Oleh Bambang Kussriyanto
Program Kerja Buenos Aires tentang Adaptasi dan Langkah Tanggapan
Tonggak sejarah pertama untuk persetujuan adaptasi perubahan iklim dicapai dalam COP-10/2004 di Buenos Aires ketika pihak-pihak sepakat mengambil keputusan 1/CP.10, menerima paket yang dikenal sebagai “Program Kerja Buenos Aires tentang Adaptasi dan Langkah Tanggapan”.
Berkenaan dengan dampak perubahan iklim yang merugikan, COP-10/2004 melanjutkan implementasi keputusan 5/CP.7 melalui tindakan-tindakan: (1) meningkatkan penghimpunan, analisis dan penyebaran informasi, misalnya peningkatan jaringan pengamatan dan pemantauan sistematik dengan Global Climate Observing System (GCOS) dengan peningkatan upaya berbagi data di antara pihak-pihak, dan melalui pengembangan kapasitas nasional; (2) melanjutkan pelatihan di bidang-bidang khusus yang relevan dengan adaptasi; (3) pengembangan dan penguatan perangkat model yang khas untuk wilayah tertentu guna menakar perubahan iklim dan dampaknya; (4) menguatkan lembaga-lembaga melalui program riset untuk mengatasi dampak merugikan perubahan iklim di sektor-sektor yang rentan; (5) melanjutkan dukungan untuk pendidikan, pelatihan, kesadaran umum akan perubahan iklim dan menopang peranserta para pemangku kepentingan; (6) pelaksanaan proyek-proyek rintisan dan demo bagi adaptasi perubahan iklim; (7) lebih lanjut meningkatkan pelatihan teknis untuk penghitungan dampak dan kerentanan secara terpadu dan untuk manajemen lingkungan; (8) menganjurkan dengan mendesak alih teknologi adaptasi dalam sektor-sektor prioritas seperti pertanian dan sumber air; (9) melanjutkan pengembangan kapasitas untuk mencegah dan tanggap pada bencana yang terkait perubahan iklim seperti kekeringan, banjir dan kejadian-kejadian cuaca ekstrem.
Lihat: ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 1
GEF diminta dalam COP-10 untuk melaporkan kepada sidang-sidang COP selanjutnya bagaimana realisasi penyaluran bantuan untuk kegiatan-kegiatan ini, apa yang menjadi halangan dan hambatan serta peluang yang timbul dalam pelbagai program dan dana-dana.
Dua jalur adaptasi yang saling melengkapi disiapkan COP-10/2004 ke depan: (1) suatu program berstruktur lima-tahunan untuk aspek ilmiah, teknis dan sosio-ekonomis dari kerentanan dan adaptasi perubahan iklim melalui SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technical Advice), yang kemudian disepakati dalam COP 11 (keputusan 2/CP.11); dan (2) perbaikan informasi dan metodologi, implementasi kegiatan adaptasi yang konkret, alih teknologi dan pengembangan kapasitas melalui SBI (Subsidiary Body for Implementation). [UNFCCC. 2005a].
Berhubungan dengan upaya adaptasi pihak-pihak negara terbelakang (LDC) secara khusus COP-10 menyepakati beberapa petunjuk teknis yang menunjukkan kemajuan besar sejak COP Marrakesh 2001 [UNFCCC. 2005b.c.d.e].
Nairobi Work Programme
Di depan sudah disebutkan bahwa COP-3/1997 di dalam keputusan 9/CP.3 juga meminta kepada sekretariat UNFCCC untuk melanjutkan karya memadukan dan menyebarkan informasi tentang teknologi yang ramah lingkungan dan know-how yang kondusif untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; umpamanya dengan percepatan pengembangan metodologi tekniki adaptasi, khususnya alat-alat pengambilan keputusan untuk menilai berbagai strategi alternatif untuk adaptasi [UNFCCC. 1998. Hal 39]. Sekretariat UNFCCC sudah menyusun, menerbitkan dan mengedarkan kompendium panduan alat dan metode untuk aksi adaptasi sejak 1999, yaitu Compendium of Decision Tools to Evaluate Strategies for Adaptation to Climate Change, dan diperbaiki dalam selang waktu. COP 8/2003 Delhi mendorong pihak-pihak non-Annex I untuk menggunakan kompendium itu untuk menilai strategi dan langkah tindakan adaptasi ketika menyiapkan komunikasi nasional masing-masing (keputusan 17/CP.8). Namun program yang digariskan COP-10/2005 dan pelaksanaannya akan lebih memerkaya dan menyempurnakannya.
COP-12/2006 di Nairobi memberi nama baru kepada program berstruktur lima-tahunan untuk aspek ilmiah, teknis dan sosio-ekonomis dari kerentanan dan adaptasi perubahan iklim melalui SBSTA (keputusan 2/CP.11 Buenos Aires) menjadi Program Kerja Nairobi (Nairobi Work Programme, sering disingkat NWP, on Impacts, Vulnerability and Adaptation to Climate Change ). Program kerja ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara, terutama negara berkembang, namun juga meliputi negara-negara terbelakang dan negara-negara pulau kecil (SIDS), untuk menyempurnakan pengertian dan penilaian atas dampak, kerentanan dan adaptasi, dan di dalam pengambilan keputusan yang bijak atas tindakan dan langkah adaptasi praktis berdasarkan pemikiran ilmiah, teknis, dan sosio-ekonomis yang kokoh, dengan memerhitungkan perubahan dan penyimpangan iklim sekarang dan di masa depan.
Langkah-langkah implementasi adaptasi dampak perubahan iklim disusun dalam suatu daftar menurut tiap bidang adaptasi prioritas, sasaran yang diarah, tiap langkah dan uraian singkatnya, serta instansi yang bertanggungjawab, baik badan-badan pemerintah, organisasi, asosiasi perusahaan, komunitas, masyarakat pengetahuan, dan lain-lain.
Sembilan bidang kerja pokok yang ditelusuri NWP : metode dan alat-alat; data dan pengamatan; penggunaan model iklim, sinario dan penetapan skala; risiko terkait iklim dan kejadian cuaca ekstrem; info sosioekonomi; perencanaan dan praktek adaptasi; riset; teknologi adaptasi; dan diversifikasi ekonomi. Hasil yang diharapkan NWP: • peningkatan kapasitas pada tataran internasional, regional, nasional, sektoral and lokal untuk mengenal dan memahami dampak, kerentanan dan tanggapan adaptasi serta dalam pemilihan dan pelaksanaan langkah tindakan adaptasi berprioritas tinggi, praktis dan efektif; • perbaikan informasi dan saran pada COP dan badan penunjangnya tentang aspek ilmiah, teknis dan sosioekonomis dari dampak, kerentanan dan adaptasi; • peningkatan pengembangan, penyebaran dan penggunaan pengetahuan dari tindakan adaptasi praktis; • peningkatan kerjasama di antara semua aktor yang bertujuan meningkatkan kemampuan mereka dalam tatakelola risiko perubahan iklim; dan • peningkatan integrasi adaptasi ke dalam upaya pembangunan berkelanjutan.
Dalam pemerkayaan NWP diselenggarakan serangkaian workshop antara lain tentang risiko yang terkait iklim dan kejadian ekstrem (18-20 Juni 2007, di Kairo, Mesir); Perencanaan Adaptasi dan Prakteknya (10-12 September 2007, bersama FAO di Roma, Italia). Ada baiknya kita berhenti sebentar dengan fakta sejarah dan memerhatikan refleksi Paus Fransiskus yang relevan dengan langkah-langkah aksi menuju adaptasi ini: “dibutuhkan ekologi ekonomis, yang mengharuskan untuk mempertimbangkan realitas secara lebih luas. Memang, ‘perlindungan lingkungan harus menjadi bagian integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang lepas dari itu’. Pada saat yang sama, sekarang sangat dibutuhkan humanisme yang dari dirinya mampu menyatukan berbagai bidang pengetahuan, termasuk ekonomi, demi suatu pendekatan yang lebih integral dan lebih terintegrasi. Sekarang ini kajian masalah lingkungan tidak dapat dilepaskan dari kajian konteks manusia, keluarga, pekerjaan, perkotaan, dan hubungan setiap orang dengan dirinya sendiri yang menghasilkan cara tertentu untuk berhubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan. Ada interaksi antara pelbagai ekosistem dan berbagai dunia hubungan sosial” [Paus Fransiskus. 2015. Art. 141].
