Oleh Bambang Kussriyanto
1972-2000
MASALAH BERSAMA, TANGGUNGJAWAB BEBAN DAN TINDAKAN BERBEDA
Di dalam iman kepada Tuhan, alam semesta dan segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan. Adapun segala sesuatu yang diciptakan Tuhan dalam tradisi Kristiani pada mulanya “baik adanya”[1]. Dan dalam keadaan yang bahkan “sangat baik” itu alam semesta diserahkan dan dipercayakan Tuhan kepada manusia agar diolah dan dipelihara[2]. Dewasa ini, entah orang beriman ataupun tidak, orang sama-sama sepakat bahwa alam adalah warisan bersama, dan hasilnya adalah untuk kemaslahatan semua orang [Paus Fransiskus, 2015. Art.93]. “Lingkungan alam merupakan milik bersama, dipercayakan pada semua manusia dan menjadi tanggungjawab setiap orang. Jika kita melakukan sesuatu sendiri, kita melakukannya untuk kebaikan semuanya. Jika tidak, kita membebani hati nurani kita dengan penyangkalan akan keberadaan semua yang lain” [Ibid. Art.95]. Dalam tugas mengolah dan memelihara alam itu, seharusnya juga dijaga keadaan awal yang “baik adanya” bahkan “sangat baik” itu. Kerusakan terjadi di bumi ketika manusia melanggar amanat Tuhan untuk mengolah dan memelihara alam itu, dan menguasainya demi dirinya sendiri saja. Bahasa Kitab Suci melukiskan kerusakan itu sebagai “kejahatan yang menjadi-jadi”. Situasi yang penuh keburukan, bising dan kacau, yang membuat manusia dalam hidup sehari-hari kesulitan menemukan keutuhan dan sukacitanya sendiri (Ibid. Art. 147). Namun, manusia selalu dipanggil dan diajak berbalik kembali untuk melakukan perbaikan, “penebusan”. Ketika kita mengolah dan memelihara alam semesta, adalah kehendak Tuhan agar segala sesuatu utuh bersatu dalam keselarasan dan perdamaian[3], sebagai satu persembahan indah, dan bentuk pengakuan akan kekuasaan Tuhan yang meliputi segala sesuatu[4] [Ibid. Art. 100]. Jika bumi kini dalam keadaan yang kurang baik, adalah tugas setiap orang untuk mengusahakan apa pun, agar keadaan bumi berubah menjadi “baik adanya”, bahkan “sangat baik”.
“Manusia memasuki suatu era dimana kecakapan teknik kita membawa kita di persimpangan jalan. Kita menerima manfaat dari dua abad gelombang perubahan: mesin uap, kereta api, telegraf, listrik, mobil, pesawat udara, industri kimia, kedokteran modern, teknologi informasi, dan lebih belakangan, revolusi digital, robotik, bioteknologi dan nano-teknologi. Adalah tepat untuk menyambut dengan gembira kemajuan-kemajuan ini dan takjub akan luasnya kemungkinan yang mereka bentangkan di hadapan kita, karena ‘ilmu dan teknologi adalah buah hasil dari kreativitas anugerah Tuhan yang luar-biasa kepada manusia’. Teknologi telah mengobati keburukan-keburukan yang tak terhitung banyaknya, yang dulu mencederai dan membatasi umat manusia. Betapa pun kita mensyukuri dan menghargai kemajuan-kemajuan ini, utamanya dalam kedokteran, rekayasa dan komunikasi” [Ibid. Art 102]. Namun teknologi juga menempatkan kita dalam masalah besar sekarang ini. Kemajuan teknologi jugalah yang menghasilkan senjata-senjata dan bom atom serta nuklir yang menghancurkan; menghasilkan mesin-mesin yang rakus mengkonsumsi bahan bakar fosil (minyak dan gas bumi serta batubara) yang menyebabkan emisi gas-gas rumah kaca yang berkonsentrasi di atmosfer dan memicu perubahan iklim. Ketika menyambut hasil KTT Bumi Stockholm 1972, majalah Unesco menulis: “Bangga akan penguasaan teknologi dan saking bersemangat untuk memetik manfaatnya, manusia membakar kedua ujung lilin dan melehkan biosfer tempat keberadaannya bergantung. Teknologi yang serampangan mencemari lautan, daratan dan atmosfer sedemikian sehingga mutu hidup cepat sekali merosot” [The Unesco Courier, Januari 1973].
