Oleh Bambang Kussriyanto
4. Hidrosfer
Sistem hidrosfer bumi meliputi lautan/laut, sungai, danau/telaga, kanal-kanal air, air tanah, uap air, bahkan comberan juga. Hidrosfer yang meliputi semua unsurnya itu merupakan cadangan air dalam bentuk cair, yang menjadi sumber kelembapan yang memungkinkan hujan dan pertukaran gas-gas seperti CO2, dan partikel-partikel seperti garam, dengan atmosfer. Komposisi dan gerak perpindahan air dalam hidrosfer memelihara kekayaan dan keanekaragaman hidup di bumi. Selain itu, air yang beredar merupakan unsur yang menyebabkan pendinginan lingkungan sekelilingnya. Namun ketidakseimbangan anggaran perputaran air, entah surplus, entah defisit, dapat menyebabkan bencana.
Air selalu bergerak. Air yang turun dari udara sebagai hujan hari ini bisajadi kemarin dulu masih berada di lautan atau danau atau telaga, beberapa hari yang lalu. Dari seluruh air yang ada di bumi, 96,53% atau sebanyak 1.338 juta km3 berada di lautan/laut [World Water Assessment Programme. 2009]. Dari laut (atau juga danau atau telaga di darat yang menyimpan 176.400 km3 air bumi) air yang terkena panas dan angin menguap dan melayang di udara atmosfer. Bentuk air yang berada di udara sebagai uap air rata-rata 12.900 km3. Tanaman di bumi juga bisa menimbulkan uap air melalui proses transpirasi. Di udara,uap air terkumpul sebagai awan dan memayungi sekitar 50% dari bumi. Ketika awan terbawa angin memasuki bagian atmosfer yang dingin dan lembap, awan terkondensasi lalu mengembun dan menjadi hujan. Air hujan diterima aneka rupa tutupan tanah permukaan bumi (yang menampung sekitar 28.000 km3 air), sebagian kembali lagi di danau atau telaga. Di kawasan dingin, uap air menjadi beku dan berubah es atau salju; es (kutub) dan salju (puncak gunung tinggi) meliputi 24,06 juta km3. Ketika situasi berubah lebih hangat, air beku itu lalu sebagian mencair menjadi air lagi. Air sungai (jumlah seluruhnya sekitar 2.100 km3), mungkin berasal dari air hujan beberapa bulan yang lalu, yang masuk ke dalam tanah pegunungan dan dataran tinggi, berjalan pelan melalui urat-urat tanah, dan keluar lagi dari pelbagai mata air sungai. Air yang digunakan mahluk hidup hanya sekitar 11.100 km3. Demikianlah air berpindah-pindah menurut daur air. Air tanah (jumlahnya sekitar 23,4 juta km3, yang 10,53 juta km3 merupakan air tawar) selanjutnya mengalir ke tempat rendah dan berakhir kembali di laut atau badan air yang rendah lokasinya dan luas. Air tinggal lebih lama di tempat tertentu ketimbang di tempat lainnya. Setitik air mungkin tetap tinggal di laut selama 2.500 tahun sebelum pindah ke tempat lain melalui daur air. Air berada di danau sekitar 17 tahun, di rawa-rawa 5 tahun, pada permukaan tanah 1 tahun, pada semua mahluk hidup dan menjadi bagian struktur tubuhnya hanya beberapa jam bertahan. Sedang di udara atau atmosfer, air hanya bertahan sekitar 8 hari saja dan turun ke bumi sebagai hujan. Keberadaan air di tempat masing-masing menjadi obyek manajemen air (misalnya kita mensuplai tubuh kita dengan minum sekurang-kurangnya 2 liter dalam 24 jam, agar kadar air dalam tubuh selalu konstan).
Lautan/Laut
Lautan meliputi 70% dari permukaan bumi. Selain fungsi ekologisnya, fungsi budaya lautan sangat menonjol sebab menyediakan penghidupan berkelanjutan melalui kegiatan perikanan dan akuakultur, perkapalan (shipbuilding) dan tranportasi (shipping), pertambangan minyak dan gas bumi, jasa pelabuhan dan turisme. Setidaknya 90% perdagangan dunia dilaksanakan melalui angkutan kapal. Lebih dari tiga milyar orang menggantungkan hidupnya dari fungsi-fungsi laut dan pantai.
Salah satu fungsi ekologis lautan yang sangat penting antara lain dan terutama karena lautan menyerap sebagian besar dari panas matahari yang jatuh di bumi dan karena kemampuannya memancarkan secara horisontal panas itu ke seluruh penjuru bumi. Secara kasar sinar matahari yang diterima permukaan bumi 53% (sebab 30% sudah dikembalikan albedo atmosfer, dan 17% diserap atmosfer sebelum sampai ke bumi). Pada tahun 1971 diperkirakan sebagai angka dasar, panas radiasi matahari yang diterima permukaan bumi adalah rata-rata 0,42W per m2. Sebagian diterima daratan. Jumlah yang diterima seluruh lautan tentu saja adalah angka dasar itu dikali luas lautan seluruhnya, yaitu 360 juta km2. Jumlah itu kemudian dibagikan bersama arus kepada lautan-lautan, dari daerah panas ke arah kutub. Ada lima lautan besar. Yang terbesar adalah Lautan Pasifik, di sebelah timur Indonesia, yang meliputi sekitar sepertiga permukaan bumi. Yang kedua Lautan Atlantik yang terletak di sebelah timur benua Amerika dan di sebelah barat benua Eropa dan Afrika. Yang ketiga Lautan India di sebelah selatan Timur Tengah dan benua Asia (di sebelah barat dan selatan Indonesia dan secara sepihak pernah kita sebut Samudera Indonesia), serta di sebelah timur Afrika. Yang keempat Lautan Arktik di kawasan kutub utara. Yang kelima Lautan Antartika di kutub selatan. Dalam hal ini lautan menjadi regulator panas. Panas yang diterima lautan menentukan suhu rata-rata lautan, kendati ada juga pengaruh faktor situasi musiman. Temperatur permukaan hingga sedalam 75 meter paling tinggi, dan berkurang jika semakin dalam, 200 meter, atau 700 meter. Sesudah 700 meter kedalaman, sinar matahari kehilangan daya sebab tingkat kerapatan molekul air laut lebih besar menurut kadar garamnya (saliniti). Makin banyak panas yang diterima laut, suhu makin berkembang, dan itu memudahkan penguapan di satu pihak, tetapi juga menyebabkan molekul air berkembang membuat volumenya bertambah, sehingga menyebabkan air pasang di mana tinggi permukaan air laut lalu bertambah. Menurut penelitian sejak 1971 hingga 2010, jumlah panas yang diterima lautan bertambah, artinya pemanasan bertambah, dan menyebabkan suhu rata-rata permukaan laut pun bertambah. Hingga tahun 2010 terjadi kenaikan suhu rata-rata permukaan laut 0,11oC tiap 10 tahun untuk kedalaman hingga 75 meter, dan 0,015oC untuk kedalaman hingga 700m. Pada tahun 2010, angka dasar bahang (panas) yang diterima meningkat jadi 0,55W per m2 [Rhein, M., et al. 2013].
Sudah disebutkan di depan, dari seluruh air yang ada di bumi, 96,53% berada di lautan/laut. Dan lautan merupakan sumber utama hujan (air maupun salju). Naiknya suhu permukaan laut di satu pihak memermudah penguapan. Uap air yang melayang di udara menaungi bumi untuk beberapa waktu sehingga agak menyejukkannya, kemudian jika awan bermuatan air menemukan kondisi kelembapan yang sesuai, maka akan turun sebagai hujan yang makin mendinginkan lagi. Dari data yang tersedia untuk periode panjang 1901–2008 diperlihatkan juga peningkatan global hujan rata-rata. Laju perubahan rata-rata hujan itu masih rendah untuk masa sebelum 1950, menjadi sedang di tahun-tahun sesudahnya. Namun terikut pula gejala anomali peningkatan kejadian hujan ekstrem yang tinggi tingkat curahannya,pola distribusi yag berubah, juga cuaca lokal yang menyebabkan terjadinya hujan es, banjir, badai tropis dan ekstra-tropis, namun di sisi lain ada pula terjadi kekeringan. Terjadi perubahan karakter presipitasi dan variasi musiman yang memerlukan kajian lebih lanjut dan antisipasi atas tersedianya air serta aspek kebencanaan yang berkenaan dengan air.
Lautan juga berfungsi sebagai regulator iklim global, dengan menyerap gas rumah kaca dari atmosfer dan menenggelamkannya. Di sini proses biologi, fisika dan gravitasi saling kait menjadi “pompa biologis” yang mengirim karbon organik ke dasar laut. “Pompa biologis” itu adalah keseluruhan proses fotosintesis (yang mengikat karbon inorganik pada benda organik fitoplankton), transformasi tropodinamik, perombakan fisis, pemindahan lokasi dan daya tarik bumi. Melalui “pompa biologis” lautan, diperkirakan setiap tahun lautan menyerap CO2 sebanyak 1,6 – 2,3 Pg. Melalui pengembangan model dan rumus yang lebih tepat lagi diketemukan angka serapan CO2 dari atmosfer oleh lautan sebanyak 2,2 ± 0,4 Pg setiap tahun.