Bali Action Plan
COP-13 pada akhir 2007 di Bali pada dasarnya masih tetap mengarus-utamakan mitigasi, khususnya terkait hutan dan aksi REDD. Namun bagaimana pun COP-13/Bali juga minimal memberikan penguatan kepada peningkatan aksi adaptasi. Keputusan 1/CP.13 tentang Bali Action Plan no. 1 huruf (c) menerima upaya “peningkatan aksi adaptasi”; huruf (d) menerima upaya “peningkatan aksi pengembangan dan alih teknologi” untuk mitigasi dan adaptasi; huruf (e) menerima upaya “peningkatan aksi pengaturan sumberdaya keuangan dan investasi” untuk menopang mitigasi dan adaptasi (UNFCCC. 2008. Hal. 4-5).
Pertemuan untuk NWP tentang Metode, Alat dan Data serta Pengamatan diselenggarakan 4-7 Maret 2008 di Mexico City. Pertemuan tentang Informasi Sosioekonomi untuk NWP diselenggarakan 10-12 Maret 2008, di Port of Spain, Trinidad-Tobago. Dengan gigih Bangladesh berhasil “mencuri momentum dua hari” dalam rapat AWG-LCA 2008, digunakan untuk berunding soal adaptasi, didukung Uni Eropa (suatu kerangka aksi untuk adaptasi perubahan iklim bahkan diusulkan Uni-Eropa), di Bonn awal Juni 2008. Bersamaan dengan itu Rapat SBSTA ke-28 2-13 Juni 2008 di Bonn, NWP dan semua hasil worshop serta pertemuan terkait diolah, namun masih diperlukan informasi tentang aspek teknis peningkatan ketahanan ekonomi terhadap perubahan iklim, pengurangan ketergantungan pada sektor ekonomi yang rentan, termasuk usaha diversifikasi ekonomi. Juga diperlukan informasi teknis tentang memadukan praktek, alat dan sistem penilaian dan manajemen risiko iklim serta strategi pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan dan program nasional. Semua kebutuhan itu diharapkan dapat dilengkapi dalam jangka panjang, antara rapat ke-29 hingga ke-34 SBSTA kemudian nanti.
Terkait ketahanan terhadap perubahan iklim dan pemaduan praktek adaptasi dalam strategi dan kebijakan nasional, refleksi Paus Fransiskus mengingatkan: “ekologi sosial haruslah institusional dan secara bertahap meluas ke pelbagai dimensi masyarakat, mulai dari kelompok sosial utama, keluarga, melalui komunitas lokal dan nasional, sampai ke masyarakat internasional. Dalam setiap strata sosial dan di antaranya, berkembang lembaga-lembaga yang mengatur hubungan antarmanusia. Semua yang melemahkan lembaga-lembaga itu memiliki efek merugikan, seperti kehilangan kebebasan, ketidakadilan, dan kekerasan” [Opcit].
Delegasi China dan Swiss menyebut perlunya aktivasi Dana Adaptasi dan Komite Adaptasi dalam COP-14/2008 di Poznan.
Cancun Adaptation Framework
Di Cancun, Mexico, COP-16/2010 melahirkan Kerangka Adaptasi Cancun (Cancún Adaptation Framework, CAF) yang bermaksud meningkatkan aksi adaptasi melalui kerjasama internasional dan pemikiran terpadu untuk hal-hal yang menyangkut adaptasi menurut Konvensi Perubahan Iklim. Pada dasarnya ini menyimpulkan kerja keras AWG-LCA Bali 2007 mengenai kerjasama interasional jangka panjang. Sesudah visi bersama Keputusan 1/CP.16, pada bagian II dituangkan keputusan tentang peningkatan aksi adaptasi. COP-16 mengajak pihak-pihak meningkatkan aksi adaptasi berdasar CAF dengan memerhatikan prinsip tanggungjawab yang sama namun beban dan tugas berbeda-beda menurut kemampuan, serta situasi, sasaran dan prioritas pembangunan regional dan nasional yang khusus, dengan melakukan antara lain:
(a) Perencanaan, penentuan prioritas dan pelaksanaan aksi adaptasi , termasuk proyek dan program, serta aksi yang ditetapkan dalam rencana dan strategi nasional dan sub-nasional, NAPA (program aksi adaptasi nasional) LDC, komunikasi nasional, penilaian kebutuhan teknologi dan dokumen rencana nasional yang relevan ; (b) Penilaian dampak, kerentanan dan adaptasi, termasuk penilaian kebutuhan keuangan serta evaluasi ekonomis, sosial dan ekologis atas pilihan adaptasi;
(c) Penguatan kapasitas kelembagaan dan pemberdayaan lingkungan untuk adaptasi, termasuk pengembangan ketahanan terhadapiklim dan pengurangan kerentanan; (d) Pembangunan ketahanan sistem sosio-ekonomi dan ekologis termasuk diversifikasi ekonomi dan manajemen sumberdaya alam yang berkelanjutan; (e) Peningkatan strategi pengurangan risiko bencana yang terkait perubahan iklim, dengan memerhitungkan Kerangka Aksi Hyogo (World Conference on Disaster Reduction, Kobe, Hyogo, Jepang, 18-22 Januari 2005) sejauh mungkin, sistem peringatan dini; penilaian dan manajemen risiko; serta bila mungkin berbagi dan alih mekanisme semisal asuransi di tingkat lokal, nasional, sub-regional dan regional; (f) Tindakan untuk memajukan pengertian, koordinasi dan kerjasama sejauh mungkin berkenaan dengan pengungsian, perpindahan dan relokasi yang direncanakan sebagai akibat dari perubahan iklim, pada tingkat nasional, regional dan internasional; (g) Riset, pengembangan, demonstrasi, pencangkokan, penyebaran dan alih teknologi, praktek dan proses-proses, serta pengembangan kapasitas adaptasi, dengan maksud meningkatkan akses untuk teknologi terutama bagi pihak negara berkembang; (h) Menguatkan sistem data, informasi dan pengetahuan, pendidikan dan keasadaran masyarakat; (i) Peningkatan riset yang terkait iklim dan pengamatan sistematik untuk penghimpunan data, pengarsipan, analisis, penggunaan model-model iklim untuk menyampaikan data dan informasi iklim yang lebih baik kepada para pengambil keputusan di tingkat nasional dan regional. (Keputusan 1/CP.16/II.14)
Untuk itu diselenggarakan pula Komite Adaptasi sebagai badan utama yang menangani implementasi peningkatan aksi adaptasi dalam Konvensi. Tugas-tugas Komite Adaptasi menurut Keputusan 1/CP.16 bagian II no. 20 adalah: (a) Memberikan dukungan dan pedoman teknis bagi pihak-pihak, dengan memerhatikan pendekatan khas tiap negara, untuk memudahkan implementasi kegiatan adaptasi seperti yang diuraikan dalam II.14 di atas; (b)Menguatkan, mengkonsolidasikan dan meningkatkan tindakan berbagi informasi, pengetahuan, pengalaman dan praktek terbaik pada tingkat lokal, nasional regional dan internasional sejauh mungkin, dengan memertimbangkan sedapat mungkin pengetahuan dan praktek tradisional; (c) Memajukan sinergi dan menguatkan kebersamaan dengan organisasi-organisasi, pusat-pusat dan jejaring nasional, regional dan internasional, untuk peningkatan implementasi aksi adaptasi, khususnya di negara berkembang; (d)Memberikan informasi dan rekomendasi, menyampaikan praktek adaptasi yang baik untuk dipertimbangkan Konferensi Para Pihak (COP) dalam menyampaikan petunjuk mengenai cara-cara memberikan rangsangan pada implementasi aksi adaptasi, termasuk keuangan, teknologi dan pengembangan kapasitas dan lain-lain demi memampukan pengembangan ketahanan iklim dan pengurangan kerentanan, termasuk kepada entitas pelaksana mekanisme keuangan Konvensi;
(e) Menimbang informasi yang disampaikan pihak-pihak tentang pemantauan dan peninjauan aksi adaptasi, dukungan yang diberikan dan yang diterima, kebutuhan yang mungkin dan kesenjangannya serta informasi yang relevan lainnya, termasuk informasi yang disampaikan dalam Konvensi dengan maksud merekomendasikan tindakan selanjutnya yang diperlukan [UNFCCC. 2011. Hal 4-6].
Diperhatikan pula kemungkinan dampak negatif dari pelaksanaan langkah tanggapan terhadap perubahan iklim yang menimbulkan kerugian dan kerusakan secara sosio-ekonomis, dan meminta pihak-pihak untuk memikirkan dan memberikan skema jaminan bantuan jika dampak negatif kerugian dan kerusakan (loss and damage) seperti itu dialami negara sedang berkembang (Keputusan 1/CP.16 bagian E no. 88-94).