Tekanan diletakkan pada faktor “manusia”, orang, juga perorangan. Entah nanti ia atau mereka mewakili negara, masyarakat, organisasi, ataupun bentuk perikatan sosial lainnya, oranglah yang memrihatinkan keadaan, memikirkannya, dan melakukan tindakan sehubungan dengan keadaan bumi, “rumah kita bersama”.
Kerusakan biosfer sudah dirasakan dari tahun 1968 dan menimbulkan keprihatinan bersama. KTT Bumi Stockholm 1972 menyatukan hasil pengamatan para ilmuwan dengan wawasan para politisi yang kemudian diharapkan diterjemahkan menjadi rencana tindakan untuk memerbaiki keadaan biosfer, yang kemudian dinyatakan sebagai “sistem penopang kehidupan di bumi”. Dan diingatkan pula bahwa “Hanya Satu Bumi” saja yang tersedia bagi kita, yaitu bumi satu-satunya yang dipotret pertama kalinya oleh para astronot yang waktu itu mengunjungi bulan. Jika bumi rusak, rusak pulalah satu-satunya sistem penopang hidup kita. Hal itu menyulut semangat dan tekat untuk memerbaiki keadaan bumi.
Barbara Ward pada waktu itu mengajak kita mengubah cara pandang. Pertama, bahwa energi, teknologi dan sumberdaya sama-sama terbatas dan perlu dikelola dengan bijak. Kedua, bahwa orang bisa berdusta dalam ranah moral dan politik, namun bukti-bukti ilmiah sulit dibantah, sehingga upaya tata-kelola hendaknya didasarkan pada data dan fakta keilmuan. Ketiga, adalah fakta bahwa orang hidup di dunia tidak sendirian. Tidak hanya satu negara saja yang ada di dunia. Maka tata-kelola lingkungan mestinya dijalankan dalam kerja sama dan saling koordinasi [Barbara Ward, 1973].
Earth Summit I Stockholm 1972
Dunia Peduli, Namun Tidak Mudah Berubah
Sebanyak 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 Organisasi antar-pemerintahan dan 258 Organisasi non-pemerintah menjadi peserta dalam KTT Bumi (Earth Summit) pertama yang diselenggarakan PBB tahun 1972 dengan mengusung tema “Hanya Satu Bumi” sebagai Lingkungan Hidup Manusia (Human Environment), di Stockholm, Swedia, pada 5 sampai 16 Juni 1972. Mereka mengeluarkan suatu Deklarasi yang antara lain berisi (1) pengakuan akan hak dan kemampuan manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup; (2) bahwa perlindungan dan kemajuan lingkungan hidup untuk kesejahteraan bersama diharapkan setiap orang dan menjadi tugas setiap pemerintahan; (3) ada bukti yang makin bertambah bahwa manusia menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup: polusi pada air-tanah-udara dan membahayakan mahluk hidup; gangguan keseimbangan ekologis dan biosfer; kerusakan dan musnahnya sumberdaya yang tak tergantikan; kelemahan yang merugikan kesehatan fisik, mental dan sosial; (4) di negara yang sedang berkembang kerusakan lingkungan disebabkan oleh pelbagai kekurangan, namun bagaimana pun, pemerintah diharapkan menempatkan perlindungan lingkungan sebagai salah satu prioritas; di negara maju kerusakan lingkungan justru disebabkan oleh kemajuan industri dan teknologi; (5) pertumbuhan penduduk secara alamiah memberikan tekanan pada kerusakan lingkungan, maka diperlukan kebijakan dan tindakan yang tepat untuk mengatasi soal ini; (6) pada titik tertentu dalam sejarah kita harus mengambil tindakan bersama-sama dengan lebih seksama mengenali situasi lingkungan; (7) setiap orang, komunitas, perusahaan dan lembaga harus ikut memikul tanggungjawab dan terlibat dalam upaya ini di tempat masing-masing dalam lingkup yurisdiksi masing-masing. Namun diadakan kerjasama internasional dalam hal ini (UN-Secretariate, 1972). Paus Fransiskus berkomentar: “Setelah periode keyakinan yang irasional akan kemajuan dan kemampuan manusia, beberapa sektor masyarakat melakukan suatu pendekatan yang lebih kritis. Kita menyaksikan meningkatnya kepekaan atas lingkungan dan perlunya perlindungan atas alam, bersama dengan keprihatinan yang sungguh-sungguh nyata dan menekan atas apa yang terjadi pada bumi kita” (Paus Fransiskus, 2015. Art. 19).
