Oleh Bambang Kussriyanto
3. Geosfer
Bumi, planet yang paling besar dan paling padat batuan, diperkirakan terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu. Bumi di dalam perjalanan waktu mengalami evolusi geologis, mulai dari intinya. Unsur-unsur di dalamnya berkembang, mulai dari sedikit hingga menjadi banyak. Sebagai planet berbatu-batu bagian dalam bumi terdiri dari empat lapisan: bagian inti bumi yang terdalam adalah bagian asli berisi mineral kondrit intan, besi (Fe)dan nikel (Ni) padat. Pada zaman yang disebut “solar system” antara 5 – 4,5 milyar tahun yang lalu, bumi bersifat meteorik dengan batuan bulan asli. Inti bumi dihujani unsur-unsur debu meteor angkasa. Proses thermal sinar matahari yang amat panas membuat debu-debu meleleh, diaduk proses yang mengandung air dan bersifat akondrit menghasilkan kristal-kristal unsur mineral baru. Mula-mula adalah campuran besi-nikel, sulfida, fosfida, oksida dan silikat. Demikianlah maka kemudian di atas inti bumi yang padat terdapat lapisan inti bumi bagian luar berisi besi dan nikel yang bersifat cair. Selanjutnya, evolusi penggabungan debu-debu meteorik menimbulkan sekitar 60 mineral purba termasuk uranium, belirium, emas, arsen, timbel, filosilikat, hidroksid, sulfat, karbonat, quartz, fosfat. Perkembangan selanjutnya antara 4,5 milyar dan 4 milyar tahun yang lalu melalui proses magmatik yang memicu fraksi-perekahan, vulkanisme dan penghembusan gas serta hidrasi permukaan, menghasilkan 250 jenis mineral lagi, yang membentuk dasar lapisan ketiga, mantel bumi. Dalam periode 500 juta tahun kemudian hingga 3,5 milyar tahun yang lalu pada lapisan mantel bumi yang terutama berisi batuan silikat padat berlangsung proses pembentukan granit dan lempeng tektonik bagaikan kemasan luar bumi yang sangat kuat, bijih-bijih yang bersifat hidro-thermal menjadi ada, juga mineral-mineral metamorfosis, sehingga jumlah mineral berkembang menjadi 1.500 yang setelah terjadi masa pendinginan dan pemadatan, menjadi dasar lapisan kerak bumi, lapisan litosfer. Pada masa selanjutnya terutama sejak 3,5 milyar – 2,5 milyar tahun yang lalu, setelah pengendapan unsur-unsur logam, berlangsung proses biologi anoksik, karbonasi, sulfasi, penguapan, proses bio-geo-kimia membuat perkembangan jumlah mineral berlipat ganda, sehingga sekarang terdapat 4.500 jenis mineral yang dikenal, dan entah berapa lagi yang belum dikenal dan tidak diketahui namanya. Setiap tahun muncul 50 spesies mineral baru.
Dalam siklus karbon geologis, pada litosfer terjadi gerakan (flux) antara atmosfer, batuan dan mineral, serta air laut. Karbon dioksid atmosfer bereaksi terhadap beberapa mineral dan membentuk mineral kalsium karbonat (kapur). Mineral ini kemudian terurai oleh air hujan dan melalui aliran sungai dibawa hanyut hingga sampai ke laut. Suatu ketika CO2 mineral ini sebagian terbawa uap air laut naik ke atmosfer, namun sebagian ampasnya membuat endapan di dasar laut. Ketika lempeng tektonik dangkalan bumi bergerak karena proses tektonik yang membuat bumi mengalami gempa, sedimen terdesak masuk ke dalam lapisan tanah di bawah daratan (subduksi). Karena proses magmatik, panas dan tekanan yang besar dari dasar bumi naik ke permukaan, kapur pun meleleh dan bereaksi dengan mineral lainnya, melepaskan CO2. Karbon dioksid ini oleh bumi kemudian dilepaskan ke atmosfer melalui letusan gunung berapi.
Litosfer
Rupa permukaan bumi baik darat maupun laut beraneka ragam reliefnya karena kompleksnya bumi kita. Lapisan luar permukaan bumi kita disebut litosfer (lithos=batu), atau kerak bumi. Di situ umumnya terdapat batuan yang dibangun oleh mineral. Seperti semua benda padat yang tidak hidup, mineral terdiri dari unsur-unsur atom. Mulanya hanya ada sedikit mineral di bumi, seperti sudah diuraikan di atas, lama-lama berkembang menjadi banyak, dari belasan menjadi 60 mineral purba, lalu berkembang terus hingga sekarang hampir 5.000 spesies. Mineral berbeda-beda menurut struktur kelompok kristal atomnya. Proses-proses menghasilkan ragam batuan beku, atau tanah yang berbeda. Maka kita mendapatkan batuan atau tanah hitam, tanah merah, tanah hijau, tanah putih, di permukaan bumi. Keanekaragaman spesies mineral terutama terdapat dalam lapisan bumi dari permukaan hingga sekitar 300 km di bawah tanah. Keberadaan mineral berupa batuan beku dan lokasinya di muka bumi di satu pihak ditentukan oleh proses-proses endogen geologi yang menyebabkan bumi berkerut, mengembang, melipat permukaannya, menimbulkan dislokasi pergeseran tanah, gunung dan pegunungan, lembah dan dataran rendah, bibir laut, lantai laut dan relung laut. Di pihak lain pembentukan muka bumi juga dibantu oleh proses eksogen dari luar bumi.
