Oleh Bambang Kussriyanto
2001-2010
Dalam bagian kedua COP 6 Juli 2001 di Bonn-Jerman, tampaknya tak seorang pun delegasi yang menginginkan waktu terbuang, menginginkan konferensi ini sukses, dengan persiapan yang lebih matang, sidang kesepakatan berjalan lebih lancar dan Protokol Kyoto siap operasional, untuk masa 2001-2015. Walau kali ini perundingan tidak diikuti oleh delegasi pemerintah Amerika Serikat, yang tampaknya bermaksud tetap berada dalam Konvensi namun melepaskan diri dari Protokol (karena dianggap telah mengarah pada kerusakan ekonomi dan menjauhkan negara-negara non-Annex I dari partisipasi mengurangi emisi secara adil), kesulitan yang memang besar diatasi dengan lebih cermat dan sabar, dan pasal-pasal yang mengganjal tentang pendanaan, tentang LULUCF (yang dengan pedih dikatakan sebagai endapan yang menenggelamkan Denhaag, “the sink that sunk The Hague”), tentang mekanisme, tentang kepatuhan pada protokol, berhasil disikapi dengan baik. Belum merupakan langkah besar, hanya kemajuan kecil saja, namun perundingan kali ini berhasil meletakkan kembali jalannya konvensi perubahan iklim dan protokolnya pada rel yang sebenarnya, untuk kemudian dipacu lebih cepat. Tentang mundurnya AS dari Protokol Kyoto adalah karena desakan kepentingan nasional dan pergantian pemerintahan. Pada pertengahan 1997 Senat AS menerbitkan Resolusi No. 98 bahwa keikut sertaan AS dalam soal perubahan iklim global adalah sejauh tidak merugikan ekonomi nasional dan negara-negara peserta lain ikut mengurangi emisi GRK. Pemerintahan Presiden Clinton tidak melakukan konsultasi dengan Senat karena resolusi itu, sementara keikutsertaan dalam Protokol Kyoto sudah pasti mengorbankan ekonomi dalam negeri dan jelas-jelas ada ketidak adilan, sebab negara seperti China, India dan Brazil, yang adalah emitor besar, dibebaskan dari kewajiban mengurangi tingkat emisi domestik. Pemerintahan baru Presiden Bush menolak Protokol Kyoto pada akhir Maret 2001. AS tetap hadir dalam COP-UNFCCC, tetapi tidak ikut dalam perundingan-perundingan Protokol Kyoto (Susan R. Fletcher, 2004. Hal 2-4). Dalam kancah sosiologi dan politik sikap AS menimbulkan wacana marak berkenaan dengan proses “collective action” global dalam hubungan internasional, dan untuk pengambilan keputusan dalam negeri soal “public choice” dalam keikutsertaan menghadapi perubahan iklim. Mempertegas gagasan tentang penetapan kebijakan pemerintah nasional melalui pertawaran dua tingkat atau two levels bargaining [McLean, Elena V., dan Randall W. Stone].
Akhirnya setelah “debat yang amat sengit”, kecuali AS (yang walau pada 1998 menandatangani Protokol Kyoto namun kini mundur darinya) yang hadir sebagai pengamat saja, pada bulan Oktober 2001 semua negara peserta menyepakati prinsip-prinsip penerapan Protokol Kyoto pada sidang FCCC-COP ke-7 (2001) di Marrakesh, Maroko. [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006,hal. 209-210]. Rusia jual mahal pada posisinya dan menurut pengamat berulah “menjatuhkan harga ratifikasi” Protokol Kyoto. Perubahan IklimJepang terkesan keras kepala terkait Artikel 5,7,8. Pihak-pihak lain terpaksa mengalah, asal Protokol Kyoto bisa jalan (“Cheap deal is better than no deal”). Sementara itu “Kebijaksanaan, pengendalian diri dan harapan” menjadi kata kunci bagi pihak-pihak lain. Hanya dengan demikian, tindak nyata bagi Protokol Kyoto untuk pengurangan emisi gas rumah kaca oleh negara-negara maju (dan berkembang) yang sudah dirintis jalannya dalam BAPA (Buenos Aires Plan of Action), setelah melalui perundingan yang ketat akhirnya dirinci makin jelas, dan diterima mayoritas di Marrakesh, melahirkan Marrakesh Accord walau Australia, Canada, Jepang, New Zealand, dan Rusia menolak. Sebagian peserta mengenang COP Marrakesh sebagai taktik main kuasa dari pihak-pihak yang kuat dan sungguh melemahkan integritas Protokol Kyoto. Pada Februari 2002, Presiden Bush mengumumkan bahwa kebijakan AS dalam hal perubahan iklim secara unilateral namun tetap searah dengan arah internasional, mengandalkan tindakan sukarela dalam negeri, mengurangi “konsentrasi gas rumah kaca” dengan rasio antara emisi dan keluaran ekonomi 18% untuk 10 tahun ke depan (Susan R. Fletcher, 2004. Hal 11).
Setahun kemudian perundingan internasional mengenai perubahan iklim FCCC-COP ke-8 (2003) diselenggarakan di Delhi-India, antara Oktober-November. Diumumkan bahwa negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim mencapai 187. Di antara mereka 96 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto, termasuk 26 negara dari Annex I antara lain Uni-Eropa dan Jepang, yang mewakili 37,4% dari emisi GRK seluruhnya. Protokol Kyoto akan berlaku sebagai hukum internasional jika diratifikasi 55 negara peserta Konvensi Perubahan Iklim, termasuk negara-Annex I, dan mewakili 55% dari total emisi GRK tahun 1990. Dalam tiga tahun yang lalu upaya menguraikan detil operasional Protokol Kyoto menghasilkan Persetujuan Bonn (1999) dan Marrakesh (2002). Kali ini suatu babak baru dibuka, berfokus pada implementasi Marrakesh Accords. Diskusi yang sengit terjadi sehubungan dengan dikotomi “negara maju”-“negara berkembang” yang tidak produktif jika dikaitkan dengan pembedaan kewajiban saja, tapi akan bermakna jika memfasilitasi dialog untuk menambah besaran komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca global. Dikotomi adaptasi-mitigasi juga menyebabkan perbedaan pandangan. Sementara pihak menganggap adaptasi-mitigasi dua sisi dari mata uang yang sama, pihak yang lain menyikapi berbeda: mitigasi adalah tugas negara maju, adaptasi adalah tugas negara berkembang. Dikotomi keanggotaan UNFCCC dan Protokol Kyoto juga menimbulkan masalah, karena intervensi AS sering tidak memerhatikan batas perbedaan di antara keduanya, sementara statusnya sehubungan dengan Protokol adalah pengamat tanpa hak suara. Namun suara-suara AS ternyata berpengaruh dan mendapat dukungan para anggota Protokol. Dikotomi antara Pembangunan dan Lingkungan menyisihkan negara-negara Afrika yang menganggap pembangunan berkelanjutan sebagai hasil dari tata-kelola lingkungan yang baik, sedang negara-negara lain berwawasan bahwa pembangunan berkelanjutan justru menghasilkan tata-lingkungan yang baik dengan dana dan teknologi. Masih banyak kesenjangan dalam hal-hal itu. Kesepakatan diperoleh berkenaan dengan pedoman komunikasi negara-negara non-Annex I; “good practices” dalam kebijakan dan tindakan-tindakan; riset dan pengamatan sistematik; kerjasama dengan organisasi internasional yang relevan, dan masalah metodologi [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, hal 210-211].