Ketika itu di mana-mana dilaksanakan “pembangunan nasional” yang identik dengan kemajuan ekonomi. Yang dijadikan ukuran adalah angka “pertumbuhan ekonomi”. Pelbagai sumber daya digunakan semaksimal mungkin dengan bantuan teknologi, untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Sumber daya alam dikuras tanpa memerhatikan kelangsungannya di masa depan, dan kegiatan itu pada umumnya merusak ekosistem dan merugikan kelanjutan sumber daya tersebut di masa depan. “Maka diperlukan kebijakan dan tindakan yang tepat untuk mengatasi soal ini; dan pada titik tertentu dalam sejarah kita harus mengambil tindakan bersama-sama dengan lebih seksama mengenali situasi lingkungan” (UN Secretariate, 1972).
Earth Summit I Stockholm 1972
Kanselir Jerman Willy Brandt dalam suatu komisi independen untuk kerjasama internasional pada 1980 memerhatikan aspek-aspek keadaan bumi yang memburuk, ditandai oleh peningkatan wabah kelaparan dan kemiskinan, dan menganjurkan tata-ekonomi dunia baru yang lebih etis. Bukan semata-mata menyoal dampak industri yang dianggap sepele oleh negara-negara maju, melainkan lebih terkait soal hidup-mati untuk negara-negara yang miskin dan sedang berkembang. Diharap terjadinya transfer sumber daya (pangan, bantuan, dana, teknologi), dari negara-negara Utara yang kaya dan maju kepada negara-negara Selatan yang kurang maju dan miskin. Namun tampaknya usulan Willy Brandt yang sesungguhnya mengetengahkan aspek kondisi manusia (people) — “bahwa fokusnya bukanlah mekanisme atau kelembagaan melainkan orang” dan terciptanya suatu lingkungan yang mengantar mereka kepada hidup yang panjang, sehat dan produktif — (Brandt, 1980. Hal 23) melalui kerja sama internasional, kurang mendapat tanggapan. Brandt setelah pertemuan Utara-Selatan Oktober 1981 di Cancun justru merasakan keengganan para pemimpin dunia untuk melanjutkan dialog, dan ia memerhatikan “adanya kemunduran pasca Cancun. Pada umumnya negara-negara maju yang sedang menghadapi tekanan ekonomi di dalam negeri masing-masing, bersikap lebih memusatkan perhatian kepada kepentingan negara sendiri – dengan akibat yang dramatis dan merusak kerjasama ekonomi Utara-Selatan” (Brandt, 1983. Hal. 4).
Namun kemudian suatu Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) dibentuk PBB pada tahun 1983, dipimpin oleh Gro Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, untuk menyampaikan program-program tindakan nyata sehubungan dengan situasi bumi (planet) dan ekonomi (profit). Ekologi dan ekonomi semakin berkaitan dalam rajutan hubungan lokal, regional, national, dan global dalam jaringan sebab-akibat yang pelik [WCED, Brundtland, 1987. Bab I No 15]. Apa yang terjadi di suatu tempat terpencil mendatangkan akibat di kawasan yang lebih besar. Pengurasan basis sumberdaya lokal dapat memiskinkan kawasan yang lebih luas: deforestasi yang dilakukan para petani di gunung dapat mengakibatkan banjir di lahan pertanian dataran rendah; polusi air yang dilakukan pabrik merampok tangkapan para nelayan setempat. Siklus lokal yang kelabu itu kini bekerja di tingkat nasional bahkan regional. Degradasi tanah kering menimbulkan gelombang migrasi jutaan orang lintas batas nasional. Deforestasi di Amerika Latin dan Asia menyebabkan lebih banyak banjir, daya rusak banjir yang lebih besar, di bagian bawah dan hilir. Hujan asam dan radiasi nuklir menyebar lintas batas Eropa. Fenomen serupa itu kini muncul pada skala global, berupa pemanasan global dan rusaknya lapisan ozon [Ibid. Bab I No 16]. Pandangan itu digemakan kembali oleh Paus Fransiskus: “Pengalaman maupun riset menunjukkan bahwa orang-orang miskinlah yang paling menderita tertimpa dampak terbesar kerusakan lingkungan itu. Kerusakan habitat ikan akan memukul komunitas nelayan kecil. Polusi air membuat orang miskin yang tak mampu membeli air botolan menderita; naiknya permukaan laut akan menyengsarakan penduduk pantai yang miskin. …… Namun semua ini kurang dikemukakan dalam pelbagai agenda global” [Paus Fransiskus, 2015. Art. 48].