Pelapukan fisis di permukaan bumi juga terjadi karena perkembangan kristal, peningkatan thermal, pembengkakan kelembapan, abrasi dll. Mengubah rupa mineral menjadi lempung, atau batu besar, atau kerikil dan pasir. Selain itu juga terjadi pelapukan kimiawi yang menyebabkan mineral terdekomposisi (terurai) karena perubahan daya larut yang membuat strukturnya menjadi rapuh dan mudah terpecah. Misalnya proses hidrasi atau pengikatan molekul air, yang membuat volume meningkat tetapi kekuatan melemah; hidrolisis atau proses pergantian kation-kation dengan ion hidrogen dan melalui ionisasi kondisi struktur mineral melemah, lapuk; karbonatasi atau reaksi asam karbonat dengan basa-basa membentuk basa karbonat, dan asidifikasi atau proses pengasaman bebatuan, sama-sama memercepat proses pelapukan, misalnya pengasaman akibat asam nitrat yang terbawa air hujan, dan pengasaman akibat asam sulfat hasil dekomposisi protein. Juga proses perubahan struktur oksidasi-reduksi, yaitu penambahan oksid yang menyebabkan ukuran berkembang namun mengurangi atau mengurangi muatan positif.
Selanjutnya pada permukaan bumi terjadi perkembangan profil dengan terbentuknya lapisan tanah baru yang disebut horizon, melalui pengendapan. Batuan sedimen terjadi setelah partikel mineral atau subtansi terlarut berproses menjadi padat atau tersementasi (cemented) menjadi massa yang keras. Material yang menjalankan proses sementasi menentukan nama batuan sedimen. Misalnya :
Kalkareous untuk karbonat menimbulkan pasir kalkareous; Ferruginous untuk oksida besi; Siliceous untuk silika (SiO2). Terjadilah misalnya batuan konglomerat, gipsum, kristal garam, dan batu pasir (sandstone). Sedimen-sedimen kemudian terbawa air ke laut, berlapis-lapis, dan mengikut gerakan lempeng tektonik dalam waktu geologis, beralih tempat masuk ke bawah daratan benua-benua.
Sebagian sinar matahari dan gas-gas dalam atmosfer berinteraksi dengan geosfer mengikuti proses-proses fisika, berhubungan dengan semua mineral, batuan, lipatan, sedimen, dan tanah. Massa tanah memengaruhi aliran udara dari atmosfer dan air dari laut melalui morfologinya (yaitu topografi, tutupan vegetasi dan reliefnya), siklus hidrologinya (yaitu kemampuannya menyerap dan menyimpan air) dan kandungan radiatifnya sebagai material (baik padat, cair, maupun gas) yang ditiup angin atau yang dilontarkan dari dalam bumi ketika gunung meletus.
Proses pelapukan mineral yang terpapar di permukaan tanah sebagai batuan beku penting untuk menentukan jumlah CO2 yang berada dalam reservoir penampungan dekat permukaan. Pelapukan mineral silikat menyerap karbon dioksid (CO2) asam: CaSiO3 + 3H2O + 2CO2 = Ca2+ + 2(HCO3-) + H4SiO4 [1] di mana wolastonit + air + karbon dioksid menghasilkan kalsium + bikarbonat + asam silika. Bergantung pada suhu yang ada, makin panas, makin cepat pelapukannya. Hasil reaksi ini selanjutnya dalam pembasuhan melalui siklus hidrologi hujan, akhirnya terbawa masuk ke laut. Di laut asam silika dimanfaatkan oleh organisme plankton laut yang bersifat silikat (karang, siput/keong, kerang, dll); ion kalsium dan bikarbonat diserap dan disenyawakan oleh organisme lain, membentuk kalsit dan lucutan karbon dioksid yang dilepas ke atmosfer: Ca 2+ + 2(HCO3-) = CaCO3 + H2O + CO2 [2]. Sementara melalui proses ini CO2 dikembalikan ke atmosfer, yang lain diendapkan dalam bentuk kapur (CaCO3), dan proses ini menghasilkan pengurangan suhu atau pendinginan yang memberi kontribusi kepada stabilisasi iklim bumi.
Bagian terbesar jumlah karbon di bumi tersimpan di dalam batuan sedimen dalam mantel bumi. Batuan ini terjadi baik karena pengerasan (sementasi) lumpur yang bermuatan materi organik menjadi shale setelah melalui masa geologis, atau karena berhimpunnya partikel kalsium karbonat dari cangkang dan kerangka organisme laut, menjadi batu kapur, atau batuan sedimen lainnya. Seluruh batuan sedimen dalam perut bumi menyimpan antara 85-100 juta PgC (1Petagram carbon = 1 milyar ton karbon). Sebanyak 4.000 PgC tersimpan di perut bumi sebagai hidrokarbon atau bahan bakar fossil yang terbentuk selama jutaan tahun.
Hidrokarbon atau bahan bakar fossil ini kemudian dicari dan ditambang orang melalui industri minyak, gas bumi dan batubara dengan maksud untuk mendapatkan energi. Penggunaannya berkembang mulai dari untuk penerangan, pelumas dan pengencer, kemudian untuk penggerak mesin industri, pembangkit listrik, dan untuk motor bakar dalam sarana transportasi. Pada tahap ini lalu kita perlu menengok perkembangan produksi dan konsumsi minyak dan gas bumi, baik dunia maupun Indonesia.