Satu negara lagi meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim PBB sehingga jumlahnya pada awal tahun 2003 adalah 188 negara. Pertambahan ratifikasi Protokol Kyoto pun menjadi 109 negara, termasuk 31 negara Annex I, yang seluruhnya mewakili 43,9% total emisi 1990. Ada kemajuan berarti menuju target 55% yang disyaratkan Protokol Kyoto untuk berlaku menjadi hukum internasional. Berbagai workshop internasional mengenai Protokol Kyoto mewarnai masa-masa awal tahun 2003. Misalnya berkenaan dengan Artikel 12 Protokol Kyoto, dibicarakan soal pembuatan hutan (aforestasi) dan penghutanan kembali (reforestasi) yang dapat diperhitungkan dalam mekanisme pengembangan bersih, CDM, Februari 2003, di Foz do Iguaçu, Brazil. Hasilnya perluasan wawasan tentang dampak sosial ekonomi dan pelestarian keanekaragaman hayati. Workshop tentang penyesuaian menurut Artikel 5.2 Protokol Kyoto diselenggarakan bulan April 2003, di Lisbon, Portugal, menerapkan metode kalkulasi penyesuaian dari Sekretariat UNFCCC. Hasilnya penyempurnaan cara perhitungan. Workshop tentang lingkungan yang kondusif untuk alih-teknologi pengurangan emisi dilaksanakan bulan Maret 2003 di Ghent, Belgia. Hasilnya disampaikan sebagai usulan kepada Expert Group on Technology Transfer (EGTT)UNFCCC. Hampir bersamaan waktunya di Port Luis, Mauritius, diselenggarakan workshop tentang persiapan komunikasi nasional mengenai status emisi masing-masing negara non-Annex I. Penilaian dan jaminan atas risiko cuaca ekstrem dan dampak merugikan dijadikan bahan workshop kelompok usaha reasuransi pada bulan Mei di Bonn. Antara 1-12 Desember 2003 lebih dari 5000 utusan dari 170 negara di seluruh dunia menghadiri perundingan FCCC-COP ke-9 di Milan-Italia. Sidang membahas dan mengambil keputusan mengenai rumusan dan cara memasukkan kegiatan pembuatan hutan baru dan pemulihan hutan lama ke dalam Clean Development Mechanism (CDM); pedoman “good practice” untuk tata-guna lahan, perubahan tata-guna lahan dan kehutanan (LULUCF); Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund, SCCF); dan Dana Negara Kurang Berkembang (Least Developed Countries (LDC) Fund). [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 211-212].
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Dinamika Kerjasama Internasional Periode Dasawarsa Kedua 2004-2013
Sepuluh tahun sejak Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) berlaku resmi, pada awal tahun 2004 tercatat 189 negara telah meratifikasi Konvensi. Ini menunjukkan perhatian yang sangat besar dari seluruh dunia pada masalah perubahan iklim global yang terutama disebabkan oleh konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Sedangkan keinginan untuk berbuat sesuatu bersama-sama sehubungan dengan itu ditunjukkan dengan keikutsertaan dalam Protokol Kyoto yang hingga awal 2004 diratifikasi 122 negara, termasuk 32 negara Annex I mewakili 44.2% total emisi GRK global tahun 1990. Masih diperlukan tambahan representasi emisi 11% lagi agar Protokol Kyoto berlaku. UNFCCC menyelenggarakan workshop untuk penyiapan komunikasi nasional negara-negara non-Annex I 26-30 April 2004, di Manila, Filipina. Hingga saat itu, 112 dari 148 negara non-Annex I Parties telah menyerahkan komunikasi nasional pertama mereka. Sesuai prinsip “common but differentiated responsibilities,” (urusan sama namun tanggungjawab berbeda) maka isi dan jadwal penyerahan laporan atau “komunikasi nasional” – ini berbeda-beda antara negara “Annex I” (negara maju dan sebagian besar negara dalam transisi) dan negara “non-Annex I” (sebagian besar negara sedang berkembang). Pada umumnya negara non-Annex I harus menyerahkan komunikasi nasional dalam tiga tahun setelah menjadi anggota Konvensi Perubahan Iklim UNFCCC. Untuk penyiapan komunikasi nasional ini negara Non-Annex I mendapat bantuan teknis dan keuangan dari GEF dan para donor lain. Pedoman isi laporan itu ditetapkan dalam Conference of the Parties (COP) FCCC di Geneva Juli 1996. Dalam COP-5, pihak-pihak memutuskan untuk mulai melakukan studi atas laporan-laporan nasional dan menyempurnakan persiapan komunikasi nasional negara-negara non-Annex I. Suatu Kelompok Pakar untuk Konsultasi dibentuk dalam rangka ini dan dalam kelompok itu setiap regional seperti Afrika, Asia dan Pasifik, Amerika Latin dan Karibia masing-masing diwakili lima pakar, enam pakar dari negara-negara Annex I, dan tiga pakar lainnya dari organisasi yang relevan pengalamannya. Dalam COP-7/ 2001, disepakati untuk melanjutkan penyempurnaan pedoman penyusunan komunikasi nasional. Dalam COP-9/2003, bantuan keuangan diteruskan untuk menyempurnakan komunikasi nasional kedua dan ketiga negara-negara non-Annex I.