Gro Harlem Brundtland, “Ibu” Pembangunan Berkelanjutan
Pengejaran kesejahteraan hidup manusia harus diselaraskan dengan daya dukung ekosistem dan lingkungannya agar berkelanjutan hingga jauh ke masa depan, menjangkau secara adil generasi anak-cucu. Sejak itu mulai terdengar gema konsep mengenai “pembangunan yang berkelanjutan” (sustainable development), yang mengaitkan kemajuan ekonomi dengan daya dukung lingkungan hidup untuk jangka panjang. Komisi Dunia itu selanjutnya pada tahun 1987 mengajukan konsep program “pembangunan yang berkelanjutan” atau “sustainable development” sebagai alternatif dari pertumbuhan ekonomi (profit) semata-mata, dengan lebih memerhatikan pemeliharaan lingkungan hidup (planet) dan situasi sosial manusia (people). “Manusia memiliki kemampuan untuk menjadikan pembangunan berkelanjutan, untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka pula. Konsep pembangunan berkelanjutan dengan demikian menyangkut batas-batas, – bukan batas mutlak melainkan pembatasan yang ditetapkan atas teknologi dan organisasi sosial berkenaan dengan sumberdaya lingkungan dan berdasarkan kemampuan biosfer untuk menyerap dampak tindakan manusia. Baik teknologi maupun organisasi sosial kedua-duanya dikelola dan di tingkatkan untuk merintis jalan pada suatu era baru pertumbuhan ekonomi (WCED, Brundlandt, 1987. Bab I No. 27 ). Komisi Brundtland mengantar perhatian dunia kepada soal keamanan pangan, spesies dan ekosistem sebagai sumber daya pembangunan atau perkembangan, situasi energi (mengingat krisis minyak bumi akhir 70-an dan tahun 1987), efisiensi industri dan tata-kota serta kerjasama internasional dalam semua itu. Masyarakat internasional diajak memerhatikan masalah umum yang dihadapi bersama (the common: common concerns, common challenges), dengan menggalang upaya bersama (common endeavors). Menanggapi hasil Komisi Bruntland itu kemudian PBB membentuk UN Conference on Environment and Development (UNCED) menggalang kerjasama internasional untuk memelajari pembangunan ekonomi yang tanggap pada kelestarian lingkungan, mencegah kerusakan dan memastikan suatu planet yang sehat baik untuk generasi sekarang maupun generasi masa depan.
Kerjasama Soal Ozon. Suatu Model?
Dalam KTT Bumi di Stockholm, Swedia, Juni 1972, disampaikan kertas kerja berkenaan dengan zat-zat “polutan” yang menyarankan penelitian lebih lanjut tentang kegiatan manusia yang memengaruhi situasi stratosfer dan penyebaran ozon. Kerusakan ozon stratosfer karena zat klorin radikal mula-mula dibahas Richard Stolarski dan Ralph Cicerone (1974) serta Mario J. Molina dan F. Sherwood Rowland (1974).
Ralph Cicerone dan Richard Stolarski, secara independen menyelidiki pengaruh pembakaran bahan bakar yang digunakan roket pendorong kendaraan antariksa perdana, dan menyatakan bahwa Klorin yang dihasilkan pembakaran itu dapat merusak lapisan Ozon (Stolarski RS, Cicerone RJ. 1974). Namun mereka belum sampai mengenali materi Klorin lainnya di stratosfer.
Pada tahun 1973 kimiawan Frank Sherwood Rowland dan Mario Molina dari University of California, Irvine, mulai memelajari dampak konsentrasi senyawa Klorin, Fluorin dan Karbon (CFC) pada atmosfer Bumi. Mereka menemukan bahwa molekul CFC masih cukup stabil di atmosfer sampai ke tengah stratosfer. Namun selanjutnya CFC (setelah rata-rata 50-100 tahun untuk dua jenis CFC) terurai oleh sinar ultraviolet menjadi atom Klorin. Dalam suatu laporan yang diterbitkan di majalah Nature edisi 28 Juni 1974, Molina and Rowland menyatakan atom Klorin yang dihasilkan kemudian menjadi bagian dari suatu rantai reaksi di mana satu atom klorin saja menghancurkan 100.000 molekul ozon [M. Molina and F. S. Rowland, 1974]. Maka Rowland dan Molina yakin atom Klorin inilah yang menjadi penyebab kerusakan lapisan Ozon (O3) di stratosfer.