Selain itu, badan penunjang Konvensi, SBSTA, ditugasi melanjutkan mandat adaptasi Nairobi Work Programme (NWP), dengan sasaran membantu semua pihak khususnya negara berkembang, untuk meningkatkan pemahaman dan penilaian mereka atas dampak, kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan atas pengambilan keputusan sebaik-baiknya mengenai langkah dan tindakan adaptasi yang praktis.
Dalam keputusan 1/CP.16 bagian IV.A. tentang Keuangan, nomor 100 memutuskan bahwa semua dana multilateral baru untuk aksi adaptasi harus melalui Green Climate Fund. Dan bagian IV.A. 102 memutuskan penyelenggaraan Green Climate Fund (GCF) menurut Konvensi Artikel 11. Tatakelola GCF ditetapkan secara pokok dalam keputusan 1/CP.16/IV.A. 103-109 dan lampiran tentang tata-peralihan (Appendix) III. Termasuk di dalamnya, Bank Dunia ditunjuk menjadi pelaksana sementara operasional GCF, dan akan ditinjau setelah tiga tahun (keputusan 1/CP.16/IV.A.107).
Durban Platform for Enhanced Action
Di Durban, Afrika Selatan, COP-17 bagaikan upaya kristalisasi, dan mengolah pengalaman 20 tahun Konvensi sejak 1992 untuk membuat arah baru yang akan dimantapkan dalam KTT Iklim 2015 nanti. Selain berusaha memperbarui pola mitigasi Protokol Kyoto agar lebih adil, Durban Platform for Enhanced Action yang dihasilkan COP-17 (keputusan 1/CP.17) juga meneguhkan upaya-upaya adaptasi yang telah dirintis dalam COP sebelumnya, dan juga memberikan anjungan untuk peningkatan aksi (Platform for Enhanced Action) sekalian. “Anjungan” untuk peningkatan aksi adaptasi itu adalah ketentuan lanjutan tentang struktur, fungsi dan cara kerja Komite Adaptasi, yang kelembagaannya sudah diputuskan dalam COP-16 Cancun. COP Durban meneguhkan keputusan COP Cancun mengenai kelembagaan dan fungsi Komite Adaptasi (Keputusan 2/CP.17/III.92-93), namun menambahkan keputusan tentang “modalitas” pelaksanaan fungsi Komite Adaptasi, yaitu menyelenggarakan: (a) Workshop dan pertemuan-pertemuan; (b) Kelompok-kelompok pakar; (c) Kompilasi, meninjau, menyelaraskan, menganalisis laporan informasi , pengetahuan, pengalaman dan praktek terbaik; (d) Saluran untuk berbagi informasi, pengetahuan dan keahlian; (e) Melakukan koordinasi dan hubungan dengan badan-badan, program, lembaga dan jejaring yang relevan di dalam dan di luar Konvensi (Keputusan 2/CP.17/III.94). Diputuskan pula kedudukan Komite Adaptasi di dalam Konvensi, yaitu di bawah COP dan bertanggungjawab kepada COP; sedang kewajiban-kewajiban Komite Adaptasi untuk COP digariskan dalam Keputusan 2/CP.17/III. 95-100. Selain itu daftar petunjuk kegiatan Komite Adaptasi diberikan dalam Keputusan 2/CP.17/Annex V. Struktur keanggotaan Komite Adaptasi ditentukan terdiri dari 16 orang berdasar kapasitasnya dan berdasar keseimbangan kelompok pihak-pihak (Keputusan 2/CP.17/III. 101), yaitu: (a) 10 orang, yang terdiri dari 2 orang wakil dari tiap-tiap (5) regional PBB (Afrika, Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dan Karibia, Eropa+kelompok negara lain yang terdiri dari A.S., Australia, Canada, Iceland, Israel, New Zealand, Norwegia, Swiss); (b) seorang dari utusan negara pulau kecil; (c) seorang dari utusan LDC; (d) dua orang dari utusan pihak-pihak Annex I; dan (e) dua orang dari utusan pihak-pihak non-Annex I [UNFCCC. 2012. Hal. 19-22.45].
Sejak diresmikan pada September 2012, Komite Adaptasi telah menyampaikan hasil usahanya dalam memberikan dukungan teknis dan pedoman bagi pihak-pihak mengenai aksi adaptasi dan mengenai cara-cara implementasi serta upaya untuk peningkatan kesadaran, penyebaran informasi dan pelibatan para pemangku kepentingan selain komunitas tradisional. Komite Adaptasi juga menyiapkan laporan tahunan tematik untuk memberikan informasi tentang adaptasi kepada pihak-pihak dalam Konvensi maupun kepada komunitas adaptasi internasional yang lebih luas.
COP-17/2011 Durban juga mengakui bahwa perencanaan adaptasi nasional dapat memampukan semua pihak negara berkembang dan negara terbelakang (LDC) untuk melakukan penilaian atas kerentanan mereka, untuk mengarusutamakan risiko perubahan iklim dan merumuskan adaptasi. Juga diakui bahwa risiko-risiko perubahan iklim dapat memerbesar tantangan pembangunan di negara-negara sedang berkembang, sehingga perencanaan adaptasi perlu dimasukkan dalam konteks yang lebih besar, yaitu perencanaan pembangunan berkelanjutan (keputusan 5/CP.17). Maka diberikan kerangka rencana adaptasi nasional yang tujuannya adalah (a) mengurangi kerentanan pada dampak perubahan iklim dengan meningkatkan ketahanan dan kapasitas adaptif, serta (b) memudahkan integrasi adaptasi perubahan iklim dengan kebijakan, program dan kegiatan yang sudah ada dan yang baru yang relevan, utamanya proses-proses perencanaan pembangun dan strategi—strategi, di dalam semua sektor dan tingkatan yang relevan.
Disetujui bahwa dengan demikian rencana adaptasi nasional bersifat berkesinambungan, progresif dan terarah, dan tindakan adaptasi harus sesuai dengan kondisi nasional, peka-gender, menggunakan pendekatan partisipatoris dan transparan sepenuhnya, memerhitungkan kelompok, komunitas dan ekosistem yang sangat rentan, dan sedapat mungkin didasarkan pada ilmu, dan kearifan lokal. Diberikan panduan awal untuk perencanaan adaptasi nasional yang terdiri dari 4 langkah: (1) Penetapan alasan dasar perencanaan adaptasi dan memahami bidang kesenjangan yang hendak diatasi, terutama menyangkut penilaian atas kerentanan iklim dan kebutuhan pembangunan secara komprehensif ; (2) Penyiapan elemen-elemen rencana: (a) desain dan pengembangan rencana, kebijakan, dan program untuk menutup kesenjangan yang telah dikenali dalam langkah (1) sebelumnya; (b) penilaian jangka menengah dan jangka panjang atas kerentanan iklim, kebutuhan adaptasi dan kebutuhan pembangunan; (c) usaha mengintegrasikan adaptasi iklim dengan rencana pembangunan sub-nasional, sektoral, dan nasional; (d) pertemuan partisipatif dengan para pemangku kepentingan; (e) komunikasi, peningkatan kesadaran dan pendidikan; (3) strategi implementasi yang terdiri dari: (a) penetapan prioritas menurut kadar kerentanan dan risiko iklim serta kebutuhan pembangunan, (b) penguatan kelembagaan dan tata-peraturan untuk menopang adaptasi; (c) pelatihan dan koordinasi di tingkat sub-nasional dan sektoral; (d) penyebaran informasi umum, serta (e) memerhatikan kerangka multilateral yang relevan serta prakarsa dan program internasional demi pengembangan dan kelengkapan rencana.(4) Menetapkan metode dan pola pelaporan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rencana-rencana. [UNFCCC. 2012. Hal.80-86]
Skema Pokok Sistem 4 Langkah Perencanaan Adaptasi Nasional
Pendekatan Adaptasi Selanjutnya
Di Doha, Qatar, COP-18 pada akhir tahun 2012 berusaha melanjutkan Bali Action Plan 2007 (COP-13) untuk mitigasi perubahan iklim dalam periode kedua pelaksanaan Protokol Kyoto dengan suatu amandemen (Amandemen Doha), dan memajukan Durban Platform 2011 (COP-17) untuk membuat kesepakatan (protokol) baru; untuk kedua pilihan itu Doha adalah suatu pintu gapura (Gateway). COP-18/2012 Doha sepakat melanjutkan dan menguatkan peningkatan aksi adaptasi sesuai CAF (Kerangka Adaptasi Cancun) dan dokumen-dokumen COP yang relevan, menerima rencana kerja tiga tahun Komite Adaptasi, serta meminta Komite Adaptasi mengadakan Forum Adaptasi tahunan. Aspek teknologi dan keuangan aksi adaptasi diperhatikan bersamaan dengan peningkatan mitigasi. [UNFCCC. 2013. Hal. 11-13]. Keputusan 2/CP.18 mengenai mekanisme kerugian dan kerusakan akibat langkah tanggapan terhadap perubahan iklim di negara sedang berkembang sepakat untuk menyelenggarakan pengaturan kelembagaan menurut Konvensi mekanisme termaksud dalam COP-19 yang akan datang (Warsawa), setelah persiapan-persiapan memadai [Ibid. Hal. 21-24].
