Oleh Bambang Kussriyanto
Indonesia: RENCANA AKSI NASIONAL ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM (RAN API)
Di dalam dokumen Komunikasi Nasional Indonesia yang pertama kepada UNFCCC tahun 1999 adaptasi hanya mendapat bagian empat atau lima halaman saja. Waktu itu adaptasi bukan bagian tindakan pokok Indonesia terhadap perubahan iklim, melainkan sekedar pelengkap dari tindakan mitigasi, di mana terdapat mekanisme CDM. Protokol Kyoto menentukan, bahwa sebagian dari dana CDM dari negara maju dapat disalurkan kepada negara berkembang, untuk mendanai tindakan adaptasi. Maka rumusan langkah adaptasi oleh Indonesia tampak sekali hanya dimaksudkan untuk menangguk dana CDM. Langkah adaptasi pun masih terbatas pada upaya riset kawasan pantai dalam kaitan dengan dampak perubahan iklim berupa kenaikan muka laut, dan untuk bidang kesehatan (yang juga tidak jelas rumusannya). [Indonesia. 1999. Hal. 22-23. 25-27].
Lihat juga Adaptasi Perubahan Iklim 1
Indonesia mendapat bantuan teknis dari beberapa pihak dalam bidang adaptasi perubahan iklim. Khususnya untuk pengembangan kapasitas. Japan International Cooperation Agency (JICA). AFD (Agence Française de Développement) dari Perancis telah memberikan dua pinjaman lunak kepada Pemerintah Indonesia, sebesar masing-masing 200 juta dolar AS di tahun 2008 dan 300 juta dolar AS di 2009, untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam memerangi perubahan iklim. Juli 2008, penerbitan dokumen “Perencanaan Pembangunan Nasional: Tanggapan Indonesia terhadap Perubahan Iklim”, yang mengintegrasikan isu perubahan iklim kedalam proses pembangunan nasional Indonesia dan memasukkan Matriks Kebijakan (lebih dikenal sebagai ”Policy Matrix”) untuk aksi menjadi dasar bagi pencarian dan pemerolehan Dana Pinjaman untuk Program Perubahan Iklim.
Sesuai dengan perkembangan dinamika pengarus-utamaan adaptasi dalam Kerangka Kovensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), selanjutnya adaptasi dibahas dalam satu bab khusus (Bab 4) dalam dokumen Komunikasi Nasional Indonesia yang kedua kepada UNFCCC tahun 2010. Bahasan yang paling panjang di antara 6 Bab lainnya, karena meliputi 51 halaman. Bisa dikatakan 34% dari keseluruhan jumlah halaman. Namun dari ke-51 halaman itu, lebih dari 48 halaman digunakan untuk membahas dampak perubahan iklim yang diperkirakan, utamanya terkait kawasan pantai dan kesehatan, tanpa bahasan mengenai gambaran mengenai analisis kerentanan, tentang berbagai opsi pilihan aksi adaptasi untuk tiap jenis kerentanan, tahu-tahu ditutup dengan macam-macam program adaptasi yang akan dilakukan sebagai simpulnya [Indonesia. 2010. IV.1-51]. Jadi masih amat sangat sederhana pengerjaannya. Dalam dokumen ini program adaptasi perubahan iklim berupa:
- Peningkatan kapasitas bagi masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tentang perubahan iklim
- Pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan dan ekosistem untuk adaptasi perubahan iklim
- Pengintegrasian upaya adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
- Peningkatan pendukung sistem adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sebenarnya sekitar 2010 sudah ada beberapa dokumen tentang adaptasi nasional untuk perubahan iklim. Antara lain: Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007); Indonesia Climate Change Sectoral Road Map (Bappenas, 2010), Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia (DNPI, 2011), Indonesia Adaptation Strategy (Bappenas, 2011), Strategi Pengarusutamaan Adaptasi dalam Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas, 2012). Satu sama lain mengandung pengulangan dan penegasan. Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 4 Juli 2013 telah mempresentasikan hasil kajian sebelumnya mengenai dampak perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada Bappenas, sebagai berikut:
Indikator | Bahaya Potensial di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil |
Kenaikan Temperatur | · Pemanasan setempat akibat meningginya suhu udara pada siang hari
· Meluasnya sebaran populasi serangga vektor penyakit |
Curah Hujan Yang Tidak
Menentu |
· Kekeringan akibat jumlah presipitasi yang defisit
· Penurunan ketersediaan air (PKA) akibat jumlah presipitasi yang defisit · Meningkatnya populasi nyamuk akibat banyaknya genangan air · Meningkatnya penyebaran penyakit melalui medium udara dan genangan air |
Naiknya Suhu Permukaan
Laut (SPL) |
· Perubahan pola migrasi ikan yang disebabkan oleh perubahan sirkulasi arus laut akibat distribusi kenaikan SPL
· Rusaknya terumbu karang (coral bleaching) karena peningkatan SPL dan keasaman air laut |
Naiknya Tinggi Permukaan
Laut |
· Meluasnya genangan air laut di daerah pesisir dapat menyebabkan mundurnya garis pantai
· Meluasnya daerah intrusi air laut melalui air tanah dan sungai |
Akibat Kejadian iklim
Ekstrem (ENSO, IOD/ DMI, PIO/IPO) |
· Terjadinya tahun kering secara berturut- turut
· Peningkatan peluang terjadinya hujan lebat, angin kencang, badai dan gelombang badai |
KejadianCuaca Ekstrem
(hujan lebat, badai, angin kencang, gelombang Badai) |
· Meningkatnya frekuensi dan intensitas erosi dan abrasi (akibat
perubahan arus sejajar dan tegak lurus pantai) sehingga menyebabkan perubahan garis pantai · Meningkatnya peluang kejadian banjir rob akibat badai dan gelombang badai · Meningkatnya kerusakan pada sarana dan prasarana publik |
Prof. Dr. Rachmat Witoelar, ketua Dewan Nasional Perubahan-Iklim Indonesia, menyatakan dengan arif: “Perubahan iklim beserta dampaknya memiliki dinamika yang sangat tinggi. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya adaptasi dampak. Karenanya, Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) tidak dapat menjadi dokumen yang statis melainkan harus mampu mengikuti dinamika yang ada. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) hendaknya selalu menjadi living document yang mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi dengan tidak meninggalkan kekhususan secara sektor dan bidang kegiatan, lokasi, kondisi sosial, ekomoni serta budaya masyarakat” [Bappenas. 2014. Hal. Vii]. Yang memrihatinkan adalah, jika yang diungkap terlalu sedikit tidak memadai dan kurang berarti, jika lebih banyak jadi rancu-bising-membingungkan dan tidak menghasilkan apa-apa selain kata-kata belaka.