Hingga tahun 1850, minyak untuk penerangan, pelumas dan pengencer diperoleh orang dari ikan, kelapa, alkohol dari tetumbuhan, dan terpentin pohon. Walau ada orang menghasilkan minyak dan gas bumi dari pengolahan batubara, aspal, bahkan dari batuan shale, namun jumlahnya sedikit dan belum menarik perhatian masyarakat banyak. Era minyak bumi baru mulai ketika Kolonel Edwind Drake menemukan tambang minyak besar di Pennsilvania A.S. dan cara produksi yang berhasil mengangkat minyak dari suatu sumur sedalam 22 meter dalam kuantitas yang besar pada tahun 1859. Dari percobaan praktis, diketahui bahwa dari penggunaan minyak bumi dapat diperoleh mutu penerangan yang lebih baik. Pada tahun 1860 Drake memproduksi 500.000 barel minyak, dan tahun selanjutnya meningkat jadi 2 juta barel minyak [Derrick’s Hand-Book of Petroleum, 1898. Hal. 706-710 ]. Minyak bumi mendapat perhatian masyarakat luas setelah alkohol dikenakan pajak yang sangat tinggi dan suplai terpentin dari luar negeri terganggu di pertengahan 1960-an, sehingga untuk penerangan masyarakat beralih pada minyak bumi. Bisnis minyak bumi kemudian meluas hingga ke Rusia, dan sampai ke Indonesia melalui peran pada tahun 1885.
Produksi minyak bumi menunjukkan peningkatan dari 100 juta ton pada tahun 1920, menjadi hampir 600 juta ton pada tahun 1950 [BP Statistical Review of World Energy, 2011. Hal 1]. Selanjutnya, lebih dari 1,5 trilyun barel hidrokarbon setara minyak (termasuk gas dan batubara) yang telah diproduksi sejak sumur minyak komersial pertama Edwin Drake tahun 1859 hingga 2010. Jumlah yang sama diperkirakan akan dikonsumsi dunia hanya dalam 25 tahun mendatang karena permintaan yang semakin besar. Yaitu pada tingkatan global konsumsi (pembakaran) bahan bakar fossil setara 169,02 juta barel minyak per hari. Perkiraan itu menunjukkan tren kelipatan dari tingkat konsumsi global energi hidrokarbon tahun 2014 yang adalah 92,08 juta barel setara minyak per hari (termasuk di dalamnya konsumsi minyak bumi Indonesia 1,64 juta barel per hari) dalam 25 tahun mendatang. Hasil pembakaran hidrokarbon atau bahan bakar fossil yang terutama adalah CO2. Secara kumulatif global antara 1750 dan 2011, melalui kegiatannya, manusia menyebabkan emisi CO2 hingga sebanyak 555 GtC.
Permintaan energi primer dunia (2000-2010) dan proyeksi hingga tahun 2035.
Dalam satuan Juta Ton Setara Minyak.
Sumber: IEA (International Energy Agency). 2012. World Energy Outlook 2012. Paris, OECD/IEA.
Lempeng Daratan, Gempa Bumi
Litosfer atau lapisan permukaan kerak bumi terdiri dari 17 lempeng-lempeng daratan (baik landas benua maupun landas lautan) yang disatukan atau dipisahkan, seperti puzzle, melalui proses tektonik. Lempeng-lempeng daratan itu berupa batuan. Namun batuan lempeng daratan litosfer terbilang ringan (rendah berat jenisnya) dibanding lapisan bumi di bawahnya yang lebih padat sekalipun cair (tinggi berat jenisnya). Karena itu litosfer sebagai lapisan permukaan bumi dikatakan “terapung” di atas lapisan di bawahnya yang lebih padat. Maka batuan litosfer bergerak.
Gerakan dari dalam bumi dipicu oleh tekanan dan panas yang sangat besar dari dalam bumi, menuju permukaan yang lebih dingin. Gerakan dari dalam itu menyebabkan pergeseran lempeng-lempeng rata-rata sekitar 6 cm per tahun. Gerakan bisa berkerut, sehingga menyebabkan retakan yang kemudian menjadi jurang; bisa juga mengembang, yang membuat lipatan permukaan bumi dan menghasilkan tempat tinggi, sekaligus patahan.
Tanah tertentu kita katakan sebagai “permukaan yang solid”, artinya stabil. Kita menganggap tanah di bawah kaki kita sangat stabil. Namun tidak selalu demikian adanya. “Tanah di bawah kaki kita seperti goncang, tersentak naik dan mendadak turun, geser kiri dan buru-buru kembali ke kanan, tahu-tahu rumah sebelah roboh berantakan,” seseorang melukiskan pengalamannya atas suatu gempa besar di Jogjakarta 2006. Gempa bumi terjadi ketika blok besar lempeng bumi bergeser dan bertabrakan satu sama lain karena daya tektonik dan permukaan bumi guncang karenanya.
Indonesia dikepung oleh berbagai lempeng, yaitu lempeng Eurasia di utara, lempeng India dan Indoaustralia di barat dan selatan, lempeng Filipina di timur laut dan lempeng Pasifik di timur. Tetapi lebih jauh ada lempeng Arabia dan lempeng Afrika; di selatan ada lempeng Antartika, di barat ada lempeng Amerika Utara, lempeng Karibia, lempeng Amerika Selatan, lempeng Nazca, lempeng Cocos, dan lempeng Juan de Fuca. Lokasi pertemuan lempeng Eurasia dan Indoaustralia malahan berada di lepas pantai barat Sumatra dan lepas pantai selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur. Pantai Papua sebelah utara dan Halmahera dipengaruhi oleh pertemuan lempeng Pasifik dengan lempeng Eurasia dan lempeng Filipina. Karena kedudukan sedemikian itu, Indonesia mengalami banyak sekali gempa.
Di dunia lebih dari sejuta gempa bumi terjadi dalam setahun. Sebagian besar tidak begitu kuat dan lokasinya terlalu jauh di dalam bumi sehingga bahkan getarannya saja tidak terasa. Di Indonesia gempa berkekuatan di bawah 5,0 skala Richter tidak diberitakan, karena menurut struktur bumi Indonesia, gempa sedemikian itu tergolong biasa dan kecil pengaruhnya. Namun di tempat lain seperti di California (San Francisco, Los Angeles), gempa > 3.0 skala Richter sudah dianggap besar apalagi jika lokasinya dangkal atau dekat dengan permukaan bumi sehingga amat sangat terasa dan menimbulkan dampak besar. Gempa yang mendapat perhatian di Indonesia berkekuatan >5.0 skala Richter, dan kedalamannya antara 50-10km.