Komite Adaptasi dalam Laporan Tematik tahun 2013 menggambarkan struktur dinamis kelembagaan untuk adaptasi di bawah Konvensi Perubahan Iklim PBB sebagai berikut:
Mengikuti dinamika Perundingan para Pihak (COP) dalam Konvensi dari tahun ke tahun hingga 2015 ini, kesepakatan adaptasi perubahan iklim internasional maju berkembang. Atas bantuan badan penunjang SBSTA disiapkan aspek ilmiah dan teknis dan metode yang diperlukan untuk adaptasi (pengetahuan adaptasi), dengan riset dan pengamatan sistematik, yang memuncak pada Nairobi Work Programme (NWP). Untuk menerjemahkan pengetahuan adaptasi menjadi praktek pelaksanaan adaptasi, Konvensi melalui badan penunjang SBI menyiapkan pengembangan kapasitas, termasuk penyediaan teknologi dan keuangan, menjabarkan Kerangka Adaptasi Cancun (Cancun Adaptation Framework, CAF) melalui operasionalisasi Komite Adaptasi, implementasi Rencana Adaptasi Nasional (negara maju dan berkembang), aktivasi Kelompok Pakar, dan implementasi Rencana Adaptasi Nasional negara terbelakang, seraya menyongsong penerimaan, penyempurnaan dan implementasi Anjungan Peningkatan Aksi Durban (ADP) dan ketentuan lanjutan tentang Adaptasi dalam KTT Iklim Paris, Desember 2015.
Sementara untuk perencanaan adaptasi nasional masing-masing negara, Komite Adaptasi menyumbangkan diagm awal yang selanjutnya dapat dikembangkan menurut situasi lokal:
Diagram ini menjadi alur dasar pembahasan praktek adaptasi perubahan iklim nasional di bawah ini, dengan tambahan-tambahan penting menurut pola manajemen strategis, yang berasal dari pengalaman beberapa negara.
Adaptasi Perubahan Iklim Nasional
Perubahan iklim global menimbulkan dampak yang merugikan di mana-mana. Negara besar seperti Amerika Serikat terpapar dampak perubahan iklim berupa rangkaian gelombang panas yang meminta banyak korban, juga kekeringan kebakaran hutan yang luas, dan badai (hurricane Katrina 2005 dan Sandy 2012 misalnya) serta tornado. Karena berbentuk federal dan terdiri dari negara-negara bagian, ada negara bagian yang terpapar dampak sangat parah, ada negara bagian yang terpapar sedikit dampak ringan. Karena itu negara-negara bagian berusaha melakukan aksi adaptasi perubahan iklim, yang didukung oleh badan-badan federal. Negara-negara maju lainnya yang terpapar dampak perubahan iklim melakukan adaptasi nasional juga seperti Jepang, atau Australia. Di Eropa aksi adaptasi nasional antara lain dirumuskan dan dilaksanakan antara lain di Finlandia (sejak 2005), Spanyol (sejak 2006), di Perancis (sejak 2007), di Belanda, Denmark, Hungaria, Inggris, Jerman, Norwegia (sejak 2008), dan di Portugal (sejak 2010). Komisi Eropa menerbitkan “buku putih” untuk adaptasi perubahan iklim nasional tahun 2009. Secara keseluruhan, negara-negara Eropa diharapkan sudah menyusun dan melaksanakan rencana aksi adaptasi mulai tahun 2012 [Andrea Prutsch,et al. 2010. Hal 5-6]. Namun paparan dampak perubahan iklim yang menimbulkan kerugian besar dan berat lebih dialami oleh negara berkembang (seperti China, India, Brazil, Filipina) dan negara terbelakang yang rentan (seperti Bangladesh, Nepal, Bhutan, sebagian besar negara Afrika dan negara-negara berupa pulau-pulau kecil). Sebagian besar dari mereka tidak sanggup menanggulangi dampak yang merugikan dari perubahan iklim dengan kekuatan sendiri, sehingga memerlukan kerjasama internasional. Tetapi seandainya tanpa bantuan internasional pun, setiap pemerintahan negara mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyat dan wilayahnya sendiri dari bahaya apa pun, termasuk ancaman bahaya sebagai dampak dari perubahan iklim. Adaptasi terhadap dampak iklim yang merugikan terutama sangat mendesak bagi negara berkembang, bagi perlindungan masyarakat miskin dalam negara berkembang.
Landasan Dasar: Plan for Adaptation Planning
Titik tolak perencanaan aksi adaptasi adalah adanya dampak yang telah terjadi dan dirasakan sehingga rencana ke depan untuk langkah-langkah adaptasi akan realistis berdasar kenyataan dengan semua data dimensional yang relevan. Selanjutnya diadakan pemetaan diagram alur perencanaan adaptasi dengan proses-proses yang terkait di dalamnya. Dimulai dengan proses analisis data variasi iklim dan hidrogeologis masa lalu, temporal maupun spatial, sebagai salah satu dasar. Misalkan dampak itu berupa banjir, kekeringan, badai-topan, tanah longsor atau penyebaran penyakit yang terkait perubahan iklim. Tiap-tiap dampak tentulah menimbulkan perangkat data tersendiri, berkenaan dengan frekuensi, intensitas, luas paparan dampak, durasi, dengan pengaruh sosial, ekonomis dan ekologisnya. Diperlukan paduan berbagai bidang keahlian di sini, tidak cukup dari ahli meteorologi, ekonom, atau pengamat lingkungan alam. Tetapi “seluas bidang ekonomi” dan sosial, diperlukan informasi-informasi sektoral pula, termasuk data penanggulangan bencana. Dalam hal penghimpunan data, kekurangan-kekurangan data dan teknis pengolahan data dan kelembagaannya perlu dilengkapkan hingga relatif lengkap dan cukup komprehensif.
Kemudian proses proyeksi dampak masa depan. Menggunakan hasil prediksi tren global ke depan baik dari badan-badan internal (jika ada) maupun ekternal (IPCC, GOAC, NOAA, dll), dengan penyesuaian skala dan disertai penggunaan model-model simulasi yang memerhitungkan semua variabel pengubah yang relevan, data masa lalu diproyeksikan ke masa depan, dan menghasilkan perkiraan paparan dampak masa depan. Hasil yang diharapkan antara lain adalah pemetaan dampak yang relatif lengkap (peta fisik, peta sosial-ekonomi, peta ekosistem). Bahwa dampak itu memengaruhi hidup banyak orang secara langsung, atau secara tidak langsung setelah selang waktu, melalui kerusakan ekosistem, diperhitungkan semua aspeknya. Kadang suatu negara terbiasa melakukan prediksi linier, tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan prediksi multi-variasi , maka diperlukan bantuan untuk pengembangan kapasitas dalam hal itu, juga di dalam memersiapkan simulasi model-model untuk proyeksi.
Menghadapi gambaran tentang paparan dampak perubahan iklim masa depan yang sudah didapatkan, selanjutnya diperlukan proses panel lintas sektoral untuk memeroleh sumbang saran informasi: apa yang harus dilakukan, bagaimana prosesnya, di mana langkah-langkah dilakukan dan kapan, siapa penanggungjawabnya, apa yang diperlukan untuk proses itu. Ketahanan yang akan dibangun terkait dengan upaya mencukupi kebutuhan kelembagaan, keahlian, pengetahuan, mekanisme, prasarana dan sarana, yang sudah diidentifikasikan dan diinventarisasi untuk mengatasi dampak-dampak masa depan itu. Proses selanjutnya adalah komunikasi rencana kepada aktor-aktor sub-nasional untuk pemerkayaan dan akuisisi rencana-rencana yang lebih rinci dari tingkat-tingkat yang lebih dekat dengan lapangan. Hanya dengan demikian aksi adaptasi relevan, bukan sekadar rekaan atau khayalan, yang bukannya memecahkan masalah, melainkan menambah masalah, membebani sistem karena tidak efektif. Karena tidak nyata.