Lihat juga Adaptasi Perubahan Iklim 2
Pada tahun 2014 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim 2014 yang sangat komprehensif, lengkap, dan bersifat strategis. Sifat dokumen yang strategis memberi kerangka dan arahan pada “Rencana Aksi”, yang mengisyaratkan rangkaian tindakan konkret, langkah-langkah nyata, konkret, tahap demi tahap, bersambung atau berulang.
Jika disimak, Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) 2014 walau bertolak dari dampak nyata yang sudah dirasakan pada suatu tempat (lokal) dan suatu masa dalam ekosistem tertentu, namun diektrapolasi dan diproyeksikan ke masa depan sebagai “indikasi” perubahan iklim nasional, dianggap memicu “kemungkinan dampak” nasional, yang selanjutnya menyebabkan pengaruh negatif pada sektor-sektor perekonomian, tata-kehidupan dan ekosistem. Indikasi perubahan iklim yang disampaikan dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) 2014 tidak berbeda dengan bahan presentasi ITB tahun 2013 berkenaan dengan satu ekosistem saja (wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil): Temperatur Permukaan, Curah Hujan (CH), Suhu permukaan laut (SPL), Tinggi muka laut (TML), Kejadian iklim ekstrem (ENSO, IOD/DMI, PIO/IPO) serta Kejadian cuaca ekstrem (Hujan lebat, Badai Angin kencang kencang, dan Gelombang badai).
Indikasi Perubahan Temperatur Permukaan (umumnya kenaikan antara 0,8o-1,0oC) ditengarai akan mengakibatkan meningkatnya konsumsi energi untuk alat-alat pendingin, evapotranspirasi berlebihan pada tumbuhan mengurangi hasil pertanian dan membahayakan persediaan pangan, timbulnya kebakaran hutan yang jelas menimbulkan kerugian ekonomi dan asapnya menyebabkan penyakit sesak napas, serta pengembangbiakan serangga lebih cepat dan luas yang memicu wabah penyakit manusia dan hama tanaman [Bappenas. 2014.Hal. 12.17.22]. Sebenarnya jika dilepaskan dari ekosistem yang menjadi lingkup penelitian awal (ITB) yaitu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, lalu ditempatkan pada ekosistem gunung, maka perubahan temperatur akan merujuk pada potensi percepatan pelapukan batuan dan mineral yang dapat memicu bencana longsor, dan akan menemukan bukti baru dampak perubahan iklim misalnya pada kejadian-kejadian tanah longsor di Jawa-Tengah dan Jawa-Barat. Pada ekosistem hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) bukti baru dampak perubahan iklim sehubungan dengan kenaikan temperatur permukaan dan pelapukan niscaya akan ditemukan dan berpengaruh kepada infrastruktur bangunan dam dan irigasi (selain membuat retakan juga menambah potensi sedimentasi, contohnya bendungan Wonogiri, yang jauh lebih cepat dari perkiraan pra pembangunan). Pada ekosistem lain di dataran rendah kenaikan temperatur bahkan bisa dicurigai akan memengaruhi kondisi jalan raya aspal dan beton serta rel kereta api dan memengaruhi keamanan dan kenyamanan transportasi. Cakrawala aksi adaptasi riil, konkret, niscaya kemudian akan meluas menjadi lebih beraneka-ragam dan lebih pantas mewakili lingkup nasional. Pendekatan Bappenas terlalu cepat menjauh dari lokasi indikasi dan dampak nyata yang berbasis ekosistem, bukannya lebih dulu melakukan pemerkayaan dengan merambah kepada ekosistem-ekosistem yang lain sekalian verifikasi dan kelengkapan, tetapi melompat langsung ke dalam abstraksi berbasis struktur pelayanan kelembagaan sektoral.
Indikasi Perubahan Curah Hujan (CH) yang tidak menentu, jika berlebihan secara umum dapat berakibat pada kejadian banjir dan longsor, namun sebaliknya curah hujan yang terlalu sedikit berakibat pada kekeringan dan penurunan ketersediaan air. Namun kajian menunjukkan tren perubahan curah hujan sangat bervariasi secara spasial untuk wilayah Indonesia. Misalnya, curah hujan untuk wilayah Jawa–Bali cenderung meningkat untuk Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali, namun cenderung menurun di Banten dan Jawa Tengah. [Bappenas. 2014.Hal. 1 3-4.18.23].Kejadian banjir juga biasanya menimbulkan kerugian di wilayah pemukiman, perkotaan, dan pertanian. risiko banjir sangat tinggi terdapat pada daerah retensi, kota-kota di pinggir pantai, bantaran sungai dan daerah-daerah rendah di hilir sungai besar, seperti kota-kota di pinggir sungai besar di Pulau Jawa, Sumatera bagian timur; Kalimantan Barat, Selatan dan Timur; timur Sulawesi, dan selatan Papua.
Diperhatikan pula peningkatan populasi nyamuk akibat bertambahnya genangan, dan karenanya peningkatan potensi penyebaran penyakit, baik karena air maupun karena nyamuk. . Beberapa penyakit menjadi indikator utama adanya dampak perubahan iklim misalnya malaria, demam berdarah dengue (DBD), dan diare. Daerah yang berisiko sangat tinggi terhadap penyakit malaria adalah Papua; sedangkan daerah yang risiko tinggi meliputi: Maluku, sebagian kecil wilayah Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Daerah yang memiliki risiko tinggi dan sedang terhadap penyakit DBD masih terkonsentrasi pada daerah Indonesia Timur, khususnya Pulau Papua dan sebagian Nusa Tenggara. Beberapa kota dan kabupaten di Pulau Jawa memiliki risiko rendah terhadap penyakit DBD. Daerah berisiko sangat tinggi terhadap penyakit diare juga berada di pulau Papua. Sebagian Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara memiliki risiko tinggi terhadap penyakit diare. Sementara kejadian longsor juga terkadang menimbulkan kerugian baik materi maupun jiwa pada wilayah permukiman yang terjal.
Risiko longsor yang sangat tinggi dihadapi Jawa-Bali bagian tengah-selatan, Sumatera bagian tengah-barat, sebagian besar Nusa Tenggara; Sulawesi, dan Papua bagian tengah. Penurunan ketersediaan air akan mempengaruhi pasokan air untuk wilayah perkotaan dan pertanian. Risiko kekurangan air yang sangat tinggi dihadapi wilayah Jawa-Bali, khususnya di Jawa Barat bagian utara dan selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian tengah dan selatan; di wilayah perkotaan Sumatera; Bali; Nusatenggara; dan Sulawesi Selatan.
Risiko kekeringan yang sangat tinggi akan dihadapi kawasan terbatas di bagian tengah Jawa; Sumatera bagian utara; dan sedikit di Nusa Tenggara. Suatu brosur UN-Water menyatakan: Indikasi perubahan curah hujan menantang manajemen air yang lebih baik dalam memelihara tingkat ketersediaan air secara memadai dan baik mutunya, dengan kelembagaan, prasarana maupun eksosistem, menyikapi air yang datang berlimpah (banjir) ataupun masa kekurangan air (kekeringan), untuk menyimpan, membagikan, dan menggunakan air.