Lempeng-lempeng tektonik di dunia.
Kita telah memerhatikan misalnya gempa Killari (Latur-Osmanabad), dengan kekuatan 6,4 skala Richter dan kedalaman 14,1km di negara bagian Maharasthra India Barat, pada 29 September 1993, menyebabkan sekitar 11.000 korban jiwa dan 30.000 yang lain luka-luka. Kemudian gempa yang menyebabkan tanah longsor di La Paz dan Cochabamba, Bolivia, Februari 1994, menimbulkan dampak pada 165.000 jiwa dari 30.000 keluarga. 17 Januari 1995 gempa Hyogoken-Nanbu berkekuatan 6.9 skala Richter terjadi di Kobe (Jepang) dan sekitarnya, dan merupakan gempa bumi yang paling parah dalam sejarah untuk kawasan itu. Gempa itu menyebabkan kematian 6.433 orang, sedang 27.000 lainnya cedera. Lebih dari sejuta orang di El Salvador terkena dampak oleh suatu gempa yang terjadi pada tanggal 13 Januari 2001. Gempa dengan kekuatan 7.6 skala Richter itu menewaskan 726 orang, menghancurkan rumah-rumah dan membuat 500.000 kehilangan tempat tinggal. Gempa dengan kedalaman 24 km dan kekuatan 7,9 skala Richter di Kutch, Gujarat , India, pada 26 Januari 2001, memakan korban jiwa 20.000 orang. Akhir tahun 2004 ditandai dengan duka yang sangat mendalam dengan terjadinya gempa Sumatra yang kemudian diikuti oleh tsunami, yang di Indonesia saja menelan korban jiwa lebih dari 280,000 orang dan di luar Indonesia 240.000 orang. Jutaan orang terdampak oleh tsunami. Gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter Muzaffarabad (Azad Kashmir), Pakistan, pada 28 Oktober 2005 diikuti tanah longsor yang masif meminta korban jiwa 88.000 orang (19.000 di antaranya anak-anak) meninggal. Korban luka-luka mencapai 138.000. Sekitar 780.000 bangunan hancur atau rusak. Sebanyak 580.000 keluarga terdampak, 3,5 juta orang kehilangan rumah. Gempa bumi berkekuatan 6,5 skala Richter, terjadi di pagi hari tanggal 27 Mei 2006 pada kedalaman 10 km di sekitar 40 km selatan kota Yogyakarta, Indonesia. Dampak gempa menyebabkan 60.000 rumah hancur atau rusak, dan sekitar 6.200 orang meninggal. Pada bulan Agustus 2007, suatu gempa bumi di Peru berkekuatan 7,7 skala Richter menyebabkan sekurang-kurangnya 540 orang meninggal, lebih dari 1.000 orang luka-luka dan lebih dari 176.000 orang kehilangan rumah, sebanyak 35.000 rumah roboh. Pada 12 Mei 2008, terjadi gempa bumi berkekuatan 7,9 skala Richter pada kedalaman 19km di Sichuan, RRC. Gempa menimbulkan korban jiwa 87.587 orang, termasuk anak-anak sekolah. Hampir 5 juta orang kehilangan tempat tinggal. 11 Maret 2011 suatu gelombang tsunami lebih dari 7 meter dibangkitkan oleh gempa bumi berkekuatan 9,0 skala Richter di Fukushima, Jepang, menelan korban 16.000 jiwa, dan membuat masyarakat Jepang dan dunia cemas jika terjadi kebocoran gelombang radiasi nuklir reaktor Daiichi Fukushima, yang meledak karena kemasukan air. Nepal terguncang gempa besar berkekuatan 7,8 skala Richter pada 25 April 2015, yang membawa korban lebih dari 8.000 jiwa dan meratakan desa-desa dengan tanah.
Gambar titik-titik episenter gempa di dunia antara 1990-2000.
Di Indonesia terdapat 27 wilayah rawan gempa bumi dan tahun-tahun kejadian gempa besar: 1. Aceh (1983,1990, 2003, 2004). 2. Sumatera Utara (Nias dan sekitarnya; 1941, 1965, 1984, 1986, 2003, 2005), 3. Sumatera Barat (Mentawai dan sekitarnya; 1904, 1926, 1943, 1977, 1995, 2004), 4. Bengkulu (1833, 1915, 1952, 1979, 1991, 1997, 2000). 5. Lampung (1974, 1999), 6. Banten dan Pandeglang (1780, 1933, 1994), 7. Jawa Barat (Bantar Kawung; 1974, 1979, 1982, 1990, 1992, 2000, 2001, 2006), 8. Jogjakarta (1867, 1943, 1976, 2006), 9. Lasem (1939), 10. Jawa Timur (bagian selatan; 1958, 1967, 1972, 1976, 1994), 11. Bali (1976, 1979, 2004), 12. Nusa Tenggara Barat (1954, 1977, 1979, 2004), 13. Nusa Tenggara Timur (1896, 1975, 1982, 1987, 1991, 1992, 2004), 14. Kalimantan Timur (1921,1923, 1926, 1975), 15. Sangihe Talaud (1936, 1974, 1983), 16. Sulawesi Utara (1845, 1932, 1980, 1990), 17. Gorontalo , 18. Sulawesi Tengah (1927, 1938, 1983, 2000, 2005), 19. Sulawesi Selatan (1928, 1969), 20. Sulawesi Tenggara (1967), 21. Maluku Utara (Halmahera; 1936, 1975, 1994, 2003), 22. Maluku Selatan/Laut Banda (1852, 1932, 1983), 23. Kepulauan Aru (1920, 1938, 1975), 24. Kepala Burung/Papua Utara (1914, 1919, 1979, 1996, 2002), 25. Nabire (1989, 1994, 2004), 26. Jayapura (1971, 1976), dan 27. Wamena (1976, 2000, 2002).