Tersedia bantuan teknis internasional bagi negara berkembang untuk melaksanakan langkah penyiapan landasan dasar dan penilaian dampak (impact assessment) perubahan iklim ini, baik bilateral, maupun multilateral. Jika kapasitas nasional sudah tersedia dan memadai untuk ini, mereka menjadi tenaga pelatih dan tutor teknis dan metodologis untuk membangun kapasitas perencanaan adaptasi iklim sub-nasional entah provinsial, entah sektoral.
Policies/Strategi Perencanaan Adaptasi Nasional
Menurut suatu praktek yang sudah dilaksanakan cukup lama, upaya adaptasi nasional terhadap perubahan iklim secara strategis diberi arahan kebijakan agar:
- sustainable (berkelanjutan). Maksudnya supaya langkah tanggapan dipikirkan cermat agar tidak sebaliknya malah menambah perubahan iklim, sehingga membatasi kemampuan bagian lain dari lingkungan alam, masyarakat dan kalangan usaha untuk melaksanakan adaptasi. Tanggapan hendaknya tidak menyebabkan dampak yang merugikan atas bagian lain pada masyarakat, ekonomi dan lingkungan alam;
- luwes (flexible). Walau ada ketidakpastian mengenai iklim di masa depan, tetap harus ditetapkan pilihan sekarang untuk meningkatkan hingga maksimum fleksibilitas nasional – dalam banyak kesempatan, kegagalan atau penundaan mengambil keputusanlah yang membuat masyarakat terperangkap dalam jalur tindakan yang tidak fleksibel;
- berbasis bukti (evidence‐based) – memanfaatkan sepenuhnya hasil riset, data dan pengalaman mutakhir, sehingga pengambilkan keputusan mendapat landasan yang kuat dan cerdas;
- ditempatkan dalam jalur prioritas (prioritized) – misalnya dengan lebih memerhatikan kebijakan, program dan kegiatan yang paling dipengaruhi oleh cuaca dan iklim, yaitu yang memiliki daur-hidup panjang atau implikasinya besar, jika terkait dengan investasi dalam jumlah besar, dengan nilai-nilai besar yang dipertaruhkan, atau jika diperlukan dukungan para-sarana nasional yang menentukan;
- tepat guna (effective) — mengurangi risiko perubahan iklim tanpa menyebabkan dampak baru;
hemat (efficient)— dalam arti bahwa manfaat tindakan adaptasi melampaui atau membenarkan biayanya, dan adil (equitable)— sehubungan dengan manfaat yang diterima dan beban yang dipikul [HM Government.2010].
Ada catatan yang perlu diperhatikan. Sebagian negara yang mendapat panduan internasional dari pihak-pihak tertentu (misalnya UNDP, 2004; USAID, 2007; OECD, 2009; World Bank, 2010; UN-HABITAT, 2011a) terlalu masuk mengaitkan perencanaan adaptasi terhadap perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan mereka sehingga tidak jelas, kabur, dan tak dapat didapatkan benang merah penelusurannya melalui proses pemantauan, peninjauan dan perbaikan. Hal itu karena tidak ada rumusan hasil (outcomes) yang jelas terkait dampak perubahan iklim. Dikatakan “it can lead to creating unrealistic expectations in societies, and overestimating the capacity of planning to deliver the intended outcome of preparing societies to adapt to the negative impacts of climate change” – (hal itu dapat menimbulkan harapan yang tidak realistis dalam masyarakat, dan menempatkan kapasitas perencanaan terlalu berlebihan untuk membuahkan hasil dalam menyiapkan masyarakat dalam beradaptasi pada dampak yang merugikan dari perubahan iklim). [IPPC. 2014. A. Hal 874]. Bagai janji muluk yang tak akan terlaksana. Hanya sedikit negara yang sudah dari awal memetakan jalur dan mekanisme evaluasi implementasi adaptasi perubahan iklim di dalam rencana nasionalnya, antara lain A.S., Australia, Inggris, Jerman dan Mexico (opcit).
Satu aspek yang sangat positif dari upaya adaptasi nasional yang dipadukan dengan program pembangunan berkelanjutan adalah kebijakan adaptasi yang bersifat “pro-poor”, berpihak pada kaum miskin. Kelompok yang paling rentan terhadap dampak merugikan dari perubahan iklim. “Banyak orang miskin tinggal di daerah yang terkena dampak utama fenomena yang terkait dengan pemanasan, dan penghidupan mereka sangat tergantung pada cadangan alam dan pada upaya ekosistem seperti pertanian, perikanan dan kehutanan. Mereka tidak memiliki kegiatan keuangan atau sumber-sumber lain yang dapat memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim atau menghadapi bencana alam, dan akses mereka kepada pelayanan dan jaminan sosial sangat terbatas” [Paus Fransiskus. 2015. Art. 25] . “Dalam kondisi masyarakat global sekarang ini, dengan begitu banyak ketimpangan dan makin banyak orang terpinggirkan, dirampas hak-hak asasinya, prinsip kesejahteraan umum dengan sertamerta, sebagai konsekuensi logis dan tak terelakkan, menjadi panggilan untuk solider dan pilihan keberpihakan pada kaum miskin.” [Ibid. Art. 158]. Terutama di negara-negara sedang berkembang.
Sasaran
Upaya adaptasi nasional terhadap perubahan iklim merupakan pedang bermata dua. Keduanya menunjukkan arah sasaran yang dituju. Mata pedang yang satu adalah pengurangan kerentanan terhadap paparan dampak merugikan perubahan iklim yang telah dikenali, baik yang nyata maupun yang diperkirakan. Mata pedang yang lain adalah pengembangan ketahanan nasional atas iklim dan variasinya.
Kerentanan adalah besarnya kemungkinan suatu sistem dirugikan oleh dampak perubahan iklim karena paparan dampak yang tidak bisa diserap atau diatasi oleh kepekaan sistem.
Ketahanan (resiliensi) mengacu pada kemampuan sistem sosial dan ekologi untuk menyerap gangguan, sementara sistem tetap mempertahankan struktur dan fungsinya. Dalam sistem yang berketahanan, gangguan terhadap sistem dapat diserap menjadi potensi yang bisa dimanfaatkan untuk inovasi dan pengembangan sistem tersebut (Adger, 2006).