Di laut, proses fotosintesis dan reaksi yang terkait mensenyawakan gas-gas inorganik karbon dioksid (CO2), nitrat(HNO3), dan fosfat (H3PO4) dengan air (H2O ) dan mereka bersama-sama membentuk zat organik laut (C106H175O42N16P) sekaligus melepaskan oksigen (O2 ):
106 CO2 + 16 HNO3 + H3PO4 + 78 H2O = C106H175O42N16P + 150 O2 (Anderson, 1995).
Oksigen (O2) itu kemudian dikembalikan dari air ke udara, sehingga kita bisa bernafas. Fitoplankton lautan menghasilkan 50% dari oksigen di bumi [IOC/UNESCO, IMO, FAO, UNDP. 2011:]. Lautan mempunyai peran dalam mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan dan penyimpanan karbon dioksid antropogenik (buatan manusia) sekitar 30%, atau 1.020 Gt per tahun di permukaan laut. Sedang karbon yang kemudian ditenggelamkan dan disimpan di dalam laut dari masa ke masa hingga sekarang sebanyak 38.100 Gt [UNEP 2009. Hal 31].
Kendati ada ketidakpastian karena kekeliruan pengukuran (mis., Guichard et al. 2000; Wang et al. 2002), banyak kajian menunjukkan bahwa penguapan air laut yang meningkat dialami banyak daerah. Uap air yang kemudian menjadi awan hujan selanjutnya bergerak, bergantung pada tiupan angin. Jika angin membawanya pada suatu daerah dengan suhu yang lebih dingin dan lembap, maka akan terjadi hujan. Rata-rata hujan global diperkirakan sekitar 2,88 mm setiap hari (Huffman et al. 1997). Sedang jumlah kelembapan atmosfer dalam pengamatan sejak 1973 juga mengalami peningkatan. Di mana terdapat peningkatan curah hujan, bertambah pula risiko banjir; dan banjir diperparah oleh perubahan penggunaan lahan, terutama peningkatan jumlah pemukiman penduduk di kawasan daerah aliran sungai yang justru rawan banjir. Banjir besar dalam catatan statistik bertambah banyak di abad ke-20 (Milly et al.2002).
Namun sementara curah hujan tinggi dan sebagian daerah kebanjiran, ada pula daerah yang tidak mendapat hujan. Kekeringan menghantui dengan laju yang meningkat sementara permukaan tanah tidak mendapatkan air. Kurangnya hujan juga menambah risiko gelombang panas dan kebakaran (hutan, ladang). Begitu kelembapan tanah menghilang, serta merta panas meningkatkan suhu, dan mengeringkan tetanaman.
Di berbagai daerah, gelombang panas semakin sering (bertambah frekuensi kedatangannya), semakin intens (bertambah suhunya), dan semakin panjang durasinya (jumlah hari-hari super panas). Tetangga kita Australia mencatat perubahan karakteristik gelombang panas sejak 1950. Data dikaji berdasar dua masa, 1950-1980 dan 1981-2011. Kekerapan bertambah dari 1-2 kali setahun, meningkat jadi 3 kali. Durasi setiap kejadian gelombang panas meningkat dari 6 hari menjadi 9 hari.
Intensitas bertambah dari maksimum tambahan suhu 2,5o C menjadi 4,3o C. [Steffen, Will, et.all , 2014]. Pada hari tulisan ini dilanjutkan (1 Agustus 2015), pemerintah California mengumumkan keadaan darurat kebakaran, setelah sekitar 28 km2 hutan terbakar di 32 titik karena kekeringan. Kebakaran hutan juga sedang melanda Spanyol utara.
Dalam penguapan juga terjadi proses pelucutan komponen garam dari air laut. Air laut berasa asin, dengan kadar garam (saliniti) ditentukan oleh proses interaksi kimiawi antara laut-darat-udara yang memengaruhi struktur kerapatan (densitas) molekul air laut dan unsur garam yang terbentuk di dalamnya. Namun yang lebih penting diperhatikan adalah proses “desalinasi”, yaitu perlucutan unsur garam dari air laut sehingga menghasilkan air tawar, yang merupakan 3,47% dari seluruh air namun sangat penting untuk kehidupan di daratan. Sebagian besar hujan yang turun di daratan berasal dari laut, memberikan pada kita air untuk minum, untuk kesehatan dan kebersihan, untuk pertanian dan perkembangan industri [UNEP, 2009]. Sekarang sedang diusahakan proses desalinasi airlaut untuk menjadi sumber penting air tawar. Paus Fransiskus menulis: “Persoalan air tawar merupakan isu paling penting, karena air tawar sangat penting bagi hidup manusia dan untuk mendukung ekosistem darat dan perairan. Sumber air tawar yang diperlukan untuk perawatan kesehatan, pertanian dan industri. Persediaan air biasanya relatif konstan, tetapi sekarang di banyak tempat permintaan akan air melebihi pasokan yang berkelanjutan, dengan konsekuensi dramatis dalam jangka pendek dan panjang. Kota-kota besar yang bergantung pada pasokan air yang signifikan telah mengalami periode kekurangan air, dan saat-saat kritis ini tidak selalu diselesaikan dengan cukup memadai dan adil” [Paus Fransiskus.2015. Art. 28].
Kondisi terumbu karang dipengaruhi perubahan lautan akibat pemanasan global. Ketika gas rumah kaca teruai dalam air laut, laut pun menjadi lebih asam. Dan ini peningkatan keasaman (pH) laut berbahaya bagi terumbu karang dan biota laut. Dari tambahan akumulatif emisi CO2 antara 1750 hingga 2011 yang diperkirakan 555 Gt, diperkirakan 28%-nya berada di lautan.
Karena bertambahnya suhu di laut, yang kemudian dialirkan ke daerah dingin, mencairlah es di kutub. Selain itu mencair juga salju-salju di gunung, dan kemudian melalui sungai-sungai airnya mengalir sampai ke laut. Mencairnya es kutub dan salju gunung menambah volume air laut dan menyebabkan sekitar 75% permukaan air laut bertambah tinggi, dan diperkirakan antara 2018-2100 permukaan air laut akan meningkat lagi antara 0,26 – 0,82 m.
Lautan sangat penting bagi keamanan pangan dan kesehatan manusia secara global. Lautan menyediakan bahan pangan dan nutrisi, secara langsung melalui usaha penangkapan ikan, dan secara tidak langsung melalui budidaya kelautan. Sebagai sumber nutrisi global, ikan laut memberikan sekitar 15% protein hewani untuk 4,3 milyar orang [FAO. 2012]. Maka kegiatan penangkapan dan budidaya ikan dan biota laut secara berkelanjutan mempunyai peran penting untuk menjamin keamanan pangan dan nustrisi bagi dunia. Ikan juga mengandung elemen yang sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan otak anak-anak. Memang, hingga sekarang belum ada taksiran yang sangat akurat, namun nilai potensial dioteknologi kelautan dianggap tinggi [Millennium Ecosystem Assessment Series (2005): Ecosystems and Human Well-Being: Current state and trends].
Masalah yang dihadapi lautan/laut dewasa ini adalah sampah dan polusi yang diakibatkannya, serta meningkatnya keasaman (asidifikasi). Ensiklik-nya Paus Fransiskus menulis, “perlu diperhitungkn polusi residu, termasuk limbah berbahaya yang ada di pelbagai kawasan yang berbeda. Setiap tahun jutaan ton sampah dihasilkan, sebagian besar tidak dapat dimanfaatkan mahluk hidup, sangat beracun dan mengandung radioaktif…” [Paus Fransiskus 2015. Art. 21]. Lima tempat berkumpulnya sampah ditengarai di Lautan Pasifik Utara dan Selatan; di Lautan Atlantik Utara dan Selatan, dan di lautan India. Total sampah plastik seluruhnya diperkirakan 36.000 ton, tersebar merata. Di Lautan tlantik Utara sekitar 9.064 ton dan di Lautan Pasifik Utara sekitar 20.240 ton. Di Lautan Atlantik Selatan sekitar 2.590 ton dan 2.860 ton di Lautan Pasifik Selatan, serta 2.185 ton di Lautan India. Sampah-sampah plastik ini membunuh jutaan burung dan mamalia laut, merusak dan menghambat usaha penangkapan dan budidaya ikan, merugikan secara keuangan sebab menyebabkan biaya untuk upaya pembersihan. Peningkatan keasaman laut menyebabkan kerusakan biota laut, dan karang-karang menjadi putih (bleaching) tidak bertumbuh lagi sehingga tidak dapat menjadi habitat ikan-ikan lagi. Ketika CO2 diserap lautan, persenyawaan dengan air (H2O) membentuk karbonik asid (H2CO3) yang kemudian terurai membentuk ion hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3–).
CO2 + H2O < > H2CO3 < > H+ + HCO3–
(carbon dioksid) + (air) < > (karbonik asid) < >(ion hidrogen) + (ion bikarbonat).
pH adalah ukuran konsentrasi ion hidrogen. Semakin banyak ion hidrogen, semakin rendah pH dan semakin bertambah tinggi tingkat keasaman. Maka peningkatan banyaknya ion hidrogen dari penyerapan karbon dioksid menyebabkan pH lautan menurun dan meningkatkan keasaman.
Sementara ion karbonat (CO32-) dan ion bikarbonat (HCO3-) sebanding satu sama lain di lautan. Semakin besar jumlah CO2 masuk ke laut dan menghasilkan ion bikarbonat, mengubah keseimbangannya dengan ion karbonat. Berkurangnya jumlah ion karbonat untuk biota laut merugikan pembentukan kalsium karbonat untuk cangkang dan kerangka hewan laut.
CO2 + H2O + CO32- < > 2HCO3-
(karbon dioksid) + (water) + (ion karbonat) < > (ion bikarbonat)
Perubahan yang terjadi di lautan berpotensi merusak hubungan asam-basa dan proses vital biogeokimia lainnya. Ini selanjutnya menghambat reproduksi, pertumbuhan, kalsifikasi dan pernafasan biota laut. Rantai selanjutnya tentu saja mengganggu kesejahteraan hidup manusia yang menggunakan biota laut sebagai bahan pangan dan sumber hidup mereka.
