Oleh Bambang Kussriyanto
2011-2015
Tahun berikutnya badan penunjang Protokol Kyoto yang dibentuk dalam Cop-13 Bali yaitu AWG-KP untuk peningkatan komitmen Annex I dan AWG-LCA untuk kejasama jangka panjang mengadakan pertemuan di Bangkok, Thailand, 3-8 April 2011. Mereka membahas asumsi dan kondisi untuk pencapaian target kuantitatif pengurangan emisi di semua sektor ekonomi negara maju berdasar komunikasi informasi mereka. Delegasi AS membuat kejutan dengan pengakuan terbuka mengapa pencapaian mereka jauh sangat kurang dibanding target yang tertulis. Negara-negara lain pun buka kartu tentang kesulitan-kesulitan negara mereka. Secara umum diakui bahwa perubahan iklim mendatangkan pilihan yang sangat sulit secara ekonomis untuk tiap-tiap pihak. Tantangan dalam negeri sangat kuat terutama karena lobi-lobi industri dan masyarakat sipil yang belum mau mengurangi hak mereka atas perkembangan ekonomi nasional. Selain itu juga dibahas penyelenggaraan mekanisme teknis, termasuk badan-badan Komite Eksekutif bidang Teknologi ( Technology Executive Committee, TEC) dan Pusat dan Jaringan Teknologi Iklim (Climate Technology Centre and Network, CTCN). UNESCO menyelenggarakan Kongres Energi Terbarukan (World Renewable Energy Congress) 2011 mengenai kecenderungan masa depan penggunaan teknologi dalam energi yang terbarukan dan pembangunan yang berkelanjutan, 8-13 Mei 2011 di Linkoping, Swedia, terutama menggagas aspek teknis pengembangan pusat energi yang tidak berbahan-bakar fosil. Selain status teknologi yang sedang berkembang dalam hal energi fotovoltaik, panas matahari, angin dan gelombang, panas bumi, serta tenaga air, juga dibahas hambatan-hambatan yang dihadapi. Pertemuan IPCC berhubungan dengan Renewable Energy Sources and Climate Change menyetujui penerbitan khusus Laporan (SRREN Report tentang hal itu. Pertemuan dilaksanakan pada 10-13 Mei 2011 di Abu Dhabi, United Arab Emirates. Forum kemitraan Climate Investment Funds (CIF) membuka peluang bagi para pemegang kepentingan—pemerintah, masyarakat sipil, masyarakat adat, sektor swasta dan lain-lain—untuk berkontribusi bagi upaya-upaya mengatasi perubahan iklim dalam konteks CIF 24-25 Juni 2011 di Cape Town, Afrika Selatan, bersama World Bank. Konferensi Program Riset Iklim Dunia diselenggarakan International Council for Science, WMO dan Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) UNESCO, menghimpun masyarakat ilmiah internasional untuk memajukan pengertian dan perkiraan penyimpangan dan variasi iklim Bumi pada 24-28 Oktober 2011 di Denver, AS.
Lihat juga : PERUBAHAN IKLIM SAMA BERTANGGUNGJAWAB BEBAN BERBEDA 2
Pada bulan Oktober 2011 Federasi Konferensi Para Uskup Asia (Federation of Asian Bishops Conference, FABC) menyelenggarakan seminar iklim di Bangkok, dihadiri para utusan dari 16 Konferensi Uskup negara-negara Asia. Dalam Pernyataan Penutup, mereka menyatakan: “Kami mendesak:
~ kepada semua yang memikul tanggungjawab politik agar menjadikan perlindungan iklim sebagai pedoman pembimbing dalam pengambilan keputusan; ~ kepada semua yang memikul tanggungjawab atas perekonomian dan kepada seluruh negara industri agar berbagi dengan kami di Asia know-how teknologi yang berkelanjutan untuk perlindungan iklim, adaptasi dan mitigasi demi generasi yang akan datang; ~ kepada semua pemerintahan agar menetapkan untuk membatasi peningkatan suhu global pada tingkat 1,5o C; ~ kepada semua pemerintahan agar menerapkan model pembangunan yang ramah pada iklim dan memerluas komitmen yang mengikat dari negara-negara ekonomi besar yang baru; ~ kepada semua pemerintahan agar membawa Protokol Kyoto kepada masa periode komitmen kedua pasca 2012 dan dengan demikian melayani satu-satunya instrumen yang mengikat dalam perlindungan iklim dari PBB; ~ kepada semua negara industri untuk mengakui tanggungjawab historis mereka atas perubahan iklim dan atas kewajiban mereka untuk melindungi rakyat yang terdampak oleh perubahan iklim; ~ agar diterapkan tata-kelola GCF dan program-programnya yang adil, fair dan transparan demi menjamin supaya pertumbuhan dan pembangunan tidak menimbulkan emisi karbon yang tinggi di negara berkembang dan perekonomian yang bertumbuh cepat; ~ para pengambil keputusan di semua tingkat agar mengindahkan kearifan lokal masyarakat dalam tata lingkungan dan akan hak masyarakat untuk ikut berperanserta secara aktif” [FABC. 2011].
Semakin banyak orang memerhatikan perubahan iklim dunia, terutama tampak dari besarnya peliputan perundingan FCCC-COP ke-17 yang pada 28 November – 9 Desember 2011 diselenggarakan di Durban-Afrika Selatan. Konvensi Perubahan Iklim kini diikuti oleh 195 negara. Di antara mereka 193 negara meratifikasi Protokol Kyoto. Untuk kesempatan ini Paus Benediktus XVI selaku kepala negara Vatikan untuk peserta Konvensi dan Protokol Kyoto mengirimkan pesan seruan untuk bertindak: “Saya mengharapkan seluruh komunitas internasional menyepakati suatu tanggapan yang bertanggungjawab, dapat diandalkan dan meringankan gejala yang kompleks dan mencemaskan kita, dengan mengingat kebutuhan penduduk yang paling miskin dan generasi-generasi yang akan datang” [Paus Benediktus XVI. 2011]. COP-17 sepakat untuk percepatan tindakan pengurangan emisi hingga sebelum 2020. Pada awal perundingan kepada delegasi disampaikan keterangan mengenai semangat saling membantu Afrika Selatan: Ubuntu (aku ada karena anda ada). Perundingan komitmen sehubungan perubahan iklim diharapkan merupakan wujud dari semangat dasar kebersamaan, saling membantu dan meneguhkan itu. Sekretaris Jendral PBB Ban Ki Moon menyampaikan kisah tentang seorang gadis cilik dari Kiribati, yang tidak dapat tidur nyenyak lagi karena takut dihanyutkan oleh gelombang laut yang makin tinggi karena peningkatan muka laut. Gadis itu akan hidup di masa yang akan datang. Delegasi diharapkan memberikan jaminan hidup yang aman bagi anak-anak masa depan, dari dampak perubahan iklim yang sekarang digeluti bersama. Dihasilkan 19 keputusan COP Durban yang meliputi komitmen periode kedua Protokol Kyoto, kerjasama jangka panjang dan suatu proses baru yang mengikat seluruh pihak dalam Konvensi, serta operasionalisasi Dana Iklim Hijau (GCF = Green Climate Fund) yang persiapannya telah dibahas sebelumnya dalam COP Cancun [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2012]. Masih diharapkan dengan penyediaan modal cepat sebesar AS$30 milyar antara 2011-2012, GCF akan dapat memutar dana iklim sebesar AS$100 milyar setahun pada 2020. Dalam kenyataannya penghimpunan dana AS$10 milyar pertahun antara 2010-2012 dari COP Copenhagen hingga Cancun untuk modal cepat GCF tak dapat dipenuhi pihak-pihak [Neil Bird, et al. 2011]. Dokumen “Durban Platform for Enhanced Action” (Anjungan Durban untuk Peningkatan Tindakan) menyajikan jendela penilaian karya 20 tahun bersama Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate, UNFCCC), dan menetapkan arah baru dalam usaha iklim internasional ke masa depan. Mendapat kesepakatan pihak-pihak dalam UNFCCC “Durban Platform” menyerukan “penguatan rezim iklim multilateral berbasis peraturan Konvensi.” Untuk itu, ditetapkan suatu periode perundingan baru sebagai “jendela delapan tahun” antara 2012-2020 untuk pengembangan “suatu protokol, instrumen hukum baru atau hasil yang disepakati dengan kekuatan hukum” untuk periode mulai dari 2020. Untuk itu diselenggarakan suatu badan penunjang yang baru, yaitu Kelompok Kerja Ad-hoc untuk Peningkatan Tindakan berdasar Durban Platform (Ad hoc Working Group on Enhanced Action under the Durban Platform, disingkat ADP) yang akan bekerja mulai Juni 2012. Dari awal, perundingan-perundingan UNFCCC dilaksanakan dengan tarik ulur di antara metode-metode yang bersaing. Yang satu bersifat top-down dengan penetapan “kontrak” yang mengikat terkait target dan jadwal. Yang lain bersifat bottom-up “fasilitatif” terhadap tindakan sukarela yang ditetapkan secara sepihak. Dalam perkembangannya, kedua metode berjalan paralel, dengan Protokol Kyoto yang mengikat, dan kerangka sukarela yang muncul dalam COP 2009 di Copenhagen dan setahun kemudian menjadi pendekatan resmi dalam COP 2011 Cancún. Kedua pendekatan punya kekuatan dan kelemahan sendiri, namun dalam prakteknya terkait dengan persoalan iklim yang makin mendesak, hasil penerapan kedua metode kurang memadai. “Durban Platform” menyajikan peluang untuk pendekatan alternatif yang diharapkan dapat memanfaatkan yang terbaik dari kedua metode yang ada [Bodansky, Daniel, dan Sandra Day O’Connor. 2012].
Tahun 2012 adalah ulang tahun ke-20 KTT Bumi Rio de Janeiro 1992. Sejak awal tahun banyak pihak sibuk menyiapkan diri untuk peringatan itu. Sementara itu diselenggarakan Dialog Cartagena untuk langkah agresif terhadap perubahan iklim 3-4 April 2012 di Nairobi, Kenya. Sejumlah 80 wakil 38 negara sepakat dengan langkah kerjasama internasional yag agresif untuk menanggulangi perubahan iklim. Dialog membahas perlunya detil komitmen periode kedua Protokol Kyoto, peningkatan mitigasi dalam periode hingga 2020, operasionalisasi lembaga-lembaga dan mekanisme yang telah disepakati dalam pelbagai COP dan peran besar adaptasi dan keuangan. Di tempat lain para pemimpin negara berjumpa dalam Forum Negara Ekonomi Besar (MEF) mengenai Energi dan Iklim di Roma, Italia, 17 April 2012. Suatu dialog serius di antara 17 negara maju dan sedang berkembang untuk perkembangan dalam upaya menangkal perubahan iklim dan pengadaan energi yang bersih secara global. Para peserta menyambut paket keputusan COP-17 Durban, yang dinilai sebagai kemajuan besar. Penting untuk mengimplementasikan “paket Durban” (ADP) secara seimbang, seraya mengantisipasi perubahan Protokol Kyoto agar negara-negara Annex I mengubah target QELRO mereka, dan menyepakati tatanan dalam periode komitmen kedua dan tatacara pelimpahan sisa target (carry-over AAU) masa lalu ke masa selanjutnya. Sementara rapat badan penunjang protokol AWG-LCA pada 15-24 Mei berfokus pada persiapan dokumen untuk kesepakatan yang lengkap dan seimbang bagi Conference of the Parties (COP 18) mendatang. Dipikirkan soal-soal pemerataan akses pada pembangunan yang berkelanjutan sejalan dengan Rio+20 ; kejelasan target pengurangan emisi negara maju; pemahaman lebih lanjut tentang keragaman negara berkembang berkenaan dengan langkah mitigasi yang tepat secara nasional (nationally appropriate mitigation actions, NAMAs); pelbagai pendekatan; dan mekanisme berbasis pasar. Antara 15-24 Mei, badan penunjang yang lain, AWG-Kyoto Protocol, juga melakukan pertemuan untuk fokus pada komitmen selanjutnya dari negara Annex I, termasuk kuantifikasi sasaran pembatasan atau pengurangan emisi (quantified emission limitation or reduction objectives, QELROs), alih masa sisa assigned amount unit (AAUs) dan usulan amandemen Protokol dan lampiran-lampirannya (annex). Dialog Cartagena dilanjutkan lagi di Dushanbe, Tajikistan, 19-20 Juli 2012. Dialog menjadi ajang diskusi dan pertukaran pendapat dalam mengurai pilihan-pilihan dan dokumen yang bida didukung dan memeroleh konsensus pihak lain. Percakapan dilakukan di luar ruangan yang resmi dan lebih santai mengusahakan persamaan kepentingan sehingga tidak sampai menyebabkan polarisasi sikap dalam negosiasi. Pimpinan badan keuangan baru, Green Climate Fund (GCF), mengadakan pertemuan pertama 23-25 Agustus 2012 di Geneva, Swiss, menentukan rencana kerja Dewan, dan memulai upaya menuju operasionalisasi GCF. Rapat kedua Dewan Pimpinan GCF dijadwalkan di Songdo, Republik Korea, 18-20 Oktober 2012. Selain itu Simposium ketiga tentang “Lautan di Dunia ber-CO2 Tinggi” yang disponsori Scientific Committee on Oceanographic Research (SCOR), Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) UNESCO, dan International Geosphere-Biosphere Programme dan dihadiri lebih dari 300 ilmuwan besar dunia membahas dampak peningkatan aisfidikasi lautan atas organisme laut, ekosistem dan daur proses biogeokimia pada 24-27 September 2012 di Monterey, California, AS.