Gempa besar bisa memapar dampak penderitaan sosial masyarakat yang sungguh berat dan kerugian ekonomis yang besar pula, memicu tanah longsor, atau yang lebih parah lagi bila episenternya berada di laut, bisa menggerakkan ombak besar, tsunami.
Gempa di Aceh 26 Desember 2004 terjadi karena benturan lempeng India-Australia dengan lempeng Eurasia, yang pertama pada dini hari dengan pusat gempa di sebelah utara Simeulue, dengan kedalaman 10 km dan kekuatan 8,9 skala Richter. Gempa sebesar itu melepas energi yang sangat dahsyat. Selanjutnya seperti reaksi berantai, dalam 10 jam terjadi 14 gempa susulan mengikuti jalur benturan lempeng hingga ke Laut Andaman, berkekuatan antara 5,7-7,3 Skala Richter, dan kedalaman 10 km. Lalu terjadilah tsunami gelombang laut hingga setinggi 7 meter yang melanda daratan sekitarnya: Aceh, Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh, India dan Sri Lanka.
Gempa dan Tsunami Aceh dan sekitarnya, 2004.
Mekanisme alamiah melalui kejadian tektonik merupakan pembentukan muka bumi yang tidak bisa ditolak. Walau sering dipandang sebagai daya “merusak” karena menyebabkan kerugian di pihak manusia, sebenarnya mekanisme alami ini juga merupakan penyegaran dan pembaruan bagi bumi sendiri. Namun bagi manusia, dampak kejadian tektonis menjadi lebih parah dan makin sulit dihadapi dan diatasi jika disertai oleh faktor-faktor antropogenik. Misalnya perusakan atau kelalaian memelihara hutan mangrove di pantai; hutan mangrove yang terpelihara mestinya dapat berfungsi sebagai ekosistem yang baik sekaligus sebagai “penghalang” gelombang manakala tsunami menerjang. Atau karena manusia membangun gedung dan rumah tanpa memperhitungkan lagi keadaan ikatan atom-atom batuan/tanah di bawahnya, sehingga dibiarkan longgar karena kurang menerima resapan air, dan karenanya menjadi rawan terpisah dan menyebabkan longsor setelah mendapat guncangan gempa.
Gunung dan Vulkanisme
Fenomena gunung meletus adalah bagian dari siklus karbon, mineral dan gas-gas lain yang untuk keseimbangan alam dikeluarkan dari dalam perut bumi secara alamiah setelah mengendap lama. Karbon yang tadinya diserap dalam organisme lalu berubah rupa menjadi batuan sedimen pada kerak bumi di laut. Pelan-pelan mereka didesak menunjam dan melesak dalam lempeng-lempeng benua. Di tempat di mana lempeng-lempeng bumi berbenturan di bawah kerak bumi, di situ batuan sedimen yang mengandung karbon terkena panas dan meleleh dan mengikut dalam proses vulkanisme yang kemudian memunculkan gunung api. Maka titik-titik episenter gempa tektonik biasanya sangat dekat dengan titik-titik proses vulkanisme dan gunung api. (Bandingkanlah gambar letak episenter gempa dunia dalam dasa-warsa 1990-2000 dengan gambar cincin api atau “Ring of Fire” yang melukiskan lokasi-lokasi vulkanisme dan gunung api di dunia). Benturan antar lempeng yang melecutkan tenaga tak jarang membuat retakan yang memberi jalan kepada tekanan dan panas serta batuan sedimen cair yang bernama magma merambat mengikuti retakan naik ke permukaan, dan melepas kembali CO2 ke atmosfer dalam jumlah kecil. Bersama dengan lava (magma atau batuan cair yang sudah berada di luar perut bumi), debu vulkanik, uap air dan sulfid dalam letusan gunung api, CO2 kembali lagi masuk ke dalam atmosfer.
Dengan demikian melalui letusan gunung lengkaplah siklus karbon. Seandainya CO2 tetap terkubur di dalam bumi, maka lenyaplah sumber hidup bagi tanaman. Rantai kehidupan berbasis karbon akan putus. Sebab CO2 atmosfer bagaimana pun juga dalam jumlah yang tepat diperlukan tanaman untuk bernapas dan untuk tumbuh kembang melalui proses foto-sintesis, sebagai awal siklus karbon baru.
Vulkanisme juga membantu mendinginkan bumi. Material piroklastik yang dilontarkan hingga jauh ke angkasa melalui letusan gunung (uap air, abu, sulfid) merupakan paparan molekul-molekul baru (terutama sulfur dioksid) yang lama mengarungi angkasa stratosfer, seperti selimut yang meredam sinar matahari bagai payung sehingga panasnya sangat berkurang ketika sampai di bumi (hingga 30%). Pada tahun 1816, Eropa mengalami “musim panas yang dingin” sehingga 1816 disebut suatu “tahun tanpa musim panas”. Ternyata hal itu disebabkan oleh letusan Gunung Tambora tahun sebelumnya (1815). Lalu kejadian itu malah dialami berturut-turut tiga tahun di Eropa sejak tahun 1883, setelah letusan Gunung Krakatau. Gejala seperti itu terjadi hampir seratus tahun kemudian, sehubungan dengan meletusnya Gunung El Chicon di Mexico tahun 1982. Dan sepuluh tahun kemudian letusan Gunung Pinatubo di Filipina (1991) menghasilkan fenomen yang sama pada tahun 1992.