Paus Fransiskus juga mengingatkan satu masalah: “penggunaan cara penangkapan ikan yang merusak, terutama yang menggunakan sianida dan dinamit… dapat menimbulkan konsekuensi yang akan nyata walau tidak segera, dan bahwa pemanfaatan sumberdaya dengan cara itu akan sangat merugikan karena merupakan degradasi hingga sampai ke lantai lautan sendiri” [Paus Fransiskus 2015. Art. 41].
Lautan/Laut Indonesia
Indonesia berada di posisi 94o40’BT – 141oBT dan 6oLU–11oLS, terletak di antara Lautan Pasifik dan Lautan India. Luas perairan Indonesia terdiri dari perairan kepulauan/Laut Nusantara 2,3 juta km2, perairan territorial 0,8 juta juta km2; perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia (berdasar hukum laut internasional) 2,7 juta km2; seluruhnya berjumlah 5,8 juta km2. Namun belakangan perhitungan kembali ZEE Indonesia menambah taksiran luas perairan Indonesia mencapai 7,9 juta km2.
Dalam perairan ini terdapat potensi sumberdaya kelautan yang terdiri dari:
~ Sumber daya dapat pulih (ikan dan biota lainnya, terumbu karang, hutan mangrove, pulau-pulau kecil).
~ Sumber daya tidak dapat pulih (minyak dan gas, bahan tambang dan mineral).
~ Energi kelautan (gelombang, pasang surut, Ocean Thermal Energy Conversion, angin).
~ Jasa lingkungan (media transportasi, komunikasi, iklim, keindahan alam, penyerap limbah).
Sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Setidaknya meliputi 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut (Barani, 2004).
Berdasarkan hasil kajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, untuk perairan wilayah laut teritorial sekitar 4,62 juta ton per tahun dan perairan ZEEI sekitar 1,79 juta ton per tahun . Namun demikian, dengan menerapkan manajemen perikanan yang menganut azas kehatian-hatian (precautionary approach), Pemerintah menetapkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12 juta ton per tahun. Adapun realitas produksi perikanan tangkap di laut telah mengalami peningkatan dari sekitar 4,7 juta ton per tahun pada tahun 2005, hingga 5,34 juta ton pada tahun 2011. Sepintas batas jumlah tangkapan yang diperbolehkan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah dilalui. Dan jika diteliti lebih mendalam, telah terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan, dan antar jenis sumber daya. Di sebagian wilayah telah terjadi gejala tangkap berlebih (over fishing) seperti di Laut Jawa, Selat Malaka dan Selat Bali (85% dari armada penangkap ikan nasional beroperasi di sini), sedangkan di sebagian besar wilayah timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari.
Jenis stok sumberdaya ikan yang telah mengalami over fishing adalah jenis udang dan ikan karang konsumsi. Udang (over fishing hampir di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Sulawesi, Laut Arafura dan Samudera Pasifik, serta Samudera Hindia); ikan karang konsumsi (over fishing di perairan Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Arafura, dan Samudera Hindia); ikan demersal (over fishing di perairan Selat Malaka, Selat Makasar, dan Laut Laut Banda); ikan pelagis kecil (over fishing di perairan Laut Jawa dan Laut Banda); ikan pelagis besar (over fishing di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa). Kondisi over fishing ini tidak hanya disebabkan karena tingkat penangkapan yang melampaui potensi lestari sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan akibat pencemaran dan terjadinya degradasi fisik ekosistem perairan sebagai tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebagian besar biota laut tropis.
Penangkapan ikan ilegal atau pencurian ikan oleh armada asing menjadi fenomena yang selain merupakan pelanggaran atas kedaulatan negara juga menguras kekayaan laut tanpa memedulikan upaya pelestarian. Maka dalam pemerintahan baru Indonesia sejak 2014 dilakukan usaha intensif untuk melawan pencurian ikan oleh armada asing dengan penangkapan dan pembakaran kapal. Selain itu sumber daya perikanan juga terancam oleh teknik penangkapan ikan yang merusak dengan penggunaan peralatan seperti bahan peledak, racun dan pukat harimau. Kerusakan akibat pukat harimau sering lebih besar ketimbang kerusakan karena gelombang. Misalnya, pukat harimau selebar 20 m untuk menangkap udang merusak dasar laut hingga 1 km2 setiap jam.
Potensi lain yang diperhatikan adalah pengembangan budidaya ikan dan biota laut seluas 2 juta ha dengan volume 46.73 juta ton per tahun, terdiri dari budidaya ikan (kakap, kerapu, gobia), udang, budidaya moluska (kerang-kerangan, mutiara dan teripang) serta budidaya rumput laut. Potensi tersebut baru termanfaatkan sekitar 0,7 juta ton per tahun.
Terkait perubahan iklim global, permukaan laut di Indonesia bertambah tinggi dan mengancam pulau-pulau kecil. Semakin sering pula terjadi ancaman gelombang ekstrim dan abrasi yang dengan cepat mengikis kawasan pesisir. Gelombang ekstrim pada umumnya ditimbulkan oleh siklon tropis. Untuk wilayah di sebelah selatan khatulistiwa, daerah yang memiliki potensi tinggi terkena gelombang ekstrim adalah wilayah pantai utara Pulau Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Untuk wilayah di sebelah utara khatulistiwa daerah yang berpotensi terkena gelombang ekstrim adalah Pantai Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya. Daerah-daerah yang menghadapi risiko tinggi bencana abrasi meliputi Aceh Selatan dan Kota Banda Aceh di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kota Medan, Kota Padang dan Kabupaten Agam di Sumatra Barat, Kota Jakarta Utara, Kabupaten Rembang di Jawa Tengah, Kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Selayar di Sulawesi Selatan.
Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sungai-sungai penting bagi bumi karena merupakan daya utama pembentuk lanskap. Sungai yang mengalir baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah juga berfungsi untuk transportasi dan sumber air tawar untuk minum, untuk mencuci, dan untuk pertanian. Sungai mempunyai peran istimewa dalam siklus air, yaitu memindahkan air yang berlebih di daerah tangkapan hujan di bagian hulu dialirkan sepanjang daerah aliran sungai, hingga akhirnya bermuara di laut.
Secara global Dai dan kawan-kawan (2009) menghimpun data dari 925 sungai besar memonitor 80% wilayah daratan yang memasok air ke lautan dan mewakili 73% air limpasan daratan. Mereka mendapatkan bahwa sepertiga dari 200 sungai besar (termasuk Sungai Congo, Mississippi, Yenisey, Paraná, Gangga, Colombia, Uruguay dan Niger) menunjukkan tren yang secara statistik signifikan dalam periode 1948–2004, di mana jumlah sungai-sungai yang menunjukkan penurunan (45) melampaui sungai-sungai yang menunjukkan peningkatan (19) aliran. Berkurangnya aliran air sungai ditemukan pada banyak cekungan sungai sesudah garis lintang hingga ke kutub, semisal Sungai Huangho di China utara sejak 1960-an (Piao et al., 2010) di mana curah hujan mengalami penurunan. Sedang peningkatan aliran air sungai dalam paroh terakhir abad ke-20 terjadi di wilayah-wilayah di mana curah hujan bertambah semisal di daerah-daerah AS (Groisman et al., 2004), dan Sungai Yangtze di China bagian selatan (Piao et al., 2010). Di cekungan Amazon peningkatan aliran air yang terbilang ekstrem ditemukan dalam dasawarsa belakangan (Espinoza Villar et al., 2009). Di Perancis, Giuntoli et al. (2013) menemukan kecenderungan aliran alamiah sungai-sungai bervariasi dalam periode yang sama. Belakangan, Stahl et al. (2010) dan Stahl dan Tallaksen (2012) menyelidiki kecenderungan aliran sungai berbasis catatan data lebih dari 400 daerah tangkapan kecil di 15 negara Eropa untuk periode 1962–2004. Diperlihatkan suatu pola tahunan aliran sungai regional yang mengindikasikan kecenderungan menurun di kawasan timur dan selatan, sementara di tempat lain ada kecenderungan meningkat.
Di Indonesia terdapat sekitar 5.900 sungai. Pada umumnya karakter sungai mengikuti distribusi hujan yang berpola musiman, dan kondisi geologi setempat yang tergolong muda. Matahari yang bersinar sepanjang tahun memudahkan pelapukan batuan, sehingga memudahkan juga erosi dan pendangkalan palung sungai. Karena itu diperlukan konservasi sungai dan bagian-bagiannya untuk memelihara kelangsungan fungsinya. Daerah aliran sungai (DAS) baik palung maupun bantarannya juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air, sehingga DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Maka berdasarkan fungsi, konservasi sungai identik dengan tata-kelola DAS yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan wiayah tangkapan air agar tidak terdegradasi, antara lain memerhatikan indikasi kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah dimaksudkan untuk dapat mencukupi distribusi air yang baik, adil dan lancar, dengan indikasi kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta suplai pada prasarana pengairan, waduk, danau dan saluran irigasi. Ketiga DAS bagian hilir menunjang fungsi pemanfaatan air sungai bagi kepentingan sosial dan ekonomi, dengan indikasi kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, debit aliran, distribusi untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Pada umumnya masalah DAS sekarang adalah berkurangnya debit air sehingga mengurangi fungsinya sebagai distributor air, masalah palung sungai yang makin menyempit dan bertambah dangkal, daerah genangan banjir yang semakin meluas, serta meningkatnya pencemaran yang menyebabkan penurunan kualitas air.