Perlu diingat bahwa pada bulan Juli 2012 diselenggarakan KTT Rio+20. Dari Rio de Janeiro, Brazil, perhatian pada bumi disegarkan lagi. Komitmen-komitmen pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan perhatian akan profit+planet+people (keuntungan ekonomis+bumi+kesejahteraan hidup manusia) yang pada tahun 1990-an dituangkan dalam Agenda 21, dan kemudian dalam dasawarsa 2000-an dalam Millenium Development Goals (MDG), menjadi Sustainable Development Goals (SDG) untuk masa selepas 2015. Negara-negara berusaha mewujud-nyatakan solusi pembangunan berkelanjutan antara lain dengan:
- mengadakan transisi menuju ekonomi hijau dengan fokus mengentaskan kemiskinan;
- melindungi lautan dari penangkapan ikan berlebihan, kerusakan ekosistem laut dan dampak merugikan dari perubahan iklim;
- membuat kota-kota lebih nyaman untuk hidup dan lebih efisien;
- memerluas penggunaan sumber energi yang terbarukan sehingga dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan, serta mengurangai polusi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
- melaksanakan tatakelola hutan dengan lebih baik sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih luas — mengurangi deforestasi hingga separohnya pada 2030 niscaya dapat menghindarkan kerugian AS$ 3,7 trilyun akibat perubahan musim yang dipicu emisi gas rumah kaca — belum lagi keuntungan dari nilai pekerjaan dan penghasilan dari hutan sendiri, dari perlindungan keanekaragaman hayati, air bersih dan tanaman obat yang disediakan hutan;
- perbaikan cara tatakelola dan konservasi sumber air dan pencegahan meluasnya lahan kering (United Nations Association of Australia).
Menjelang akhir 2012 topan Bhopa bagaikan menunjukkan dampak perubahan musim yang harus diatasi, mengamuk di beberapa negara dan menimbulkan kerugian besar, sementara FCCC-COP ke-18 diselenggarakan di Doha, Uni Emirat Arab. Konvensi Perubahan Iklim kini diikuti oleh 195 negara. Di antara mereka 192 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto, berkurang satu negara karena pada akhir 2011 Canada mengundurkan diri dari Protokol Kyoto dan menimbulkan banyak spekulasi, sebab Canada yang tadinya menggebu-gebu penuh semangat, justru meninggalkan Protokol setahun sebelum periode pertama kesanggupan pengurangan emisi 2008-2012 usai. Sementara pihak menduga Canada tidak mau rugi mengikuti Protokol Kyoto karena hubungan dagangnya yang sangat besar dengan AS, khususnya di bidang energi, terutama dengan penemuan ladang-ladang besar shale oil, terutama di Alberta. Namun seperti AS, Canada tetap menjadi pihak peserta Konvensi Perubahan Iklim. Ada pula yang menyatakan bahwa dari segi politik dalam negeri, bentuk negara Canada yang federal tidak mampu mengalahkan lobi kepentingan negara-negara bagian dan municipal yang kaya akan sumber minyak bumi, yang merasa akan dirugikan oleh Protokol Kyoto. Perundingan COP-18 Doha berfokus pada kepastian atas implementasi persetujuan-persetujuan yang telah disepakati dalam konferensi yang terdahulu. Keputusan yang disebut “Doha Climate Gateway” meliputi amandemen Protokol Kyoto untuk komitmen “jilid dua”. Di Doha, ditetapkan bahwa antara 2013 dan 2015 dilaksanakan suatu proses tinjauan atas sasaran suhu jangka panjang untuk mendapatkan besaran perubahan iklim dan selanjutnya memobilisasi tindakan yang diperlukan. Pihak-pihak cemas jika proses ini berimplikasi pada perubahan janji dari masing-masing negara maju. Yang jelas memang komitmen rata-rata pihak negara Annex I yang semula 8% pada periode pertama Protokol Kyoto, dengan memerhatikan situasi terakhir akan dinaikkan jadi 18% dari level emisi tahun 1990. Juga ada kesepakatan mengenai pertimbangan atas kerugian dan kerusakan seperti mekanisme institusional untuk memberi silih atas kerugian dan kerusakan yang dialami negara berkembang yang rentan terhadap dampak merugikan dari perubahan iklim. Walau terasa ada kekecewaan umum atas kurangnya greget negara-negara yang termasuk dalam Annex I dalam hal mitigasi dan keuangan, namun konferensi berhasil melapangkan jalan menuju babak baru, yang fokus pada implementasi dan kemajuan perundingan sesuai ADP (Durban Platform for Enhanced Action). [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2013].
Kendati negara maju adalah emiten utama CO2, namun negara ekonomi Asia yang berkembang maju pun merupakan kontributor emisi besar. China melepas CO2 sebanyak 29% dari emisi global tahun 2011, diikuti AS 16%, Uni Eropa 11% dan India 6%. Rusia dand Jepang masing-masing 5 dan 4 % [Olivier, Jos G.J., et al. 2012. Hal 6-7]. Ad Hoc Working Group on the Durban Platform (ADP) bertemu di Bonn, 29 April – 3 Mei 2013, ADP-2 dengan struktur agenda dua aruskerja serempak, yaitu aruskerja untuk kesepakatan tahun 2015 (Aruskerja 1) dan untuk ambisi pra-2020 (Aruskerja 2).
- Lingkup, struktur dan desain kesepakatan 2015 (Aruskerja 1);
- peluang pembangunan dengan emisi rendah (Aruskerja 2);
- peluang mitigasi berbasis tanah (Aruskerja 2).
- langkah katalisasi (Aruskerja 2);
- penentuan sinario (Aruskerja 1);
- adaptasi (Aruskerja 1);
- sarana implementasi (Aruskerja 1);
- mitigasi (Aruskerja 1);
- transparansi tindakan dan dukungan (Aruskerja 1);
- pendekatan yang praktis dan orientasi-hasil untuk ambisi pra-2020 (Aruskerja 2); dan
- penggabungan seluruh aspek di atas (Aruskerja 1 and 2).
Namun setelah melalui pertawaran saat itu, komitmen pengurangan emisi dalam periode kedua, baik dari negara-negara Annex I maupun aksi sukarela negara berkembang, hanya mencapai tingkat 15% dari emisi global. Yang dinginkan 18%. Level kesanggupan itu tidak mendukung usaha memertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 2°C. Masih diperlukan tambahan kesanggupan dari delegasi untuk menjembatani kesenjangan hasil aksi pra-2020. Lambannya ratifikasi amandemen Protokol Kyoto menurut COP Doha juga menjadi bayang-bayang yang mencemaskan. Negara-negara Uni Eropa dan peserta komitmen babak kedua menjamin bahwa mereka akan tetap melaksanakan komitmen mereka sejak Januari 2013, sekalipun proses ratifikasi sedang berlangsung. ADP-2 kemudian menunda rapatnya hingga 14 Juni 2013 untuk menampung masukan dari proses-proses lain yang sedang berlangsung.
Di awal bulan Juni badan-badan penunjang UNFCCC yaitu SBI dan SBSTA, melakukan pertemuan untuk persiapan COP juga. Agenda SBI meliputi: laporan komunikasi nasional negara-negara; rencana nationally appropriate mitigation actions (NAMA) dari negara-negara sedang berkembang ; hal-hal yang terkait mekanisme fleksibel Protokol Kyoto; negara-negara terbelakang; rencana adaptasi nasional; kerugian dan kerusakan; keuangan; teknologi; pengembangan kapasitas; langkah tanggapan; dan tata-acara pertemuan antar pemerintah. Sayangnya sampai penutupan pertemuan SBI pihak-pihak gagal menuntaskan agendanya dan mengecewakan. SBSTA di pihak lain membahas: program kerja Nairobi; reducing emissions from deforestation and degradation in developing countries, plus konservasi yang ditingkatkan (REDD+); teknologi; riset dan pengamatan sistematik; langkah tanggapan; pertanian; metodologi menurut Konvensi dan Protokol Kyoto; mekanisme pasar dan bukan-pasar karbon; dan tinjauan 2013-2015. Jika SBI tidak mampu mendapat kemajuan, SBSTA memberikan hasil melampaui harapan terutama dalam hal pertanian REDD+. Maka
SBSTA mengangkat suasana menjadi positif dan banyak pihak senang dengan kemajuan yang dicapai di Bonn. Selanjutnya penguatan juga diterima dari Simposium Global tentang REDD+ dalam Ekonomi Hijau yang diselenggarakan Program Kolaborasi PBB untuk program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation di negara berkembang (UN-REDD), mencermati pelajaran dari kegiatan perintisan yang mengaitkan REDD+ dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan Ekonomi Hijau (green economy) pada 19-21 Juni 2013 di Jakarta, Indonesia.
Perundingan perubahan iklim FCCC-COP ke-19, bulan November 2013 diselenggarakan di Warsawa. Konferensi diselenggarakan ketika bukti perubahan iklim mengemuka dan diperlukan tindakan mendesak. Pada awal bulan itu, topan Haiyan, salah satu topan tropis yang paling dahsyat, seperti telah disampaikan di bagian I dan II di depan, meluluhlantakkan daerah Visayas, Filipina. Fokus COP-19 mengikuti Durban Platform for Enhanced Action (ADP) adalah menjembatani celah kesediaan negara-negara untuk mengurangi emisi hingga tahun 2020 (oleh 90 negara), yang setelah dijumlah masih belum cukup untuk menutup kekurangan. Janji negara-negara maju Annex I menurut Konvensi yang disampaikan sejak 2010 tetap sama saja. Beberapa negara telah menerapkan pola penetapan komitmen pembatasan atau pengurangan emisi (QELRC) di semua sektor ekonomi untuk Protokol Kyoto. Namun ketika ditutup 27 jam sesudah jadwal yang seharusnya, perundingan memutuskan untuk mengundang pihak-pihak agar ambil prakarsa atau menambah persiapan dalam negeri untuk melaksanakan kontribusi nasional masing-masing, dan memercepat implementasi penuh Bali Action Plan dan ambisi pra-2020. Selain itu “program REDD+” disepakati di Warsawa, dalam rangkaian tujuh keputusan termasuk menyusun pedoman pengurangan emisi dari akibat pembabatan hutan di negara-negara sedang berkembang, termasuk soal keragaman hayati, dampak sosial, pengelolaan dan keuangan tindakan-tindakan. [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2014].
Amandemen Protokol Kyoto dalam COP Doha untuk periode komitmen kedua yang membuka jalan untuk peningkatan ambisi komitmen baru akan berlaku jika lebih dari ¾ hegara yang hadir memberikan persetujuannya (ratifikasi). Namun hingga COP Warsawa hanya empat negara saja yang meratifikasi perubahan komitmen untuk periode kedua Protokol Kyoto (2013–2020), masih sangat jauh dari 144 ratifikasi yang diperlukan. Karena komitmen periode kedua hanya mencakup 15% dari emisi dunia, digarisbawahi perlunya semua negara meningkatkan upaya mitigasi mereka. COP Warsawa memutuskan untuk meminta negara-negara sedang berkembang yang belum menyerahkan rencana NAMA mereka (nationally appropriate mitigation actions) agar segera mengirimkannya dan meningkatkan ambisi mereka juga.
Hasil COP Warsawa yang positif adalah mekanisme internasional untuk silih atas kerugian dan kerusakan yang ditanggung negara berkembang akibat dampak merugikan perubahan iklim.
Sehubungan dengan itu juga diserukan pengerahan dana “dalam skala yang sangat signifikan” untuk modal awal GCF dalam COP-20 tahun 2014. Di Warsawa, Republik Korea menjanjikan AS$40 juta untuk GCF. Finlandia, Norwegia, dan Swedia bersedia menyerahkan dana modal setelah semua persiapan yang diperlukan GCF selesai. Untuk ragam dana-dana lain di bawah UNFCCC, AS$100 juta disediakan untuk Dana Adaptasi (Adaptation Fund), AS$72,5 juta disediakan oleh tujuh negara Eropa. Jerman menyediakan €50 juta dan Inggris £50 juta untuk Dana Adaptasi negara terbelakang (LDCF, Least Developed Countries Fund). Jerman juga menyediakan €50 juta untuk Dana Khusus Perubahan Iklim (SCCF, Special Climate Change Fund) [ADB. 2013. Par. 12].
Di Warsawa, Pihak-pihak sepakat untuk selanjutnya menggunakan dokumen Laporan Asesmen ke-5 (AR5)2013 dari IPCC sebagai rujukan perundingan dan kebijakan.
Titik Kritis KTT Iklim Paris 2015.
Periode Dasawarsa UNFCCC Ketiga: 2014 dan selanjutnya.
Pada awal tahun 2014, awal dasawarsa ketiga Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), rencana NAMA baru yang diserahkan negara-negara berkembang masih sedikit sekali. Tidak ada peningkatan ambisi pengurangan emisi hingga 2020 yang disampaikan pihak-pihak kepada UNFCCC. Target mitigasi hingga 2020 yang telah diterima sangat tidak memadai untuk mencapai sasaran menjaga kenaikan suhu global kurang dari 2°C dibanding masa pra-industri. Perundingan target hingga 2020 terutama dilakukan dalam ADP (aruskerja 2) yang mengusahakan peningkatan pengurangan emisi. Namun perundingan badan penunjang UNFCCC yaitu SBI dan SBSTA juga berusaha mencari penguatan sasaran tindakan pra-2020 yang akan memersiapkan jalan menuju pasca-2020. Perundingan target mitigasi pasca-2020 menjadi agenda ADP aruskerja 1. Dalam hal ini diusahakan membangun kepercayaan di antara Negara maju dan Negara berkembang. Negara berkembang terus mendesak negara maju agar menetapkan target-target mereka hingga 2020 sesuai ambisi mencapai sasaran menahan pertambahan suhu global pada level 2°C menrurut kesepakatan Cancún dan Protokol Kyoto dan sekali gus menyampaikan aksi tambahan mereka sesuai aruskerja 2 ADP. Sebaliknya, negara berkembang juga mengikatkan diri melaksanakan NAMA (Nationally Appropriate Mitigation Actions) dalam periode pra-2020, yang bersifat sukarela dan tidak berada dalam ketentuan proses pelaporan dan tinjauan yang ketat (MRV). Dari pihak negara maju desakan diarahkan kepada negara-negara berkembang yang secara ekonomi sudah maju (China, India, Korea Selatan dll) agar ikut membuat kebijakan mitigasi ambisius dan meningkatkan transparansi asumsi dan langkah pengurangan emisi mereka.