Emisi zat perusak ozon yang terjadi di pelbagai sektor (misalnya lemari pendingin, AC, foam, dan pemadam kebakaran) merusak lapisan ozon stratosfer. Diperkirakan “jika industri terus mengemisi sejuta ton CFC ke dalam atmosfer setiap tahun, ozon asmosfer akan menurun antara 7 dan 13 persen.” Karena kerusakan lapisan ozon stratosfer, sinar ultraviolet dapat menerobos atmosfer dan sampai ke bumi, menyebabkan peningkatan risiko kanker kulit dan katarak mata, melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia, merusak tanaman pangan, berdampak pada ekosistem bumi, dan menurunkan kekuatan aneka bahan semacam plastik. Pada bulan April 1975, Dewan pimpinan UNEP menunjang “Outer Limits Programme” yang dimaksudkan untuk melindungi ozon stratosfer dan berbagai kepentingan global lain yang sedang rentan[5]. Selanjutnya dalam rapat bulan April 1976, Dewan menentukan agar UNEP mengadakan suatu konferensi untuk meninjau segala aspek mengenai lapisan ozon, menginventaris kegiatan yang sedang berlangsung sehubungan dengan lapisan ozon dan rencana-rencana ke depan, serta menyepakati pembagian tugas dan mekanisme koordinasi untuk menghimpun pelbagai kegiatan penelitian dan rancangan masa depan yang relevan, termasuk informasi dari sektor industri dan perdagangan yang terkait dengan soal itu[6]. Pada bulan Maret 1977 suatu pertemuan UNEP di Washington, menyepakati semacam Rencana Tindakan Dunia berkenaan dengan lapisan Ozon dan menyelenggarakan Komite Koordinasi UNEP untuk Lapisan Ozon. Dalam rangka pengembangan konsensus dunia, UNEP memrakarsai perundingan diplomatik tahun 1982. Negosiasi yang berlangsung tiga tahun menghasilkan Konvensi Vienna bagi Perlindungan Lapisan Ozon, 1985 (Vienna Convention), yang menyepakati penelitian lebih lanjut tanpa komitmen pengurangan emisi gas-gas CFCs, karena sikap skeptis beberapa negara. Upaya riset para ilmuwan dilanjutkan, dan pemerintah-pemerintah sepakat melanjutkan negosiasi. Tujuh badan internasional ditugaskan untuk menuliskan hasil penilaian mereka atas keadaan lapisan ozon tahun 1985.
Lapisan ozon stratosfer merupakan perisai tipis yang melindungi bumi terhadap radiasi ultraviolet yang merugikan. Pada tahun 1985, ilmuwan dari British Antartic Survey: Farman, Shanklin dan Gardiner menerbitkan hasil kajian mereka dalam jurnal Nature – menunjukkan adanya lubang Ozon di kutub selatan (Antartika) akibat ulah manusia, yang jauh lebih besar daripada yang selama itu diduga orang (Farman JC, Gardiner BG, Shanklin JD. 1985), melalui emisi zat-zat perusak ozon termasuk CFCs dan gas halon. Dipaparkan kerusakan yang telah ditimbulkan dan suatu kompleksitas kimiawi yang menyangkut reaksi heterogen pada muka awan dan aerosol stratosfer yang dingin (lihat juga Solomon et al., 1986; Peter, 1997; Solomon, 1999). Karena situasi ozon dengan bukti ilmiah dari kutub Antartika itu dinilai gawat, maka dalam rangka Konvensi Vienna diselenggarakanlah Pertemuan Internasional mengenai zat-zat perusak lapisan Ozon di Montreal – Kanada pada 1987.
Pertemuan Internasional yang diikuti sekitar 36 negara itu menghasilkan Protokol Montreal 1987 mengenai zat perusak lapisan Ozon (ZPO). Di seluruh dunia diusahakan menghentikan produksi dan konsumsi ZPO dengan kerjasama internasional. Protokol Montreal merupakan hasil keprihatinan umum dan politis selama 15 tahun atas dampak CFC pada lapisan ozon, dan menggariskan tindakan dan jadwal untuk pengurangan produksi dan konsumsi CFC dan halon. ZPO dibedakan ke dalam dua kelompok. Kelompok I meliputi CFC yang sepenuhnya berhalogen (CFC-11, -12, -113, -114, dan -115) yang paling berbahaya bagi lapisan ozon, dan kelompok II meliputi zat-zat halon. Protokol juga membuat pembedaan penting antara negara maju dan negara (sedang) berkembang yang disebut “negara-negara Artikel 5”. Pembedaan ini menyangkut penetapan waktu pengurangan produksi dan konsumsi ZPO.