Terdapat keprihatinan sejak tahun 1970 mengenai kerusakan DAS yang berkembang dengan cepat. Upaya rehabilitasi DAS karena berbagai hal (terutama dalam prioritas pendanaan dan teknik yang digunakan) kalah cepat dibanding derasnya laju kerusakan. Pada tahun 1984 jumlah DAS yang kritis dan super kritis 22 DAS, tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, 1994 menjadi 39 DAS, 1998 menjadi 42 DAS, 2000 menjadi 58 DAS dan tahun 2002 menjadi 60 DAS. Pada tahun 2005 suatu evaluasi memperkirakan 13% dari 458 DAS di Indonesia dalam kondisi kritis saat ini. Menurut inventarisasi tahun 2010, terdapat 60 DAS super kritis, 222 DAS kritis, dan 176 DAS cukup kritis. Keterbatasan sumber daya mengharuskan penggunaan pola prioritasi rehabilitasi dan konservasi. Areal kerusakan DAS kurang lebih sama dengan kerusakan hutan di kawasan hulu DAS. Dari kerusakan hutan seluas 54 juta hektar, direncanakan usaha rehabilitasi seluas 18 juta hektar selama 5 tahun, dengan target utama 9 juta hektar. Prioritas rehabilitasi difokuskan pada 17 DAS super kritis, yaitu 8 DAS di Jawa, 6 DAS di Sumatera, dan 3 DAS di Sulawesi dengan jumlah areal 3 juta hektar. Keputusan Presiden No.12/2012 menetapkan 29 sungai yang dianggap strategis secara nasional dalam hal suplai air baku untuk warga.
Banjir di kawasan DAS sering berkait dengan perubahan penggunaan lahan, misalnya dari sawah menjadi pemukiman. Dengan merujuk Sumaryanto dan Suhaeti (1997), Sumaryanto, et al. (2001) memberikan data luas perkiraan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 138.266 ha yang tersebar di Provinsi Jawa Barat seluas 37.033 ha selama 5 (lima) tahun (tahun 1987 – 1991), di Provinsi Jawa Tengah 40.327 ha (tahun 1981 – 1986), di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2.910 ha (tahun 1986 – 1990), dan Provinsi Jawa Timur 57.996 ha (tahun 1987 – 1993). Konversi lahan mengakibatkan perubahan neraca air DAS baik secara spasial maupun temporal.
Danau, Telaga, Situ, Bendungan, Waduk, Embung
Danau atau telaga atau dengan berbagai nama daerah adalah suatu badan air yang dikelilingi daratan. Pada umumnya danau menampung air tawar, walau sebagian danau juga asin airnya. Sumber tangkapan air danau adalah kawasan hutan gunung, atau sungai-sungai dataran tinggi yang bermuara di danau, yang biasanya berada di suatu lembah. Air danau tidak konstan, susut karena mengalir atau mengalami penguapan, atau meresap ke dalam tanah.
Danau memiliki peran dasar dalam siklus alam berupa penguapan, hujan dan aliran air di atas dan di bawah permukaan bumi dalam perjalanannya kembali ke laut. Danau merupakan bagian dari sistem akuatis yang meliputi sungai, lahan basah, air tanah. Diperkirakan lebih dari 90% air tawar di bumi adalah air danau, baik alami maupun buatan. Air danau berasal terutama dari air hujan dan aliran permukaan dan/atau resapan air tanah yang masuk dalam cekungan danau.
Dari segi lanskap, sebuah danau terdiri atas dua bagian yang berbeda namun satu sama lain berkaitan sangat erat, yakni daerah tangkapan air dan badan airnya sendiri. Manusia sepanjang sejarahnya telah membuat danau danau buatan, yang juga disebut sebagai waduk, bendungan atau reservoir di banyak tempat di muka bumi, khususnya ditujukan untuk mengatasi kelangkaan air, atau untuk mencegah terjadinya banjir. Di zaman modern ini, bangunan-bangunan tersebut dipakai juga untuk keperluan pembangkit tenaga listrik, kegiatan olahraga air, industri perikanan dan sarana rekreasi. Hampir semua sungai besar di dunia memiliki waduk semacam itu dan diperkirakan telah ada 800.000 waduk yang dibangun di seluruh dunia, 49.697 di antaranya merupakan bendungan besar, dan masih beroperasi sampai saat ini. Belakangan proposal pembangunan bendung atau waduk baru mendapat tentangan besar berdasar penilaian atas bendung-bendung yang sudah ada. Bendung-bendung besar dikecam karena mengubah dan merusak ekologi sungai, baik di hulu maupun hilir. Bendung menghambat pengaruh timbal-balik faktor-faktor alamiah sepanjang sungai dan menghentikan banyak proses lingkungan alamiah. Penggenangan bendung di hulu secara permanen merusak ekosistem terestrial. Seluruh flora dan fauna terestrial musnah di tanah yang ditenggelamkan. Bendung menahan bahan yang harusnya terbawa air, termasuk sedimen dan membatasi jalur migrasi beberapa spesies akuatik. Ke arah hilir terjadi perubahan aliran air, penyebaran sedimen, mutu dan suhu air. Banyak perubahan bersifat segera dan nyata. Namun ada perubahan lain yang muncul lambat laun dan lebih sulit diduga. Perubahan suhu, mutu air dan interaksi air dengan tanah berakibat pada produksi primer, yang dalam jangka-panjang berimplikasi pada ikan dan fauna lain dalam rantai pangan. Bendungan menyebabkan kerusakan ekosistem justru di tempat yang jauh dari lokasi bendungan juga. Perubahan sebaran sedimen mengakibatkan perubahan morfologi sungai, dataran banjir, bahkan muara sungai di pantai.
Jumlah danau di Indonesia meliputi 1.576 yang terdiri dari 840 danau besar dan 736 danau kecil. Jumlah bendungan dan waduk di Indonesia adalah 209 buah dengan daya tampung sebanyak 14,98 milyar meter3. Danau-danau alam pada umumnya mengalami masalah kerusakan daerah tangkapan air, yang menyebabkan penyusutan air danau. Erosi juga menyebabkan pendangkalan danau. Maka baik luasan maupun kedalaman danau semakin susut. Daya tampung dan distribusi air tawar pun semakin berkurang. Pemeliharaan bendungan dan waduk merupakan masalah pokok, terutama atas ausnya kondisi fisik dan atas derasnya sedimentasi. Iperlukan pengerukan, penggalian, sistem sifon atau penggelontoran untuk memertahankan daya tampung bendungan atau waduk. Derasnya sedimentasi tidak sesuai dengan perkiraan saat pembangunan, karena dalam perjalanan waktu terjadi kerusakan ekosistem di bagian hulu, daerah tangkapan air, yang menyebabkan cepatnya pelapukan dan erosi. Waduk Wonogiri, misalnya, diperkirakan mengalami sedimentasi 1,2 juta m3 per tahu, ternyata setelah beroperasi 22 tahun dari 1982 mengalami sedimentasi 7,5 juta m3 per tahun. Tragedi Situ Gintung di Jawa Barat yang ambrol dan menyebabkan banjir besar akibat tumpahnya air sebanyak 2 juta meter3 air yang meminta korban jiwa 100 orang dan kerugian banyak harta benda pada bulan Maret 2009 bermuara pada kelalaian pemeliharaan fisik bendungan.
Pada Konferensi Nasional Danau Indonesia I (KNDI) tahun 2009 di Bali dihasilkan “Kesepakatan Bali” tentang pengelolaan danau yang berkelanjutan atas dasar keprihatinan akan kondisi ekosistem danau di Indonesia yang semakin terancam akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan pada daerah tangkapan air (DTA) hingga perairan danaunya. Penyelamatan danau dimaksudkan untuk memulihkan, melestarikan dan mempertahankan fungsi danau berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungannya melalui 7 program: (1) pengelolaan ekosistem danau; (2) pemanfaatan sumber daya air danau; (3) pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau; (4) penyiapan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap danau; (5) pengembangan kapasitas, kelembagaan dan koordinasi; (6) peningkatan peran masyarakat; dan (7) pendanaan berkelanjutan. Pada periode 2010 hingga 2014 diprioritaskan penyelamatan 15 danau di Indonesia yaitu: Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Singkarak, Danau Kerinci, Danau Tondano, Danau Limboto, Danau Poso, Danau Tempe, Danau Matano, Danau Mahakam (Semayang, Jempang, Melintang), Danau Sentarum, Danau Sentani, Rawa Danau, Danau Batur, dan Danau Rawa Pening.