Tidak salah. “Gunung nampaknya cuma gundukan tanah tinggi, namun kontur tersebut….. menentukan suhu. Apalagi kalau gunungnya adalah gunung berapi atau vulkano” [Francis Wahono, 2013. Hal 90]. Gunung dengan “kontur demikian memberikan… segala macam ekosistem dan keanekaragaman hayati yang saling memperkaya” [opcit]. Pertimbangan yang sungguh penting adalah bahwa di kawasan gunung di seluruh dunia tinggal 12% dari penduduk dunia, atau sekitar 720 juta “orang gunung” (UNEP-WCMC 2002). Sekitar 30% dari mereka berciri perkotaan, sedang 70% lainnya masih berciri perdesaan (Hassan et al. 2005).Suatu survai menunjukkan setidaknya tiga kelompok besar fungsi kawasan gunung dengan aneka ekosistemnya bagi manusia: produksi, pengaturan, dan budaya. [Kienast, et al. 2009]. Berdasar tataguna lahan gunung, maka terdapat ekosistem: kawasan buatan manusia, hutan gunung, pertanian heterogen, lahan terbuka (tanpa atau dengan sedikit tanaman), padang penggembalaan, lahan dengan tanaman menahun, lahan semak-semak, badan air, lahan becek, lereng, ketinggian hingga 1.500 dpl, ketinggian di atas 1.500 dpl, kota gunung. Kelompok fungsi produksi misalnya satu atau beberapa ekosistem meliputi: satwa, produk tanaman, produk hutan, pemukiman dan energi. Kambing, biri-biri, yak, llama, alpaca menghasilkan produk-produk hewani dari gunung. Tomat, apel, teh, kopi, kentang, kol, kita dapat dari gunung. Kelompok fungsi regulator atau pengatur meliputi: iklim, pengurangan bencana alam, air, zat hara, pencegahan erosi, kendali biologis. Gunung dianggap sebagai “menara air” merupakan cadangan dan pemurnian air dengan hutan, danau, sungai, es, salju dan airtanahnya. Hutan gunung, terutama di daerah tropis, memiliki keragaman genetik yang tinggi dan menjadi habitat satwa liar. Bersama dengan tanah becek di tempat tinggi, hutan gunung mempunyai peren besar dalam menyimpan karbon dan zat hara biosfer (IPCC 2007a,b).Kelompok fungsi budaya meliputi: habitat, estetika, rekreasi dan turisme, kesenian artistik. Di kawasan gunung terdapat keanekaragaman budaya, misalnya dalam praktek pertanian yang mendukung kelestarian; seni; sumber daya hidup dan aneka ragam penyegaran spiritual; serta nilai-nilai olah-raga, dan daya tarik wisata.
Di Indonesia terdapat lebih dari 500 gunung api; 129 di antaranya aktif. Gunung-gunung api yang aktif tersebar di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Kepulauan Maluku merupakan sekitar 13% dari sebaran gunung api aktif dunia.
Menurut catatan riwayat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG, 2006) selain letusan dahsyat Gunung Tambora (1815) yang menewaskan lebih dari 92 ribu jiwa dan Krakatau (1883) lebih dari 36 ribu orang, beberapa letusan lain yang menimbulkan korban jiwa besar, antara lain letusan Gunung Galunggung tahun 1822 menewaskan 4.011 orang. Di Jawa Timur letusan Gunung Kelud pada tahun 1919 mengakibatkan 5.190 korban jiwa dan letusan tahun 1966 meminta 210 korban jiwa. [Gunung Kelud meletus lagi pada tahun 2014]. Di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah pada tahun 1983 letusan dahsyat Gunung Colo menghancurkan sumbat lava serta merusak sekitar 2/3 wilayah Pulau Una-Una. Sedangkan di wilayah Yogyakarta letusan Gunung Merapi tahun 928 mengakibatkan Kerajaan Mataram (Hindu) hancur; letusan tahun 1930 mengakibatkan 1.369 orang korban jiwa dan letusan tahun 1972 menewaskan lebih dari 3.000 orang. [Pada tahun 2010 Gunung Merapi meletus lagi].
Potensi risiko bencana gunung api yang perlu mendapat perhatian ada 70 gunung api, di antaranya adalah Gunung Merapi, Semeru, Anak-Krakatau, Bromo, Gamalama, Kelud, Papandayan, Raung, Sinabung, Soputan dan Lokon. Berdasarkan sejarah, Gunung Merapi di Jogjakarta mempunyai perulangan letusan cukup pendek. Letusan memiliki pola yang sama yaitu pertumbuhan kubah lava, kubah lava runtuh dan menghasilkan awan panas yang melanda daerah sekitarGunung. Sedangkan kawah gunung api yang perlu mendapat perhatian khusus adalah kawah Gunung Ijen dan Dempo.
Ketika tulisan ini dibuat (Juli 2015), Gunung Raung di Jawa Timur meletus,disusul kemudian Gunung Gamalama di Halmahera, dan Gunung Sinabung di Sumatera Barat.