Di Bonn, dibahas Laporan Asesmen ke-5 IPCC (AR5). Walau IPCC menyampaikan temuan tentang dampak dan risiko perubahan iklim, jalur transformasi, peluang dan keperluan dana untuk mitigasi, mereka tidak menyampaikan rekomendasi politik untuk pengerahan dana yang diperlukan demi mengubah target sasaran kenaikan suhu global dari 2°C menjadi 1.5°C. Pihak-pihak sepakat untuk menunda perundingan hingga COP 20 dan awal 2015 setelah mendengarkan pertimbangan pakar-pakar.
Selanjutnya, perundingan perubahan iklim bumi FCCC-COP ke-20 (pada bulan Desember 2014) diselenggarakan di Lima, Peru. Para Uskup Katolik dari beberapa negara ikut hadir sebagai pengamat, dan melalui mereka Paus Fransiskus menitipkan pesan khusus: “Bukanlah suatu kebetulan bahwa Konferensi ini diselenggarakan di pantai yang tak jauh dari Arus Humboldt, yang menghubungkan rakyat Amerika, Oseania dan Asia, melambangkan peran yang menentukan yang diambil bagi seluruh bumi. Konsekuensi perubahan iklim yang sudah dirasakan secara dramatis di banyak negara, terutama di negara-negara pulau di kawasan Pasifik, mengingatkan kita beratnya kelalaian dan pembiaran. Kita terdesak berkejaran dengan waktu untuk menemukan solusi global. Kita menemukan solusi itu hanya jika kita bertindak bersama dan dalam kesepakatan. Karena itu adalah perintah etis yang jelas, definitif dan mendesak untuk mengambil tindakan.”…… “Suatu upaya mengatasi pemanasan global yang efektif hanya mungkin melalui tindakan bersama yang bertanggung-jawab, yang mengatasi kepentingan dan perilaku khusus yang timbul karena tekanan politik dan ekonomi. Tanggapan bersama yang demikian juga mengatasi rasa kurang percaya dan memajukan budaya solidaritas, perjumpaan dan dialog; mampu menunjukkan tanggungjawab untuk melindungi bumi dan keluarga umat manusia.” [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2015].
Para Uskup Katolik yang menjadi pengamat dalam COP-20 di Lima juga menyampaikan Surat Pernyataan. Bahwa mereka “menyertai para pemimpin dunia di dalam COP-20 di Lima, untuk mencapai kesepakatan yang adil dan secara hukum mengikat di Paris pada 2015 nanti.” – Para Uskup juga hadir sebagai bagian dari “masyarakat yang rentan dan tersisih yang paling berat terdampak oleh perubahan iklim”. Mereka tergerak oleh keyakinan, bahwa “manusia di bumi seharusnya hidup dalam kesetaraan, keadilan dan martabat, dalam damai dan keselarasan dengan tata-ciptaan”. Ekonomi, teknologi dan tata-keuangan yang semata-mata mencari keuntungan telah gagal mengawal kebaikan umum. Maka diperlukan tatanan baru yang lebih etis. Dengan itulah pula soal perubahan iklim seharusnya dihadapi. Maka para Uskup menyerukan agar “dimensi etis dan moral sesuai art.3 UNFCCC terus dipegang”, agar pihak-pihak “membuat kesepakatan yang adil dan mengikat secara hukum berdasarkan hak-hak asasi manusia yang universal di Paris 2015”, – agar “mengusahakan kenaikan suhu global 1,5o C demi melindungi masyarakat pulau-pulau kecil di Lautan Pasifik dan kawasan pantai dari penderitaan”, – agar “membangun model pembangunan dan carahidup yang selaras dengan keprihatinan iklim dan pengentasan kemiskinan, menghentikan pembangkitan energi dengan penggunaan bahan-bakar fosil, sebaliknya 100% menggunakan bahan bakar yang terbarukan,” – agar “memastikan bahwa kesepakatan 2015 meliputi pendekatan adaptasi yang cukup memenuhi kebutuhan kaum miskin. Mereka berhak mendapatkan 50% dari dana adaptasi itu untuk mendanai kegiatan peran-serta mereka”. – Hendaklah pihak-pihak “mengakui bahwa aksi adaptasi sejajar dengan keberhasilan langkah mitigasi yang diambil, terutama dengan melibatkan kaum miskin”, agar mereka “memetakan jalan yang ditempuh dalam menanggulangi perubahan iklim di negara-negara dengan jelas, menyediakan tambahan dana yang diperlukan, dan menyelenggarakan sistem akunting tanggungjawab yang cermat dan transparan” [Catholic Bishops. 2014].
Perundingan di Lima berfokus pada hasil rincian rencana tindakan berdasar ADP (Durban Platform for Enhanced Action) yang perlu diajukan untuk dijadikan kesepakatan dalam COP 21 di Paris tahun 2015, termasuk rincian informasi dan proses yang dijadikan syarat dalam rangka kontribusi nasional yang dikehendaki (intended nationally determined contributions, INDC) dalam rangka ambisi percepatan tindakan pra-2020, sepagi mungkin pada 2015 serta kemajuan dalam penyusunan draft negosiasi. COP 20 menghasilkan ‘Lima Call for Climate Action,’ yang meliputi semua topik di atas. Selain itu dihasilkan 24 keputusan, inter alia: membantu operasionalisasi mekanisme internasional Warsawa untuk kerugian dan kerusakan negara berkembang; menetapkan program kerja Lima tentang gender; dan Deklarasi Lima tentang Peningkatan Kesadaran Umum dan Pendidikan tentang Perubahan Iklim [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2015].
Tahun 2015 pada bulan Desember akan diselenggarakan Konferensi Iklim Paris, yang antara lain sekali gus melaksanakan COP-21 UNFCCC. Harapan yang sangat besar terarah pada terwujudnya kesepakatan baru internasional untuk ambisi mitigasi perubahan iklim yang semakin besar dalam pengurangan emisi karbon dalam jangka dekat, demi mewujudkan suhu global yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan. Pada bulan April Akademi Kepausan untuk Ilmu-ilmu Alam dan Akademi Kepausan untuk Ilmu-ilmu Sosial menerbitkan bahasan mengenai Iklim sebagai kepentingan umum dan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi:
Rekomendasi Tindakan Mitigasi Iklim.
- Kurangi emisi karbon dioksid di seluruh dunia tanpa menunda-nunda lagi, gunakan semua cara yang mungkin untuk memenuhi target internasional demi pengurangan pemanasan global dan menjamin stabilitas sistem iklim jangka panjang. Semua negara hendaknya fokus pada upaya peralihan cepat pada sumber energi yang terbarukan dan strategi lain dalam pengurangan emisi CO2.Negara-negara hendaknya juga menghindari hilangnya wilayah serapan karbon dengan menghentikan deforestasi, dan sebaliknya menguatkan wilayah serapan karbon melalui penghutanan kembali lahan yang telah rusak. Langkah tindakan ini haruslah dilakukan dalam beberapa dasawarsa, agar level 0-emisi karbon dicapai sekitar tahun 2070.
- Kurangi konsentrasi pencemar udara yang menyebabkan peanasab iklim jangka pendek (metana, ozon lapisan bawah stratosfer,dan hidrofluokarbon) sebanyak 50%,untuk mengurangi laju perubahan iklim dalam abad ini, danmenghindarkan seratus juta kematian prematur antara sekarang dan 2050 hilangnya produksi ratusan juta ton pangan dalam periode yang sama.
- Persiapkan khususnya tiga milyar orang yang paling rentan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, baik yang kronis maupun yang mendadak, sementara mereka belum mampu melakukan mitigasi. Secara khusus, kami mengharapkan prakarsa pembinaan kapasitas global untuk menaksirkan dampak perubahan musim atas alam dan sosial pada ekosistem gunung dan daerah perairannya, serta di kawasan lahan kering yang sungguh rentan.
- Gereja Katolik bekerja sama dengan para pemimpin agama lain dapat ambil peran untuk mobilisasi pendapat umum dan dana publik guna memenuhi kebutuhan 3 milyar kaum miskin agar mampu menghadapi gangguan perubahan iklim dan secara umum mengusahakan peningkatan pendapatan, pendidikan, perawatan kesehatan dan mutu hidup para miskin dalam kerangka Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDG).
- Di atas urusan perubahan kelembagaan, kebijakan dan inovasi teknologi untuk akses pada sumber energi terbarukan yang dapat dijangkau, adalah kebutuhan fundamental untuk mengubah sikap kita terhadap alam dan pada diri kita sendiri. Pencarian jalan untuk mengembangkan suatu hubungan yang berkelanjutan dengan alam menuntut bukan saja pengerahan para ilmuwan, pemimpin politik, pendidik dan masyarakat sipil, tetapi niscaya hanya akan berhasil jika dasarnya adalah suatu revolusi moral yang merupakan porsi tugas lembaga-lembaga agama.
Rekomendasi Tindakan Di seberang Perubahan Iklim.
- Haruskita carikan jalan untuk melindungi dan melestarikan sebanyak mungkin bagian dari puluhan jutaan tanaman, hewan, jamur mikroorganisme yang merupakan jaringan hidup dunia. Kita bergantung pada mereka dalam memertahankan pernik-pernik keberlanjutan bumi dan utuk setiap aspek hidup kita, sekalipun hingga sekarang kita hanya mengenal sedikit saja dari mereka. Jika kita tidak dapat menyelamatkan mereka sekarang, di kemudian hari pun tidak pula.
- Sehubungan dengan kemiskinan yang selalu ada, ketimpangan sosial ekonomi yang bertambah-tambah, perangkat baru yang disebut Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDG) akan menjadi penuntun tindakan berskala dunia pasca- 2015.
- Hanya melalui pemberdayaan dan pendidikan perempuan dan anak-anak di seluruh bumi kita akan dapat mewujudkan suatu dunia yang adil sekaligus berkelanjutan.Kita mempunyai kewajiban moral yang jelas untuk melakukannya dan niscaya memeroleh manfaat besar dalam mencapai sasaran ini. [The Pontifical Academy of Sciences and the Pontifical Academy of Social Sciences. 2015]
Perhatian dan Tindakan Multilateral
Sejauh ini kita telah ketahui bagaimana negosiasi iklim PBB merupakan forum yang paling utama untuk mengusahakan mitigasi perubahan iklim, mencegah pemanasan bumi, yang akan menimbulkan dampak luar biasa kepada orang-orang di seluruh dunia. PBB dari titik awal sudah mengusahakan kebersamaan global, menggerakkan usaha mondial, mengerahkan semua kekuatan internasional. Memang kita dapatkan kesan bahwa selama hampir 25 tahun perundingan berjalan lamban, bahkan seolah-olah tidak maju-maju dalam sekian tahun. Namun sesungguhnya melalui UNFCCC dan sidang-sidangnya sebagai forum dialog universal yang berlangsung secara tetap setahun sekali, PBB berhasil memunculkan berbagai forum lain untuk menjadi sumber aksi di luar konvensi PBB– entah yang khas terkait dengan iklim, entah yang bersifat umum, entah yang bersifat politik teknis atau yang lebih luas lagi, yang bisa lebih praktis menerapkan pendekatan top-down atau malah bottom-up – di dalam usaha menanggapi tantangan mitigasi atau aspek-aspeknya. Ada banyak tindakan yang bisa dilakukan pihak-pihak, entah pemerintah, masyarakat sipil, lembaga kemasyarakatan, perusahaan, dan lain-lain, sesudah acara dialog usai. Upaya global PBB juga memantik kerjasama kebijakan dan aksi multilateral, minilateral, atau bilateral di antara negara-negara.
Di mata para ilmuwan politik dan hukum internasional, dengan proses PBB terjadilah rezim internasional perubahan iklim, di mana negara-negara membentuk lembaga-lembaga internasional yang dominan [Downie 2011. Hal 70] demi mendapatkan manfaat kerjasama termasuk di bidang khusus lingkungan dan iklim [Young 2002]). Namun di dalam bidang khusus itu pengaruh rezim tetap lemah dan tidak efektif dalam arti terdapat kesenjangan yang makin lebar antara prinsip, norma, peraturan, prosedur dengan praktek . Tatakelola sistem internasional dapat ditempatkan pada suatu garis kontinuum di mana terdapat lembaga yang teratur lengkap dan penuh di satu ujung dan fragmen-fragmen kesepakatan di ujung yang lain [Keohane et al. 2011]. Di sepanjang garis kontinuum itu bisa ditarik suatu lingkaran yang disebut “kompleks rezim”, karena ternyata timbul jenis-jenis pranata kelembagaan lainnya di luar lembaga tradisional yang menempati salah satu ujung kontinuum. Maka kita juga mendapatkan “kompleks rezim perubahan musim” dengan UNFCCC dan Protokol Kyoto di salah satu ujung kontinuum, di mana “kompleks rezim” dipahami sebagai pencaran lembaga-lembaga yang tumpangtindih dan non hirarkis berkenaan dengan tatakelola bidang tertentu [Raustiala et al 2004: hal 279]. Dalam hal tatakelola iklim, keanekaragaman kepentingan berangsur-angsur menimbulkan kelompok-kelompok sebagai “forum belanja” dan “kancah akomodasi” kepentingan-kepentingan pihak-pihak. Namun secara umum, kelompok-kelompok dalam “kompleks rezim” walau tidak lebih kuat namun lebih realistis ketimbang rezim UNFCCC atau Protokol Kyoto. Mereka melihat potensi yang lebih besar dari prakarsa-prakarsa yang terpisah, longgar, untuk target-target pengurangan emisi, serta dengan keleluasaan yang lebih besar untuk membuat kesepakatan untuk hal-hal lain, kepentingan-kepentingan dan situasi masing-masing pihak yang berubah. Setelah COP-13 Bali yang menegaskan “dua jalur” Bali RoadMap 2007 (yang satu jalur Protokol Kyoto, yang lain jalur prakarsa partisipasi pengurangan emisi negara-negara berkembang) hingga COP-15 Copenhagen, rezim Protokol Kyoto-UNFCCC yang mengatur semuanya menjadi semakin ompong. Untuk upaya internasional yang lebih efektif dalam perubahan iklim perhatian tatakelola semakin tertuju pada keseluruhan “kompleks rezim” dengan berbagai fragmen yang muncul di dalamnya (tanpa meninggalkan UNFCCC dan Protokol Kyoto). Itulah yang terjadi selanjutnya di dalam COP-16 Durban, COP-17 Doha, COP-18 Warsawa, dan COP-19 Lima, yang semuanya mengantar jalan kepada COP-21 di Paris, akhir 2015. Fragmen-fragmen, kelompok-kelompok, mungkin akan melahirkan Protokol iklim yang baru: Protokol Paris. Mari kita lihat beberapa kelompok atau fragmen yang ada dalam “kompleks rezim” perubahan iklim.