Di Indonesia terdapat sekitar 128 bendungan/waduk yang dibangun sejak tahun 1900. Di antaranya 82 buah tergolong bendungan besar (kriteria: tinggi bendungan 15 meter atau lebih, panjang puncak sekurang-kurangnya 500 meter, daya tampung minimum 1 juta m3, atau kapasitas pelimpah minimum 2.000 m3 per detik). Di antaranya 48 bendungan di Jawa, dan lainnya tersebar di pulau-pulau lain. Yaitu: Bendungan Pongkor (Cisadane-Ciliwung); Saguling, Cirata, Saguling, Cileunca,Cipanunjang (Citarum); Darma, Situpatok (Cimanuk); Malahayu, Cacapan, Penjalin (Pemali Comal); Mrica, Garung, Sempor, Wadaslintang, Pejengkolan (Serayu-Bogowonto); Klego, Kedung Ombo, Greneng, Nglangon, Tempuran, Lodan Wetan, Gunung Rawa, Gembong (Jratunseluna); Sermo (Progo-Opak-Oya); Nawangan, Ngancar, Song Putri, Plumbon, Parangjoho, Wonogiri, Krisak, Cengklik, Delingan, Ketro, Pacal, Prijetan, Gondang, Tlogo Ngebel, Pondok (Bengawan Solo); Selorejo, Sengguruh, Wlingi, Lahor, Sutami/Karangkates, Wonorejo, Bening (Brantas); Sampeyan Baru (Pekalen-Sampeyan); Klampis (Madura); Siruar, Sigura-gura, Tangga (Asahan); Kotopanjang (Kampar); Way Rarem (Masuji-Tulang Bawang); Way Jepara, Batutegi (Seputih Sekampung); Mukakuning, Duriangkang, Ladi, Sei Harapan (Batam); Lagoi (Bintan); Riam Kanan (Barito); Manggar, Samboja (Mahakam); Larona (Pompengan-Kalaena-Larona); Bakaru (Saddang); Kalola (Walanae-Cenranae); Bili-bili (Jeneberang); Palasari, Grokgak (Bali); Batujai, Pengga, Batu Brokah, Bringe, Gunung Paok (Lombok); Mamak, Tiu Kulit, Sepayung Dalam, Selante, Ncera, Roi, Lamenta (Sumbawa). Beberapa bendungan baru yang sedang dibangun pemerintah a.l. Jatigede (Jawa Barat), Benel (Bali), Beriwit dan Marangkayu (Kalimantan Timur), Ponre-ponre (Sulawesi), Haekrit (Nusa Tenggara Timur) dan Keuliling (Aceh).
Dari bendungan/waduk yang ada, untuk keperluan irigasi ada kontribusi 10% terhadap kebutuhan air pertanian; sedang bagi pembangkitan tenaga listrik diberikan kontribusi 14% terhadap jumlah produksi listrik di Indonesia tahun 2009.
Air Tanah
Kebanyak air yang kita lihat di sumur, sungai, empang, danau, kanal, bahkan comberan, atau tempat lain berada di permukaan tanah. Kita tidak melihat air yang meresap ke dalam tanah. Air yang masuk ke dalam tanah dan kemudian berkumpul di satu tempat kita sebut “air tanah”. Tempat itu jenuh air, dan sering disebut aquifer. Air tanah merupakan persediaan air tawar yang sangat penting dalam ekosistem yang berfungsi dan bagi kesejahteraan manusia. Total volume air di bumi sekitar ~1.4 milyar km3. [1km3 = 1 milyar m3]. Sekitar 8 juta km3 or 30.8% air di bumi disimpan sebagai air tanah. Pada tahun 1993, ini dianggap merupakan 97% persediaan air yang potensial dapat digunakan untuk keperluan manusia. Namun suatu penelitian lima tahun sesudahnya menyatakan bahwa air tanah perupakan persediaan air tawar 90% bagi dunia (Boswinkel, 2000), dan sekitar 1,5 milyar orang memanfaatkan air tanah sebagai air minum (WRI, UNEP, UNDP, World Bank, 1998). Diperkirakan setiap tahunnya air tanah disedot sebanyak antara ~600-700 km3, atau sekitar 20% dari pengambilan air tawar di dunia (WMO, 1997). Empat belas tahun kemudian, suatu penelitian menyatakan bahwa di seluruh dunia, 2,5 milyar orang menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, dan ratusan juta petani memanfaatkannya untuk keberlanjutan penyediaan pangan bagi lebih banyak orang lagi (UNESCO, 2012). Air tanah setidaknya merupakan air minum bagi 50% penduduk dunia dan menyumbang 43% untuk keperluan irigasi di dunia (Groundwater Governance, n.d.). Air tanah yang membuncah keluar dari mata air menjamin kelangsungan aliran air sungai-sungai dan penting bagi ekosistem akuatik.
Namun suatu ketika persediaan air tanah pada outlet tertentu (sumur, misalnya) kering juga. Ketidakpastian mengenai ketersediaan air tanah dan laju pengisiannya kembali menghadapkan tantangan serius bagi tata-kelola air tanah, terutama dalam rangka mengadakan persediaan penyangga untuk masa-masa kesulitan atau kelangkaan air (van der Gun, 2012).
Air tanah merupakan persediaan air yang murah. Terhadap permukaan tanah setempat, air tanah dapat dikatakan air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air tanah dangkal letak aquifernya kurang dari 40m di bawah permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam letak aquifernya lebih dari angka tersebut. Dengan teknik pemboran yang maju, pembuatan sumur dan teknologi pompa serta perluasan elektrifikasi desa-desa, semakin banyak volume air tanah yang disedot untuk dimanfaatkan. Prakteknya mencemaskan jika tidak disertai perencanaan yang baik. Jika penggunaannya berlebihan, akibatnya akan timbul selang beberapa tahun atau dasawarsa berikutnya, mengingat pembaruan persediaan berlangsung lebih lamban. Suplai air tanah terus menyusut, diperkirakan 20% dari aquifer dunia sudah dikuras secara berlebihan (Gleeson et al., 2012), dengan konsekuensi serius dalam hal tanah ambles dan intrusi air laut di kawasan tepi laut (USGS, 2013). Paras air tanah di beberapa daerah pertanian intensif dan berbagai kota megapolitan mengalami penurunan serius (Groundwater Governance, n.d.). [World Water Report 2015. Hal 13].
Fakta bahwa persediaan air tawar kita terbatas mempunyai implikasi atas jumlah penduduk dunia yang mendekati 7 milyar orang dan masih terus bertambah. Konsumsi air dunia menjadi lipat dua setiap dua dasawarsa, laju peningkatan dua kali dari laju pertambahan penduduk. (The World Water Organization, 2010). Jika kecenderungan pertambahan penduduk dan konsumsi air tetap demikian, diperkirakan pada tahun 2025 kebutuhan akan air akan lebih besar 56% daripada persediaannya dan 1,8 milyar orang akan mengalami kemiskinan air “Majority of world population face water shortages unless action taken, warns Migiro,” UN News Centre, (UN News Service, 5 Feb 2009),by 2025. Karena itu diperlukan strategi air untuk masa depan, termasuk pengawasan atas penyedotan dan mutu air.
Indonesia juga menghadapi ancaman erosi, yaitu perubahan bentuk tanah atau batuan yang dapat disebabkan oleh kekuatan air, angin, es, pengaruh gaya berat atau organisme hidup. Proses erosi terutama dapat mengakibatkan penipisan lapisan tanah dan penurunan tingkat kesuburan, karena butiran tanah yang mengandung unsur hara terangkut limpasan permukaan dan diendapkan di tempat lain. Erosi juga merusak daerah-daerah aliran sungai dan menimbulkan pendangkalan palung sungai serta bendungan-bendungan yang ada, dan dengan demikian mempengaruhi fungsi dan usia bendungan. Risiko erosi tinggi di Indonesia tersebar di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku serta Papua. Selain itu cuaca ekstrim seperti hujan deras bersama angin puting beliung, topan dan badai tropis juga mulai banyak mempengaruhi Indonesia, terutama terkait dengan meningkatnya dampak perubahan iklim global. Ancaman yang paling sering terjadi adalah angin puting beliung yang umumnya terjadi pada musim pancaroba atau peralihan dari musim hujan ke musim kemarau maupun dari musim kemarau ke musim hujan. Tingginya kecepatan angin puting beliung dapat menimbulkan kerusakan dalam bentuk robohnya atap bangunan ringan, baliho, tiang listrik dan pohon-pohon.
Kriosfer
Kriosfer adalah kawasan bumi yang tertutup air beku. Salju menyelimuti tanah di bagian atas garis lintang selama musim dingin. Gunung es dan dataran es mengapung di perairan dingin dekat kutub-kutub utara dan selatan. Di puncak-puncak gunung tinggi terdapat kumpulan salju dan sungai es. Tanah di kawasan kutub dipenuhi air beku, disebut permafrost. Permafrost menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya, utamanya di bioma tundra. Secara keseluruhan air beku yang menutup bumi disebut kriosfer.
Sebagian dari kriosfer seperti salju yang menutupi empang dan danau di kawasan garis lintang atas, hanya ada selama bulan-bulan musim dingin saja. Sebagian yang lain tetap ada sepanjang tahun, bahkan untuk puluhan dan ratusan tahun.Es di kutub Antartika sudah ada seperti itu hanmpir dalam sejuta tahun.
Karena warnanya yang putih mengilat, salju dan es memantulkan sinar matahari kembali ke angkasa. Jika salju dan es mencair, dan tanah atau laut yang lebih gelap warnanya timbul, sinar dan energi matahari diserap dan kemudian dikembalikan ke udara, sehingga atmosfer menjadi lebih panas. Air yang mencair dari es dan salju kemudian menjadi bagian dari hidrosfer menambah volume air bumi. Jumlah es dan salju yang mencair semakin banyak akibat pemanasan global. Beruang kutub, anjing laut, penguin, mendapat habitat di kutub. Begitu pula pelbagai organisme lainnya. Es dan salju yang mencair memberikan air tawar kepada bumi, untuk keperluan hidup pelbagai flora, fauna, bahkan manusia.
Pengamatan atas kriosfer antara 1979-2012 menunjukkan fakta bahwa tutupan es dan salju makin menyusut. Tingkat rata-rata penyusutan es di Greenland dan Antartika lebih tinggi pada periode
2002-2011. Di kawasan Laut Utara, Arktik, dalam periode 1979–2012 susut dengan laju antara 3,5 hingga 4,1% per dasawarsa (es di laut menyusut antara 9,4 hingga 13,6% per dasawarsa. Di belahan bumi utara, tutupan salju juga susut sejak pertengahan abad ke-20, sementara suhu permafrost mengalami peningkatan sejak awal 1980-an karena pemanasan hingga 3oC di Alaska utara dan 2oC di bagian Rusia dari Eropa utara.