Upaya menghadapi perubahan iklim dilanjutkan dalam sidang FCCC-COP ke-10 (6-18 Desember 2004) di Buenos Aires. Perundingan mendapat kemajuan dan keputusan pun diambil berkenaan dengan pelbagai hal: transfer teknologi, mekanisme keuangan, pembinaan kapasitas, dampak yang merugikan dan adaptasi, dan artikel 6 UNFCCC mengenai pendidikan, pelatihan dan kesadaran umum. Tahun 2004 merupakan ulang tahun ke-10 UNFCCC, dan para peserta dengan rasa puas menengok ke belakang merenungkan apa yang telah mereka lakukan dan telah mereka hasilkan untuk memerhatikan situasi bumi dan manusia. Semua pihak menyambut gembira keputusan Federasi Rusia meratifikasi Protokol Kyoto, dan ini menjadi jaminan bahwa upaya mitigasi akan berlangsung sepuluh tahun ke depan begitu Protokol Kyoto menjadi operasional pada 2005. Indonesia walau tidak termasuk negara dalam Annex I pun meratifikasi Protokol Kyoto dengan UU No.17/2004 [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 212]. Maka hingga akhir 2004, pada tahun ketujuh setelah disepakati, 129 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto, termasuk 36 negara Annex I, mewakili 61.6% total emisi tahun 1990 Annex I, sehingga dengan demikian terpenuhilah syarat pemberlakukan Protokol Kyoto sebagai hukum internasional yang mengikat (minimum 55 ratifikasi dari anggota Konvensi, termasuk negara Annex I, dan mewakili 55% total emisi tahun 1990) untuk tindakan pengurangan emisi minimum 5% dari tingkat total emisi tahun 1990 oleh negara-negara Annex I dalam periode antara 2008-2012 (periode komitmen pertama).
Pada awal- awal tahun 2005, setelah Federasi Rusia meratifikasi Protokol Kyoto, jumlah negara yang meratifikasi Protokol berkembang menjadi 150, termasuk 37 negara Annex I, melampaui syarat mewakili 55% total emisi 1990 negara-negara Annex I, sehingga Protokol Kyoto resmi berlaku pada 16 Februari 2005. Protokol Kyoto sendiri menetapkan agar pihak-pihak merundingkan pengurangan emisi pasca 2012 pada tahun 2005. Hal itu sudah disinggung dalam COP-10 di Buenos Aires. Maka sejak awal tahun 2005 persiapan dilakukan untuk itu menyongsong COP-11 di Montreal. Ada suatu kebetulan yang menarik di sini, yaitu penetapan kota Montreal – Canada, sebagai tempat berlangsungnya COP 11. Sebab Montreal mengingatkan orang pada keberhasilan Protokol Montreal dalam Konvensi Perlindungan Lapisan Ozon 22 tahun sebelumnya, dibandingkan dengan Protokol Kyoto dalam Konvensi Perubahan Iklim yang baru berumur 7 tahun. Namun justru di Montreal ini Protokol Kyoto memulai langkahnya setelah berlaku pada Februari 2005. Ada suara-suara agar Protokol Kyoto menggunakan Protokol Montreal sebagai model yang ditiru. Sebenarnya ada banyak perbedaan antara Protokol Montreal dan Protokol Kyoto dan masing-masing menempuh jalannya sendiri, sehingga tidak tepat jika keduanya diperbandingkan untuk menghakimi Protokol Kyoto. Sebagian besar studi perbandingan berasal dari Amerika Serikat, dan berusaha mencari pembenaran sikap negara itu terhadap kedua Protokol. Sebaiknya kedua Konvensi (Ozon dan Perubahan Iklim) dan Kedua Protokol (Montreal dan Kyoto) dibiarkan saja menempuh jalan masing-masing. Harus diakui, bagaimanapun, jalan yang ditempuh Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto sangat sulit, jauh lebih sulit, sebab menunjukkan konsekuensi yang jauh lebih besar bagi dunia, bukan hanya bagi negara sendiri. Namun, karena perlindungan ozon juga berpengaruh pada perubahan iklim, maka dijalin hubungan di antara sekretariat Protokol Montreal dan Sekretariat Protokol Kyoto untuk pertukaran informasi ilmiah dan teknis mengenai bidang masing-masing, menghindari tumpang tindih atau pengulangan bahasan. Pada bulan Mei 2005 badan-badan penunjang konvensi melakukan pertemuan di Bonn, menyiapkan bahan COP-11 dan sekaligus Meeting of Parties (MOP) untuk Protokol Kyoto yang pertama. Selanjutya di kalangan IPCC terjadi bahasan mengenai menangkap dan menyimpan CO2 (CCS, Carbon-dioxide Capture and Storage) sebagai langkah mitigasi terutama melalui industri energi, bagaimana metode, teknik, proses dan prasarana serta perhitungan biayanya. Selain itu juga dibicarakan Pedoman Untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, dalam Sidang IPCC ke 24, September 2005.