Dokumen AR4 IPCC (IPPC, 2007) menyatakan bahwa Asia Tenggara diperkirakan akan sangat dipengaruhi dampak perubahan iklim dalam hal ini. Karena ekonomi sangat tergantung pada pertanian yang menjadi sumber pendapatan primer, perlu diperhatikan dampak pengaruh perubahan iklim dalam produktivitas pangan. Baik karena banjir maupun kekeringan. Sawah di Indonesia 6, 15 juta ha beririgasi, 4,02 juta ha tadah hujan. Kondisi air, humus dan tanah cenderung memburuk. Gabungan hujan monsun yang lebat dan kenaikan muka laut menyebabkan air banjir bertahan menggenangi tanah lebih lama sebelum ke laut. Peningkatan salinitas mengancam pertumbuhan dan produktivitas tanaman, terutama padi yang peka. Produksi padi berulang kali merosot karena masa kekeringan yang panjang dan musim hujan yang singkat namun menimbulkan banjir karena curah hujan yang sangat tinggi. Penentuan masa tanam yang tepat amat menentukan, selain variasi tanaman. Metode penanaman dengan menggunakan benih tang guh dan tidak rakus air patut dipertimbangkan. Tantangan adaptasi iklim dalam pertanian juga meliputi manajemen pengolahan dan penyuburan tanah, serta pengendalian hama dan penyakit tanaman
Indikasi Suhu permukaan laut (SPL), Kenaikan suhu permukaan laut ditengarai dapat merusak terumbu karang (coral bleaching) dan mengubah arus laut yang berakibat pada pola migrasi ikan di laut yang selanjutnya akan mempengaruhi mata pencaharian nelayan. Sementara itu kenaikan tinggi muka laut berakibat pada meluasnya genangan air laut dan abrasi di wilayah pesisir serta peningkatan intrusi air laut ke daratan. Semuanya akan berakibat negatif bagi masyarakat pesisir khususnya karena sebagian penduduk Indonesia bertempat tinggal di wilayah pesisir, khususnya di perkotaan pesisir.
Tinggi muka laut (TML) akan menimbulkan berbagai dampak antara lain penggenangan air laut di pesisir, erosi pantai dan sedimentasi, gelombang ekstrem, intrusi air laut baik melalui air sungai dan air tanah, kerusakan terumbu karang akibat coral bleaching, pergeseran ekosistem perairan yang mengganggu produktivitas perikanan. risiko penggenangan wilayah pesisir meliputi beberapa lokasi antara lain: Di Pulau Sumatra, beberapa lokasi pesisir provinsi Riau, Sumatra Utara, Aceh, Sumatra Barat, dan Lampung. Pesisir utara Pulau Jawa merupakan daerah yang sangat berisiko seperti DKI Jakarta dan Tangerang (Banten) serta daerah Semarang dan Tanjung Muria (Jawa Tengah). Di Nusa Tenggara, tingkat risiko tinggi terdapat di pesisir selatan Pulau Lombok, pesisir Teluk Saleh di Pulau Sumbawa, pantai Ende hingga sekitar pantai Larantuka di Pulau Flores. Di Pulau Kalimantan, beberapa pesisir seperti sekitar Pontianak dan Banjarmasin bahkan memiliki tingkat risiko sangat tinggi, dan di pesisir sekitar Samarinda terdapat risiko tinggi. Di Pulau Sulawesi, beberapa daerah pesisir terdapat tingkat risiko yang tinggi hingga sangat tinggi seperti di pesisir barat Sulawesi Selatan. Di Kepulauan Maluku, beberapa lokasi memiliki tingkat risiko tinggi seperti di pesisir sekitar Ternate (Pulau Halmahera), pesisir kota Ambon, pesisir kota Tual di Pulau Kai Kecil, yang banyak disebabkan oleh adanya infrastruktur vital seperti bandar udara. Di wilayah Papua, meskipun terlihat wilayah berisiko sedang yang cukup luas di bagian Selatan, wilayah bertingkat risiko tinggi hanya terdapat secara lokal di sekitar kota Jayapura dan Pulau Biak.
Untuk kejadian iklim ekstrem (ENSO, IOD/DMI, PIO/IPO) dan cuaca ekstrem di Indonesia: Kejadian iklim ekstrem merupakan bagian intrinsik dari sistem iklim yang bersifat kaotik (chaotic). Namun demikian, perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini ditengarai berpotensi meningkatkan frekuensi kejadian ekstrem di berbagai wilayah di dunia. El Nino umumnya berkaitan dengan kondisi kekeringan di wilayah Indonesia. Sejak 1850, dari 37 kekeringan yang tercatat, 21 di antaranya terkait El Nino. La Nina dikaitkan dengan hujan lebat. Namun banjir-banjir besar yang terjadi di Jakarta, misalnya, tidak terjadi di tahun-tahun ketika La Nina kuat. Karena variasi itu, kejadian cuaca ekstrem (hujan lebat, badai angin kencang kencang, dan gelombang badai) di Indonesia masih memerlukan analisis yang tidak mudah untuk dilakukan karena memerlukan data yang lebih detil dalam rentang waktu yang lebih panjang.
Demikianlah maka hingga sejauh ini risiko dampak perubahan iklim yang meminta perhatian terutama adalah Banjir, Penurunan Ketersediaan air, Kekeringan, Penggenangan air laut di pesisir, Penyebaran Demam berdarah (dengue), Malaria, Diare, Kebakaran hutan, Penurunan produksi pangan (padi).
Apa yang akan dilakukan berkenaan dengan risiko-risiko perubahan iklim itu?
Pemerintah Indonesia merencanakan program adaptasi terhadap perubahan iklim yang diintegrasikan, atau disatukan, di dalam arusutama program-program pembangunan.
Dalam hal ini rencana aksi adaptasi diarahkan agar:
(a) dampak yang merugikan dari perubahan iklim dapat dikurangi hingga seminimum mungkin, dan (b) dapat menurunkan tingkat kerentanan sistem alam, tatatan kehidupan, kelembagaan dalam berhadapan dengan risiko-risiko perubahan iklim, dan/atau meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam integrasi dengan arus utama program pembangunan berkelanjutan, maka Sasaran Strategis Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) berada dalam bidang sasaran :
(i) pembangunan ketahanan ekonomi,
(ii) pembangunan tatanan kehidupan (sosial) yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim (ketahanan sistem kehidupan),
(iii) pemeliharaan keberlanjutan layanan jasa lingkungan ekosistem (ketahanan ekosistem) dan
(iv) penguatan ketahanan wilayah khusus di perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Mendasari semua itu diselenggarakan (v) sistem pendukung yang meliputi manajemen pengetahuan termasuk penyelenggaraan penelitian-penelitian lanjutan berkesinambungan tentang perubahan iklim dan dampaknya, perencanaan dan peranggaran adaptasi dengan koordinasi pusat dan daerah, pengawasan dan evaluasi untuk penguatan ketahanan nasional yang berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim.