Untuk negara-negara maju, protokol menggariskan pembekuan produksi dan konsumsi ZPO kelompok I pada tingkat 1986 mulai dari tahun 1989. Pada tahun 1994, produksi dan konsumsi ZPO 1998 jika tambahan produk itu untuk diekspor ke negara-negara Artikel 5 atau untuk jatah antar industri sendiri (transfer of production) di antara para pihak.
Protokol menetapkan pembekuan produksi dan konsumsi senyawa ZPO kelompok II pada tingkatan tahun 1986 di tahun 1993. Untuk negara-negara Artikel 5 berlaku ketentuan yang sama mengenai zat-zat Kelompok I dan II, namun pelaksanaannya diberi masa tenggang 10 tahun. Negara-negara artikel 5 boleh melanjutkan peningkatan produksi dan konsumsi hingga 1999 sejauh tingkatan konsumsi per kapita tidak melebihi 0,3 kilogram. Suatu angka rata-rata tingkat konsumsi negara-negara Artikel 5 antara tahun 1995 dan 1997 digunakan sebagai tingkat rujukan untuk pengurangan bertahap yang efektif mulai berlaku di tahun 1999. Dan untuk membantu negara-negara berkembang mengimplementasi ketentuan, Protokol mengatur dukungan teknologi dan dana melalui suatu Dana Multilateral (Multilateral Fund, MLF) dari negara-negara maju.
Protokol Montreal berlaku dua tahun kemudian, sesuai jadwal sejak 1 Januari 1989. Syarat pemberlakuan meliputi adanya ratifikasi protokol adalah sekurangnya oleh 11 negara yang mewakili 2/3 konsumsi global ZPO yang diatur dalam protokol, dan diberlakukannya Konvensi Vienna. Konvensi Vienna telah memenuhi syarat jumlah ratifikasi bulan Juni 1988, dan syarat ratifikasi Protokol Montreal terpenuhi pada bulan Desember 1988. Pada bulan Mei 1989, 36 negara peserta protokol telah meratifikasi Protokol. Baik Konvensi Vienna maupun Protokol Montreal harus mengadapi tantangan terutama dari industri yang selalu menyatakan alasan klasik “tidak ada bukti” bahwa zat yang disebut merusak ozon. Yang kedua adalah keberatan dari perhitungan ekonomis. Yang ketiga penolakan atas perkiraan dampak pada kesehatan sekiranya lemari pendingin dilarang, yang kemudian dijawan dengan inovasi zat pengganti untuk fasilitas pendingin.
Suatu pola kerjasama yang berhasil telah dilaksanakan di antara para ilmuwan, pemerintah, organisasi non pemerintah (ornop, NGO), media, dan badan-badan PBB, mulai dari kelompok kecil, di mana ilmu mengantarkan pengertian, selanjutnya pengertian membuahkan kebijakan, kebijakan mengarahkan pelaksanaan, dan pelaksanaan menghasilkan perlindungan lingkungan global.
Perkembangan terjadi dalam perjalanan, ketika para pihak dalam Protokol menyetujui usul Perubahan dan Penyesuaian Copenhagen tahun 1992. Beberapa zat, yaitu HCFC (hydrochloro-fluorocarbon), BFC (bromofluorocarbon), dan methyl bromid dimasukkan sebagai zat yang dikendalikan melalui Protokol, masing-masing dengan jadwal dan tahapannya sendiri. Tahap penghentian zat CFC, carbon tetraklorid, dan metil kloroform di negara maju yang semula dijadwal tahun 2000 dimajukan ke tahun 1996, dan untuk zat halon dipercepat ke tahun 1994. Panel penilaian tahun 1994 mengajukan pilihan-pilihan lebih lanjut untuk menguatkan Protokol [World Meteorological Organization, 1995]. Melalui laporan-laporan asesmen, pertemuan para pihak menguatkan Protokol pada tahun 1995, 1997 dan 1998. Setelah 13 tahun, Protokol Montreal diratifikasi oleh 175 negara. Pada tahun 2007, Protokol dikuatkan lagi disesuaikan dengan kemajuan penghentian penggunaan zat-zat HCFC, dan ZPO berkadar rendah digunakan untuk ZPO berbahaya. Perubahan-perubahan baru yang berlangsung mulus membuat Protokol Montreal dalam penilaian Sekjen PBB waktu itu, Kofi Annan, menjadi kesepakatan internasional yang paling sukses di bidang lingkungan. Protokol Montreal adalah satu-satunya perjanjian internasional yang sekarang diikuti oleh 193 negara di dunia. Sedangkan Konvensi Vienna diratifikasi 196 negara (2009). Paus Fransiskus menyatakan: “Berkat Konvensi Vienna tentang ‘Perlindungan Lapisan Ozon’ dan petunjuk pelaksanaannya melalui Protokol Montreal dan perubahannya, masalah penipisan lapisan ozon ini tampaknya telah memasuki fase solusi” [Paus Fransiskus. 2015. Art. 168].