Beberapa puncak pegunungan di Papua dulu berselimut salju. Sekarang kita tidak mendapatkan laporan tentang keberadaannya.
Mencairnya kriosfer menimbulkan kecemasan sehubungan dengan persediaan air tawar yang ada di dunia untuk hidup banyak orang. Semakin banyak lembaran es atau tutupan salju yang mencair, cadangan air tawar bagi dunia berkurang. Pada hal kebutuhan dunia akan air tawar semakin hari semakin bertambah. Di depan telah dikatakan bahwa air tawar dalam rupa es (di kutub) dan salju (di puncak gunung tinggi) meliputi 24,06 juta km3.
Mencairnya es kutub dan salju dari puncak gunung menambah volume air laut. Karenanya permukaan laut bertambah tinggi. Gejala itu memrihatinkan Indonesia, karena beberapa pulau kecil bisa tenggelam, dan kota-kota di pesisir atau tepi laut akan mengalami intrusi air laut lebih banyak. Dalam forum PBB untuk konvensi perubahan iklim yang diselenggarakan di Bali tahun 2007 (UNFCCC COP 13), pihak Indonesia menyuarakan keprihatinan itu, sama dengan negara-negara yang terdiri dari pulau-pulau kecil.
Simpul sementara
Perubahan iklim karena konsentrasi gas rumah kaca yang meningkatdi atmosfer memengaruhi siklus air melalui badan-badan air di bumi, lautan, danau/telaga, sungai, dengan mengubah pola penguapan, kelembapan, distribusi hujan, perbedaan suhu di laut yang membangkitkan arus dan angin, serta kejadian-kejadian ekstrem. Gerakan arus laut yang meningkat temperaturnya ke arah kutub menyebabkan es di kutub mencair, menambah volume air laut dan meninggikan permukaan laut. Mencairnya salju abadi di puncak gunung karena panas bumi yang meningkat memrihatinkan, mengingatkan berkurangnya cadangan air tawar yang diperlukan mahluk hidup. Kondisi dan besaran daya tampung danau dan bendungan perlu direvaluasi agar meningkatkan fungsi ekosistem dalam menangkap, menyimpan dan membagikan air tawar.
Mengancang Masa Depan
Sejauh ini kita telah memerhatikan secara ringkas iklim dan sistem-sistem di dalamnya, masing-masing dan dalam interaksi pertalian yang satu dengan lain yang lain. Kita telah memerhatikan situasi sistem-sistem atmosfer, biosfer, geosfer/litosfer, dan hidrosfer, serta bagian-bagian di dalamnya, dalam perkembangannya hingga saat ini berhadapan dengan iklim. Setiap kali pada tinjauan atas masing-masing sistem kita temukan benang merah mengenai iklim yang sedang berubah dan dampaknya. Sejauh mungkin juga telah diusahakan memaparkan situasi Indonesia. Selanjutnya kita hendak melihat kecenderungan atau tren perkembangan situasi perubahan iklim dan kemungkinan dampaknya ke masa depan.
Pada 1988 Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization, WMO) dan Badan PBB untuk Program Lingkungan (United Nations Environment Programme, UNEP), menyelenggarakan suatu panel antar-pemerintah negara (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) yang meliputi para pakar dalam bidang masing-masing dari seluruh dunia untuk melakukan penelitian obyektif ilmiah dan teknis mengenai perubahan musim untuk bahan pengambilan keputusan sehubungan dengan kebijakan nasional maupun internasional sehubungan dengan perubahan iklim. Sejak 1990, IPCC menyemapikan Laporan Penilaian (Assessment Reports), Laporan Khusus (Special Reports), Makalah Teknis (Technical Papers), Laporan Metode (Methodology Reports) dan lain-lain, yang kemudian menjadi rujukan standar sehubungan dengan perubahan iklim. Paparan pengetahuan ilmiah yang baru dan informasi yang diajukan IPPC mengenai iklim menjadi dasar perundingan dan kesepakatan-kesepakatan negara-negara di bawah payung PBB, dalam Kerangka Konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) yang dibentuk pada tahun 1992, dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, dan masa sesudahnya hingga sekarang. Para ilmuwan yang tergabung dalam IPPC, untuk mendapatkan gambaran perubahan iklim di masa depan memerlukan alat-alat pengukuran reaksi bumi terhadap perubahan. Sebagian dari alat itu adalah model-model iklim global. Dengan menggunakan model-model yang memadukan perangkat data beraneka ragam, para ilmuwan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bumi menerima perubahan itu di masa depan. Model iklim global (Global Climate Models, GCM) menggunakan matematik dalam merumuskan bagaimana bumi bekerja, dengan memanfaatkan super-komputer. Komputer ini menyelesaikan lebih dari 80 juta soal matematik dalam satu jam. Yang diperhitungkan dalam model iklim berkenaan dengan masuknya data baru setiap kurun waktu tertentu di berbagai tempat percontoh mengenai flora dan fauna (biosfer), lautan, danau dan sungai (hidrosfer), es dan salju (kriosfer), udara (atmosfer), serta daratan, gunung dan lempeng daratan yang bergerak (geosfer). Kepada kita, perorangan, masyarakat maupun pemerintahan negara-negara, IPPC memberikan gambaran perkembangan iklim di masa depan, dengan bermacam-macam tingkat kepastian, mulai yang sedang (50%) hingga tingkat kepastian tertinggi, 95% [IPPC, 2013].
Berdasarkan pengamatan suhu rata-rata global terjadi kenaikan pemanasan suhu 0,85 [yang paling mungkin di antara 0,65 – 1,06]°C, untuk periode antara 1880 hingga 2012. Pada tahun 2013, diproyeksikan dua puluh tahun ke depan antara 2016-2035, suhu rata-rata bumi bolehjadi akan terus bertambah lagi antara 0,3oC – 0,7oC, dan hingga akhir abad nanti (2100) peningkatan suhu antara 0,3oC hingga 4,8oC. Namun ada pula sinario proyeksi lain yang menyatakan kemungkinan kenaikan temperatur global periode 2016–2035 lebih dari 1°C di atas rata-rata periode 1850–1900. Sedang proyeksi jangka panjang peningkatan suhu global dari 2016 hingga tahun 2100 minimal adalah antara 1oC hingga 3,7oC. Kurang lebih sama dengan peningkatan antara 3,7 hingga 4,8˚C dibanding tingkat suhu di masa pra industri.
Hal itu terutama disebabkan oleh perkembangan konsentrasi gas rumahkaca yang berkembang dua kali lipat di atmosfer. Konsentrasi GRK seluruhnya dapat mencapai antara 750 hingga lebih dari 1.300 ppm CO2 ekivalen (CO2e). Agar temperatur tetap berada di bawah 2˚C (3˚C) di atas masa pra industri, konsentrasi GRK di atmosfer selama abad ke-21 tak boleh melampaui 430 hingga 530 (580-650) ppm CO2e. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyarankan agar pada 2050 emisi GRK sekitar 40 hingga 70% di bawah tingkatan tahun 2010. Bagaimana mencapai kondisi ini dibicarakan negara-negara melalui konferensi para pihak (COP, conferenfe of parties) dalam Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) setiap tahun, yang walaupun berlangsung a lot namun mendapat kemajuan berangsur-angsur.
Secara umum diperkirakan dampak yang akan dialami bumi terkait dengan meningkatnya pemanasan di masa depan.
Jika peningkatan pemanasan global antara 0,7-1,5o C dari periode 1980-1999:
Cuaca: Hari-hari dan malam-malam sejuk akan berkurang, sebaliknya hari-hari dan malam-malam panas akan bertambah. Gelombang panas akan semakin sering datang, semakin intens dan semakin lama berlangsungnya. Topan tropis pun semakin sering datang, dan semakin kuat pusarannya.
Biosfer dan ekosistem: akan bertambah laju kemusnahan keragaman hayati hewan amfibi. Laju kerusakan terumbu karang semakin tinggi karena bertambahnya tingkat keasaman (pH) air laut, dan berakibat pada susutnya ikan untuk ditangkap dan dikonsumsi. Akan terjadi perpindahan besar-besaran spesies keragaman hayati ke tempat yang lebih sesuai (lebih sejuk). Kebakaran hutan dan padang akan bertambah. Dalam hal pangan, akan terjadi kemerosotan produksi padi-padian di daerah di bawah garis lintang. Namun untuk daerah pada garis lintang dan semakin tinggi, produksi padi-padian justru bertambah.
Geosfer: Bertambahnya suhu permukaan tanah, kurangnya pengembunan dan kelembapan serta bertambahnya kekeringan akan memerluas gurun. Perubahan curah hujan, meningkatnya permukaan laut menyebabkan peningkatan kerusakan akibat abrasi dan erosi di kawasan pesisir. Banjir dan topan akan bertambah kerap. Setiap tahun jumlah orang yang rentan pada dampak banjir dan topan akan bertambah antara 1-3 juta.
Hidrosfer: Penguapan akan meningkat di seluruh badan air. Frekuensi dan intensitas hujan akan bertambah di sebagian besar lautan. Persediaan air di kawasan tropis dan di atas garis lintang akan bertambah. Sebaliknya, persediaan air di daerah sekitar garis lintang dan daerah setengah-kering di bawah garis lintang akan berkurang. Lapisan es di Greenland dan Antartika Barat akan berkurang.
Aspek lain berkenaan dengan kesehatan manusia: tekanan akan bertambah sehubungan dengan gizi buruk, diare, penyakit paru-paru, jantung dan infeksi. Peningkatan jumlah korban meninggal akibat gelombang panas, banjir dan topan. Perubahan sebaran beberapa vektor penyakit.