Pilihan aksi adaptasi pada perubahan iklim:
1. Bidang Sasaran Ketahanan Ekonomi |
1.1 Sub-Bidang Ketahanan Pangan
Sasaran • Penurunan tingkat kehilangan produksi pangan dan perikanan. • Pengembangan wilayah sumber pertumbuhan baru produksi pangan dan perikanan darat pada daerah dengan risiko iklim rendah dan dampak lingkungan minimum • Pengembangan sistem ketahanan pangan petani, nelayan dan masyarakat (mikro) dengan pola pangan yang sehat dan bergizi serta seimbang, dan diversifikasi pangan
Strategi • Penyesuaian dan pengembangan sistem usahatani terhadap perubahan iklim • Pengembangan dan penerapan teknologi adaptif terhadap cekaman iklim • Pengembangan dan optimalisasi sumberdaya lahan, air dan genetik.
Klaster Rencana Aksi 1. Penyesuaian Sistem Produksi Pangan 2. Perluasan Area Pertanian pangan dan Budidaya Perikanan 3. Perbaikan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pertanian yang Climate Proof 4. Percepatan Difersifikasi Pangan 5. Pengembangan Teknologi Inovatif dan Adaptif 6. Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi (Iklim dan Teknologi) 7. Program Pendukung
|
1.2 Sub Bidang Kemandirian Energi
Sasaran • Pengembangan energi bersumber dari tenaga air (hydropower) dan panas bumi pada daerah dengan risiko iklim rendah • Pengembangan tanaman untuk bioenergi (biomassa dan bahan bakar nabati) • Optimalisasi pemanfaatan limbah organik untuk produksi energi dan gas, • Peningkatan pemanfaatan sumber energi terbarukan di desa-desa terpencil
Strategi • Perbaikan dan konservasi wilayah tangkapan hujan pada DAS yang menjadi sumber pembangkit energi tenaga air dan panas bumi • Optimalisasi pemanfaatan limbah organik dan biomassa serta pengembangan sumber energy dari bahan bakar nabati (BBN).
Klaster Rencana Aksi 1. Perbaikan dan Konservasi Wilayah Tangkapan Hujan 2. Perluasan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan 3. Pengembangan Teknologi Inovatif dan Adaptif untuk Budidaya Tanaman Sumber Bahan Bakar Nabati dan Hutan Tanaman untuk Energi (energy plantation) 4. Program Pendukung
|
2. Bidang Sasaran Ketahanan Sistem Kehidupan |
2.1. Sub-Bidang Kesehatan
Sasaran 1. Identifikasi dan pengendalian faktor-faktor kerentanan dan risiko pada kesehatan masyarakat 2. Penguatan sistem kewaspadaan dan pemanfaatan sistem peringatan dini terhadap mewabahnya penyakit menular dan penyakit tidak menular yang diakibatkan perubahan iklim 3. Penguatan regulasi, peraturan perundangan, dan kapasitas kelembagaan di tingkat pusat dan daerah 4. Peningkatan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi, dan partisipasi masyarakat
Strategi • Penguatan dan pemutakhiran informasi kerentanan dan risiko kesehatan terhadap perubahan iklim, • Pengembangan kebijakan, perencanaaan, jejaring, dan kerja sama antar lembaga di tingkat lokal, regional dan nasional terkait risiko kesehatan terhadap perubahan iklim • Penguatan kapasitas dan kewaspadaan dini terkait ancaman perubahan iklim terhadap kesehatan di tingkat masyarakat dan pemerintah.
Klaster Rencana Aksi 1. pemuktahiran kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim bidang kesehatan pada tingkat kabupaten/kota, pengamatan dan pengendalian terhadap agen penyakit, perantara penyakit, kualitas lingkungan dan infeksi pada manusia, khususnya pada kelompok rentan: wanita, anak, lanjut usia dan masyarakat berpenghasilan rendah. 2. peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan melalui pemantauan dan pengumpulan data secara kontinu, koordinasi dan pelaksanaan tindakan, rencana tanggap darurat bencana untuk penanganan kesehatan dan informasi kepada masyarakat tentang wabah penyakit menular dan penyakit tidak menular yang disebabkan perubahan iklim. 3. penguatan regulasi dan peraturan perundangan dan penguatan kapasitas kelembagaan melalui penyusunan rencana aksi dan road map, koordinasi pelaksanaan tugas, kapasitas lembaga, kemitraan dan jejaring. 4. penelitian, pendidikan dan pengembangan teknologi terkait perubahan iklim dan adaptasi terkait kesehatan, pengembangan sumberdaya manusia bidang kesehatan dan partisipasi masyarakat terkait adaptasi kesehatan terhadap perubahan iklim.
|
2.2 Subbidang Pemukiman
Sasaran 1. Pelaksanaan kajian dan penelitian mengenai peningkatan ketahanan permukiman yang adaptif terhadap perubahan iklim. 2. Pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan permukiman yang terintegrasi dengan penanggulangan dampak perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. 3. Pemahaman pemangku kepentingan dan masyarakat mengenai permukiman yang tangguh terhadap perubahan iklim. 4. Peningkatan akses terhadap perumahan yang layak dan terjangkau.
Strategi (a) penyediaan fasilitas penunjang aktivitas kajian dan penelitian mengenai ketahanan permukiman yang adaptif terhadap perubahan iklim, (b) pengembangan struktur perumahan yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim yang terjangkau, (c) Diseminasi informasi mengenai permukiman yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim kepada pemerintah pada berbagai tingkatan, (d) Penyusunan program aksi adaptasi perubahan iklim sub bidang permukiman mengacu pada kebutuhan sub bidang permukiman dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Klaster Rencana Aksi (1) kajian dan pemetaan risiko dan adaptasi perubahan iklim khususnya pada permukiman dan infrastruktur permukiman, kajian pembangunan kawasan perumahan tapak yang berkelanjutan (sustainable landed housing area development) dan kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir yang rentan terhadap kenaikan muka air laut. (2) penyediaan infrastruktur tanggap perubahan iklim di kawasan permukiman di perkotaan dan penyesuaian infrastruktur kawasan permukiman di daerah rawan bencana perubahan iklim. (3) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang adaptasi terhadap perubahan iklim pada kawasan perkotaan dan perdesaan terkait permukiman, peningkatan partisipasi dan kapasitas masyarakat akibat perubahan iklim PRB di wilayah rentan, dan kesiapsiagaan terhadap bencana akibat perubahan iklim di wilayah permukiman rentan. (4) penyediaan permukiman dengan struktur kuat dan adaptif terhadap perubahan iklim yang layak dan terjangkau termasuk di dalamnya perencanaan relokasi permukiman yang terkena bencana dampak perubahan iklim, standar dan konsep struktur perumahan yang kuat menghadapi dampak perubahan iklim, peningkatan masyarakat yang menggunakan standar struktur perumahan adaptif perubahan iklim, memasukkan perspektif gender dalam perancangan dan rencana konstruksi perumahan adaptif perubahan iklim dan konsep rancangan bangunan yang hemat energi.
|
2.3. Subbidang Infrastruktur
Sasaran 1. Pengembangan konsep ketahanan infrastruktur yang adaptif terhadap perubahan iklim 2. Pengembangan prasarana yang adaptif terhadap perubahan iklim 3. Penyediaan dan penyesuaian infrastruktur yang berdampak langsung pada kesehatan masyarakat yang memiliki tingkat aksesabilitas tinggi khususnya bagi kelompok masyarakat yang rentan dan tangguh terhadap perubahan iklim 4. Pengelolaan tata letak infrastrukur yang terintegrasi dengan penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan.