Panas Bumi (Geotermal)
Energi panas bumi berasal dari panas alam yang berasal dari isotop radioaktif uranium, torium dan potassium yang sudah mati. Karena aliran panas dari dapurnya, panas bumi mengalir ke permukaan pada rata-rata 82 mW/m2 sehingga seluruhnya mencapai sekitar 42 juta megawatt. Total cadangan panas bumi adalah 12.6 x 1024MJ[1], dan yang berada pada kerak bumi sekitar 5.4 x 1021MJ (Dickson and Fanelli, 2004). Bandingkanlah besaran ini dengan hasil listrik yang dibangkitkan dunia pada 2007 sebesar 7.1 x 1013MJ (IEA,2009). Maka begitu besarnya cadangan panas bumi sementara hanya sedikit saja yang dimanfaatkan. Sejauh ini pemanfaatan energi ini terbatas pada daerah-daerah yang kondisi geologisnya memungkin sejenis angkutan (air cair atau dalam rupa uap) untuk memindahkan panas dari zona panas di dalam perut bumi ke permukaannya dan menghasilkan sumber geotermal atau panas bumi. Menurut Bertani (2003) potensi pembangkitan listrik panas bumi dunia berkisar antara tingkat minimum 35–70 GW[2] hingga maksimum 140 GW. Namun jika menggunakan teknologi geotermal yang ditingkatkan (enhanced geothermal systems, EGS) menurut Stefansson (2005) potensi panas bumi yang dapat digunakan untuk pembangkitan listrik 210 GW.
Kapasitas terpasang untuk produksi tenaga panas bumi di dunia sekarang adalah 12,8 GW, dioperasikan di 24 negara. Namun hingga 2014 terdapat 630 proyek tambahan kapasitas sedang berjalan, di 80 negara. Di antaranya, 14 negara akan menyelesaikan proyek-proyek yang akan menambahkan kapasitas terpasang hingga 2 GW dalam waktu 3-4 tahun mendatang. Hingga 2020 nanti di seluruh dunia diperkirakan ada kenaikan kapasitas terpasang hingga 17,6 GW [Matek, B., 2015, hal.8]. Dapat dikatakan suatu perkembangan yang cukup pesat mengingat pada tahun 1985, baru 11 negara saja yang mempunyai kapasitas terpasang tenaga panas bumi lebih dari 100 MW. Pada 1990, jumlah negara yang bergabung 14; tahun 1995 tambah satu jadi 15; pada tahun 2000 menjadi 23, dan pada tahun 2005 jadi 33. Tahun 2012 tercatat 36 negara mempunyai kapasitas terpasang tenaga panas bumi 100 MW atau lebih.
Potensi sumber daya panas bumi Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 29,04 GW, termasuk cadangan terbukti siap dioperasikan sebesar 2.288 MW, dan cadangan yang mungkin sebesar 13.579 MW; selebihnya masih bersifat hipopetis atau spekulatif [Kementerian ESDM, 2012]. “Sekitar 40% dari potensi panas bumi dunia” [Wilcox, J. 2012; Hadiwijoyo 2011]. Pemerintah Indonesia merencanakan akan menambah kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hingga mencapai 6.000 MW pada 2020 [Kementerian ESDM, 2004], lebih dari empat kali kapasitas akhir tahun 2012 sebesar 1.336 MW. Namun dari 2010–2013, hanya 135 MW yang berhasil ditambahkan, dan menurut perkiraan paling optimis pada 2016 hanya akan bertambah 190 MW saja. Tambahan kapasitas yang diharapkan adalah dari dari proyek-proyek Patuha, 55 MW (2015), Kamojang 5, 30 MW (2015), Ulubelu 3, 55 MW (2016); Karaha, 30 MW (2016); dan Lahendong 5, 20 MW [ADB & WorldBank, 2015. Hal 1]. Dari 51 proyek panas bumi yang sedang berjalan dalam berbagaiI tahap masing-masing, 14 proyek harus dibatalkan karena ternyata benar-benar tidak potensial. Sebanyak 20 proyek mengalami koreksi kapasitas karena potensi panas buminya kurang dari target. Namun ada 7 proyek yang ternyata potensinya bertambah sehingga kapasitas yang dipasang juga dinaikkan (tambahan kapasitas berlipatganda terjadi pada proyek PLTP Bedugul, Bali, yang rencananya hanya 10 MW, ternyata potensinya besar sekali sehingga kapasitas terpasang diingkatkan 20 kali menjadi 208 MW). Sementara 7 proyek tetap sesuai target potensi dan kapasitasnya. Secara keseluruhan, dari sasaran tambahan kapasitas terpasang sebesar 4.524 MW, terjadi koreksi pengurangan sebesar 1.750 MW, tinggal 2.774 MW hingga tahun 2020 nanti. Pengamat geothermal dunia R. Bertani memproyeksikan perkembangan kapasitas terpasang PLTP Indonesia pada tahun 2020 nanti sebesar 3.500 MW [Bertani, R. 2015]. Sistim panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hidrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225oC), hanya beberapa saja yang mempunyai temperatur sedang (150‐225oC).
Indonesia sangat antusias dengan proyek PLTP panas bumi karena beberapa alasan. Yang pertama adalah dalam rangka menyediakan tambahan kapasitas pembangkit hingga 10.000 MW pada 2020 untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Kedua, menyediakan listrik yang biayanya relatif lebih murah karena bahan dasarnya adalah energi yang terbarukan, terkandung di dalam bumi Indonesia sendiri, sehingga tidak perlu dibeli dan tidak perlu khawatir akan kehabisan cadangan. Ketiga, dampak emisi karbon yang ditimbulkannya terhadap lingkungan minimal karena tingkat emisi karbonnya amat rendah. Perbandingan emisi CO2 dalam gram/kWh listrik, menurut Broomfield et al. 2003: panas bumi 91 (PLTP); gas bumi 599 (PLTG); minyak bumi 893 (PLTD); dan batubara 955 (PLTU-Batubara). Keempat, produksi energi listrik dari panas bumi tidak menghasilkan limbah yang merusak lingkungan, sebab setelah fluida panas bumi digunakan untuk menghasilkan energi listrik, fluida tersebut dikembalikan lagi ke bawah permukaan bumi melalui sumur injeksi. Kelima, dengan mengoptimalkan pemanfaatan energi panas bumi, Indonesia akan dapat memberi kontribusi signifikan kepada dunia bagi perlindungan alam dan mitigasi perubahan iklim, dengan mencapai target penurunan emisi karbon UNFCCC dalam Protokol Kyoto sebesar 26% sebelum tahun 2020 (walau tidak wajib karena Indonesia tidak termasuk negara dalam Annex I yang diwajibkan, melainkan bertindak atas dasar kesukarelaan) .