Pelibatan Pemangku Kepentingan/Stakeholders Engagement
Baru sedikit Rencana Adaptasi Nasional yang dinilai. Belum jelas apakah ada yang bisa dikatakan efektif. Namun IPCC mengingatkan, banyak Rencana mengandung nuansa kecenderungan, seolah-olah perencanaan adaptasi itu gampang, tidak bermasalah. Banyak yang justru menganggap perencanaan adaptasi adalah proses penyusunan kebijakan politis umum. Sedang seharusnya, perencanaan adaptasi adalah proses sosial yang rumit, karena melibatkan banyak pihak [IPCC. 2014. Part A. Hal 871]. “Sejumlah negara memiliki tingkat efektivitas kelembagaan yang rendah, mengakibatkan penderitaan rakyat dan menguntungkan mereka yang memanfaatkan kesempatan dari situasi itu. Baik dalam administrasi negara, maupun dalam berbagai tingkatan masyarakat sipil, atau dalam hubungan antarwarga, sering tampak perilaku yang mengabaikan hukum. Hukum itu dapat disusun dengan benar, tetapi biasanya tinggal huruf mati. Bisakah kita lantas berharap bahwa undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan lingkungan akan benar-benar efektif ? Kita tahu, misalnya, bahwa negara-negara yang memiliki undangundang yang jelas tentang perlindungan hutan, tetap menjadi saksi bisu atas banyak pelanggaran terhadap hukum itu. Selain itu, apa yang terjadi di satu wilayah, langsung atau tidak langsung, mempengaruhi wilayahwilayah lain” [Paus Fransiskus. 2015. Art. 142]
Dampak perubahan iklim lebih langsung dialami oleh kelompok, komunitas, masyarakat tertentu ketimbang oleh pemerintah atau negara. Mereka lebih tahu di mana sakitnya atau kerugian apa yang dialami akibat dampak perubahan iklim. Maka setiap upaya aksi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang mengenai mereka dan ekosistem mereka, perlu dibicarakan bersama dengan mereka. Pemerintahan bisa berganti, kebijakan bisa berubah, tetapi merekalah yang tetap berhadapan dengan dampak perubahan iklim di tempat tinggal mereka. Setiap usaha perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai upaya adaptasi terhadap dampak merugikan dari perubahan iklim haruslah melibatkan mereka kelompok, komunitas dan masyarakat yang terkena dampak sebagai pemangku kepentingan. “Mengklaim bahwa semua kesulitan dapat diselesaikan melalui peraturan yang seragam atau intervensi teknis, cenderung mengabaikan kompleksitas masalah-masalah lokal yang memerlukan keterlibatan aktif masyarakat setempat. Proses-proses baru yang sedang berkembang tidak selalu dapat dimasukkan ke dalam skema-skema yang ditetapkan dari luar, tetapi harus berangkat dari budaya lokal sendiri. Karena kehidupan dan dunia adalah dinamis, maka pelestarian dunia harus fleksibel dan dinamis. Solusi-solusi yang teknis belaka berisiko menangani simtom-simtom dan tidak menjawab masalah-masalah yang terdalam. Ini mencakup perspektif hak bangsa-bangsa dan budaya, dan juga pemahaman bahwa pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari para pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri” [Ibid. Art. 144]
Sebenarnya tugas pemerintah adalah melindungi mereka, para pemangku kepentingan lokal itu. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan adaptasi iklim mestinya lebih tertuju pada peningkatan ketahanan mereka, sehingga seharusnya bersifat fasilitatif dan subsidiaris terhadap proses-proses penyesuaian yang mereka lakukan. Namun tidak jarang karena kebiasaan menggunakan pendekatan top-down, kebijakan dan langkah pemerintah yang kemudian ternyata mal-adaptasi malahan merugikan kepentingan mereka. Karena itu pemikiran dan pertimbangan para pemangku kepentingan itu perlu didengarkan. Pada umumnya, sekali kebijakan dan langkah-langkah mereka sepakati, mereka jugalah yang menjadi pelaksana, pemelihara dan pengendali upaya-upaya adaptasi iklim secara lokal, di tempat mereka masing-masing tinggal atau bekerja. Pelibatan berbagai pihak pemangku kepentingan merupakan langkah pendekatan demokratis partisipatif dari awal. Adaptasi iklim sungguh bergantung pada konteks setempat dan sangat terkait dengan lokal, dan lebih merupakan tindakan aksi tingkat komunitas lokal yang diampu oleh pemerintah daerah setempat. Kebanyakan pilihan aksi adaptasi malah perlu berasal dari pengetahuan dan kearifan lokal (IPCC. 2014. Part A. Hal. 875).
Elemen-elemen Rencana Proyek/Program Aksi Adaptasi
- Di depan sudah dikemukakan, titik tolak yang mendasar untuk perencanaan aksi adaptasi adalah adanya dampak yang telah terjadi dan telah dirasakan, sehingga rencana ke depan untuk langkah-langkah adaptasi akan realistis berdasar kenyataan dengan semua data dimensional yang relevan. Dalam praktek, kendati semangat yang menggebu-gebu dari berbagai aktor (presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, LSM) banyak rencana adaptasi kurang kuat landasan bukti nyatanya, sebab kurang membumi di lapangan, termasuk kekurangan dokumentasi hasil evaluasi obyektif atas keberhasilan atau kegagalan upaya penanggulangan di masa lalu [Charlotte Sterrett, 2011. Hal.9], sehingga ke depan cenderung menyebabkan “mal-adaptasi” (tindakan adaptasi yang keliru) dan merugikan.
Sesungguhnya langkah pengenalan dampak dan penaksiran pengaruh dampak merupakan langkah yang kritis. Dalam perundingan internasional, bertahun-tahun diusahakan pengertian yang lebih baik atas apa yang disebut “dampak yang merugikan dari perubahan iklim”. Sebab dampak itu tidak sama saja di wilayah-wilayah atau negara-negara. Pertama-tama memang ada dampak yang dinyatakan secara global. Kemudian secara regional (misalnya Asia) atau sub-regional (misalnya Asia Tenggara). Turun lagi ke tingkat nasional dan sub-nasional (provinsial atau sektoral). Tentu ada dasarnya jika dikemukakan ada “Enam Dampak Perubahan Iklim” [Zakiya. 2013]. Dalam langkah yang menunjukkan paparan dampak, diperlukan kehati-hatian supaya tidak keliru memahami gejala yang lain, yang tidak ada kaitannya dengan perubahan iklim. Diagnosis yang keliru akan menghasilkan cara pengobatan yang keliru pula. Untuk itu diperlukan riset penghimpunan data yang relevan, pelaksanaan riset dan pemantauannya. Dan sesudah dampak itu dikenali, lalu diusahakan cara atau metode yang relatif cermat untuk melakukan penilaian atas dampak itu (impact assessment). Kriteria yang lazim adalah: Seberapa besar dampak itu? Kapan dampak itu terpapar? Mana bagian dampak yang akan bertahan lama, mana yang mudah ditangkal? Di mana dampak itu dirasakan? Apa saja yang dipengaruhi dampak itu; sebesar apa lingkup pengaruhnya? Berapa besar kerugian yang diakibatkannya? [IPCC, 2007. A. Hal. 781]. Umumnya risiko-risiko terdapat pada bidang-bidang yang peka perubahan iklim seperti persediaan pangan, pra-sarana, persediaan air, kawasan pesisir, situasi ekosistem, siklus biogeokimia seluruhnya, siklus atmosfer dan siklus lautan. Pada umumnya metode pengukuran risiko dari Manajemen Penanggulangan Bencana (Disaster Risk Management) digunakan di sini. Namun agar cermat digabungkan dengan bidang sektoral yang terkena dampak. Misalnya ekonomi, sosial, atau lingkungan. Sebagian negara secara tidak seimbang menggunakan angka kerugian finansial dan perbandingan dengan PDB sebagai indikator besaran dampak merugikan perubahan iklim mengikuti panduan Bank Dunia, ADB, dan lain-lain. Untuk pendekatan yang lebih seimbang, jangan lupa bahwa kematian seorang anggota keluarga yang dicintai karena dampak perubahan iklim tidak bisa dimonetisasi dan tidak diukur dengan PDB. Kerusakan hubungan-hubungan sosial akibat perubahan iklim juga tidak bisa diukur dengan uang. Menurut pengalaman, langkah-langkah di antara analisis basis utama hingga penguraian langkah-langkah adaptasi yang mungkin sungguh rumit. Dan karenanya secara nasional diperlukan pengembangan pendekatan untuk menunjang proses perencanaan yang dibagikan untuk dikuasai di seluruh tingkatan daerah (Mekong River Commission.2010).
- Elemen yang penting berikutnya adalah penilaian kerentanan. Yang dimaksud dengan kerentanan adalah hasil akhir di mana kepekaan suatu sistem (keluarga, komunitas, desa, kota, sektor, kabupaten, provinsi, nasional) menghadapi paparan dampak perubahan iklim, dan kemungkinan suatu sistem untuk dirugikan oleh dampak perubahan iklim karena residu paparan dampak yang tidak bisa diatasi oleh kepekaan sistem; dengan membandingkan antara besaran residu dampak yang dihadapi dan kemampuan sistem untuk beradaptasi, didapatlah gambar kerentanan. Penilaian kerentanan adalah praktek mengenali dan menaksir besaran semua faktor yang menyebabkan kerentanan, yaitu paparan dampak, kepekaan sistem, potensi merugikan dari dampak, dan kemampuan sistem beradaptasi.
Paparan dampak menunjukkan intensitas, durasi dan atau besarnya peluang suatu sistem untuk mengalami kontak dengan guncangan atau gangguan.
Kepekaan menyangkut kondisi internal dari sistem (keluarga, komunitas, desa, kota, sektor, kabupaten, provinsi, nasional) yang sangat dipengaruhi oleh kondisi manusia dan lingkungannya. Kondisi manusia dapat dilihat dari jumlah, struktur dan kepadatan populasi, situasi pranata atau kelembagaannya, kemampuan dan struktur ekonominya dan yang lainnya. Sedangkan kondisi lingkungan merupakan perpaduan dari kondisi biofisik dan alam dan struktur serta fungsi ekosistem. Kondisi manusia dan lingkungan menentukan kemampuan adaptif suatu sistem yang juga sangat dipengaruhi oleh keragaman iklim.
Kapasitas adaptif menunjukkan kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan iklim (IPCC 2007).