G-77 & China
G-77 & China merupakan koordinasi posisi negosiasi umum di antara 130 negara sedang berkembang. Kelompok yang paling besar dari jumlah negara dalam Konvensi Perubahan Iklim PBB. Namun di dalamnya terdapat jaringan sikap yang berlainan pula. Misalnya kelompok AOSIS, OPEC, LDC, Kelompok Afrika dan lain-lain yang masing-masing akan menyatakan pendirian sendiri bersama dengan pendirian G77, atau secara terpisah, jika tidak ada konsensus di antara negara-negara anggota G-77. Pada umumnya mereka menekan negara-negara Annex I untuk target-target pengurangan emisi yang ambisius dan membatasi mekanisme fleksibel. Kendati perbedaan di antara mereka, G-77 selalu mengetengahkan prinsip untuk persoalan yang sama terdapat perbedaan beban dan tanggungjawab [Utara-Selatan; Negara maju-Negara Berkembang]. Mereka yang umumnya negara sedang berkembang memerlukan dukungan keuangan negara maju yang akan makin besar jumlahnya untuk langkah mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, untuk pembinaan kapasitas dan alih-teknologi.
Major Economies Forum (MEF)
Kelompok negara ekonomi utama MEF dibentuk oleh Presiden AS Barack Obama pada 28 Maret 2009, sebagai suatu forum untuk energi dan iklim dan berusaha memelihara momentum kerjasama internasional, mendukung proses yang dilakukan PBB, dan bermaksud memberikan kontribusi padanya [Hillary Clinton, 2009]. MEF dimaksudkan untuk memfasilitasi “dialog di antara negara-negara maju utama dan negara-negara berkembang yang ekonominya maju” untuk “menggalang prakarsa yang konkret dan maju serta usaha bersama untuk meningkatkan suplai energi bersih seraya mengurangi emisi GRK” [US State Department, 2009]. MEF meliputi 17 negara yang secara bersama-sama mewakili sekitar 80% dari emisi GRK global, yaitu: Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Brazil, Canada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Korea, Mexico, Russia, dan Uni Eropa. Mereka membentuk Kemitraan Global untuk pengembangan teknologi energi yang rendah karbon dan ramah lingkungan, meliputi teknologi kendaraan, bio-energi, penangkapan-penggunaan-dan-penyimpanan karbon, efisiensi energi pada sektor bangunan, efisiensi energi di sektor industri, penggunaan batubara rendah karbon dan hemat, energi laut, energi matahari, dan energi angin. Karena merupakan forum kecil, MEF disebut kelompok “minilateral”. Sekalipun MEF tidak memengaruhi perundingan UNFCCC, namun jelas timbulnya kelompok minilateral menunjang pendekatan penetapan target sukarela yang terpantau dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Situasi ini juga terdapat dalam Grup 20 (di bawah nanti).
Grup Delapan (G8)
Negara-negara dalam Grup Delapan (G8) membentuk forum dialog negara-negara industri [negara Utara] pada tahun 1975. Mulanya untuk menanggapi krisis minyak tahun 1973. Berawal dengan enam negara (G6): AS, Inggris, Italia, Jepang, Jerman dan Perancis. Canada bergabung tahun 1976. Dan pada 1998, Rusia menyusul. G8 merupakan gabungan negara dan perekonomian yang sangat berpengaruh, namun dalam soal iklim, negara-negara ini secara historis sangat tinggi emisi CO2 per kapita masing-masing. Pada 2005, dalam KTT G8 di Gleneagles, Inggris menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan satu-satunya masalah utama yang dihadapi sebagai masyarakat global. AS berusaha mengajukan pembicaraan tentang pengembangan teknologi energi baru, menolak kesepakatan tentang pengurangan emisi CO2. KTT G8 2006 diselenggarakan di St. Petersburg menerbitkan rencana aksi dalam konteks pembangunan berkelanjutan untuk penghematan energi dan pengembangan energi yang bersih. Mekanisme fleksibel dalam UNFCCC seperti CDM, Implementasi bersama dan perdagangan karbon dianggap dapat sangat membantu. Dalam KTT G8 Heiligendamm 2007, Jerman menekankan pentingnya mitigasi. G8 sepakat bahwa perundingan iklim PBB merupakan arena yang tepat untuk merundingkan langkah global terhadap perubahan iklim, kendati semula disangkal oleh Presiden AS George W. Bush yang lebih suka dengan forum yang lebih kecil dan luwes, tanpa ngotot memaksakan kewajiban mitigasi. Sikap bersama G8 ini membantu kelancaran jalannya COP-13 di Bali pada akhir tahun, menggelar Bali RoadMap. Pada 2008, KTT G8 mengungkapkan tekat untuk menyepakati sasaran pengurangan emisi GRK global minimum 50% pada 2050 [Deklarasi KTT G8 Hokkaido Toyako, 8 Juli 2008, butir 22 sampai dengan 35]. Maka selanjutnya G8 praktis berfungsi sebagai forum fasilitasi dan konsultasi politik sekitar tekat bersama Hokkaido Toyako 2008 itu. Soal kesanggupan komitmen, diserahkan pada keputusan masing-masing negara anggota.
Grup Delapan dan 5 Ekonomi Besar yang Baru (G8+5)
Selang beberapa tahun sesudah terbentuk, G8 mulai merasa perlu mengundang sejumlah negara berkembang yang semakin maju ekonominya untuk ikut serta dalam diskusi dan dialog. Pada tahun 2005, atas prakarsa Perdana Menteri Inggris Tony Blair, China, India, Brazil, Mexico dan Afrika Selatan ditambahkan. Maka terbentuklah G8+5 atau Grup Delapan plus 5 Ekonomi Besar yang Baru.
Dialog berstruktur dalam kelompok ini dimaksudkan untuk “meningkatkan kepercayaan timbal balik di antara mitra-mitra dialog serta mengembangkan pengertian yang sama mengenai isu-isu global”. Salah satu topik dialog adalah bidang energi, dengan fokus pada efisiensi energi, yang sangat penting untuk perlindungan iklim. Setelah pertemuan pertama, negara-negara Grup8+5 mengusahakan suatu “paradigma baru dalam kerjasama internasional”.
Grup Duapuluh (G20)
Grup Duapuluh (G20) terdiri dari : Afrika Selatan, Argentina, A.S., Australia, Brazil, Canada, China, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Mexico, Prancis, Republik Korea, Rusia, Saudi Arabia, Turki, dan Uni Eropa. Mulanya G20 memertemukan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral, namun kemudian juga menjadi ajang pertemuan para kepala negara dan pemerintahan. Sejak 2008, G20 penting secara politik karena keberhasilan mereka mengatasi krisis keuangan dan krisis ekonomi global. Kendati bersama-sama kuat, namun masing-masing negara berbeda kepentingan, struktur , latar belakang dan tata-nilainya, sehingga tidak satu dalam pendirian, termasuk dalam soal mitigasi perubahan iklim. Dalam KTT G20 di Pittsburgh 2009, negara-negara G20 menyatakan hendak berangsur-angsur menghilangkan subsidi bahan bakar fosil yang menyebabkan kenaikan kosumsi, sebagai satu cara melindungi iklim, meningkatkan penghematan energi dan peralihan menuju ekonomi hijau. Namun tidak ada jadwal yang tegas. Para menteri keuangan lalu ditugasi menjelajah sembilan bidang termasuk “kerangka pertumbuhan yang kuat dan seimbang” dan “keamanan energi dan perubahan iklim”. Kemudian fokus diarahkan pada pendanaan usaha mitigasi global dalam rangka KTT 2010. Di Seoul dalam KTT 2010, negara-negara G20 hanya menyatakan kembali komitmen mereka untuk melakukan aksi yang terukur dan kuat serta mendukung perundingan iklim PBB mengikuti tujuan, ketentuan dan prinsip UNFCCC. Upaya itu akan mereka lanjutkan di tingkat nasional dan Grup, yang seandainya benar-benar diimplementasikan akan besar kontribusinya dalam mengurangi emisi GRK dibandung keadaan biasa saja (business-as-usual) [IGO-4 (2010) hal 5]. Namun, fokus utama G20 tetap saja stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Maka tak ada dukungan politik dan kenyataannya tidak ada upaya lebih aktif untuk perlindungan iklim dalam agenda G20. Mengingat perbedaan masing-masing negara dalam G20, yang terjadi sesudah COP-15 Copenhagen adalah bahwa tata-kelola iklim global memasuki pola polisentris sementara negara-negara G20 lebih memantapkan arah mengutamakan perwujudkan ekonomi hijau seraya mengatasi perubahan iklim melalui agenda global agenda, kerjasama global dan harmonisasi komitmen kebijakan.[ Kim (2010)].
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dibentuk tahun 1961 mula-mula untuk negara-negara Eropa, namun sekarang terdiri dari 34 negara dari seluruh dunia: Afrika Selatan, A.S., Australia, Austria, Belgium, Canada, Chile, Colombia, Czech, Denmark, Estonia, Finland, Hungara, Iceland, Inggris, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Latvia, Luxembourg, Mexico, Nederland, New Zealand, Norwegia, Perancis, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Uni Eropa dan Yunani. Maka bukan saja negara industri maju, tetapi juga yang sedang berkembang dalam industrialisasi seperti Mexico, Chile dan Turki. Negara-negara BASIC – Brazil, Afrika Selatan, India dan China – juga dirangkul dalam kegiatan OECD melalui program “Enhanced Engagement”. Misi OECD adalah memajukan kebijakan yang mewujudkan “perekonomian yang tanggug dan masyarakat yang terbuka” demi “meningkatkan kesejahteraan ekonomis dan sosial bangsa-bangsa di dunia”. OECD dari awal pembicaraan global tentang iklim memandang perubahan iklim sebagai ancaman serius yang dampaknya dapat menggagalkan misinya dalam bidang kegiatan yang digeluti yaitu ekonomi, fiskal, keuangan, kompetisi, penyediaan pekerjaan, sosial, lingkungan, energi, investasi , perdagangan,kerjasama pembangunan, inovasi, pertanian, produksi pangan berkelanjutan, kebijakan perdesaan dan perkotaan serta transportasi. Maka untuk perlindungan iklim OECD turut mengerahkan sumberdaya dan keahlian yang ada padanya untuk melengkapi dan memfasilitasi kerjasama internasional dengan menghimpun dan menilai informasi secara sistematik mengenai kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek terbaik. OECD menghimpun informasi mengenai kebijakan dan praktek nasional dari mana-mana dalam hal mitigasi dan adaptasi dan menyebarluaskannya. Bagi sekretariat UNFCCC kontribusi OECD adalah memberi penilaian atas arus keuangan untuk perubahan iklim. Sementara untuk informasi teknis di bidang energi dan emisi CO2, OECD juga menyediakan konsultasi melalui badan penunjangnya, yaitu International Energy Agency (IEA). OECD sebagai kelompok berkenaan dengan perubahan iklim bersifat Eropa sentris yang rentan terhadap serangan gelombang panas dan menyampaikan pesan: kita harus bertindak sekarang! Menunda tindakan sangat mahal akibatnya! [OECD, 2011].
Negara-negara yang sepikiran (Like-minded developing countries)
Kelompok Negara-negara yang sepikiran (Like-Minded Developing Countries, LMDC) dalam hal perubahan iklim adalah suatu kelompok baru. Pertemuan pertama mereka dilaksanakan pada 18-19 Oktober 2012 di Beijing, China. Meliputi Bolivia, China, Ecuador, Filipina, India, Malaysia, Mesir, Nicaragua, Pakistan, Saudi Arabia, Thailand dan Venezuela. Kini beranggotakan lebih dari 20 negara berkembang. Pengelompokan mulanya terjadi tahun 2011, dengan pernyataan bersama mengenai aksi atas emisi dari bunker bahan bakar (untuk penerbangan dan pelayaran internasional). Dilanjut dengan pernyataan bersama dalam ADP tentang kesepakatan pasca-2015. LMDC dengan tegas menyatakan diri sebagai bagian dari G-77 & China dalam UNFCCC. Pembentukannya merupakan reaksi atas kelompok Cartagena dan kerjasama antara Uni Eropa, AOSIS dan negara kecil dan kurang berkembang dalam COP Durban. Pada prinsipnya LMDC berpegang pada CBDR dan kesetaraan, dan menuntut tanggungjawab historis negara maju atas perubahan musim. Mereka menolak upaya penafsiran ulang Konvensi dan lampiran-lampirannya (Annex). Sebaliknya LMDC terus menuntut negara-negara Anex I untuk meluaskan aksi dan komitmen dalam keuangan iklim. Untuk Annex I pendekatan top-down harus dilanjutkan. Negara berkembang jangan diberi kewajiban baru, namun harus ada keseimbangan mitigasi dan adaptasi. Pendekatan yang tidak berbasis pasar harus diutamakan. Pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan harus tetap menjadi prioritas negara berkembang, dan semua hambatan dari perubahan iklim harus diatasi. LMDC memerjuangan ambisi Pra-2020 dan implementasi komitmen periode kedua Protokol Kyoto menurut Bali Action Plan. Pihak-pihak dalam Protokol Kyoto Parties antara 2013 dan 2014 harus meratifikasi amandemen Protokol Kyoto untuk periode komitmen kedua 2015-2020.