Menurut penelitian geologi di Indonesia diperkirakan terdapat 312 prospek sumber panas bumi di sepanjang daerah kritis antara yang tektonik paralel dengan jalur vulkanik bagian barat Sumatera, bagian selatan Jawa, Nusa Tenggara, kemudian di Maluku dan Sulawesi. Sepuluh instalasi yang telah beroperasi adalah PLTP Sibayak Sumatera Utara (11MW); PLTP Ulubelu – Lampung (110MW); PLTP Kamojang – Jawa Barat (200MW); PLTP Salak – Cibeureum Parabakti, Jawa Barat (377 MW); PLTP Darajat – Jawa Barat (260MW); PLTP Wayang Windu – Pangalengan, Jawa Barat (227MW); PLTP Dieng Jawa Tengah 60MW dan PLTP Lahendong Sulawesi Utara (87MW), Ulumbu – Flores (5 MW) dan Mataloko (2,5 MW)[Bertani,R. 2015]. Sedang dalam penyelesaian proyek lima instalasi PLTP di Sarulla dan Lumut-Balai (Darma and Gunawan, 2015). Indonesia belum menggunakan tenaga panas bumi secara langsung karena temperatur sumber panasnya amat tinggi rata-rata besar >150oC, melainkan terutama menggunakan panas bumi untuk pembangkit listrik, dengan kapasitas terpasang pada 2010 adalah 1.197.0 MW dan menghasilkan listrik 9321.0 GWh per tahun. Pada tahun 2012 kapasitas terpasang bertambah menjadi 1.336 MW [Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Desember 2012].
Gerakan Tanah
Selain rawan gempa, sebagian kawasan di Indonesia secara geologis rawan gerakan tanah, yang umumnya dikenal sebagai fenomen tanah longsor. Hampir setiap tahun Indonesia mengalami kejadian gerakan tanah yang mengakibatkan bencana di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan lain-lain. Gerakan (massa) tanah atau longsor disebabkan oleh bertambahnya tegangan geser tanah dan berkurangnya kuat geser. Peningkatan berat beban pada lereng terjadi utamanya karena tambahan air yang masuk ke tanah di bagian tanpa vegetasi penutup di sebelah atas lereng. Tanah jadi jenuh dan volume berat beban tanah yang disangga lereng bertambah. Sementara itu terjadi penyimpangan gaya intergranuler akibat kejenuhan tanah oleh resapan air. Tambahan kadar air dalam tanah menambah tegangan pori dan tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat, sementara terjadi perubahan faktor pembentuk batuan dan teksturnya ketika retakan-retakan terisi butir-butir halus menyebabkan diskontinuitas urat dan pelapukan tanah. Akibatnya lereng ambrol. Sering disertai banjir bandang. Korban dan kerugian besar pada umumnya terjadi pada gerakan tanah jenis aliran bahan rombakan yang runtuh atau banjir bandang, seperti terjadi di Nias (2001) dan Bohorok Sumatra Utara (2005), Sulawesi Tengah (2007), Sumatra Barat (2008) Situ Gintung, Banten (2009), dan Banjarnegara – Jawa Tengah (2014). Kerentanan fisik lereng-lereng gunung menjadi tantangan besar ketika perubahan musim menyebabkan kenaikan penguapan air laut, sementara anomali pengembunan di atmosfer menyebabkan tercurahnya hujan lebat melebihi rata-rata dalam beberapa hari terus menerus.
Simpul sementara bagian ini:
Geosfer menyerap sinar matahari, juga paparan CO2 dari atmosfer, dan berproses melalui batuan, mineral, pelapukan dan sedimentasi, memutar daur karbon dan daur air. Sebagian CO2 yang diserap geosfer dan larut dalam mineral dan sedimen dalam masa geologi diubah menjadi bahan bakar fossil, yang kemudian ditambang manusia dalam bentuk minyak, gas bumi, dan batubara. Pembakaran bahan bakar fossil yang berlebihan oleh manusia untuk menggerakkan listrik, mesin dan alat transportasi, serta keperluan rumah-tangga menimbulkan emisi CO2 yang memadati atmosfer dan menjadi penggerak perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan paparan panas lebih besar, dan suhu yang bertambah memercepat pelapukan batuan dan mineral geosfer. Di pihak lain, geosfer juga menyediakan sumber panas bumi untuk dimanfaatkan, sebagai sumber energi yang terbarukan dan tidak menyebabkan konsentrasi CO2, terutama untuk membangkitkan listrik. Pergerakan lempeng-lempeng daratan geosfer menimbulkan gempa bumi , vulkanisme dan pergerakan tanah, yang sebenarnya tidak mengubah iklim, namun dipadukan dengan akibat-akibat dari emisi CO2 antropogenik yang mengubah iklim dan perilaku manusia dalam tataguna tanah, dampak gempa bumi , letusan gunung api dan pergerakan tanah memerlukan kesiapan adaptasi dan mitigasi yang lebih berat. Terutama terkait dengan tingginya curah hujan, banjir bandang dan tanah longsor. Menyinggung soal curah hujan, kita akan berbicara tentang siklus perputaran air dalam sistem hidrosfer.
[1] MJ = Mega Joule.
[2] GW = GigaWatt.