- Mengembangkan langkah-langkah pilihan adaptasi bersama para pemangku kepentingan pada bidang dan daerah dengan derajat kerentanan tinggi. Sumbang saran berdasar tiap-tiap langkah dan bidangnya, kemudian disortir menurut kriteria tertentu. Ada daftar panjang praktek penyesuaian yang bisa diperoleh dari sumbang-saran. Misalnya langkah proaktif mulai dari pengamatan dan prakiraan cuaca untuk kewaspadaan cuaca ekstrem atau penyimpangan iklim: peningkatan kemampuan prakira iklim musiman, pengembangan kemampuan operasional prakiraan beberapa bulan di depan situasi terkait El Nino, La Nina dan ENSO; peningkatan kemampuan pemantauan iklim dan penginderaan jauh bencana terkait iklim, dan sistem peringatan dini. Peningkatan pengetahuan dan pengertian umum mengenai perubahan iklim dan dampaknya yang merugikan merupakan langkah penting di Skotlandia [The Scottish Government, 2014. Hal.22-23]. Hal itu akan memudahkan siapa pun yang berkepentingan, bahkan dari akar-rumput, untuk ikut dalam gerakan adaptasi, baik lokal, sub-nasional, maupun nasional dalam jaringan kerjasama. Juga desain tindakan adaptasi untuk pertanian, diversifikasi tanaman, atau ternak, manajemen sumber air, manajemen distribusi aliran air dan irigasi, sistem lumbung persediaan pangan di masa paceklik, atau lebih besar lagi pengembangan sistem keamanan pangan, pengurangan risiko bencana berbasis-komunitas. Perlunya tempat-tempat publik yang dapat digunakan untuk pengungsian dari bencana dengan fasilitas yang memadai. Atau berhubungan dengan rancangan dan perlindungan atas prasarana yang terpapar dampak cuaca seperti jalan raya di pinggir pantai, juga rel kereta di pinggir pantai yang rentan terhadap kenaikan air laut.
Dari negara-negara lain dapat juga dipikirkan aksi adaptasi yang dipilih menurut jenis dan bidang dampak perubahan iklim misalnya:
(Mengatasi kekeringan) —- penyesuaian jadwal tanaman hutan dengan variasi iklim; beralih pada jenis tanaman yang tahan kekeringan; penggunaan sumur dangkal; metode penggiliran irigasi di masa sulit air; konstruksi embung persediaan air; pengadaan jalur khusus pemadam kebakaran untuk menjinakkan api; penerapan pemeliharaan tanah dan konservasi air di tanah pertanian dataran tinggi (Filipina, Lasco et al. 2006). — Pemanfaatan teknik pemanenan air hujan dan konservasi air tradisional secara lebih luas; pembangunan pos-pos untuk berteduh dari panas dan berlindung dari angin di dataran luas; pembatasan dan pemantauan jumlah hewan gembalaan dan pemotongan pohon; penyelenggaraan skema dana pinjaman bergulir (revolving credit funds). (Sudan, Osman-Elasha et al. 2006). — Penyesuaian waktu tanam dan variasi tanaman (misalnya, dengan tanaman yang tahan kekeringan seperti agave dan aloevera); pengadaan logistik komoditas untuk cadangan ekonomi; mengadakan ruang tanam terpisah antara bahan pangan dan lainnya untuk diversifikasi paparan; diversifikasi penghasilan dengan usaha peternakan; penyelenggaraan asuransi pertanian; pengadaan pundi-pundi keuangan lokal (sebagai alternatif asuransi pertanian komersial). (Mexico dan Argentina, Wehbe et al. 2006)
Kenaikan muka laut; —- memprogram rangkaian riset dan tindakan pemantauan atas hidrodinamika perairan pantai dan dampaknya atas produksi pangan laut; meningkatkan program kerjasama Marine Climate Change Impacts Partnership (MCCIP), yang menggunakan Annual Report Card, Climate Smart Working Report, di antara komunitas pantai untuk pengambilan keputusan adaptasi; manajemen ketahanan iklim pantai selaras proses alami [Skotlandia, The Scottish Government, 2014. Hal. 46-47]. — Riset indeks kepekaan masyarakat pantai (2008-2012)— untuk mendapatkan indeks kepekaan ekosistem pantai nasional terhadap dampak perubahan iklim dalam rangka peningkatan daya adaptasi mengatasi kerentanan (Nigel Goodhue et al, 2012); program melibatkan masyarakat pantai untuk adaptasi partisipatif [Helen Rouse et al. 2011. New Zealand]. Kebangkitan topan —- pembangunan kapasitas untuk rencana sistem ketahanan pantai bersama penduduk; penerapan penilaian risiko secara partisipatif; pengusahaan dana grant untuk peningkatan ketahanan pantai dan rehabilitasi infrastruktur; pengadaan rancangan dan bangunan rumah-rumah tahan badai; penyesuaian bangunan-bangunan besar dengan standar kebencanaan yang ditingkatkan; perbaikan peraturan standar konstruksi; penanaman kembali hutan mangroves. (Filipina, Lasco et al. 2006). —Program akuisisi lahan untuk perlindungan perubahan iklim (e.g., program akuisisi lahan pantai New Jersey Coastal Blue Acres untuk membeli lahan pantai yang telah rusak atau sangat rentan karena ombak dan badai sebagai perisai bagi lahan-lahan lainnya; lahan yang diakuisisi digunakan untuk konservasi atau untuk tempat rekreasi dengan desain perlindungan pantai); penyelenggaraan sistem tukar guling di Texas, properti pantai yang terbuka terhadap gelombang laut yang dapat menyerbu pantai ditukar dengan properti di pedalaman; kebijakan pantai lain yang mengharuskan pemilik tanah melakukan tindakan antisipatif terhadap kenaikan muka laut. (Amerika Serikat. Easterling et al. 2004). Pemerintah California untuk kawasan pantai Teluk San Francisco menawarkan dua pilihan antara “coastal armoring,”[membuat perisai pantai] yang tradisional dan “planned retreat” [mundur secara terencana] yang lebih inovatif dengan mengintegrasikan ekosistem alam sebagai penahan terhadap kenaikan muka laut dan badai serta gelombang , suatu adaptasi berbasis ekosistem (ecosystem-based adaptation) [State of California. 2012] — Pemberlakukan Undang-undang Pertahanan Banjir dan Kebijakan Pertahanan Pantai sebagai langkah jaga-jaga terhadap kecenderungan dampak iklim; pembangunan tembok penahan gelombang mengantisipasi kenaikan muka laut 50cm; pembangunan tanggul dari pasir tambahan di wilayah pantai; perbaikan manajemen muka air dengan pengerukan, pelebaran bantaran sungai, menyalurkan luapan air sungai ke kanal samping dan kawasan tanah becek; penyebaran lokasi penyimpanan air dan daerah retensi air; melakukan pemeriksaan teratur ( 5 tahun sekali) atas aspek keamanan dari semua prasarana perlindungan. (Belanda, Government of the Netherlands 1997 dan 2005). Banjir ; kenaikan muka laut …..Penataan pantai kembali di bawah Essex Wildlife Trust, mengubah 84 ha tanah pertanian kering menjadi ladang garam dan tanah rumput sebagai upaya pertahanan pantai berkelanjutan; perawatan dan pengoperasian Thames Barrier melalui Proyek Thames Estuary 2100 untuk mengelola banjir yang diakibatkan oleh perubahan iklim; mengadakan pedoman untuk para pembuat kebijakan, eksekutif puncak dan anggota parlemen sehubungan dengan perubahan iklim dan sektor asuransi (dilaksanakan oleh Association of British Insurers). (Inggris, Defra 2006). Kenaikan muka laut dan intrusi air garam — Rencana Manajemen Air Nasional yang memperhitungkan perubahan iklim; pembangunan pintu-pintu air (flow regulator) di tembok-tembok pantai; penanaman tanaman alternatif dan filter air dengan teknologi rendah.(Bangladesh, OECD 2003; Pouliotte 2006). — Pemanenan air hujan; pengurangan kebocoran; pertanian hidrofonik; pengadaan skema kredit bank untuk pembelian tangki-tangki penyimpanan air. (Filipina, Lasco et al. 2006)
Berbagai ragam aktivitas adaptasi dari hulu hingga hilir juga bisa didaftar di bidang-bidang pertanian, keanekaragaman hayati, kesehatan, perkotaan, perdesaan, ekosistem hutan, ekosistem gunung, kepariwisataan, perusahaan, dan lain-lain.