Sidang FCCC-COP ke-11 diselenggarakan di Montreal akhir November dan awal Desember 2005. Dibicarakan operasional pelaksanaan Protokol Kyoto tentang pengurangan emisi hingga 2012, termasuk yang disebut “Paket Marrakesh” dan fleksibilitas mekanisme, untuk membantu pihak-pihak mencapai target-target mereka secara cost-effective. Dibahas pula soal pengurangan emisi akibat deforestasi di negara berkembang yang diusulkan Papua Nugini dan Costa Rica. Terkait pemanenan pohon kayu hutan juga dibahas perhitungan emisinya, satu paket dengan soal pembakaran biomas, dan akan disajikan dalam Pedoman Untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional 2006. Disepakati pula untuk merundingkan Protokol Kyoto tahap kedua untuk masa pasca 2012, walau tanpa tenggat waktu untuk melakukan perubahan-perubahan. [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 212-213]. Dalam COP/MOP 1 Protokol Kyoto, “Paket Marrakesh” mengenai tataguna lahan, perubahan tataguna lahan dan kehutanan (land use, land-use change and forestry, LULUCF) dan soal-soal menyangkut Artikel 3.14 (dampak yang merugikan), Artikel 5 (soal metodologi), 7 (komunikasi informasi) dan 8 (tinjauan informasi), mekanisme yang luwes dan
akunting jumlah yang dibebankan menurut Artikel 7.4, diterima tanpa perubahan sebagai alat operasional Protokol Kyoto. Permintaan Saudi Arabia untuk membahas Artikel 2.3 mengenai tindakan tanggapan, meski ditentang Uni Eropa, diterima untuk agenda pembahasan dalam sidang yang akan datang. Mengenai kegiatan LULUCF negara-negara Annex I dan pengaruhnya pada hitungan stok karbon dirinci lebih lanjut hingga pada nilai kredit dalam CDM. Sehubungan dengan kepatuhan pada Protokol dibahas mekanisme pelaporan digital meliputi jumlah yang dibebankan (Assigned Amount Units, AAUs), pengurangan emisi yang mendapat jaminan (Certified Emissions Reduction, CER), satuan pengurangan emisi (Emissions Reduction Unit, ERU), dan satuan-satuan yang dialihkan melalui perdagangan (Removal Unit, RMU). Laporan akan ditinjau oleh tim ahli. Sehubungan dengan mekanisme-mekanisme ditetapkan bahwa mekanisme yang tersedia digunakan menurut prinsip integritas lingkungan dan hanya berperan sebagai pelengkap untuk kebijakan dalam negeri sendiri, bukan menggantikan. Mekanisme ini meliputi implementasi bersama (joint implementation, artikel 6). Sedang untuk perdagangan karbon ditetapkan bahwa negara-negara Annex I minimum wajib mencapai 90% dari target yang dibebankan melalui usahanya di dalam negeri sendiri. Desakan untuk segera mengaktualisasikan proyek CDM ditanggapi dengan janji negara-negara Canada, Jepang, Jerman, Italia dan Spanyol untuk segera mengisi kas CDM lebih dari AS$ 8 juta. Ada usulan untuk cukai AS$0,20 untuk setiap CER, yang disanggah agar tidak pro-rata melainkan ada diferensiasi. Akhirnya diterapkan pola progresif, untuk proyek dengan 15.000 CER pertama dikenakan cukai AS$0,10 sedang selebihnya dikenakan AS$0,20 tiap CER. Di akhir COP/MOP diharapkan kesepakatan segera bergulir memenuhi tiga “I”, Implementasi, Improvement (Perbaikan kemajuan), dan Innovation (mendorong pembaruan di banyak bidang).
Pada tahun 2006 tercatat 189 negara telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Dalam Kerangka Konvensi Perubahan Iklim itu, Protokol Kyoto yang berlaku tahun lalu telah menerima ratifikasi dari 166 negara anggota Konvensi. Jumlah penerimaan komunitas internasional yang makin meningkat dan patut dibanggakan mengingat pentingnya Protokol bagi kerjasama antar-bangsa untuk stabilisasi iklim dunia, walau ditolak oleh AS (2001). Paralel dengan upaya stabilisasi iklim dunia, mengikuti kerangka Protokol Kyoto, 22 negara-sedang- berkembang mengadakan percakapan menyangkut alih-teknologi dan dana untuk perolehan dan penyebaran teknologi tepatguna di Kapama Lodge, Kruger National Park, Afrika Selatan, 17-21 Juni 2006. KTT G8/2006 di St. Petersburg, Rusia, 15-17 Juli dalam hal energi antara lain menetapkan komitmen untuk mengurangi emisi GRK. Ketetapan itu ditindak lanjuti para menteri dalam pertemuan 20 negara emitor besar di Monterrey, Mexico, 3-4 Oktober, memerinci teknologi dan aspek ekonomi pengurangan emisi GRK.
FCCC-COP ke-12 diselenggarakan pada November 2006 di Nairobi-Kenya. “UN Climate Change Conference – Nairobi 2006” menjadi payung konferensi para pihak. Bagi para peserta COP ini lebih dikenang sebagai “COP Afrika”, lebih tepatnya “persiapan adaptasi Afrika” pada perubahan iklim. Afrika adalah wilayah pihak yang paling kecil perannya dalam menyebabkan perubahan iklim melalui emisi CO2, namun akan paling banyak dirugikan oleh dampak perubahan iklim dunia. Maka Afrika paling layak menuntut “keadilan iklim” kepada dunia. Pembicaraan dan keputusan yang diambil diharapkan membawa nuansa mendesaknya implementasi, fleksibilitas mekanisme dalam protokol diarahkan kepada persetujuan menyangkut Dana Adaptasi (Adaptation Fund), Program Kerja Nairobi tentang Adaptasi, Kerangka Nairobi tentang Pembinaan Kapasitas Adaptasi, khususnya menyangkut CDM atau Clean Development Mechanism yang khusus untuk Afrika diharapkan porsi proyek yang lebih memadai, dan Implementasi Bersama. Negara-negara Afrika dengan gigih dan “berhasil” memerjuangkan “konsesi” negara-negara maju untuk mengucurkan dana awal yang merupakan bantuan bagi negara-negara terbelakang, negara-negara Afrika dan negara pulau kecil. Selain itu juga dibicarakan aspek-aspek menyangkut kepatuhan pada Protokol, usul tentang amendemen Protokol, dan pembinaan kapasitas. Amandemen pertama atas Protokol membolehkan Belarus melanjutkan komitmen pengurangan emisi di bawah Annex B Protokol Kyoto [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006]. Berdasar Artikel 9, suatu usul Tinjauan disampaikan Federasi Rusia berkenaan dengan prosedur untuk komitmen pengurangan emisi sukarela dari negara non-Annex I. Semakin tampak dalam COP/MOP Nairobi, bukan hanya satu jalur perangkat prosedur operasional pelaksanaan Protokol Kyoto mengenai apa yang akan dilakukan untuk periode pasca-2012 oleh negara-negara Annex I. Namun jalur kedua makin jelas mengemuka, yaitu program adaptasi, terutama di negara-negara sedang berkembang. Dari dua jalur itu muncul jalur ketiga: perdagangan karbon, yang ditegaskan dari kata-kata tiga “jika” seorang eksekutif UNFCCC: (1) “jika” negara-negara maju bertekat untuk mengurangi emisi hingga 60-80% pada tahun 2050, dan (2) “jika” separoh kuantitas pengurangan emisi itu dilakukan negara maju dengan membeli proyek pengurangan karbon dari negara-negara sedang berkembang, dan (3) “jika” harga per ton karbon adalah AS$10 maka dana sebesar AS$100 milyar setahun akan beredar untuk program “penghijauan” (greening) secara masif portofolio energi di negara-negara sedang berkembang, seperti yang diisyaratkan IEA (International Energy Agency), untuk menggantikan pembangkit listrik energi minyak – gas dan batubara.
