washington, DC: World Bank.
World Bank. 2010c. Citation of IEA, 2008. “Cities and Climate Change: An Urgent Agenda.” Washington DC:World Bank. ttp://siteresources.worldbank.org/INTUWM/Resources/340232-1205330656272/CitiesandClimateChange.pdf
World Bank, 2011: Guide to Climate Change Adaptation in Cities. Urban Development and Local Government Unit, Sustainable Development Network, The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank,Washington, DC, USA.
Zakiya, Z. 2013. Enam Dampak Perubahan Iklim. Kompas, 20 Januari 2013.