- Selanjutnya proses menentukan dan kompilasi langkah-langkah adaptasi yang dipilih. Proses ini bisa sangat menantang karena berat, terutama jika dilakukan dalam kelompok, akan meliputi benturan kepentingan-kepentingan. Pertama-tama kompilasi menurut kategori adaptasi, apakah adaptasi struktural/fisik berkenaan dengan ekosistem; ataukah adaptasi sosial; ataukah adaptasi kelembagaan [ 2014. A. Hal. 844-848]. Selanjutnya dalam kategori masing-masing langkah adaptasi disusun menurut urutan sistematik logis, bahwa ada yang harus didahulukan sebab menjadi dasar bagi tindakan berikutnya. Tata urutan sistematik logis dimaksudkan agar langkah-langkah cost-effective, sehingga duplikasi, pengulangan, atau pembongkaran hasil tindakan yang sudah dilakukan harus dihindari. Kemudian diadakan pemilihan tindakan-tindakan yang akan dilakukan. Tidak semua tindakan dan kegiatan yang diinginkan dapat segera dilaksanakan. Sebagian harus dipilih menurut tingkat urgensinya. Apakah tindakan itu lebih mendesak dibanding dengan yang lain, sebab jika tidak dilaksanakan segera, dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan yang memengaruhi banyak orang. Selanjutnya seleksi didasarkan pada soal kendala, hambatan, batasan atas tiap langkah adaptasi, misalnya menyangkut aspek teknis pelaksanaan seperti ketersediaan keahlian teknis, atau ketersediaan sarana, atau pendanaan. Ada pula hambatan kelembagaan yang tidak boleh diremehkan. Memerhatikan perhitungan bea-maslahat. Kadang suatu tindakan adaptasi walau menguntungkan suatu komunitas atau sektor, merugikan komunitas atau sektor lain. Maka perlu ditimbang dampak negatifnya dan diusahakan keselarasan dengan komunitas dan sektor yang terkena dampak lebih dulu. Kompilasi langkah-langkah pilihan merupakan bank gagasan yang walau sebagian sekarang terkendala tidak dapat dilaksanakan, namun harus dipikirkan di kemudian hari. Kompilasi ini nanti masih akan disaring lagi ketika harus melakukan penentuan prioritas. Integrasi langkah adaptasi ke dalam arus kegiatan pembangunan berkelanjutan tidak serta-merta menghilangkan atau melarutkan sifat khusus tindakan adaptasi dampak perubahan iklim karena adanya batasan-batasan kegiatan yang membedakan.
Approach/Pendekatan
Pendekatan umum yang digunakan untuk aksi adaptasi ada dua: (1) tata-kelola berbasis hasil (result-based management approach) dengan rangkaian sasaran “outcome” yang jelas dan terukur, dan (2) tata-kelola berbasis proses (process-based management approach), yang lebih menekankan “milestone” yang lebih holistik sehingga tidak terlalu rinci dengan kuantifikasi menuju tujuan akhir. Jika ditempatkan dalam konteks relasi internasional menggunakan dana multilateral, pada umumnya badan-badan (donor) internasional menerapkan dan lebih menyukai pendekatan (1) tata-kelola berbasis hasil (result-based management approach). Jika lebih berorientasi pada proyek sekali waktu maka pendekatan tata-kelola berbasis hasil paling sering digunakan; tetapi jika aksi adaptasi dimaksudkan berkelanjutan sifatnya, maka sifat kesinambungan jangka panjang mendekati sifat program sehingga pendekatan tata-kelola berbasis proses lebih cocok digunakan. Namun tidak jarangan gabungan keduanya dimanfaatkan untuk kesepakatan di antara para pemangku kepentingan. Alhasil pendekatan tata-kelola berbasis proses dalam program jangka panjang dipenggal-penggal menggunakan pola tata-kelola berbasis hasil, yang diletakkan dalam suatu garis kesinambungan.
Prioritas
Prioritasi program adaptasi dampak yang merugikan dari perubahan iklim dari segi urgensi, kepentingan dan keterbatasan keuangan, menurut pengalaman GEF yang sejak COP-7/2001 Marrakesh ditugasi mengatur pendanaan adaptasi internasional , sejak implementasi kegiatan adaptasi begitu persiapan selesai, meliputi bidang-bidang : ~manajemen sumber air; ~ tata-kelola tanah; ~ pertanian; ~ kesehatan; ~ pembangunan pra-sarana; ~ ekosistem yang rapuh, termasuk ekosistem gunung; ~ tata-kelola kawasan pesisir terpadu; ~ peningkatan pemantauan penyakit dan vektor yang dipengaruhi perubahan iklim dan sistem perkiraan serta peringatan dini, dan dalam konteks ini perbaikan pencegahan dan pengendalian penyakit; ~ menunjang pembinaan kapasitas, termasuk kapasitas kelembagaan, tindakan pencegahan, perencanaan, kesiagaan dan tata-kelola bencana yang terkait perubahan iklim termasuk rencana darurat khususnya terkait daerah yang rawan kekeringan dan banjir akibat cuaca ekstrem.
Runtun, jadwal, sarana dan koordinasi langkah-langkah implementasi
Langkah-langkah implementasi adaptasi dampak perubahan iklim disusun dalam suatu daftar menurut tiap bidang adaptasi prioritas, sasaran yang diarah, tiap langkah dan uraian singkatnya, serta instansi yang bertanggungjawab, baik badan-badan pemerintah, organisasi, asosiasi perusahaan, komunitas, masyarakat pengetahuan, dan lain-lain. Hal itu dimaksudkan menunjukkan benang merah koordinasi, fasilitasi, pemantauan, dan evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendekatan proyek akan menyusun langkah-langkah implementasi menurut pola penjadwalan manajemen proyek dengan parameter tahapan-tahapan pencapaian yang rinci dengan memerhatikan titik-titik kritis hingga penyelesaian. Pendekatan program menggunakan pola penjadwalan pekerjaan rutin dan khusus menurut pola penjadwalan manajemen program dengan pencapaian tonggak-tonggak penting (milestone) dan memerhatikan titik-titik pentahapan, kontinuitas dan kesinambungan proses-proses. Tetapi untuk jangka menengah dan panjang, selalu baik menempatkan runtun-jadwal-dan-koordinasi implementasi aksi adaptasi dalam kerangka besar pembangunan berkelanjutan. “Budaya ekologis tidak dapat direduksi menjadi serangkaian jawaban mendesak dan parsial atas masalahmasalah yang sedang muncul dalam kaitan dengan kerusakan lingkungan, menipisnya cadangan sumber daya alam, dan polusi. Dibutuhkan cara pandang yang berbeda, cara berpikir, kebijakan, program pendidikan, gaya hidup dan spiritualitas, yang membangun daya tahan…… Jika tidak, inisiatif-inisiatif ekologis yang terbaik pun akhirnya dapat terjebak dalam pola pikir … hanya mencari solusi teknis untuk masing-masing masalah lingkungan yang muncul. Mengisolasi hal-hal yang dalam kenyataan saling berhubungan… berarti menutupi masalah-masalah yang benar dan paling mendalam dari sistem global” [Paus Fransiskus. 2015. 111].
Pelaporan, Tinjauan, Evaluasi dan Perbaikan
Pemerintah Skotlandia membuat program adaptasi lima tahunan. Dalam setiap tahun mereka menjadwalkan kegiatan pemantauan dan penilaian serta mengumumkan hasilnya untuk pihak-pihak yang berkepentingan[The Scottish Government, 2014. Hal. 37]. Pemantauan dan penilaian dilakukan pemerintah setiap tahun, namun dua tahun sekali dilakukan verifikasi oleh badan internasional yang independen. Pengukuran dan pelaporan upaya adaptasi terhadap sasaran-sasarannya perlu diketahui umum agar mereka tahu di mana kemajuan ketahanan iklim didapatkan dan sejauh mana, serta dalam hal apa masih terdapat kesenjangan dan kekurangan dari waktu ke waktu.
Diakui bahwa masih ada kesulitan besar untuk menilai efektivitas langkah adaptasi keseluruhan menurut validitas, nilai, dan data adaptasi yang tersedia. Maka untuk sementara tinjauan dan evaluasi lebih didasarkan pada kesesuaian implementasi dengan prosedur, sistem dan target-target dalam rencana adaptasi. Namun penelitian dan lembaga-lembaga penilai semakin berkembang dalam mengenali berbagai kriteria yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian dan evaluasi, yang di kemudian hari justru menambah kecanggihan perencanaan di permulaan siklus : perencanaan – implementasi – penilaian/evaluasi – perbaikan. Sebab bagaimana pun, yang dijadikan dasar proses kegiatan penilaian/evaluasi adalah rencana-rencana.
[BERSAMBUNG]
Lihat Selanjutnya: ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 3