Jika peningkatan pemanasan global antara 1,5o – 2,5oC dari periode 1980-1999:
Cuaca: Situasi semakin ekstrem karena hari dan malam sejuk makin sedikit, sedang hari dan malam panas bertambah panjang dan banyak dalam setiap tahunnya. Gelombang panas bertambah sering, semakin intens dan semakin panjang durasinya.
Biosfer dan ekosistem: Asidifikasi air laut meningkat lagi sehingga sebagian besar terumbu karang sudah rusak. Perkembangan biota laut merosot. Produksi ikan makin susut lagi. Antara 20-30% keragaman hayati terancam punah. Biosfer darat sekitar 15% malah cenderung menjadi pelepas (emiten) karbon dan menambah pemanasan global. Banjir dan topan di pesisir menjadi-jadi. Tambahan orang yang terpapar dampaknya meningkat lebih dari 3 juta orang per tahun.
Geosfer: Pelapukan makin meluas. Daya dukung tanah kepada hidup manusia semakin berkurang.
Hidrosfer: Suhu air yang lebih tinggi menyebabkan kandungan oksigen pada air berkurang. Maka sebagian besar mahluk akuatik di perairan dangkal, ikan air tawar misalnya, akan mengalami kesulitan hidup dan untuk berbiak. Permukaan laut atau danau yang semakin hangat memberikan energi bagi timbulnya angin topan. Maka intensitas dan juga jumlah angin topan akan semakin bertambah lagi.
Aspek kesehatan: Sebaran penyakit infeksi seperti malaria semakin luas. Bukan hanya penyakit manusia, tetapi juga penyakit tanaman dan hewan semakin meluas dan bervariasi.
Catatan: semua perkiraan ini dapat berubah bahkan gugur jika di bumi terdapat dua atau beberapa letusan besar gunung berapi setara letusan Gunung Tambora atau Krakatau. Ketika Gunung Tambora meletus pada 1815, sebaran bahan piroklastiknya yang mengandung sulfur dioksid memayungi sebagian besar permukaan bumi dari panas matahari, sehingga bumi mengalami pendinginan, dan dua tahun selanjutnya tidak ada musim panas. Ketika Gunung Krakatau meletus, pengaruhnya bahkan bertahan sampai empat hingga lima tahun selanjutnya, bahkan mungkin juga hingga satu dasawarsa (Stenchikov et al.,2009). Letusan gunung Pinatubo (1991) juga mempunyai pengaruh semacam itu.
Selain proyeksi gambaran fisik, yang lebih penting diperhatikan adalah dampak perubahan iklim pada hidup manusia. Yang pertama mengangkut ketahanan pangan. Perubahan tingkat produksi pangan yang negatif secara global akan menimbulkan tekanan besar, terutama bagi mereka yang miskin. Kelangkaan bahan pangan akan menyebabkan harga pangan meningkat tak terjangkau. Selain itu juga kelangkaan air tawar dan minum. Banyak konflik akan terjadi sehubungan dengan penguasaan dan akses sumber-sumber air. Ekonomi setiap tempat akan mendapat tekanan besar, sebab belanja yang lebih besar akan digunakan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi iklim. Biaya ekonomi akan meningkat untuk memberikan pendapatan yang lebih besar karena biaya hidup yang meningkat. Yang kedua menyangkut tempat tinggal dan kesehatan. Ancaman banjir, topan, tanah longsor dan penyebaran penyakit karena pemanasan bumi menimbulkan keprihatinan dengan semakin banyaknya orang yang terpapar risiko kehilangan rumah dan biaya penanggulangan yang besar pula. Kesehatan jiwa masyarakat merupakan persoalan ketika cuaca panas menyulut kegelisahan, amarah dan agresivitas yang dapat melebar menjadi konflik. Gelombang panas yang makin kerap dan intens juga memerlukan perhatian untuk persiapan yang lebih baik dalam menghadapinya.
Paus Fransiskus mengingatkan, “Iklim yang adalah merupakan kepentingan umum, milik semua dan untuk semua” (Paus Fransiskus, 2015). Maksudnya, tak seorang pun boleh diam saja menghadapi situasi iklim yang berubah memberatkan hidup bersama. Setiap orang terpanggil untuk berbuat sesuatu dalam usaha stabilisasi iklim.
Di tingkat internasional dan nasional ada kebutuhan mendesak agar pemerintah negara-negara mengembangkan kebijakan untuk beberapa tahun ke depan mengurangi emisi karbon dioksida dan gas-gas yang sangat polutif lainnya sekitar 40-70%, misalnya, mengganti bahan bakar fosil dan mengembangkan sumber energi yang terbarukan, dan menggunakan peralatan yang hemat energi. Di seluruh dunia masih kecil sekali akses pada energi yang bersih dan terbarukan. Masih ada kebutuhan untuk mengembangkan teknologi penyimpanan yang memadai. Beberapa negara telah membuat kemajuan besar, meskipun masih jauh dari proporsi yang signifikan. Investasi juga telah ditanam untuk sarana-sarana produksi dan transportasi yang hemat energi dan membutuhkan jumlah bahan baku yang berkurang, juga dalam pengembangan metode konstruksi dan renovasi bangunan yang meningkatkan penghematan energi. Tapi semua praktik yang baik ini masih belum meluas jauh. [Paus Fransiskus, 2015. Art 26].
Masyarakat lokal diajak berpartisipasi mendukung kebijakan nasional, namun juga mengusahakan stabilisasi iklim sesuai kondisi setempat. Keterlibatan rumah tangga dan tiap anggotanya dalam gerak komunitas menghadapi perubahan iklim merupakan pilar penting keberhasilan usaha-usaha stabilisasi iklim.
Rujukan:
Arifin, Z., R. Puspitasari, dan N. Miyazaki, 2012, Heavy Metal Contamination in Indonesia Coastal marine ecosystems: A historical perpective. Dalam Coastal Marine Science 35(1):227-233, 2012.
Asian Development Bank and The World Bank. 2015. Unlocking Indonesia’s Geothermal Potential. Asian Development Bank and The World Bank. https://openaccess.adb.org; https://openknowledge.worldbank.org. Available under a CC BY 3.0 IGO license.
Bapedal dan PKSPL – IPB, 1999.
Baumert, Kevin A, Herzog, Timothy, and Pershing, Jonathan. 2005. Navigating the Numbers: Green House Gas Data and International Climate Policy. Washington DC. World Resource Institute. 2005.
Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut: Sinopsis. Pusat Kajian
Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut pertanian Bogor. Bogor.
Bertani, Ruggero. 2015. Geothermal Power Generation in the World 2010-2014 Update Report. Proceedings World Geothermal Congress 2015. Melbourne, Australia, 19-25 April 2015
Biodiversity Conservation Unit – Ministry of Environment, 2009. The Fourth National Report to the CBD. Jakarta. Report to the Convention on Biological Biodiversity. Jakarta.
Biodiversity Conservation Unit – Ministry of Environment, 2012, The Fifth National Report to the CBD. Jakarta. Report to the Convention on Biological Biodiversity. Jakarta.
BP Statistical Review of World Energy, 2011. 60 Years Statistical Review 1951-2011.
Bryant, D., Nielsen, D. and L. Tangley. 1997. The Last Frontier Forest: Ecosystems and Economies on the Edge. World Resources Institute. Washington DC.
Burke, L., Selig, E. and Spalding, M. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. WRI, UNEP, WCMC,ICLARM, ICRAN.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting and M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, Rokhmin , Prof., Dr., Ir., MS , 2000, Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB).
…………………. 2002. Kebijakan Nasional dan Renstra Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut secara Berkelanjutan. Makalah Hari Studi Pertama Mahasiswa SPL, PPS – IPB. Bogor.
…………………. 2003, Keanekaragaman Hayati Laut, PT. Gramedia Pustaka Utama
Dai, A., et al, 2009. Continental River Discharge and Reservoirs Storage Trends and Variability from 1950-on. University of Washington.
Darma S. dan Gunawan R. 2015. Country Update: Geothermal Energy Use and Development in Indonesia. Proceedings World Geothermal Congress 2015, Melbourne, Australia, 19-24 April 2015.
Defries, R.S., T. Rudel, M. Uriarte, and M. Hansen. 2010. Deforestation driven by urban population growth and agricultural trade in the twenty-first century. Nature Geoscience 3: 178-181.
Departemen Kehutanan. 1993. Statistik Kehutanan Indonesia 1991/1992. Biro Perencanaan Departemen Kehutanan. Jakarta.
Derrick’s Hand-Book of Petroleum: A Complete Chronological and Statistical Review of Petroleum Developments from 1859 to 1898 (1898). Oil City, PA: Derrick Publishing Company. (Diperoleh dari Google Books).
IEA (International Energy Agency). 2012. World Energy Outlook 2012. Paris, OECD/IEA.
Eliasch Review 2008. Climate change: financing global forests. Office of Public Sector Information, Information Policy Team, Kew, Richmond, Surrey TW9 4DU.
Erftemeijer, P.L.A. Lewie III, R.R.R., 2006. Environmental impacts of dredging on Seagrass; A review. Marine Pollution Bulletien 52 : 1553-1572.
ESDM, 2004. “Blueprint for Geothermal Development in Indonesia”.
FAO, 2005. Global Forest Resources Assessment (FRA) 2005. Rome, Italy.
FAO, 2007. The world’s mangrove 1980-2005. FAO forestry paper 153, Rome, Italy.
FAO, 2012. The State of World Fisheries and Aquaculture. Rome, Italy.
Fortes, M.d., 1989. Seagrasses: a resources unknown in the ASEAN region, ICLARM Education Series 5:46 pages. International Center for Living Aquatic Re-sources Management, Manila. Philippines.