AOSIS
AOSIS atau Alliance of Small Island States adalah koalisi negara-negara pulau kecil yang letaknya relatif rendah di atas permukaan laut. Dibentuk tahun 1990, terutama untuk memerjuangkan kepentingan negara-negara berkembang yang adalah pulau-pulau kecil (Small Island Developing States, SIDS), yang sangat rentan para peningkatan muka air laut akibat pemanasan global. Kelompok ini beranggotakan 44 negara, yang sebagian adalah negara-negara tertinggal (LDCs). AOSIS sangat aktif dalam UNFCCC. Mereka mendesak agar sasaran peningkatan suhu global adalah di bawah 1,5°C demi kelangsungan hidup penduduk di negara-negara yang rentan. AOSIS mendesak negara-negara maju meningkatkan target mitigation dan meminta negara-negara berkembang juga memberikan kontribusi. AOSIS merupakan strategic partner bagi Uni Eropa dan meminta negara berkembang melakukan mitigasi di dalam komitmen yang secara hukum mengikat, bukan sekedar sukarela tanpa sanksi. Namun pengaturan untuk negara berkembang adalah khusus, jangan dikaitkan dengan kewajiban yang sudah diatur untuk negara-negara maju dalam Annex I. Tanpa syarat, target-target mitigasi negara maju diharapkan sudah siap tahun 2014.
Grup Payung (Umbrella Group)
Grup Payung (Umbrella Group) merupakan koalisi longgar negara-negara di luar Uni-Eropa tak lama setelah Protokol Kyoto diterima. Walau bukan kelompok formal namun biasanya Grup Payung terdiri dari A.S., Australia, Canada, Japan, New Zealand, Norwegia, Rusia dan Ukraina. Grup Payung menuntut negara-negara berkembang untuk memikul tanggungjawab serupa dengan negara-negara Annex I. Pembagian negara-negara menurut Annex I dan non-Annex I dianggap tidak tepat lagi berdasarkan kenyataan perkembangan ekonomi global sekarang. Pada tingkat perkembangan tertentu negara berkembang harus diperlakukan sama dengan negara-negara maju dan harus mengembangkan strategi rendah karbon sesuai dengan kemampuannya. Pada kenyataannya negara-negara berkembang tertentu tingkat GDP-nya sudah jauh di atas negara-negara maju yang kecil.
Grup ALBA
ALBA muncul sejak 2009, setelah kegagalan COP Copenhagen. ALBA (Aliansi Bolivia untuk Rakyat Amerika) terdiri dari negara-negara Bolivia, Cuba, Ecuador, Nicaragua dan Venezuela dengan keras menolak hasil COP Copenhagen dan COP Cancún. Pendirian pokok mereka adalah :
- sasaran perlindungan iklim adalah tambahan suhu global di bawah 1,5° C, idealnya stabilisasi pada 1°C;• Negara-negara Annex I harus berusaha melakukan pengurangan emisi CO2 50 % dari level tahun 1990 untuk periode komitmen kedua Protokol Kyoto; • negara-negara maju harus menyediakan bantuan keuangan iklim sebesar anggaran pertahanan dan perang; • menolak dengan keras mekanisme kelonggaran dan pasar karbon; • menyelenggarakan Dana Adaptasi untuk fasilitasi pemulihan kerusakan akibat dampak apa pun dari perubahan iklim; • negara emiten gas pencemar harus langsung mengalihkan dana dan sumberdaya teknologi untuk menunjang restorasi dan konservasi hutan dan rimba, membela masyarakat adat dan struktur sosial yang asli dari nenek moyang; dan negara maju harus ikut bertanggungjawab atas pengungsi iklim dan menerima mereka di negara mereka. Menuju perundingan pasca-2015 grup ALBA menekankan pentingnya berpegang pada prinsip-prinsip Konvensi, namun mereka kurang tampil sebagai kelompok. Sebaliknya masing-masing negara sering menopang dan bergabung dengan grup LMDC.
Grup Cartagena Dialogue
Kelompok untuk Aksi Progresif yang lengkapnya disebut “The Cartagena Dialogue for Progressive Action” terdiri 40 negara yang mengusahakan target ambisius untuk pengurangan emisi dalam perundingan UNFCCC. Terdiri dari Afrika Selatan, Antigua dan Barbuda, Australia, Bangladesh, Belgia, Burundi, Chile, Costa Rica, Colombia, Congo, Denmark, Dominica, Etiopia, Gambia, Ghana, Guatemala, Indonesia, Inggris, Jerman, Kenya, Lebanon, Malawi, Maldives, Marshall Kepulauan, Mexico, Nederland, New Zealand, Norwegia, Panama, Perancis, Peru, Rwanda, Samoa, Spanyol, Swedia, Swiss, Tanzania, Thailand, Timor-Leste, Uruguay, dan Uni Eropa.
Grup Dialogue ini timbul spontan dan merupakan upaya tidak resmi untuk menjabarkan hasil COP
Copenhagen sebagai simpul dari Bali Action Plan. Grup terbuka bagi negara-negara yang bermaksud membuat rezim yang ambisius, baik sebagai bangunan hukum yang mengikat dan lengkap, maupun sebagai upaya nasional untuk mengembangkan perekonomian lembah karbon dalam jangka menengah dan jangka panjang. Anggota grup bebas bergabung dengan kelompok lain dengan semangat dasar yang progresif. Pada pertemuan tahun 2014, grup Cartagena Dialogue melanjutkan dasar kesepakatan mereka dan mengusahakan pemahaman yang makin baik dan kemajuan ADP.
Grup AILAC
Grup AILAC atau Independent Alliance of Latin American and Caribbean states terdiri dari
Colombia, Peru, Costa Rica, Chile, Guatemala, dan Panama, yang secara resmi dibentuk dan berbicara sebagai satu kelompok dalam COP Doha 2012. Tampaknya merupakan pecahan dari G-77 berhubung luasnya keanekaragaman pandangan dalam kelompok negara berkembang. Tujuannya menyampaikan gagasan baru dan komitmen pada UNFCCC. Termasuk negara-negara dengan pendapatan nasional menengah, mereka punya ambisi nasional untuk mengurangi emisi, dan mendesak semua negara untuk meningkatkan komitmen mitigasi. Untuk itu mereka maju memberi contoh. Grup AILAC memandang Konvensi sebagai instrumen yang hidup dan berkembang dinamis, termasuk prinsip CBDR di dalamnya adalah instrumen tindakan, bukan alasan untuk diam tidak melakukan tindakan di dalam negeri sendiri. AILAC mengharapkan suatu mekanisme yang membolehkan negara-negara lebih ambisius sesuai perkembangan situasi mereka. Menuju konferensi iklim 2015, AILAC mengharapkan tekanan lebih besar pada program adaptasi dan adanya kerangka tinjauan adaptasi dalam Konvensi untuk menilai dan mengukur persoalan-persoalan yang berkenaan dengan adaptasi. Kendati dalam hal mitigasi mereka maju tanpa memedulikan dukungan dana negara-negara kaya, dalam hal adaptasi mereka mengharapkan dukungan keuangan negara maju untuk melancarkan jalan peralihan menuju kondisi yang lebih hijau [Roberts & Edwards, 2013]. Negara-negara grup AILAC juga ikut serta dalam dinamika bahasan Cartagena Dialogue.
Tanggapan Nasional dan Sub-Nasional
Sementara perundingan-perundingan berlangsung di tingkat internasional dan multi-lateral dalam kancah global, sejak 1997 sudah ada wacana untuk menerjemahkan sikap “Menghadapi Perubahan Iklim” global ke dalam aksi nasional dan sub-nasional. Berpikir global bertindak lokal menjadi slogan yang makin populer [Dubos, Rene. 1981] untuk menyikapi masalah dunia. Maksudnya pengambilan keputusan aksi iklim juga dilakukan di tingkat negara masing-masing, provinsi dan kota-kota, yang sudah merasa perlu bahkan terdesak untuk memerhatikan upaya “Menghadapi Perubahan Iklim Global”. Negara-negara tertentu bahkan sebelum ada Konvensi sudah punya rencana penanggulangan perubahan musim sendiri, dengan target pengurangan emisi yang ambisius dan ditentukan sendiri [Sayangnya, justru sesudah ada kebersamaan internasional yang mengikat, rencana nasional itu kemudian ditinggalkan dan target-target nasional yang lebih ikut ambisius menghilang]. Dalam Konvensi Perubahan Iklim, rencana nasional negara-negara Annex I dilaporkan dan dimonitor serta ditinjau sesuai Konvensi. Sebagian negara-negara non-Annex I dengan sukarela menyampaikan rencana nasional mereka kepada Konvensi. Indonesia termasuk salah satu dari 37 negara pertama dari pihak non-Annex I yang mempunyai rencana nasional dan melaporkannya serta bersedia dimonitor dan ditinjau oleh Konvensi. Afrika Selatan, Brazil, India, China dan Mexico menyampaikan rencana aksi nasional mereka sejak COP 13 Bali, dan COP 14 Poznan. Sebagian besar upaya di luar kancah internasional memang bergantung kepada kebijakan dan komunikasi nasional, namun sistem pemerintahan negara federal dan desentralisasi yang longgar tidak menafikan pemahaman, tanggapan, prakarsa, dan gerakan regional lokal. Desakan dan lobi-lobi yang dilakukan organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil yang berkepentingan atas situasi lingkungan hidup lokal merupakan faktor penunjang yang signifikan.
Negara Bagian atau Provinsi.
Negara-negara bagian dalam sistem federal seperti Amerika Serikat, Australia dan Canada mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap perubahan iklim dan pengurangan emisi CO2. Daerah-daerah yang kaya tambang minyak/gas dan batubara merasa terancam oleh persetujuan internasional dan menghambat negara federal dalam mengikuti protokol internasional. Daerah yang lain justru menunjang. 17 negara bagian di Amerika Serikat di antara negara bagian lainnya mempunyai rencana sendiri untuk mengatasi perubahan iklim dan pengurangan emisi CO2. “Di beberapa negara ada contoh-contoh positif perbaikan lingkungan: sungai-sungai yang selama beberapa dasawarsa tercemar, sudah dibersihkan; lahan tanaman kayu asli dipulihkan; hamparan pemandangan lanskap diperindah berkat proyek-proyek pembaruan lingkungan; bangunan-bangunan yang indah didirikan; kemajuan diperoleh dalam produksi energi bersih dan dalam perbaikan transportasi umum. Semua capaian ini tidak memecahkan masalah global, namun menunjukkan bahwa manusia laki-laki dan perempuan masih dapat melakukan campurtangan secara positif. Melampaui semua keterbatasan kita, wujud kemurahan hati, solidaritas dan perhatian tak tertahankan membuncah dari dalam diri kita, sebab kita dijadikan oleh kasih” [Paus Fransiskus. 2015. Art. 58].
Di Indonesia rencana aksi nasional pengurangan emisi gas rumah kaca (RAN-GRK) serta rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim (RAN API) menjadi pedoman pertama menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Namun selanjutnya provinsi-provinsi menguatkan jabaran (deployment) rencana nasional ke dalam rencana aksi daerah (RAD-GRK dan RAD-API) dengan pola dari bawah ke atas (bottom-up), sesuai dengan kondisi provinsi/daerah masing-masing yang berbeda-beda.
Sekitar separoh penduduk dunia tinggal di kota-kota. Paus Fransiskus mengingatkan: “Dewasa ini kita sadar akan pertumbuhan kota-kota yang tidak proporsional dan kacau. Tidak sehat, bukan hanya karena polusi, tetapi juga karena hiruk pikuk urban, transportasi yang buruk, polusi visual dan kebisingan. Banyak kota merupakan struktur yang kedodoran dan tidak efisien, pemborosan energi dan air yang luar biasa. Pemukiman begitu padat, kacau dan kekurangan ruang hijau” [Idem. 2015. Art. 44.] Menyadari dampak perubahan iklim atas situasi kota masing-masing, para walikota dan dewan kota dari kota-kota besar di dunia juga bergabung mengadakan pertukaran pendapat untuk aksi pengurangan emisi karbon, utamanya dari transportasi, industri dan rumahtangga, yang walau dilaksanakan secara lokal, namun jika digabungkan akan menghasilkan nilai akumulasi yang besar juga.
Cities for Climate Protection(CCP), Climate Alliance, dan Energie-Cités
Kota-kota mempunyai program iklim juga. Mereka membuat forum-forum dialog dan kerjasama, misalnya Cities for Climate Protection atau CCP [ICLEI. 2009],Climate Alliance, dan Energie-Cités.