Strategi 1. Penyesuaian baik dari struktur, komponen, desain maupun lokasi infrastruktur yang tangguh terhadap perubahan iklim, 2. Perbaikan infrastruktur eksisting yang rentan terhadap perubahan iklim baik dari segi struktur, fungsi maupun lokasinya, 3. Fasilitasi aktivitas kajian dan penelitian mengenai konsep ketahanan infrastruktur terhadap perubahan iklim.
Klaster Rencana Aksi 1. penelitian dan pengembangan mengenai peningkatan ketahanan infrastruktur yang adaptif terhadap perubahan iklim terutama untuk menyediakan database kondisi dan proyeksi semua infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir dan perkotaan serta norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) tentang infrastruktur tangguh terhadap dampak perubahan iklim. 2. penyediaan sistem drainase perkotaan yang berwawasan lingkungan, melakukan identifikasi, pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai, melaksanakan pembangunan, operasi, dan pemeliharaan, prasarana dan sarana pengendalian banjir dan kekeringan. 3. pengurangan risiko terganggunya fungsi aksesibilitas pada jalan dan jembatan akibat dampak perubahan iklim, perencanaan, Manajemen dan Sistem operasi transportasi darat, pengelolaan perkeretaapian, pengelolaan transportasi laut dan pengelolaan transportasi udara yang memperhatikan dampak perubahan iklim. 4. penguatan pengetahuan dan kapasitas pemerintah mengenai infrastruktur tangguh terhadap perubahan iklim yang berdampak langsung pada kesehatan masyarakat (air bersih, air limbah, dan sanitasi) dan penyediaan sarana dan prasarana sistem sanitasi dan pengolahan limbah yang tangguh terhadap perubahan iklim. 5. penerapan konsep dan struktur kota dan wilayah berdasarkan kajian kerentanan masyarakat dan infrastruktur dan penerapan pembangunan kota-kota hijau (Green Cities) termasuk di dalamnya green building, green energy, green water, green transportation, green waste dan pemanfaatan air permukaan. 6. pengumpulan data dan informasi melalui penelitian mengenai perubahan iklim, faktor kerentanan dan risiko lingkungan, faktor kerentanan dan risiko sosial, ekonomi dan geografi; pembangunan sistem informasi tanggap perubahan iklim yang handal dan mutakhir dan pengembangan teknologi yang mendukung manajemen prasarana sumber daya air. 7. sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan pemerintah daerah dan masyarakat mengenai infrastruktur penyedia energ yang adaptaif, perlindungan infrastruktur energi dari dampak perubahan iklim dengan mengidentifikasi infrastruktur yang rentan dan tindakan-tindakan perlindungan serta perencanaan infrastruktur energi yang baru baik penyusunan rancangan dan pengadaaan infrastruktur energi baru.
|
3. Bidang Sasaran Ketahanan Ekosistem |
Sasaran
1. Penurunan luas kerusakan ekosistem alami darat dan laut oleh kejadian iklim ekstrim dan perubahan iklim 2. Peningkatan kualitas dan kuantitas terumbu karang dan tutupan hutan pada wilayah DAS prioritas 3. Penurunan tingkat keterancaman spesies-spesies kunci akibat perubahan iklim 4. Peningkatan sistem ketahanan ekosistem
Strategi (a) Pengamanan ketersediaan air dan perlindungan terhadap iklim ekstrim (Securing Water Availability and Protecting from Extreme Weather), (b) Pencegahan kehilangan ekosistem dan keanekaragaman hayati (Avoiding Ecosystem and Biodiversity Loss), dan (c) Penjagaan keberlanjutan ketersediaan air dan konservasi ekosistem serta keanekaragaman hayati (Sustainable Water Supply and Conservation of Ecosystem and Biodiversity).
Klaster Rencana Aksi 1. Perbaikan/Penyempurnaan Tata Ruang dan Tataguna Lahan. 2. Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Produktif secara Lestari. 3. Peningkatan Tata Kelola Kawasan Konservasi dan Ekosistem Esensial. 4. Rehabilitasi Ekosistem yang Terdegradasi. 5. Pengurangan Ancaman Terhadap Ekosistem. Integrated Forest Fire Management. 6. Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi. 7. Program Pendukung.
|
4. Bidang Ketahanan Wilayah Khusus |
4.1. Sub Bidang Perkotaan
Sasaran 1. Pengintegrasian upaya adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana penataan ruang perkotaan. 2. Penyesuaian infrastruktur dan fasilitas perkotaan dengan ancaman perubahan iklim saat ini. 3. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Perkotaan terkait Isu Ancaman Perubahan Iklim
Strategi (a) Penyesuaian rencana tata ruang kawasan perkotaan terhadap ancaman perubahan iklim, (b) Pengelolaan lingkungan kawasan perkotaan secara berkelanjutan, (c) Peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas di kawasan perkotaan, (d) Peningkatan kapasitas masyarakat perkotaan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, dan (e) Pengembangan dan optimalisasi riset dan sistem informasi tentang perubahan iklim di kawasan perkotaan.
Klaster Rencana Aksi (1) Klaster Pengintegrasian Upaya Adaptasi Perubahan Iklim ke dalam Rencana Tata Ruang Perkotaan. (2) Klaster Penyesuaian Infrastruktur dan Fasilitas Perkotaan untuk Mengantisipasi Ancaman Perubahan Iklim. (3) Klaster Peningkatan Kapasitas Masyarakat Perkotaan Terkait Isu Ancaman Perubahan Iklim.