IPCC mempunyai tiga kelompok kerja (pokja atau Working Group/WG). Pokja/WG I dari IPCC membidangi aspek keilmuan dari sistem iklim dan perubahan iklim. Pokja/WG II membidangi soal penanganan kerentanan sosio-ekonomi sistem alam pada perubahan iklim, akibat positif dan negatif perubahan iklim dan pilihan adaptasi. Pokja/WG III membidangi pilihan-pilihan pengurangan emisi GRK atau mitigasi perubahan iklim. Pada awal tahun 2007 Pokja/WG I menyerahkan hasil laporan penilaian situasi terbaru (assessment report) yang keempat, atau AR4: Climate Change 2007: Physical Science Basis, kepada IPPC. Teks laporan ini menjadi bahan tinjauan dan bahasan dalam empat hari hingga awal Februari 2007. Dua bulan kemudian Pokja/WG II menyampaikan hasil laporan mereka dalam rangka AR4, berjudul “Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability,” yang kemudian ditinjau dan dibahas IPCC pada April 2007. Asosiasi para walikota Kota Besar Dunia yang disebut C40 bersama Clinton Climate Initiativemenyelenggarakan “Large Cities Climate Summit” yang kedua di New York 14-17 May 2007. Anggota C40 adalah Addis Ababa, Bangkok, Beijing, Berlin, Bogotá, Buenos Aires, Cairo, Caracas, Chicago, Delhi, Dhaka, Hanoi, Hong Kong, Houston, Istanbul, Jakarta, Johannesburg, Karachi, Lagos, Lima, London, Los Angeles, Madrid, Manila, Melbourne, Mexico City, Moscow, Mumbai, New York, Paris, Philadelphia, Rio de Janeiro, Roma, Sao Paulo, Seoul, Shanghai, Sydney, Toronto, Tokyo, dan Warsawa. Pada bulan Mei UNFCCC mengadakan workshop di Bonn bertajuk “Dialog tentang tindakan kerjasama jangka panjang demi mengatasi perubahan iklim dengan percepatan implementasi Konvensi”. Bahkan Dewan Keamanan (Security Council) PBB pun ikut melakukan pertemuan bertema perubahan iklim tahun ini. 50 negara anggota berbicara. Sebagian delegasi mempertanyakan mengapa Dewan Keamanan menjadikan perubahan iklim isyu keamanan, sebab pada hakekatnya adalah persoalan sosial-ekonomi dan sudah ditangani Sidang Umum (General Assembly). Kebanyakan anggota lainnya setuju membicarakan aspek keamanan sebagai dampak dari perubahan iklim. Tak dapat disangkal bahwa ada gangguan keamanan lintas batas termasuk masalah konflik dan pengungsi karena dampak geologis dan biologis dari iklim yang berubah atas ekosistem di beberapa wilayah. Dalam forum ini Uni Eropa menyatakan lagi kesanggupan untuk mengurangi emisi GRK sampai tahun 2020 hingga 20% di bawah level 1990, bahkan 30% sampai tahun 2030, jika negara-negara maju lainnya melakukan komitmen yang sama. Suatu workshop tentang pemantauan dan evaluasi kegiatan pembinaan kapasitas di negara-negara berkembang diselenggarakan di St. John’s, Antigua dan Barbuda, 5-6 November 2007.
Protokol Kyoto telah menerima 6 ratifikasi baru, sehingga pada ulang tahunnya yang ke-10 di tahun 2007, sudah 172 negara melakukan ratifikasi Protokol Kyoto. COP ke-13 Konvensi Perubahan Iklim diselenggarakan pada bulan Desember 2007 di Bali-Indonesia dihadiri delegasi 188 negara anggota Konvensi. Dengan payung yang lebih besar sebagai The “United Nations Climate Change Conference in Bali”; pertemuan sekaligus merupakan pertemuan para pihak (MOP-3) Protokol Kyoto. COP/MOP Bali sekaligus mewadahi rapat badan-badan penunjang yaitu Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)dan Subsidiary Body for Implementation (SBI), yang biasanya dilakukan terpisah. Begitu juga Ad Hoc Working Group untuk Annex I Protokol Kyoto pun melakukan sidang di Bali. Nuansa keserentakan, urgensi dan tanggungjawab diharapkan mendorong tindakan implementasi yang lebih cepat di pihak para peserta. Keberadaan kelompok-kelompok kerja di satu tempat memudahkan kontak, diskusi informal dan perundingan-perundingan untuk maju lebih jauh, meliputi empat blok bangunan sistem penanggulangan perubahan iklim: dialog, mitigasi, adaptasi dan teknologi/keuangan. Hasil lengkap asesmen atas situasi terbaru disampaikan IPCC, yaitu AR4, Climate Change 2007. Pada titik ini pihak-pihak dalam Konvensi sampai di persimpangan jalan: apakah akan melanjutkan upaya kesepakatan global atau akan mengkhianati generasi anak-cucu. Diharapkan pilihan yang tepat. Perundingan terutama terkait dengan keputusan negara-negara “menurut situasi dalam negeri” masing-masing apakah akan ikut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim, mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca, baik pada kelompok Annex-I, dan non-Annex-I yang bermaksud melakukan komitmen sukarela. Berbagai pihak menyambut baik pengembangan dasar yang adil dan seimbang yang disebut Bali Road Map ini untuk menyusun langkah proaktif ke depan. AS sebagai pihak dalam Konvensi mengembangkan target jangka panjang dalam pengurangan emisi, dan dengan serius memikirkan wacana pihak lain untuk mencapai tingkat pengurangan emisi global 50% dari level 1990 pada tahun 2050. Keputusan penting lainnya terkait dengan kemajuan program adaptasi terhadap perubahan iklim menurut COP Nairobi dan finalisasi Dana Adaptasi menurut Konvensi, keputusan tentang langkah pendorong pengurangan emisi di negara sedang berkembang khususnya terkait program REDD (pengurangan emisi akibat deforestasi dan kerusakan hutan), transfer teknologi, pembinaan kapasitas, mekanisme yang fleksibel dalam Protokol Kyoto, dampak negatif upaya mengatasi perubahan iklim, dan berbagai soal metodologi [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2008].