CCP dibentuk pada 1992 atas prakarsa International Council for Local Environmental Initiatives (ICLEI). Pada mulanya ICLEI melibatkan diri dalam kebijakan dewan kota melalui rangkaian seminar Urban CO2 Reduction Project [di mana 14 dewan kota dari Amerika Utara dan Eropa menjadi peserta: Ankara- Turki; Bologna-Italia; Chula Vista-A.S.; Copenhagen-Denmark; Dade County, A.S.; Denver, A.S.; Hanover, Jerman; Helsinki, Finlandia; Minneapolis, A.S.; Portland, A.S.; Saarbrücken, Jerman; Saint Paul, A.S.; dan Toronto, Canada [Michelle Betsill, 2001] dari 1991 hingga 1993. Walau dewan kota anggota jejaring CCP awalnya berasal dari wilayah Amerika Utara dan Eropa, namun kemudian meluas hingga Australia, Canada, Europa, Amerika Latin, Mexico, New Zealand, Afrika Selatan, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat. Kini CCP diikuti lebih dari 530 dewan kota dari 60 negara [James Yienger et al]. Kota-kota Indonesia yang menjadi anggota CCP adalah Balikpapan, Bogor, Cilegon, Jambi, Medan, Semarang, Surabaya, Surakarta, Wakatobi dan Yogyakarta. Anggota CCP bertekat mengurangi emisi GRK antara 10-20% dari tingkatan tahun 1990 pada tahun 2010; selanjutnya mereka mengarah kepada pengurangan emisi kota 15%.
Climate Alliance terdiri dari 1.700 anggota di 25 negara Eropa, dan bertujuan mengurangi emisi hingga GRK 50% di bawah tingkatan tahun 1990 pada tahun 2030, atau rata-rata 10% setiap lima tahun, agar peningkatan suhu global di bawah 2oC [Climate Alliance of European Cities. 2015]. Jejaring Climate Alliance berpusat di Frankfurt am Main[Kristine Kern & Harriet Bulkeley.2009].
Energie-Cités bertolak dari suatu proyek yang didanai oleh Komisi Eropa. Berkembang menjadi suatu jejaring yang berbeda berfokus pada kebijakan energi lokal yang salah satu faktor di dalamnya adalah perubahan iklim [Energie-Cites.2015]. Didirikan pada 1990 dengan basisnya di Perancis, Energie-Cités mempunyai 160 anggota dewan kota tersebar di 25 negara Eropa [Kristine Kern & Harriet Bulkeley.2009]
C40
Dalam bulan Oktober 2005, wakil-wakil 18 kota besar dunia bertemu di London atas undangan walikota London, Bloomberg, untuk membahas kebijakan kota untuk pengurangan emisi CO2. Kelompok ini pada 2006 bergabung dengan Clinton Climate Initiative yang dipimpin mantan Presiden AS Clinton. Pada bulan Mei 2007, kelompok ini menjadi kelompok “C40 Cities Climate Leadership” dengan 40 kota besar dunia sebagai anggotanya, termasuk Jakarta dari Indonesia.
Mereka turut ambil prakarsa secara lokal memerjuangkan pengurangan emisi dengan berani, bahkan mengikuti standar Protokol Kyoto. Efisiensi energi melalui tatakelola energi gedung-gedung di kota menjadi salah satu obyeknya demi menghasilkan penghematan besar. Peningkatan pemanfaatan dan perluasan jaringan Mass Rapid Transport (MRT) juga merupakan pilihan yang memberi sumbangan pada pengurangan emisi CO2. Gagasan mengenai tempat dan waktu di mana bebas mobil dan asap kendaraan (Car Free Day) dikembangkan. Kelompok C40 terus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan dinamika COP UNFCCC setiap tahun, dan meningkatkan aksi mengarah pada kota-kota dunia yang makin hijau dan rendah karbon.
WMCCC
Perkumpulan serupa C40, World Mayors Council on Climate Change atau WMCCC diprakarsai oleh walikota City of Kyoto (Jepang) Desember 2005, segera setelah Protokol Kyoto berlaku resmi, dan sekarang membentuk perwakilan di 20 negara di dunia. Pada tahun 2012 sejumlah 232 kota menyampaikan rencana kota untuk perubahan iklim. Pada tahun 2013 kota-kota dalam kelompok ini yang menyampaikan rencana iklim kota bertambah jadi 414. Dalam rencana kota-kota itu jumlah komitmen iklim dan energi bertambah dari 561 (2012) menjadi 836 (2013). Jumlah aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim meningkat dari 2.092 butir menjadi 4.208 butir [The carbonn Cities Climate Registry. 2013]. Dari Indonesia, kota-kota Jakarta dan Surabaya ikut menjadi anggota WMCCC.
Carbon Neutral Cities Alliance
Carbon Neutral Cities Alliance (CNCA atau “Alliance”) merupakan kolaborasi kota-kota internasional yang baru. Alliance terbentuk di Copenhagen bulan Juni 2014 beranggotakan kota-kota: Berlin- Jerman; Minneapolis-A.S.; Stockholm-Swedia; Boston- A.S,; New York City – A.S.; Sydney-Australia; Boulder-A.S.; Oslo-Norwegia; Vancouver-Canada; Copenhagen-Denmark; Portland-A.S.; Washington-A.S.; London-Inggris; dan San Francisco-A.S. Alliance mengadakan pertemuan pertama dalam bulan Maret 2015 untuk mewujudkan sasaran pengurangan emisi karbon secara agresif dalam jangka panjang. Alliance menggali apa yang dapat dilakukan kota-kota utama internasional untuk meningkatkan pengurangan emisi dan dalam hal apa mereka dapat bekerjasama menuju sasaran itu secara efisien dan efektif.
Cities in Climate Change Initiative
Usaha-usaha lokal lainnya dalam rangka mengurangi emisi karbon melalui pengurangan penggunaan mobil pribadi dan peningkatan produksi bahan bakar alternatif dilancarkan banyak kota di dunia —
Termasuk Sorsogon-Filipina; Esmeraldas- Ecuador; Maputo-Mozambik; dan Kampala-Uganda, ditopang oleh Cities in Climate Change Initiative, yang didanai oleh pemerintah Norwegia dan UN Development Account dari PBB (UN-Habitat, 2008).
Masyarakat Tanggap Perubahan Iklim
Setiap kali UNFCCC mengadakan sidang setiap tahun, informasi mengenai iklim bertambah luas dan semakin kuat. Masyarakat semakin mengerti mengenai perubahan iklim dan dampaknya. Mereka memahami hak-hak dasar mereka atas iklim dan kewajiban mereka. Kerugian akibat dampak perubahan iklim semakin jelas, dan jalur-jalur tanggungjawab dapat dipetakan dengan lebih baik. Termasuk tanggunggugat atas dampak perubahan iklim karena tidak berbuat apa-apa selagi mampu. Kosa kata hak, kewajiban, kerugian, tanggunggugat dan tanggungjawab menguatkan kesadaran hukum masyarakat dalam hal iklim. Hal ini memungkinkan masyarakat yang sadar iklim menegakkan “keadilan sosial” dalam hal-hal yang terkait dengan iklim dan menggunakan pertama-tama jalur lobi untuk menyadarkan pemerintah atau menguatkan tanggungjawab pemerintah atas iklim, dan ketika jalur lobi gagal, masyarakat menempuh jalur gugatan hukum demi tanggungjawab pemerintah atas iklim.
Pada tahun 1999, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) A.S. dituntut 19 LSM/Ornop Amerika supaya mengatur emisi CO2 dan GRK atas dasar Undang-undang Udara Bersih. Pihak EPA ketika menghadapi tuntutan ini dibela dan dikuatkan oleh lobi KADIN, American Petroleum Institute (API) dan Gabungan Produsen Mobil Amerika. EPA menolak tuntutan itu. Kemudian 13 LSM/Ornop menggugat EPA melalui pengadilan agar meninjau penolakannya. Aksi ini memicu “civil action” negara-negara bagian terhadap negara federal di mana 12 negara bagian menguatkan gugatan terhadap EPA dengan memasukkan gugatan yang terkenal, Commonwealth of Massachusetts et al v
EPA. Beberapa Negara bagian yang lain (New Mexico, Oregon, Maine, membela EPA pada tahun 2005. Namun pada tahun 2007 Mahkamah Agung A.S. memutuskan agar EPA mengatur emisi CO2 dan GRK atas dasar Undang-undang Udara Bersih. Mahkamah Agung juga menolak alasan Presiden Bush yang membenarkan pemerintah tidak melakukan tindakan apa-apa karena Undang-undang Udara Bersih tidak menyebut CO2 atau GRK. Mahkamah Agung A.S. keluar dari lingkup undang-undang dan menggunakan bukti ilmiah IPCC yang tak terbantahkan sebagai pengertian universal mengenai gas-gas yang memengaruhi “udara bersih” yang tidak disebut dalam UU nasional, dan mengharuskan pemerintah A.S. (c.q.Departemen Perhubungan) dan EPA mengatur emisi CO2 dan GRK [Peter Newell. 2008. Hal. 130-131].
Walau tidak memiliki hak suara dalam UNFCCC dan hadir sebagai pengamat, masyarakat umum internasional lintas negara juga memerjuangkan keadilan iklim lintas batas nasional melalui jalur advokasi, semisal Gerakan yang disebut Climate Justice Now! / Third World Network yang digulirkan dari Bolivia. Fokus kedua jejaring organisasi masyarakat sipil global ini adalah keadilan dan pembangunan dalam konteks perubahan iklim. Mereka menuntut kelanjutan tanpa syarat dari Protokol Kyoto dan integrasi di dalamnya hasil-hasil Konferensi Rakyat Dunia tentang Perubahan Iklim di Cochabamba-Bolivia (2011) serta Deklarasi Hak-Hak Ibu Bumi di dalam teks negosiasi UNFCCC. Termasuk di dalamnya batas kenaikan suhu global 1°C, penurunan emisi oleh negara-negara Annex I sebesar 50 % pada tahun 2017, dan pembentukan Mahkamah Iklim Internasional untuk mengadili ketidakpatuhan, serta komitmen negara maju untuk menyisihkan 6 % dari GDP mereka untuk mendanai upaya iklim di negara-negara berkembang, penghapusan HaKI atas teknologi iklim dan mekanisme pasar karbon.
Organisasi Non-Pemerintah (Ornop, NGO, LSM) dan masyarakat sipil juga ikut memainkan peranan penting di dalam proses UNFCCC selama ini. Mereka adalah pemangku kepentingan (stakeholders) dalam soal iklim. Secara keseluruhan setidaknya ada sembilan ragam masyarakat sipil yang berbeda-beda (lebih dari 600 organisasi) ikut aktif dalam perundingan tata-kelola iklim, walaupun di antara mereka masyarakat pecinta lingkungan adalah yang paling aktif: (1) Masyarakat sipil non pemerintah seperti pemerhati sosial FER – Foro Ética y Responsabilidad (Forum Etika dan Tanggungjawab), Bread for the World (Protestan), Protestant Development Service (EED), Misereor (Katolik), Caritas (Katolik), World Vision; Oxfam, Christian Aid dan Practical Action. (2) Masyarakat pecinta lingkungan misalnya WWF, Greenpeace, Friends of the Earth. (3) Masyarakat Petani (10 kelompok) antara lain: La Via Campesina (LVC, mewakili 164 organisasi petani lokal dan nasional dari 73 negara); GRAIN dan Grup ETC; International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM), International Federation of Agricultural Producers (IFAP) dan World Farmers Organization (WFO). (4) Masyarakat adat dan asli seperti AMAN (indonesia), CONAMAQ (Bolivia), COICA (Amazon), ECUARUNARI (Ecuador), Kuna Yala Congress, Tebbteba (gabungan masyarakat adat dan asli beberapa negara Asia). (5) Masyarakat usahawan seperti World Business Council for Sustainable Development, Business Council for a Sustainable Energy Future, Insurance Industry Initiative for the Environment, Pew Center on Global Climate Change (didukung perusahaan seperti United Technologies, Intel, AEP, DuPont, British Petroleum, Shell, Toyota, Boeing, ABB, Lockheed Martin, Enron and Edison
International), ICAO, IMO, ClimateSavers, Global Climate Coalition, Coalition for Vehicle Choice (Global Climate Information project), Climate Council, Climate Change Partnership, International Chamber of Commerce (KADIN Internasional), European Roundtable of Industrialists. (6) Masyarakat keilmuan dan penelitian, seperti IATP dan IFPRI (bidang pertanian), CGIAR (Riset Kehutanan), Bangladesh Centre for Advanced Studies, Tata Energy Research Institute, Southern Centre for
Energy and Environment , ENDA Tiers-Monde, Foundation for International Environmental Law and Development, International Institute for Sustainable Development, World Resources Institute, Institute for Environmental Studies Amsterdam dan Stockholm Environment Institute. (7) Serikat pekerja; (8) Kaum perempuan. (9) Kaum muda.
Seruan moral dan etis Gereja Katolik berulangkali terdengar terkait perubahan iklim di berbagai tempat di mana COP UNFCCC diselenggarakan. Badan-badan keagamaan bermacam-macam agama juga turut mendukung perundingan internasional mengenai perundingan iklim dan mendesak agar segera diambil tindakan, terutama melalui gerakan dialog, kerjasama dan solidaritas Interfaith. Dalam deklarasi tentang perubahan iklim Interfaith menyatakan: “Kami sendiri akan bertindak – mengubah kebiasaan kami, pilihan kami, dan cara kami memandang dunia – untuk belajar dan mengajar keluarga kami, teman-teman kami dan kaum beriman – untuk memelihara sumberdaya planet Bumi, rumah kami, yang terbatas, dan menjaga kondisi iklim atas mana hidup kami bergantung” [http://www. interfaithdeclaration.org]. Menyongsong KTT Iklim Paris 2015, Interfaith dalam pertemuan di New York, September 2014, mengharapkan agar terwujud persetujuan global yang dibangun atas dasar transparansi, kepantasan dan tanggungjawab: (1) adanya tekat untuk menekan pemanasan global di bawah 2oC. (2) keadilan pembagian beban tanggungjawab. (3) Jaminan kebijakan nasional dalam pengurangan emisi GRK yang secara hukum mengikat dengan dukungan dana yang cukup dan dilaksanakan sepenuhnya [http://interfaithclimate.org/the-statement]. Sikap Gereja Inggris (Church of England) dalam kebijakan iklimnya bahkan sampai menukik pada penggarisan ketentuan mengenai investasi keuangan dana trust Gereja dan Umat, agar melakukan divestasi (menarik simpanan uang dan modal penyertaan) dari lembaga-lembaga (bank, lembaga keuangan dan perusahaan) yang secara langsung menyebabkan kenaikan emisi GRK, dan memindahkan investasi (simpanan uang dan modal penyertaan) kepada lembaga-lembaga yang memerjuangkan stabilisasi iklim [Church of England. 2015].