|
4.2. Sub Bidang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Sasaran 1. Peningkatan kapasitas kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan isu perubahan iklim. 2. Pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan dan ekosistem untuk adaptasi perubahan iklim 3. Penerapan tindakan adaptasi struktural dan non struktural di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan terhadap perubahan iklim. 4. Pengintegrasian upaya adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 5. Peningkatan sistem pendukung adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Strategi (a) Stabilitas kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap ancaman perubahan iklim, (b) Peningkatan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) Pelaksanaan pembangunan struktur adaptasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) Penyesuaian rencana tata kawasan perkotaan terhadap ancaman perubahan iklim, dan (e) Pengembangan dan optimalisasi riset dan sistem informasi tentang perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Klaster Rencana Aksi (1) Klaster Peningkatan Kapasitas Kehidupan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terkait dengan Isu Perubahan Iklim. (2) Klaster Pengelolaan dan Pendayagunaan Lingkungan dan Ekosistem untuk Adaptasi Perubahan Iklim. (3) Klaster Penerapan Tindakan Adaptasi Struktural dan Non Struktural untuk Mengantisipasi Ancaman Perubahan Iklim. Pengembangan Coastal Resilience Village (CRV) atau Desa Pesisir Tangguh. (4) Klaster Pengintegrasian Upaya Adaptasi ke dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. (5) Klaster Peningkatan Sistem Pendukung Adaptasi Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
|
5. Sistem Pendukung yang Memadai |
Sasaran
1. Peningkatan kapasitas bagi pemangku kepentingan dalam adaptasi perubahan iklim 2. Pengembangan informasi iklim yang handal dan mutakhir 3. Peningkatan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait adaptasi perubahan iklim 4. Perencanaan dan penganggaran yang dapat merespon perubahan iklim. 5. Pemantauan dan evaluasi kegiatan adaptasi perubahan iklim.
Klaster Rencana Aksi 1. Peningkatan Kapasitas Bagi Pemangku Kepentingan dalam Adaptasi Perubahan Iklim 2. Pengembangan Informasi Iklim yang Handal dan Mutakhir 3. Peningkatan Riset dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terkait Adaptasi Perubahan Iklim 4. Perencanaan dan Pengangaran serta Peraturan Perundangan yang dapat Merespon Perubahan Iklim. 5. Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim
|
(Sumber: Diolah dari Bappenas. 2014. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim 2014. Hal. 33-53).
Implementasi
Surat Keputusan Menteri PPN/ Kepala Bappenas No Kep.38/M.PPN/HK/03/2012 tentang pembentukan antara lain mengatur penyelenggaraan Kelompok Kerja (Pokja) Adaptasi. Pokja Adaptasi Tim Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim antara lain bertugas melaksanakan koordinasi implementasi program adaptasi dan sinkronisasi di masing-masing kementerian/lembaga, di bawah kendali Tim Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim bentukan Kementerian PPN/Bappenas.
Pembagian tugas implementasi RAN-API disebutkan sebagai berikut:
- Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengkoordinasikan pelaksanaan dan pemantauan RAN-API dengan melibatkan para Menteri dan Gubernur yang terkait dengan upaya adaptasi perubahan iklim, serta melaporkan pelaksanaan RAN-API yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali
- Menteri PPN/Kepala Bappenas bertugas mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-API yang
terintegrasi, serta menyusun pedoman penyusunan RAD-API.
- Menteri Dalam Negeri bertugas memfasilitasi penyusunan RAD-API bersama Menteri PPN/Kepala
Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup.
- Kementerian/Lembaga lainnya sesuai tupoksi masing-masing bertugas untuk menjalankan RAN-API sehingga dapat diukur, dilaporkan, diverifikasi, baik dengan pendanaan sendiri maupun kerjasama dengan dunia internasional, serta melakukan pemantauan pelaksanaan RAN-API dan melaporkan hasilnya secara berkala kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas.
- Pemerintah Provinsi diharapkan menyusun Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API) yang mengacu pada RAN-API dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.
- Gubernur menyampaikan RAD-API kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya adaptasi nasional.
Dokumen RAN-API mengakui, Pemerintah Daerah memiliki peran penting dalam implementasi adaptasi sesuai dengan kondisi wilayah dan tingkat kerentanan daerah masing-masing terhadap dampak perubahan iklim. Pada dasarnya dampak langsung perubahan iklim dialami pada skala lokal, sehingga aksi adaptasi juga dilakukan pada tingkatan dan kondisi lokal setempat. Namun demi efektivitas dan efisiensi menyeluruh dalam integrasi dalam pembangunan nasional, rencana aksi adaptasi pada berbagai tingkatan pemerintah, perlu dipandu dan didukung strategi dan kebijakan adaptasi di tingkat pusat. Sehubungan dengan kewenangan selalu perlu diperhatikan lingkup kewenangan masing-masing mitra mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan PP No.38 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Pemantauan, Pelaporan, Evaluasi
Mekanisme monitoring, evaluasi, pelaporan dan kaji ulang implementasi RAN-API yang merupakan bagian siklus penyusunan dan pemutakhiran RAN-API sesuai dengan perkembangan terkini perubahan iklim di tingkat nasional dan global masih akan dibuat. Agak lucu juga, entah karena penyusunan RAN-API hasil proses kerajinan tangan “copy and paste”, proses pemantauan dan evaluasi implementasi RAN-API dikatakan “diperlukan untuk memastikan pencapaian target dan sasaran penurunan emisi yang telah ditetapkan”, yang bukan urusan adaptasi [Bappenas. 2014.Hal 61]. Diharapkan dalam mekanisme itu, proses pemantauan pelaksanaan kegiatan RAN-API dilakukan oleh Kementerian/Lembaga terkait dan secara berkala dilaporkan kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas. Mekanisme Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan “dalam status” masih akan diatur kemudian sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Perencanaan nasional sebagai salah satu proses manajerial memang memerlukan keahlian, apalagi di tingkat pusat. Para perencana dituntut menguasai lebih dari disiplin “Corporate Planning” dan “Strategic Planning”. Bukan hanya soal perumusannya merupakan tantangan, misalnya untuk membedakan formulasi “sasaran” dengan formulasi strategi atau formulasi tindakan aksi, namun terutama penguasaan materinya, yang di sini memang sulit karena harus lintas-disiplin dan lintas sektoral, dan menuntut ketrampilan negosiasi dengan kebijaksanaan koordinatif dan penyelarasan. Namun semoga sebagai suatu living document yang dinamis menurut Prof. Dr. Rachmat Witoelar, dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim dapat berkembang semakin baik setelah upaya peningkatan kapasitas, mengingat fungsinya memberikan “arahan pada Rencana Kerja Pemerintah maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di masa depan”, “menjadi masukan utama dan bagian integral dari dokumen perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan Kementerian/Lembaga (K/L)”, dan “acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Aksi/Strategi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim sebagai arahan dalam menyiapkan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang tahan perubahan iklim” [Bappenas 2014. Hal. 3-4].