Fokus utama Bali terdiri dari dua jalur yang berjalan paralel: (1) suatu kerja sama jangka panjang semua pihak untuk rencana strategis pengurangan emisi GRK secara lebih agresif, dan (2) hal-hal yang akan dilakukan pihak-pihak dalam Annex I setelah komitmen periode pertama Protokol Kyoto habis (2012). Rancangan Bali Road Map yang mengarahkan komitmen selanjutnya dari pihak-pihak diharapkan agar dengan bantuan Ad-Hoc Working Group (AWG) diselesaikan dan disahkan dalam waktu dua tahun kemudian (2009) dalam FCCC-COP ke-15 di Copenhagen. Sidang juga membuat garis besar rancangan tinjauan kedua atas ketentuan Protokol Artikel 9 yang diusulkan Rusia, dan membicarakan “Russian proposal” tentang komitmen pihak-pihak dalam pengurangan emisi GRK secara suka rela. Indonesia menyampaikan informasi/komunikasi nasional rencana aksi menghadapi perubahan iklim, yang pertama, kepada UNFCCC.
Selepas CMP Bali semangat dunia untuk bekerja mengatasi perubahan iklim menyala besar. Terutama dalam rangka melancarkan tindakan adaptasi menurut Konvensi (artikel 4) dan menurut Protokol Kyoto. Menurut keputusan CMP Bali (Decision 1/CMP.3 FCCC/KP/CMP/2008/11/ Add.2 Adaptation Fund) operasionalisasi Dana Adaptasi (AF, Adaptation Fund) dilaksanakan oleh Adaptation Fund Board (AFB), dilengkapi suatu Sekretariat dan pengelola Trust (dana titipan). Atas kehendak Pihak-pihak Global Environment Facility (GEF) menyediakan jasa sekretariat, dan Bank Dunia (World Bank) menjadi pengelola Trust Dana Adaptasi, keduanya untuk sementara saja (FCCC/KP/CMP/2007/9/Add.1 p.3). Tanpa ayal lagi Dana Adaptasi segera diselenggarakan untuk memberikan dana penuh (full costs) bagi proyek-proyek dan program adaptasi perubahan iklim dari negara sedang berkembang peserta Protokol Kyoto yang rentan terhadap akibat merugikan dari perubahan iklim. Sesungguhnya langkah awal Dana Adaptasi telah diayunkan dalam COP-7 di Marrakesh (Maroko) tahun 2001. Namun karena debat kontroversial yang berlarut-larut terhadap ide itu, barulah enam tahun kemudian dalam MOP-3 Protokol Kyoto di Bali-Indonesia 2007, parameter pokok lembaga itu disepakati dan Adaptation Fund Board ditetapkan. Pada bulan Maret 2008, AFB mulai bekerja dan mengembangkan peraturan dan pedoman operasi. Menurut pedoman dan kebijakan operasional Dana Adaptasi (AF), yang dimaksud proyek adaptasi konkret adalah “seperangkat kegiatan yang dimaksudkan untuk mengatasi dampak dan risiko yang merugikan dari perubahan iklim”, sedangkan program adaptasi adalah “suatu proses, rencana atau pendekatan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang lebih luas dari lingkup suatu proyek saja”. (Lihat Adaptation Fund Board (AFB), 2009a: hal. 4 par. 7-9). UNFCC juga mengadakan pertemuan pakar mengenai metode dan sarana pengamatan dan pendataan dampak, kerentanan dan aksi adaptasi di Mexico City, Maret 2008. Hasil pertemuan dibawa dalam sidang badan penunjang UNFCCC (SBSTA) bulan Juni 2008. Berhubungan dengan “World Health Day” (Hari Kesehatan Sedunia) 7 April 2008, diusahakan WHO untuk meningkatkan kesadaran, memajukan kemitraan sehubungan dengan perubahan iklim dan kesehatan, dengan menunjukkan hubungan antara kesehatan masyarakat dan perubahan iklim untuk mencetuskan komitmen dan tindakan. Dari 10-13 Mei 2008, di Alexandria, Mesir, GEF menyelenggarakan workshop pertukaran pengalaman dalam penilaian proyek dan program sebagai titik hubung antara perubahan iklim dan pembangunan. Workshop ini dimaksudkan untuk merealisasikan potensi penilaian sebagai sumbangan untuk tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sedang antara 25-28 Agustus 2008, di Umeå, Swedia, FAO, bekerjasama dengan International Union of Forest Research Organizations (IUFRO) dan Swedish University of Agricultural Sciences menyelenggarakan seminar tentang situasi pengetahuan tentang perubahan iklim di berbagai wilayah yang berbeda di dunia dan implikasinya atas kesehatan hutan, manajemen hutan dan konservasi hutan. Pada tahun 2008, Indonesia membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).