Climate Action Network (CAN) merupakan suatu jejaring sekitar 500 masyarakat non-pemerintah dan perorangan yang berusaha membatasi perubahan iklim akibat ulah manusia pada tingkatan yang secara ekologis dapat berkelanjutan. CAN memerjuangkan persetujuan yang mengikat pada tahun 2015 selaras sasaran tambahan suhu 1,5°C dan menuntut perubahan sikap pihak-pihak untuk ini. CAN mengecam pihak-pihak yang kurang kemauan politiknya dan menghambat kemajuan perundingan internasional. Prinsip menanggung masalah bersama namun memikul tanggungjawab beban yang berbeda-beda ditekankan seraya menyerukan agar pihak-pihak bertindak sesuai dengan kemampuan mereka. CAN memerjuangkan tidak ada jeda dalam mengisi pengurangan emisi secara ambisius dalam periode pra-2020. Secara khusus CAN mengusung gagasan Prakarsa Kerjasama Internasional (International Cooperative Initiatives, ICI), misalnya berkenaan dengan bunker, gas HFC, penghapusan subsidi bahan bakar fosil, zat pencemar jangka pendek, efisiensi energi, sumber energi terbarukan, REDD+ dalam rangka peningkatan mitigasi. CAN juga mendesak negara maju membuat komitmen yang jelas dalam pendanaan iklim, utamanya untuk peningkatan dana adaptasi.
Perubahan iklim sangat besar pengaruhnya atas pertanian dan ketahanan pangan. Di depan sudah ditulis bahwa masyarakat petani yang diwakili 10 kelompok ikut serta dalam perundingan tata-kelola iklim UNFCCC dalam setiap konferensi para pihak (COP). Walaupun semua kelompok petani dalam UNFCCC memerjuangkan “keadilan iklim”, namun suara mereka berbeda menurut aliran ideologi yang dianut. Dalam UNFCCC sebenarnya suara petani lebih berupa sumbangan informasi dan pengetahuan termasuk kearifan lokal mengenai serapan karbon di bidang pertanian, sedang aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian sangat bergantung pada kebijakan pihak-pihak (negara-negara) baik kolektif maupun sendiri-sendiri. Sekalipun demikian prakarsa kelompok petani lokal dan nasional dalam upaya adaptasi dan mitigasi juga akan memberi sumbangan yang berarti untuk kondisi global.
Masyarakat usaha juga turut berperanserta dalam upaya-upaya iklim, baik melalui organisasi maupun sendiri-sendiri. Beberapa organisasi usaha yang besar peranannya dalam hal emisi GRK dari penggunaan bahan bakar fosil antara lain ICAO atau International Civil Aviation Organization (organisasi penerbangan sipil internasional) yang sejak didirikan pada 1944 menentukan standar global untuk sektor penerbangan dalam hal keamanan, keselamatan, efisiensi dan perlindungan lingkungan. Resolusi ICAO No.A37-19/2010 dan perubahannya dalam Resolusi ICAO No. A38-17/2013, walau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan semata-mata merupakan pernyataan tekat bermaksud: (1) peningkatan efisiensi bahan bakar rata-rata setiap tahun 2 % hingga 2050 secara global; (2) dalam jangka menengah berusaha mencapai stabilisasi emisi pada tingkatan emisi 2020; (3) memerhatikan dan menghormati kemampuan negara berkembang, sehingga dewan ICAO akan mengusahakan proses dan mekanisme bantuan teknis dan keuangan untuk negara berkembang, dan (4) melakukan konsultasi bilateral/multilateral yang membangun dalam rancangan dan pelaksanaan mekanisme-mekanisme yang terkait. Sebagian mekanisme masyarakat penerbangan untuk perubahan iklim sudah diberlakukan ICAO hingga 2014, diperpanjang hingga 2017 dan akan ditinjau ulang pada 2016.
IMO (International Maritime Organization) atau organisasi pelayaran internasional adalah badan PBB yang mengatur keamanan, keselamatan dan plusi lingkungan pelayaran internasional. Langkah pertama yang penting untuk mengatasi perubahan iklim di sektor pelayaran internasional, pada tahun 2011 Panitia Perlindungan Lingkungan Kelautan IMO menerapkan tindakan wajib teknis operasional untuk mengurangi emisi GRK. Secara paralel sejak 2008 pihak-pihak dalam IMO membahas pilihan rancangan mekanisme berbasis pasar untuk membatasi dan mengurangi emisi GRK dari pelayaran internasional yang hanya dapat memeroleh kemajuan kecil saja. Pertemuan MEPC ke-67 pada bulan Oktober 2014 pihak-pihak menerima “Studi GRK III IMO 2014” yang menyampaikan perkiraan terbaru emisi GRK pelayaran internasional. Untuk periode hingga
2050 besarnya emisi dalam situasi “business as usual” normal-normal saja akan meningkat antara 50 hingga 250 %, bergantung pada perkembangan ekonomi dan perkembangan harga bahan bakar. Pertumbuhan emisi ini dapat dicegah melalui tindakan-tindakan efisiensi, walau kontribusi yang diwujudkan akan tetap lebih rendah dibanding peningkatan emisi (IMO 2014).
Para industriwan pemangku kepentingan, sebagai masyarakat sipil pengamat, dalam negosiasi UNFCCC memainkan berbagai peranan yang spesifik dalam berbagai agenda. Dalam negosiasi ADP, sebagian industriwan sangat berperan dalam Pertemuan Pakar Teknis pada aruskerja 2. Khususnya dalam kaitan dengan soal teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture
and Storage, CCS). Begitu pula dalam kaitan dengan bidang energi terbarukan dan penghematan energi. Industri keuangan menyumbangkan gagasan berkenaan dengan skema pengerahan dana swasta untuk iklim, serta mekanisme tata-kelola pendanaan terkait adaptasi dan mitigasi. Sumbangan gagasan aksi iklim untuk proses UNFCCC juga diterima dari kelompok World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), Global CCS Institute, dan kelompok-kelompok kemitraan dalam energi yang terbarukan serta transportasi rendah karbon. Program kerja UNFCCC Nairobi Private Sector Initiative (NWP PSI) memberikan forum bagi kalangan usaha swasta untuk terlibat dalam upaya adaptasi perubahan iklim dengan pertukaran gagasan atau pertukaran pengalaman dan praktek terbaik mereka. NWP PSI juga menawarkan kesempatan untuk meluaskan pengetahuan tentang adaptasi iklim, membangun kemampuan beradaptasi dan menjadi bagian dari proses besar adaptasi dampak perubahan iklim. Climate Savers adalah forum perusahaan besar dunia yang mempunyai program iklim, beranggotakan lebih dari 600 perusahaan. Konon, lebih dari 80% 500 perusahaan terbesar di dunia telah menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi GRK mereka. Sebagian secara spesifik mengaitkan komitmen itu dengan sasaran perusahaan dalam pengurangan emisi GRK, dan bagi sebagian yang lain komitmen itu tersirat dalam sasaran penghematan energi atau penggunaan bahan energi terbarukan.
Masalah Perubahan Iklim pada awalnya dikemukakan oleh masyarakat keilmuan. Penelitian atmosfer dan proses-proses fisika dan bio-geo-kimia selanjutnya memberikan bukti-bukti kuat sekitar perubahan iklim: penyebabnya, prosesnya, dan dampaknya. Proyeksi-proyeksi perubahan iklim dan dampaknya hingga jauh ke masa depan juga disusun menurut prinsip-prinsip ilmiah. Pengambilan keputusan sehubungan dengan perubahan iklim dan dampaknya menyangkut logika dan proses ilmiah di berbagai bidang keilmuan: ekonomi, politik, hukum, hubungan internasional, kebumian, hayati, pertanian, sosiologi, psikologi, teknologi, kesehatan/kedokteran, dan teknologi. Sebagaimana tidak ada seorang pun yang bebas dari iklim, maka juga tidak ada bidang ilmu yang netral dari soal iklim. Bahkan bidang keagamaan pun perlu mendapatkan kejelasan dan menjelaskan soal iklim. Maka tidaklah heran bahwa masyarakat keilmuan, sekolah, universitas, lembaga penelitian, ikut berperan serta dalam pergumulan mengenai perubahan iklim. Juga Akademi Kepausan Untuk Ilmu-ilmu Alam dan Untuk Ilmu-ilmu Sosial sekali pun ikut mengolah dan menyebarkan informasi tentang perubahan iklim. Dalam UNFCCC, suara IPCC yang amat vokal, sentral dan mendasar bersumber dari pakar-pakar ilmuwan dari seluruh dunia. Demikian pula lembaga penunjang UNFCC, terutama SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technical Advisory) dalam kegiatannya setiap kali menyiapkan Konferensi Para Pihak (COP) menghimpun pendapat dan bukti-bukti ilmiah dari masyarakat keilmuan seluruh dunia. Peran besar masyarakat keilmuan sekarang ini terutama adalah dalam komunikasi dan pendidikan masyarakat termasuk para pejabat pemerintahan dan legislator mengenai perubahan iklim, untuk membantu mereka mengembangkan kesadaran iklim dan membantu memudahkan mereka pada sektor masing-masing untuk melakukan aksi mitigasi ataupun adaptasi dampak perubahan iklim.
Perorangan Ikut Bertanggungjawab
Banyak dampak perubahan iklim bersifat global, namun penyebab perubahan iklim adalah tindakan kecil perorangan, keluarga, kelompok, perusahaan dari suatu tempat lokal, dari suatu waktu. Maka ada jutaan pelaku yang memengaruhi situasi atmosfer global yang kemudian menyebabkan perubahan iklim. Yang sekarang dipikirkan sebagai sesuatu yang sangat besar dan global, bermula dari tindakan kecil-kecil yang tak terbilang jumlahnya di seluruh dunia. Dan sejauh berkaitan dengan tindakan perorangan, sendiri atau bersama-sama, maka juga ada tanggungjawab perorangan dalam hal perubahan iklim. Setiap orang adalah penikmat iklim, maka tak ada yang bebas dari kewajiban dan tanggungjawab iklim.
Ketika kita menerima informasi global sehubungan dengan pemanasan global dan perubahan iklim global, pikiran kita mengisyaratkan sesuatu masalah yang raksasa yang besar sekali, yang menjadi tugas dan kewajiban lembaga internasional. Sesungguhnya, lembaga internasional terdiri dari negara-negara nasional, dan di dalam lembaga internasional itu negara nasional diwakili oleh sejumlah perorangan. Lembaga internasional, negara-negara nasional dan perorangan-perorangan utusan hanyalah pengemban amanat atau mandat vertikal dari suatu bangsa. Dan suatu bangsa terdiri dari perorangan-perorangan. Maka apa pun yang dilakukan oleh lembaga internasional dan kumpulan negara-negara nasional hanya mewakili salah satu aspek tugas rakyat atau bangsa, yaitu melaksanakan amanat atau mandat vertikal. Hasilnya, jika terwujud kesepakatan internasional atau nasional nanti, adalah kebijakan atau peraturan hukum yang mengikat. Namun banyak tindakan perorangan dalam ranah pribadi yang terkait iklim tidak atau belum diatur dalam peraturan hukum. Maka dalam hal iklim yang dinikmati secara personal, itu tidak cukup.
Untuk melengkapinya diperlukan tanggungjawab dan tindakan personal individual, sendiri atau tanggungrenteng bersama-sama secara horisontal.
Maka slogan “Think Globally but Act Locally” (berpikir secara global bertindak secara lokal) merupakan seruan yang tepat bagi kita masing-masing.
Pemecahan masalah global perubahan iklim dalam jangka panjang juga memerlukan tindakan sehari-hari perorangan, keluarga, kelompok, komunitas, perusahaan dan pemerintahan lokal pelbagai tingkat (dukuh, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi) melalui perubahan cara berpikir, perubahan kebiasaan, perubahan gaya hidup, perubahan pilihan [Olstrom. 2009]. Masih banyak orang perlu disadarkan akan ancaman dampak masa depan perubahan iklim, baik atas diri sendiri, anak-cucu atau keluarga dan bangsanya, yang memerlukan perubahan tindakan pribadi lokal sekarang. Sovacool dan Brown [2009: 318] misalnya menunjukkan, “Banyak perorangan tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi dan naik mobil sendirian sehingga memadati lalu lintas jalan, sebab bagi mereka naik mobil sendiri lebih luwes untuk memenuhi jadwal kegiatan mereka ketimbang mengandalkan kendaraan umum”, sementara penggunaan mobil pribadi jelas menyebabkan penambahan emisi CO2 yang memengaruhi atmosfer dan memicu perubahan iklim [lihat juga Burris et al, 2006]. Perubahan cara keluarga dan komunitas memilih genteng rumah dan bangunan mereka, atau dalam memilih mobil yang hemat bahan bakar, akan menjadi tindakan skala kecil yang secara kumulatif menyumbang banyak pengurangan emisi gas rumah kaca [Vandenberg dan Steinemann, 2007].
Mengatasi perubahan iklim yang berdampak masif —atau sesuatu “keburukan umum” global —memerlukan langkah tindakan “kebaikan umum” oleh perorangan-perorangan secara global [Sandler, 2004; Carraro, 2003].