Sub Nasional
Peranan rencana nasional adalah melakukan koordinasi aksi adaptasi tingkatan pemerintahan subnasional dan lokal sebagai kerangka hukum dan pengarahan aksi dalam sektor-sektor pembangunan nasional (Biesbroek et al., 2010; Bierbaum et al., 2013). Walau pada umumnya pemerintah subnasional berperan sebagai “pelengkap pelaku” bagi pemerintah nasional (West and Gawith, 2005; Lemmen et al., 2008; Karl et al., 2009) namun di Indonesia undang-undang otonomi daerah memberikan gambaran berbeda. Pemerintah Daerah memiliki peran penting dan utama baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan adaptasi sesuai dengan kondisi wilayah dan tingkat kerentanan daerah masing-masing terhadap dampak perubahan iklim. Justru prakarsa dan usulan aksi adaptasi seharusnya muncul dari kalangan Pemerintah Daerah bertolak dari pemahaman tentang dampak langsung perubahan iklim yang telah dialami (dan akan dialami) daerahnya, diselaraskan dengan rencana pembangunan daerah.
Demi upaya adaptasi yang efektif peran Pemerintah Pusat yang diperlukan adalah mengadopsi rencana aksi berbagai Pemerintah Daerah dan secara konsultatif menempatkannya pada rencana pembangunan nasional. Dengan semangat subsidiaritas kekurangan (gap) kapasitas yang tampak di daerah entah dalam hal basis informasi iklim, kelembagaan, teknologi maupun pendanaan, didukung atau dibantu oleh Pusat. Terhadap Pemerintah Daerah framework atau kerangka strategi dan kebijakan adaptasi dari tingkat Pusat lebih merupakan komunikasi arah, bidang sasaran, metode, konsultansi teknis, alih teknologi, pengembangan kapasitas, mekanisme pendanaan dan koordinasi informasi [bandingkan Bappenas. 2014. Hal. Xiii].
Peran sentral Pemerintah Daerah dalam soal rencana dan implementasi aksi adaptasi justru menentukan prioritas aksi yang sesuai dengan kepentingan mendesak bagi daerah [IPCC 2014. Hal. 881], sebab pada dasarnya Pemerintah Daerah melayani keperluan daerah. Terhadap hasil penilaian atas risiko dampak dan kerentanan lokal berkenaan dengan perubahan iklim, Pemerintah Daerah mengupayakan pengembangan kapasitas daerah untuk mengatasi dampak perubahan iklim sekali gus memerbaiki ketahanan lokal dengan memerhatikan : • Pengembangan Prasarana dan asset daerah; • Optimalisasi proses teknologi adaptasi, termasuk mengadopsi kearifan lokal yang relevan; • Mengusahakan perubahan sikap dan kelembagaan sesuai dengan tuntutan adaptasi dan menguatkannya; •Menerapkan manajemen sumberdaya alam yang terpadu (termasuk perairan dan wilayah pantai); • Menata pendanaan adaptasi, termasuk mengusahakan asuransi dalam rangka alih-beban risiko adaptasi; • Sistem Informasi untuk menunjang peringatan dini lokal termasuk struktur informasi tradisional dan demi perencanaan adaptasi proaktif.
Tentu saja dokumen strategi dan rencana aksi adaptasi (RAD API) dari Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) harus terintegrasi dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah, dalam hal ini RPJMD dan RTRW Provinsi/ Kabupaten/Kota. Juga berisikan program dan kegiatan prioritas per bidang dan terkait erat dengan Rencana Strategis masing-masing SKPD terkait. Sebab selain diselaraskan dengan prioritas-prioritas pembangunan daerah, untuk pengerahan sumberdaya dan dana daerah juga diperlukan koordinasi dan integrasi dengan seluruh komponen daerah.
Pendekatan adaptasi perubahan iklim baik perencaan maupun implementasi dalam konteks daerah juga menggunakan kedua ragam pendekatan umum, top-down (atas-bawah) dan bottom-up (bawah-atas). Pendekatan top-down adalah penyampaian informasi kepada masyarakat berdasar sinario-sinario perubahan iklim yang akan meliputi daerah dan proyeksi-proyeksi lokal, salah satu tujuannya adalah untuk mengundang partisipasi lokal (universitas, perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset yang ada), berlanjut dengan penilaian dampak dan kerentanan (yang juga perlu dilakukan sejauh mungkin secara partisipatif, dilanjut dengan perumusan strategi dan pilihan aksi adaptasi dengan memerhatikan dimensi sosial dari adaptasi perubahan iklim terkait kelompok-kelompok yang paling rentan seperti anak-anak, kaum perempuan dan para lanjut usia. Walau akan dialami banyak kendala kelembagaan, praktek ini akan mengarah kepada upaya pengarusutamaan yang diusahakan sejalan dengan rencana pembangunan. Pengayaan rencana dasar dilakukan dengan melibatkan pihak pemangku kepentingan di luar pemerintahan, melalui pertemuan kelompok-kelompok partisipatif yang melaksanakan pendekatan bottom-up. Pemerkayaan itu akan merupakan proses pemilikan upaya bersama masyarakat aksi adaptasi perubahan iklim sehingga program-program akan diwarnai oleh upaya adaptasi berbasis komunitas (community-based adaptation, CBA). Di negara berkembang CBA justru sering merupakan tulang punggung aksi-aksi adaptasi, yang kemudian diadopsi dan didukung oleh pemerintah daerah; namun sekarang pun CBA dipraktekkan di negara-negara maju. Jauh sebelum ada upaya subsidiarisasi dan koordinasi serta konsolidasi pemerintah (Daerah maupun Pusat), upaya-upaya adaptasi perubahan iklim berbagai lokal sudah dilaksanakan oleh prakarsa komunitas dan secara otonom, seperti misalnya di daerah rentan Nusa Tenggara Barat dan Timur.
Disadari bahwa pada garis depan, pelaksana yang sesungguhnya dari upaya adaptasi iklim itu adalah masyarakat sendiri, sedang peran pemerintah adalah memberikan fasilitasi atau kelancaran upaya-upaya praktis (juga ketika melakukan pola trilogi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara: di depan memberi teladan, di tengah menguatkan tekat, dan di belakang memberi dorongan semangat). Dengan pengarusutamaan aksi adaptasi ke dalam gerak pembangunan, diharapkan sinergi yang lebih besar, dengan sumberdaya yang lebih besar, dengan hasil yang lebih luas, berada di dalam jaringan yang semakin lebar, nasional, regional, internasional, bahkan global.
Kota-kota
Hampir 50% penduduk dunia tinggal di kota-kota. Dan banyak kota sangat rentan posisinya berhadapan dengan dampak perubahan iklim, entah banjir, badai/topan, longsor, kekeringan, kenaikan muka laut dan berbagai bencana lain. Bandung – Balikpapan – Bekasi – Bogor – Blitar – Depok – DKI Jakarta – Madiun – Malang – Palembang – Surabaya – Tangerang adalah kota-kota yang termasuk sebagai 50 wilayah terentan di Indonesia dari 341 wilayah kabupaten/kota dalam kajian Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia, SIDA/CIDA, 2009. [Arief Anshory Yusuf et al. 2009]. Wilayah perkotaan merupakan “locus” (titik pusat) prakarsa perencanaan adaptasi yang semakin bertumbuh. Pendorong utama upaya merencanakan adaptasi adalah sebagai tanggapan pada kejadian iklim ekstrem sekarang dan potensi dampak masa depan (Rosenzweig and Solecki, 2010; Rosenzweig et al., 2011; Carmin et al., 2012). Perbedaan pendekatan berimplikasi pada tata-kelola adaptasi, tatanan kelembagaan, sumber-sumber dan pelibatan pemangku kepentingan dalam proses perencanaan dan implementasi. Kajian lebih lanjut niscaya menghasilkan pemehaman yang semakin luas dan dalam, yang berguna terutama dalam penyusunan legislasi, struktur operasi dan manajemen, agenda kerja, serta cakrawala waktu adaptasi.