Francis Wahono, 2013. Ekonomi Hijau: Manajemen Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Komunitas Dari Papua Sampai Aceh. Cinde Books dan GEF-SGP Indonesia – UNDP. Yogyakarta-Jakarta.
FWI/GFW 2002: The State of the Forest: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia and Washington DC: Global Forest Watch.
Hadiwijoyo, Rohmad . 2011. Geothermal: A green solution. Jakarta Post Wednesday, 01/26/2011
Hansen, M.C., S.V. Stehman, and P.V. Potapov. 2010. Quantification of global gross forest cover loss. Proceedings of the National Academy of Sciences 107: 8650-8655.
Hartog, C. den, 1970. Seagrass of the World. North Holland Publshing Company. Amsterdam. London.
Hassan R; Scholes, R; Ash, N (eds) 2005. Ecosystems and human well-being: Current state and trends. Volume 1: Findings of the condition and trends, Working Group of the Millennium Ecosystem Assessment. Washington: Island Press
Hooijer, A, M Silvius, H Wösten, H and S Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943 7 December 2006
Huffman, G. J.,et al., 1997: The Global Precipitation Climatology Project (GPCP) combined precipitation data set. Bull. Amer. Meteor. Soc., 78, 5–20.
IOC/UNESCO, IMO, FAO, UNDP. 2011: A Blueprint for Ocean and Coastal Sustainability.
IPCC, 2007a. Fourth Assessment Report: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Intergovernmental Panel on Climate Change, New York.
IPCC , 2007b. Fourth Assessment Report: Climate Change 2007: Synthesis Report (AR4). Intergovernmental Panel on Climate Change, New York.
IPPC, 2013. Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 1535 pp.
John Hopkins University dan Terangi, 2003. Coral Reef Education Database. Dalam bentuk CD.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2012. Profil Potensi Panas Bumi. Kementerian ESDM. Indonesia. Jakarta. Desember 2012.
Kementerian Kehutanan, 2011. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010–2014. Sekretariat Jendral Kementrian Kehutanan. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2002. From Crisis to Sustainability. Paving The
Way for Sustainable Development in Indonesia: Overview of the Implementation of Agenda 21. Jakarta.
Kienast F, Bolliger J, Potschin M, de Groot RS, Verburg PH, Heller I, Wascher D, Haines-Young R. 2009. Assessing landscape functions with broad-scale environmental data: Insights gained from a prototype development for Europe. Environmental Management 44:1099–1120.
KONPHALINDO. 1993. Atlas Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Konphalindo. (Juga diterbitkan sebagai: 1993.Atlas of Biodiversity in Indonesia. Jakarta: Konphalindo).
KPP-Coremap. 2001. Buku Panduan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) dalam Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang / Guidebook for Community-based Management of the Coral reef Rehabilitation and Management Program (Coremap). Kantor Pengelola Program Coremap / Office for Management of Coremap Program, December 2001.
Kuriandewa, T.E., Kiswara, W., Malikusworo, H., dan Soemodihardjo, S., 2003. The Seagrass of Indonesia, dalam Green, E.P. and F.T. Short (eds), 2003. World Atlas of Seagrass. UNEP World Conservation Monitoring Centre. Unversity of California Press, Berkeley, USA.
KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), 2004, Nota Pastoral Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya.
…………………. 2006. Nota Pastoral: Habitus Baru, Ekonomi yang Berkeadilan – Keadilan Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi.
…………………. 2012. Nota Pastoral: Keterlibatan Gereja Dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan.
LPP Mangrove, 2004. Economic valuation of the mangrove ecosystem in Indonesia. LPP Mangrove Publication, Bogor.
Matek, Benjamin. 2015. Annual U.S. & Global Geothermal Power Production Report. February 2015. Geothermal Energy Association.
Mayaux, P., P. Holmgren, F. Achard, H. Eva, H. Stibig, and A. Branthomme. 2005. Tropical forest cover change in the 1990s and options for future monitoring. Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological Sciences 360: 373-384.
Menteri Kehutanan, 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.
Millennium Ecosystem Assessment Series (2005): Ecosystems and Human Well-Being: Current state and trends.
Mittermeier, R., Gil, P. dan Goettsch-Mittermeier, C. 1997. Megadiversity: Earth’s biologically
wealthiest nations. Cemex, Prado Norte.
Nellemann, C., Corcoran, E., Duarte, C. M., Valdés, DeYoung, C., Fonseca, L., Grimsditch, G. (Eds). 2009. Blue Carbon. A Rapid Response Assessment. United Nations Environment Programme, GRID-Arendal.
Pan, Y., Birdsey, R.A., Fang, J., Houghton,R., Kauppi, P.E., Kurz, W.A., Phillips, O.L., Shvidenko, A., Lewis, S.L.., Canadell, J.G., Ciais, P., Jackson, R.B., Pacala, S., McGuire, A.D., Piao, S., Rautiainen, A., Sitch, S. and Hayes, D. (2011): A Large and Persistent Carbon Sink in the World’s Forests 1990-2007. Science Vol. 333: 988-993.
Paus Fransiskus, 2015, Ensiklik Laudato Si: On Care for Our Common Home. Libreria Editrice Vaticana
Pendleton, L., Donato, D.C., Murray, B.C., Crooks, S., Jenkins, W.A., Sifleet, S., Craft, C., Fourqueran, J.W., Kauffman, J.B., Marbà, N., Megonigal, P., Pidgeon, E., Herr, D., Gordon, D. and Balder, A. (2012): Estimating Global “Blue Carbon” Emissions from Conversion and Degradation of Vegetated Coastal Ecosystems. PLoS ONE 7(9): e43542.
Peraturan Pemerintah, 2012, No.37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Prawiradiputra, B.R., Sajimin, N.D. Purwantari, I. Herdiawan. 2006. Hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Rademaekers, K., L. Eichler, J. Berg, M. Obersteiner, and P. Havlik. 2010. Study on the evolution of some deforestationdrivers and their potential impacts on the costs of an avoidingdeforestation scheme. Rotterdam, The Netherlands: European Commission Directorate-General for Environment.
RePPProT. 1990. The Land Resources of Indonesia: A National Overview. Final report. London: Land
Resources Department of the Overseas Development Administration, Government of UK, and Jakarta: Ministry of Transmigration, Government of Indonesia.
Rhein, M., S.R. Rintoul, S. Aoki, E. Campos, D. Chambers, R.A. Feely, S. Gulev, G.C. Johnson, S.A. Josey, A. Kostianoy, C. Mauritzen, D. Roemmich, L.D. Talley and F. Wang, 2013: Observations: Ocean. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
Riswan, S. and Yamada I, 2006, A Note on The Progress of Biodiversity research in Indonesia, TRPOICS, The Japan Society of Tropical Ecology.
Rudel, T. 2007. Changing agents of deforestation: From state-initiated to enterprise driven processes, 1970–2000. Land Use Policy 24: 35-41.
Sangat, H.M., E.A.M. Zuhud and E.K. Damayanti. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Setiasih, Naneng, 2006. Bali Barat National Park Coral Monitoring Report. Friends of Reef Project WWF Indonesia, 2006.
Smith T.M., W.P. Cramer, R.K. Dixon, R. Leemans, R.P.Neilson, A.M. Solomon: 1993. The Global Terrestrial Carbon Cycle. Water, Air and Soil Pollution 70: 19-37. 1993.
Solomon S. et.al. 2007: Technical Summary. Dalam : Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA
Steffen, Will, Lesley Hughes, Sarah Perkins, 2014. Heatwaves: Hotter, Longer, More Often. Climate Council of Australia.
Tridoyo Kusumastanto, Prof., Dr., IR., MS , 2003, Ocean Policy, PT. Gramedia Pustaka Utama
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No 4377. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004. No. 32.
UNEP, 2009. The Natural Fix?: The Role of Ecosystems in Climate Mitigation. UNEP-WCMC, Cambridge, U.K.
UNEP WCMC, 2002. Mountain watch: Environmental change and sustainable development in mountains. Nairobi: UNEP www.unep-wcmc.org/mountains/mountainwatchreport/
UN News Service, 2009. “Majority of world population face water shortages unless action taken, warns Migiro,” UN News Centre, UN News Service, 5 Feb 2009.
Waycott M, Procaccini G, Les D.H. dan Reusch T.B.H., 2006. Chapter 2 Seagrass evolution, ecology and conservation: a genetic perspective. Dalam : AWD Larkum, RJ Orth and CM Duarte (eds) Seagrasses: Biology, ecology and conservation. Dordrecht, Springer.
Whitten, T., Soeriaatmadja, R.E. and Afif, S.A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Prenhallindo. Jakarta.
Wilcox, J. 2012. Indonesia’s Energy Transit: Struggle to Realize Renewable Potential. Renewable Energy World.com. 14 September.
Wilkinson, C.R. and Buddemeier, R. W. 1994. Global Climate Change and Coral Reefs: Implications for People and Reefs. Report of the UNEP-IOC-ASPEI-IUCN Global Task Team on the
Implications of Climate Change on Coral Reefs. IUCN, Gland. Switzerland.
World Water Assessment Programme. 2009. The United Nations World Water Development Report 3: Water in a Changing World. Paris: UNESCO, and London: Earthscan.
The World Water Organization, 2010. “Water Facts & Water Stories from Across the Globe”
Zuhud, E.AM. dan Putro, H.R. 2000. Penyelamatan Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem Hutan Alam yang Masih Tersisa. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasma Nutfah. Bogor, 22-23 Agustus 2000. Kerja sama Peripi, Balitbangtan, Ditjen
Perkebunan, Komnas Plasma Nutfah.