Keberhasilan Protokol Montreal meyakinkan sementara pihak untuk menjadikannya model bagi perundingan mengenai perubahan musim, kendati harus disesuaikan dengan konten, sejarah, sifat persoalan dan kerangka kebijakan, serta struktur proses yang berbeda.
Soal Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Kerjasama Internasional sejak dari awal. Periode Dasawarsa UNFCCC Pertama 1994-2003
“Gagasan bahwa dunia kita interdependen, menyadarkan … dan … terutama mendorong kita untuk memastikan bahwa diperlukannya solusi-solusi dalam perspektif global, … bukan hanya untuk melindungi kepentingan negara-negara tertentu…. Mutlak diperlukan suatu konsensus global untuk menghadapi masalah-masalah yang lebih dalam, yang tidak dapat diatasi dengan tindakan sepihak masing-masing negara sendirian” [Paus Fransiskus. 2015. Art. 164]. “Sangat dibutuhkan perjanjian-perjanjian internasional yang dapat ditegakkan, karena pemerintah-pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara efektif. Hubungan antarnegara harus menjaga kedaulatan masing-masing negara, tetapi juga membangun jalur-jalur kesepakatan untuk mencegah bencana lokal yang akhirnya akan menimpa semua orang.” [Ibid. Art. 173].
Memerhatikan laporan-laporan berbagai lembaga penelitian atas atmosfer sejak akhir tahun 1960-an dan prihatin pada fenomen-fenomen perubahan iklim yang semakin mengganggu[7], WMO (World Meterological Organization) bersama dengan UNESCO, FAO, WHO, UNEP dan ICSU mengadakan Konferensi Iklim Dunia yang pertama di Jenewa pada Februari 1979. Konferensi dihadiri 350 ahli spesialis di bidang masing-masing, pertanian, perairan, perikanan, energi, lingkungan, ekologi, biologi, kesehatan, sosiologi dan ekonomi dari 53 negara dan 24 badan internasional (White, 1979). Pernyataan yang diterbitkan menghimbau agar negara-negara memerhatikan, memanfaatkan dan mengembangkan informasi mengenai atmosfer dan iklim, serta membuat kebijakan untuk mengantisipasi situasi buruk akibat perubahan iklim. Walau pada umumnya kurang mendapat perhatian, pernyataan Konferensi Iklim Dunia 1979 diperhatikan PBB.
Pada bulan Oktober 1985 UNEP, WMO dan ICSU mengadakan pertemuan di Villach, Austria, melakukan penilaian atas karbon dioksid (CO2) dan gas rumah kaca lainnya dalam penyimpangan iklim dan dampak yang diakibatkannya. Pertemuan yang disebut Konferensi Villach itu dihadiri para ilmuwan dari 29 negara yang mempublikasikan pernyataan tentang kemungkinan kenaikan suhu pada pertengahan abad 21 melampaui dugaan (WMO, 1986). Simpulan Konferensi Villach menarik perhatian World Commission on Environment and Development (WCED, Komisi Brundtland) yang sejak tahun 1983 berusaha menyelaraskan pembangunan di mana-mana di dunia dengan situasi lingkungan yang memburuk, menganjurkan program-program tindakan nyata sehubungan dengan peningkatan suhu bumi yang makin panas. WCED menyimpulkan bahwa pemanasan global merupakan ancaman besar bagi pembangunan yang berkelanjutan (World Commission on Environment and Development, 1987). The World Conference on the Changing Atmosphere: Implications for Global Security (Toronto Conference) yang diselenggarakan di Toronto, Canada 27-
30 Juni 1988 diikuti lebih dari 300 ilmuwan dan pejabat pemerintah dari 48 negara. Konferensi menghimbau pemerintah, PBB dan badan-badannya yang terkait,industri, lembaga pendidikan, dan ornop (NGO) serta perorangan, agar “mengambil langkah khusus untuk mengurangi krisis yang sedang mengancam akibat polusi di atmosfer” utamanya akibat CO2. Dianjurkan agar pemerintah dan industri mengurangi tingkat emisi mereka hingga 20% dari emisi tahun 1988 pada tahun 2005 sebagai sasaran awalnya (Paterson, 1996, hal 33-34).