Dari zaman dulu, di dalam sejarah peradaban, manusia membangun kota-kota dengan memertimbangkan bagaimana menghindari risiko-risiko bermacam ragam bencana yang sudah mereka kenal pada saat itu dan di masa depan, dan berusaha melindungi kesejahteraan hidup penduduk warga kota. Banyak kota sehari-hari sudah harus menghadapi tantangan biasa dalam pelayanan kepada warga, berusaha mengatasi kemiskinan kota, dan merasakan “defisit pembangunan”, ketika sarana dan prasarana yang ada terasa selalu “kurang memadai” dibandingkan dan kebutuhan-kebutuhan yang semakin meningkat. Pelbagai situasi “defisit pembangunan” seperti itu menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi pembangunan berkelanjutan, membatasi juga ketahanan kota dalam menghadapi aneka bencana dan risiko bencana masa depan yang lebih intens dan luas karena perubahan iklim (World Bank. 2010b).
Sebagaimana kota-kota memperkirakan risiko-risiko pelbagai bencana dan melakukan upaya-upaya untuk mengurangi dampak bencana dalam melindungi warga penduduknya, demikian pula sekarang mereka berusaha mengatasi dampak perubahan iklim. Di zaman dulu sudah ada gagasan tentang “kota yang tangguh”, kokoh-kuat, diperlihatkan dalam rupa benteng-kota berhadapan dengan paparan dan hamparan risiko yang akan menyerang. Di zaman sekarang gagasan “kota yang tangguh” terhadap paparan dampak merugikan yang dihadapi sudah berbeda bentuk perupaannya. Namun unsur-unsur tindakan yang sama untuk membangun ketahanan tetap dilakukan dulu maupun sekarang, yaitu mulai dari menghitung paparan dampak merugikan yang akan dihadapi, membandingkannya dengan kepekaan kota dalam menghadapi besaran, luasan, intensitas dan durasi dampak, menyusun kebijakan dan melaksanakan upaya-upaya membangun kapasitas adaptif kota demi mengurangi tingkat kerentanan, dan dengan cara demikian membangun kota yang tangguh.
Kota yang tangguh mampu beradaptasi dengan bencana dan dampak iklim sekarang dan di masa depan dengan membangun hubungan-hubungan kelembagaan dan sosial baik yang baik dan kompak di dalam maupun di luar, menghasilkan jaring-jaring pengaman yang padu dan efektif berfungsi baik formal maupun informal secara merata untuk seluruh penduduk warga kota [World Bank. 2011]. Dulu terdapat gambaran “kota pengungsian” atau “kota perlindungan” di mana penduduk di luar batas kota masuk mendatangi kota dan ditampung di dalamnya ketika serangan bencana datang. Gambaran semacam itu masih perlu diperhitungkan sekarang mengingat kota mengalami “urbanisasi” mendadak dan menampung penduduk dari tempat-tempat lain untuk mencari penghidupan ketika tempat mereka mengalami banjir atau kekeringan. Daya adaptif kota harus ditambah dengan kemungkinan yang menambah tekanan seperti itu.
Pada umumnya, risiko-risiko yang terpapar oleh dampak perubahan iklim untuk kota-kota dunia adalah sebagai berikut:
Dampak yang diperhitungkan | Konsekuensi yang Dihadapi Kota-kota | Lokasi Geografis
Yang paling rentan |
Suhu naik.
Hari dan malam sejuk berkurang. Lebih banyak hari dan malam panas.
Gelombang panas datang makin kerap. |
Ditambah dampak panasnya kota sendiri (kota sudah pengap karena banyak menyerap panas, menambah panas dengan kegiatan industri dan transportasi, dan kekurangan bantuan hijau-hijauan untuk pendinginan), menyebabkan meningkatnya risiko kematian atau sakit utamanya pada orang lanjut usia, penderita sakit kronis, bayi dan mereka yang diisolasi secara sosial.
Kebutuhan meningkat untuk fasilitas penyejuk. [Pengurangan energi untuk pemanasan]. Kualitas udara memburuk. Sumber air mengalami tekanan, termasuk kota yang mengandalkan air dari salju, karena kebutuhan akan air bertambah. Mutu air memburuk. Meluasnya wilayah penyebaran penyakit yang dibawa vektor (seperti malaria). [Gangguan lalulintas oleh air atau salju berkurang].
|
Semua kota, terutama kota pedalaman dan kota yang sumber airnya dari salju.
|
Peningkatan curah hujan.
Intensitas kegiatan badai tropis bertambah. |
Banjir, topan, angin kencang, longsor.
Gangguan dan pencemaran fasilitas instalasi penyediaan air kota dan sistem drainasi, dampak buruk atas kualitas air permukaan dan air tanah. Kerusakan dan kerugian atas aset fisik dan prasarana : rumah2, sarana publik, jaringan pelayanan umum (listrik, telepon, gas, TV dll). Risiko kematian, luka dan sakit meningkat (terutama karena penyakit yang terkait air) Gangguan transportasi dan lalulintas, perdagangan, dan aktivitas ekonomi. Peningkatan pembayaran asuransi meluas dan menggoyang struktur keuangan kota. Amblesnya sebagian tanah kota (sering dikatakan keberatan beban kota)hingga di bawah permukaan laut menyebabkan genangan air bertahan lama dan menimbulkan penyakit.
|
Kota di tepi pantai, di bantaran sungai, atau di dataran aliran sungai, dan di kawasan pegunungan.
|
Kekeringan yang meluas
|
Sumber air tertekan, kebutuhan air meningkat, mutu air menurun.
Listrik PLTA menurun produksinya. Kerusakan tanah; hasil pertanian merosot; risiko kekurangan bahan pangan; badai debu. Migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan.
|
Semua kota, terutama kota di wilayah gersang.
|
Kenaikan muka laut. | Erosi permanen dan tanah daratan tenggelam;
Biaya perlindungan pantai dan relokasi bertambah. Intrusi air laut menyebabkan persediaan air tanah tertekan dan berkurang. Tambahan dampak merusak dari topan tropis dan tinggi gelombang, banjir kawasan pesisir.
|
Kota-kota tepi pantai |
Sumber: Diolah dari IPCC 2007, World Bank 2009, Rosenzweig et al. 2010, 2011; dan UNEP 2009.