Lihat Selanjutnya: ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 1
Rujukan:
Adaptation Fund Board (AFB), 2009a: Operational Policies and Guideline for Parties to access to the
resources of the Fund.
ADB. 2013. United Nations Climate Change Conference Warsaw, Poland (COP 19/CMP9). 11–23 November 2013.
Barbara Ward, 1973. Only One Earth. Unesco Courier, January 1973, pgs. 8-10.
Baylor Johnson, “Ethical Obligations in a Tragedy of the Commons,” Environmental Values 12, no. 3 (2003).
Bodansky, Daniel, and Sandra Day O’Connor. 2012. The Durban Platform: Issues and Options for a 2015 Agreement. Center for Climate and Energy Solutions.
Bolin, B., 1991: The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Proceedings of the Second World Climate Conference. Cambridge University Press, 19-21.
Botteon, M. and C. Carraro (1997), ‘Burden Sharing and Coalition Stability in Environmental
Negotiations with Asymmetric Countries’, in: C. Carraro (ed.), International Environmental Negotiations: Strategic Policy Issues. Edward Elgar, Cheltenham, 26-55.
Brandt, Willy,. 1980. North-South: A Program for Survival.
…………….……. , 1983. Common Crisis: North -South Cooperation for World Recovery .
Brundlandt, 1987. Our Common Future. Report of the World Commission on Environment and Development.
Burris, Mark W., and Xu Lei. 2006. “Potential Single-Occupancy Vehicle Demand for High-Occupancy Vehicle Lanes: Results from State-Preference Survey of Travelers in High Occupancy Toll Corridors.” Transportation Research Record 1960:108–18.
Carraro, C. 2003. Governing the Global Environment. Cheltenham, UK: Edward Elgar.
Catholic Bishops. 2014. Catholic Bishops’ Statement in Lima on the Road to Paris. http://www.cidse.org/articles/item/675-catholic-bishops-statement-in-lima-on-the-road-to-paris.html
Chasek, Pamela S., Lynn M. Wagner, Peter Doran. 2012. Lessons Learned on the Roads from Rio. In The Roads from Rio. Lessons Learned from Twenty Years of Multilateral Environmental Negotiations, ed. P. S. Chasek and L. M.Wagner. New York & London: Routledge.
Church of England. 2015. Climate Change Policy of the National Investing Bodies And The Advisory Paper of the Ethical Investment Advisory Group of The Church of England. 30th April 2015.
Climate Alliance of European Cities, 2015. “1,700 cities voice urgency at World Summit on Climate and Territories”. Lyon/Brussels, 1 July 2015.
Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006. United Nations Framework Convention on Climate Change: Handbook. Bonn, Germany: Climate Change Secretariat.
…………………. , 2008. Report of the Conference of the Parties on its thirteenth session, held in Bali from 3 to 15 December 2007. FCCC/CP/2007/6. 14 March 2008.
………………… , 2009. Report of the Conference of the Parties on its fourteenth session, held in Poznan from 1 to 12 December 2008. FCCC/CP/2008/7. 19 March 2009
……………….. , 2010. Report of the Conference of the Parties on its fifteenth session, held in Copenhagen from 7 to 19 December 2009. FCCC/CP/2009/11. 30 March 2010.
………………… , 2011. Report of the Conference of the Parties on its sixteenth session, held in Cancun from 29 November to 10 December 2010. FCCC/CP/2010/7. 15 March 2011.
……………….. , 2012. Report of the Conference of the Parties on its seventeenth session, held in Durban from 28 November to 11 December 2011. FCCC/CP/2011/9. 15 March 2012.
……………….. , 2013. Report of the Conference of the Parties on its eighteenth session, held in Doha from 26 November to 8 December 2012. FCCC/CP/2012/8. 28 February 2013.
……………….. , 2014. Report of the Conference of the Parties on its nineteenth session, held in Warsaw from 11 to 23 November 2013. FCCC/CP/2013/10. 31 January 2014.
……………….. , 2015.
Cooper, R. (1998), ‘Towards a Real Treaty on Global Warming’, Foreign Affairs, 77(2), 66-79.
Dubos, René. 1981. “Think Globally, Act Locally,” dalam Celebrations of Life. New York: McGraw-Hill.
Energie-Cites. 2015. Energy Cities’ contribution to the Public consultation on EIB approach to supporting climate action. 16th March 2015. http://www.energy-cities.eu/IMG/pdf/150316_energycities_eib_climate_action_consultation.pdf
FABC. 2011. Church Response to the Challenge of Climate Change in Asia: Towards a New Creation. http://www.fabc.org/offices/csec/Climate%20Change%20Seminar%20Oct%202012.pdf
Farman JC, Gardiner BG, Shanklin JD. 1985. ‘Large losses of total ozone in Antarctica reveal seasonal ClOx/NOx interaction’. Nature 315:207–210.
Green Climate Fund (GCF) (2011). Governing instrument for the Green Climate Fund.
Green Climate Fund (GCF) (2013a). Modalities for readiness and preparatory support.
Green Climate Fund (GCF) (2013b). Report of the Green Climate Fund workshop on readiness report prepared under the authority of the chair of the workshop.
Green Climate Fund (GCF) (2014a). Detailed programme of work on readiness and preparatory support. GCF/B.06/14 presented at the Meeting of the Board, 19-21 February 2014, Bali, Indonesia. Agenda item 14.
Green Climate Fund (GCF) (2014b). Guiding framework and procedures for accrediting National, Regional and International Implementing Entities and Intermediaries, Including the Fund’s fiduciary principles and standards and environmental and social safeguards (Progress Report). GCF/B.06/09 presented at the Meeting of the Board, 19-21 February 2014, Bali, Indonesia. Agenda item 12 (b).
Green Climate Fund (GCF) (2014c). Revised programme of work on readiness and preparatory Support. GCF/B.08/10 presented at the Meeting of the Board, 14-17 October 2014, Bridgetown, Barbados. Agenda item 10.
Green Climate Fund (GCF) (2014d). Update on the GCF’s readiness and preparatory support programme.
Green Climate Fund (GCF) (2014e). Assessment of institutions accredited by other relevant funds and their potential for fast-track accreditation.
Ha-Duong, M., Grubb, M., and J. C. Hourcade (1997), ‘Influence of socioeconomic inertia and uncertainty on optimal CO2-emission abatement’, Nature, 390, 270-273.
Hardin, G. , 1968. “The Tragedy of the Commons,” Science, Vol. 162, No. 3859, 1968, pp. 1243-1248.
Hillary Clinton. 2009. Remarks at the Major Economies Forum on Energy and Climate. April 27, 2009, online http://www.state.gov/secretary/rm/2009a/04/122240.htm.
ICLEI.2009. Cities for Climate Protection (CCP), http://www.iclei.org/index.php?
IGO-4. 2010. Analysis of the Scope of Energy Subsidies and Suggestions for the G-20 Initiative. IEA OPEC, OECD, World Bank, Joint Report, June 2010.
James Yienger, Lizbeth Brown, Nancy Skinner. Experiences of ICLEI’s Cities for Climate Protection Campaign (CCP):A focus on Asia “Local Action Moves the World”.
Karlsson-Vinkhuyzen, Sylvia I., Jeffrey McGee. 2013. Legitimacy in an Era of Fragmentation: The Case of Global Climate Governance. Global Environmental Politics 13 (3): 56-78.
Keohane, Robert O., David G. Victor. 2011. The Regime Complex for Climate Change. Perspectives on Politics 9 (1): 7-23.
Kim . 2010. Polycentric Governance of Climate Change in the Post-Copenhagen Era: The Role of the G20. Conference Paper, 2nd Global Conference on Environmental Governance and Democracy – Strengthening Institutions to Address Climate Change and Advance a Green Economy, Yale 2010.
Kristine Kern & Harriet Bulkeley. 2009. Cities, Europeanization and Multi-level Governance: Governing Climate Change Through Transnational Municipal Networks, J. COMMON MARKET STUD. 7, 7 n.5.
Lorraine Elliot, 2010. ‘Assessing Copenhagen: Where to Now on Climate Change?’ The Academic Council On The United Nations System – Informational Memorandum No. 81. Winter 2010
Marion Hourdequin, “Climate Change and Individual Responsibility: A Reply to Johnson,” Environmental Values 20, no. 2 (2011).
McLean, Elena V., Randall W. Stone, (Tanpa tahun]. The Kyoto Protocol: Two-Level Bargaining and European Integration.
Michelle Betsill, 2001. Mitigating Climate Change in US Cities: Opportunities and Obstacles, 6 LOC. ENV’T 393, 405 (2001)
- Molina and F. S. Rowland, 1974. ‘Stratospheric Sink for Chlorofluoromethanes: Chlorine Atom-Catalyzed Destruction of Ozone,’ Nature 249, no. 5460 (1974): 810–812
Neil Bird, Jessica Brown and Liane Schalatek. 2011. Design challenges for the Green Climate Fund. Climate Finance Policy Brief No.4. January 2011.
Nordhaus, W.D., and J.G. Boyer. 1999, ‘Requiem for Kyoto: An Economic Analysis’, Energy Journal, Special Issue, 93-130.
OECD, 2011. The OECD Environmental Outlook to 2050. Chapter 3: Climate Change.
Olivier, Jos G.J., et al. 2012. Trends in global CO2 Emissions 2012 Report. The Hague: PBL Netherlands Environmental Assessment Agency.
Ostrom, Elinor. 2009. A Polycentric Approach for Coping with Climate Change. A background paper to “World Development Report 2010: Development in a Changing Climate”—The World Bank . Development Economics Office of the Senior Vice President and C hief Economist. October 2009
Oxfam.2009. Oxfam analysis of the Copenhagen climate change conference. Brosur.
Paterson, M. 1996. Global Warming and Global Politics. London: Routledge.
Paus Benediktus XVI (Emeritus). 2011. Angelus. 27 November 2011. http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/angelus/2011/documents/hf_ben-xvi_ang_20111127.html
Paus Fransiskus, 2015. Ensiklik Laudato Si. Libreria Editrice Vaticana.
Pearce, D. (1998), ‘Cost-Benefit Analysis and Environmental Policy’, Oxford Review of Economic Policies, 14 (4), 84-100.
Peter Newell. 2008. Civil Society, Corporate Accountability and the Politics of Climate Change. Global Environmental Politics 8:3, August 2008, 122-153. © 2008 Massachusetts Institute of Technology.
Raustiala, Kal, David G. Victor. 2004. The Regime Complex for Plant Genetic Resources. International Organization 58 (2): 277-309.
Redbaiter. 2010. Cancun – $100 billion “Green Climate Fund” Agreed Upon. Posted December 12, 2010, TrueBlueNZ.
Ringius, L., Torvanger, A. , B. Holtsmark (1998), ‘Can multi-criteria rules fairly distribute climate burdens? OECD results from three burden sharing rules’, Energy Policy, 26 (10), 777-793.
Rose, A., B. Stevens, J. Edmonds, M. Wise (1998), ‘International equity and differentiation in global warming policy’, Environmental & Resource Economics, 12, 25–51.
Sandler, Todd., 2004. Global Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.
Solomon S .1999. ‘Stratospheric ozone depletion: a review of concepts and history’. Revs Geophys 37:275–316
Solomon S, Garcia RR, Rowland FS, Wuebbles DJ. 1986. ‘On the depletion of Antarctic ozone’. Nature
321:755–758
Sovacool, Benjamin K., Marilyn A. Brown. 2009. “Addressing Climate Change: Global and Local?” In Generating Electricity in a Carbon Constrained World, ed. Fereidoon P. Sioshansi. New York: Elsevier.
Stephen Gardiner. 2010. “A Perfect Moral Storm: Climate Change, Intergenerational Ethics and the Problem of Moral Corruption,” in Climate Ethics, ed. Stephen M. Gardiner, Simon Caney, Dale Jamieson, and Henry Shue (New York: Oxford University Press, 2010),
Stolarski RS, Cicerone RJ. 1974. ‘Stratospheric chlorine: a possible sink for ozone’. Can J Chem 52:1610–1615
Susan R. Fletcher, 2004. Global Climate Change: The Kyoto Protocol. Congressional Research Service – The Library of Congress.
The carbonn Cities Climate Registry. 2013. World Mayors Summit on Climate Change, Nantes 2013.
The Pontifical Academy of Sciences and the Pontifical Academy of Social Sciences. 2015. Climate Change and the Common Good. A Statement Of The Problem And The Demand For Transformative Solutions. 29 April 2015
United Nations Association of Australia. Rio+20 Summit Factsheet.
UN-Secretariate, 1972. Report of The United Nations Conference on the Human Environment, http://www.un-documents.net/aconf48-14r1.pdf
Vandenberg, Michael P., Anne C. Steinemann. 2007. “The Carbon-Neutral Individual.” New
York University Law Review 82 (December): 1673–741.
White, R.M., 1979: ‘The World Climate Conference: Report by the Conference Chairman’. WMO Bulletin, 28, 3, 177-178.
WMO, 1979. Declaration of the World Climate Conference. IOC/SAB-IV/INF.3
……….., 1986: Report of the International Conference on the Assessment of the Role of Carbon Dioxide and of Other Greenhouse Gases in Climate Variations and Associated Impacts. WMO-No. 661, Geneva.
[WMO] World Meteorological Organization, 1995. Scientific Assessment of Ozone Depletion: 1994; Executive Summary. World Meteorological Organization Global Ozone Research and Monitoring Project Report 37, World Meteorological Organization, Geneva, 1995.
United Nations, 1992. United Nations Framework Convention on Climate Change.
US State Department, 2009. Major Economies Forum on Energy and Climate, online at http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2009/04/122097.htm.
World Commission on Environment and Development, 1987: Our Common Future. Oxford University Press.