Perhatian dunia kembali tertuju pada sidang FCCC-COP ke-14 yang antara 1-12 Desember 2008 yang diselenggarakan di Poznan. Setahun sesudah konferensi Bali yang historis untuk perubahan musim, perundingan saat ini adalah setengah jalan menuju Bali Road Map, yang diluncurkan sebagai proses dua-tahun untuk lebih menguatkan kerjasama internasional dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Bahasan dan keputusan berkenaan dengan Dana Adaptasi menurut Protokol Kyoto, transfer teknologi, Clean Development Mechanism (CDM), pembinaan kapasitas, komunikasi nasional, dan berbagai soal metodologi. Pada akhir 2008, pihak yang meratifikasi Protokol Kyoto meningkat jadi 177 negara. MOP-4 Protokol Kyoto di Poznan 2008, ditandai dengan peresmian operasionalisasi sepenuhnya Dana Adaptasi. International Civil Aviation Organization (ICAO, organisasi penerbangan sipil internasional) menyampaikan pernyataan ikut mendukung usaha-usaha pengurangan emisi CO2. Dalam sektor penerbangan,dari total emisi, industri penerbangan menghasilkan emisi 2%. Usaha inovasi penghematan bahan bakar telah dilakukan industri hingga 70% dan tak bisa lebih. Efisiensi bahan bakar tetap harus sejalan dengan keamanan terbang. Namun sedang diupayakan bahan bakar pengganti bahan bakar fossil. Fokus utama perundingan Poznań adalah kerjasama jangka panjang dan komitmen untuk periode pasca-2012 period, setelah Protokol Kyoto tahap pertama usai. Ketika di Bali Desember 2007, sudah disepakati “Bali Action Plan” dan “Roadmap” yang menetapkan COP-15 Desember 2009 sebagai tenggat waktu untuk menyepakati kerangka tindakan pasca 2012 [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2010]. Maka Poznań merupakan setengah jalan menuju tenggat waktu Desember 2009 itu. Para perunding umumnya begitu tertekan oleh tenggat waktu akhir 2009 yang telah ditentukan, tinggal 11 bulan saja. Walau di Poznań perundingan menghasilkan kemajuan, namun tidak ada terobosan yang berarti. Perundingan sesungguhnya dibayangi oleh situasi krisis keuangan yang makin memburuk, sehingga sebagian peserta menganggap COP 14 ini sebagai korban krisis. Namun berita kemenangan Barack Obama dalam Pemilu Presiden A.S. mendatangkan optimisme, sementara delegasi Amerika Serikat yang masih mewakili pemerintahan Presiden Bush terlihat lesu.
Dari awal tahun 2009 kegiatan dalam rangka perubahan iklim terus bergulir IPCC bersama Norwegian Pollution Control Authority menyelenggarakan seminar tentang “Extreme Events And Disasters: Managing The Risks” 23-26 Maret 2009. Dewan Dana Adaptasi mengadakan pertemuan kelima 24-27 Maret 2009, di Bonn, untuk proyek dan program adaptasi yang konkret di negara-negara sedang berkembang untuk Protokol Kyoto. Badan kelengkapan Protokol Kyoto sejak MOP Bali, Ad Hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action (AWG-LCA) dan Ad Hoc Working Group Kyoto Protocol (AWG-KP) untuk Komitmen Selanjutnya negara-negara Annex I antara 30 Maret hingga 8 April 2009, mengadakan rapat kerja di Bonn. Bahasan menyangkut semua sub-paragraf 1(b) Bali Action Plan, yakni: 1(b)(i) mitigasi oleh negara maju; 1(b)(ii) mitigasi oleh negara berkembang; 1(b)(iii) (REDD+); 1(b)(iv) pendekatan sektoral; 1(b)(v) pendekatan berbasis pasar; 1(b)(vi) konsekuensi langkah tanggapan ; and 1(b)(vii) peran Konvensi sebagai katalis. Makin jelas dalam diskusi, soal adaptasi berkenaan dengan konsep “nationally appropriate mitigation actions” (NAMA), atau langkah mitigasi yang sesuai secara nasional dari negara berkembang. Juga semakin dirinci soal “reducing emissions from deforestation and forest degradation” (REDD) dan perbedaannya dengan apa yang disebut “REDD+,”(plus konservasi). Sementara itu terdengar berita bahwa dorongan President Obama untuk program jalur cepat “fast-track” perubahan iklim ditolak Congress Amerika Serikat. Walau bukan peserta Protokol Kyoto, namun kesanggupan AS dalam angka untuk mengurangi emisi ditunggu-tunggu negara-negara maju sebagai kebijakan bandingan. Karena penolakan Conggress, ciut pula nyali pihak negara-negara maju lainnya, sehingga mereka tidak menyampaikan angka kesanggupan untuk mengurangi emisi pasca 2012. Ini membuat pihak-pihak negara sedang berkembang makin tidak sabar. Erat kaitannya dengan komitmen mitigasi itu adalah mekanisme pasar dan aturan perhitungan LULUCF serta soal mekanisme yang fleksibel. Karena adanya kait mengait itu pembicaraan tentang target-target nyaris tidak bergerak dan lamban sekali. IPCC menyelenggarakan pertemuan 21-23 April 2009, di Antalya, Turkey, untuk persiapan penilaian situasi perubahan iklim hingga 2012. Untuk soal adaptasi diselenggarakan workshop tentang diversifikasi ekonomi 28-30 April 2009, di Cairo, Mesir, untuk mengurangi kerentanan sektor-sektor ekonomi. Pertemuan Kota Besar Dunia C40 (Jakarta termasuk di dalamnya) diselenggarakan 18-21 Mei 2009 di Seoul, Republik Korea. Tema pertemuan C40 adalah “Cities’ Achievements and Challenges in the Fight against Climate Change.” Pada Juli 2009 kelompok Forum Negara-negara Ekonomi Utama (Major Economies Forum, MEF) yang juga diikuti Indonesia secara khusus membahas agenda iklim, dan para kepala negara melakukan pertemuan di kota Aquila, Italia, dan menerima sasaran untuk membatasi peningkatan suhu global pada tingkat 2o C di atas masa pra-industri. Pertemuan meluncurkan program kemitraan global dalam teknologi yang rendah-karbon dan ramah lingkungan, melakukan koordinasikan investasi sektor publik untuk pengembangan teknologi ini dengan visi meningkatkan investasi ini 100% pada 2015.
Perundingan masyarakat dunia mengenai perubahan iklim berlanjut dalam FCCC-COP ke-15 yang pada 7-19 Desember 2009 diselenggarakan di Copenhagen-Denmark. Konvensi telah diratifikasi oleh 192 negara. Sedang Protokol Kyoto menerima ratifikasi dari 184 negara. COP-15 dihadiri peserta yang membludak, menunjukkan perhatian dan harapan yang makin besar. Konferensi Copenhagen diharapkan menjadi puncak dari perundingan-perundingan setelah dua tahun dari kesepakatan Bali, ketika komunitas internasional mencapai komitmen yang mengikat secara hukum untuk membatasi emisi gas rumah kaca yang akan diberlakukan sejak 2012 nanti. Sidang ini yang semula seret dan tegang, negosiasi yang ketat, tanpa angka-angka yang tegas dan mengikat, akhirnya merupakan KTT Iklim PBB yang “sukses” menentukan kesepakatan global masa depan untuk rencana yang adil, agresif dan mengikat dalam menekan emisi karbon demi menghadapi perubahan musim [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2010]. Indonesia dengan semangat tinggi menyerahkan komunikasi/informasi rencana aksi nasional dalam rangka perubahan iklim kepada Konvensi. Walau sebagian para peserta yang progresif menyatakan perundingan “hancur”, “mimpi yang jatuh berkeping-keping”, jauh dari kesepakatan nyata [Oxfam.2009], namun optimisme tetap ada ketika para pemimpin negara berjabat tangan dan dikatakan berhasil “seal the deal”, dengan dilahirkannya ‘Copenhagen Accord’ yang lebih bersifat politis, merapikan jalan menuju perundingan selanjutnya. Menjadi dasar bagi tahun-tahun selanjutnya untuk membuat terobosan yang makin lancar. Untuk pertama kalinya AS, Brazil, India, China, Afrika Selatan (negara-negara BASIC) dan negara-negara ekonomi besar sepakat dan “menjanjikan” komit hendak melakukan tindakan konkret dan dapat diandalkan untuk mengurangi emisi GRK, walau sekarang belum terinci (Lorraine Elliot, 2010). Namun ‘Copenhagen Accord’ memang tidak jelas statusnya apakah akan ditindaklanjuti, sebab tidak mendapat konsensus pihak-pihak, dan hanya dianggap “diperhatikan” (noted).
Pada April 2010, sepakat tidak menyebut ‘Copenhagen Accord’ 2009 yang statusnya menggantung tak jelas, badan penunjang AWG-Protokol Kyoto melakukan pertemuan di Bonn, meneruskan mandat COP Bali 2007 tentang komitmen selanjutnya negara-negara Annex I untuk merumuskan angka-angka agregat dan masing-masing negara dalam rangka pengurangan emisi GRK. Pihak-pihak berusaha dengan keras, bahkan bersedia secara maraton hingga bulan Juni atau September, demi untuk menghasilkan sesuatu bahan persiapan yang matang untuk COP tahun ini agar membalikkan situasi, jika dalam COP Copenhagen “tak seorang pun menyetujui sesuatu”, dalam COP mendatang nanti justru “tak ada sesuatu yang tidak disetujui seorang pun”. Keinginan semua pihak untuk mendapat kemajuan dalam perundingan iklim juga tampak dengan diadakannya “World People’s Conference on Climate Change and the Rights of Mother Earth” 19-22 April 2010 di Cochabamba, Bolivia, yang dihadiri lebih dari 35.000 peserta dari pelbagai gerakan dan organisasi sosial dari 140 negara. Perhelatan yang diprakarsai Bolivia dan bercorak sosialis itu membahas antara lain: utang iklim negara maju, keselarasan dengan alam, hak-hak Ibu Bumi, suatu referendum global tentang perubahan iklim, bahaya pasar karbon, pengungsian akibat iklim, adaptasi, pengurangan emisi dan perlunya mahkamah pengadilan iklim. Konferensi merumuskan “Kesepakatan Rakyat Dunia di
Cochabamba” serta naskah usulan “Deklarasi Universal Hak-hak Ibu Bumi,” yang disampaikan kepada AWG-LCA oleh Bolivia (FCCC/AWGLCA/ 2010/MISC.2). “Kesepakatan Rakyat” itu menuntut, antara lain, agar rata-rata peningkatan suhu global dibatasi maksimum 1°C, dengan visi masa depan untuk kembali sedekat mungkin dengan situasi iklim pra-industri. Sebulan kemudian dari sektor kehutanan “Konferensi Iklim Hutan OSLO” 27 Mei 2010 di Oslo, Norwegia, yang dihadiri wakil-wakil 50 negara menyepakati kemitraan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan plus konservasi dan usaha percepatan penyerapan karbon oleh hutan (REDD+). Kesepakatan ini mewujudkan maksud negara mitra dalam membuat terobosan, berupa forum sementara bagi peningkatan langkah upaya REDD+ dan pendanaannya, sementara negosiasi dunia tentang REDD+ masih berlangsung di bawah ketentuan UNFCCC.
Pada 2010 negara-negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) mencapai 194 negara. Dari jumlah itu 192 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto. COP ke-16 diselenggarakan antara November – Desember 2010 di di Cancun dan menghasilkan Cancun Adaptation Framework. Focus COP-MOP Cancun adalah negosiasi dua jalur paralel (1) untuk kerjasama jangka panjang dan (2) peningkatan komitmen menurut Protokol Kyoto. Tenggat waktu yang mulanya dipatok pada konferensi Copenhagen 2009, karena banyak persoalan tidak beres, ditangguhkan hingga konferensi Cancun. Maka perundingan Cancun diharapkan minimal menyelesaikan pasal-pasal yang masih menggantung agar menjadi mengikat secara hukum. Ternyata COP-MOP Cancun membuat kemajuan besar dalam banyak hal: mitigasi, adaptasi, pendanaan, teknologi, pengurangan emis dari deforestasi dan kerusakan hutan di negara berkembang, termasuk konservasi, manajemen hutan yang berkelanjutan dan peningkatan stok karbon hutan (REDD+) serta tentang upaya monitoring, pelaporan dan verifikasi (MRV) dan konsultasi dan analisis internasional (ICA). Suatu hal yang paling menonjol adalah ketika komitmen upaya mitigasi negara-negara Annex I dirasa kurang, komitmen upaya adaptasi dari semua negara mencukupkannya hingga berlebihan. Maka dokumen “Cancun Agreements” meliputi ketentuan-ketentuan tentang adaptasi, REDD+, teknologi, mitigasi dan pendanaan, dan jalur ganda yang diharapkan sejak konferensi Bali: kerjasama jangka panjang dan peningkatan komitmen pengurangan emisi [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2011]. Lembaga pendanaan “Green Climate Fund” mendapatkan kesepakatan [Redbaiter. 2010]. Dunia kini berada pada jalur usaha yang tepat agar pemanasan bumi hingga tahun 2100 bertambah hanya pada kisaran 3-4o C di atas angka tahun 1990, dan dengan demikian dapat menekan paparan risiko pada ketahanan pangan, persediaan air bersih, serta frekuensi dan intensitas badai. [BERSAMBUNG]