Setelah mengikuti laporan-laporan perkembangan, Sidang Umum PBB di akhir tahun 1988 menerbitkan suatu resolusi mengenai perubahan iklim [General Assembly resolutions 43/53, 6 December 1988 dan resolusi itu menjadi dasar pembentukan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk memberikan dasar analisis keilmuan yang lebih kuat dan lengkap bagi suatu konvensi iklim; tugas IPCC meliputi semua aspek perubahan musim, dampaknya, dan cara-cara dasar untuk menghadapinya [Bolin, B., 1991]. Penguatan selanjutnya diberikan PBB dalam resolusi 44/228, 22 Desember 1989, tentang pembentukan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) untuk memelajari pembangunan sosio ekonomi yang tanggap pada kelestarian lingkungan, mencegah kerusakan dan menggalang kerjasama internasional, demi memastikan suatu planet yang sehat di masa depan, dan Resolusi 44/207, 22 Desember 1989, Resolusi 45/212, 21 Desember 1990, tentang penyelenggaraan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk menghasilkan Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), serta Resolusi 46/169, 19 Desember 1991 tentang upaya perlindungan iklim global bagi generasi manusia sekarang dan yang akan datang.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang kelahirannya dibidani oleh Organisasi Meterologi Dunia (WMO) dan Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) terdiri dari ilmuwan dan pakar, melaksanakan mandat PBB guna secara ilmiah memerhitungkan semua aspek dari perubahan musim, memerkirakan besaran dan waktu terjadinya perubahan musim, menakar dampaknya dan menyusun saran strategi bersama untuk menghadapinya. Pada bulan Agustus 1990, IPCC menyelesaikan laporan penilaian situasi iklim untuk PBB yang pertama di Swedia, dan memaparkan hasil studi itu dalam Konferensi Dunia tentang Iklim yang Kedua (29 Oktober-7 November 1990) di Geneva, yang melahirkan dasar-dasar negosiasi antar pemerintah untuk menanggapi perubahan iklim. Pada dasarnya perubahan iklim di bumi terjadi karena pemanasan yang meningkat, yang disebabkan oleh bertambahnya konsentrasi gas-rumah kaca (>90% adalah CO2) di atmosfer. Dunia diajak memerhatikan dan menyikapi emisi CO2 yang besar pengaruhnya pada perubahan iklim yang merugikan manusia dan alamnya. Pada 21 Desember 1990 Sidang Umum PBB berdasar Resolusi 45/212, menyelenggarakan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk menyusun Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
Selama dua tahun sejak didirikan, INC mengadakan lima kali pertemuan antara Februari 1991 dan Mei 1992. Dalam pertemuan-pertemuan yang diikuti utusan-utusan dari 150 negara, dibicarakan persoalan-persoalan rumit menyangkut komitmen yang mengikat, target dan jadwal pengurangan emisi CO2, mekanisme keuangan, alih-teknologi, “soal umum namun tanggungjawab berbeda” antara negara maju dan negara sedang berkembang. INC berhasil menyelesaikan tugas yang dipercayakan PBB kepadanya pada bulan Mei 1992. Dalam KTT Bumi Rio de Janeiro Juni 1992, INC memaparkan hasil kerjanya berupa United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC, Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB), yang berhasil segera mendapatkan persetujuan 155 negara-negara peserta yang selanjutnya disebut pihak-pihak (parties). Para pihak mengakui bahwa perubahan iklim yang menyebabkan konsekuensi yang merugikan merupakan keprihatinan bersama. Pihak-pihak prihatin, karena kegiatan manusia telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang menyebabkan efek rumah kaca, membuat permukaan bumi bertambah panas dan akibatnya merugikan ekosistem alam dan manusia (United Nations, 1992. Hal 2). Maka-pihak-pihak sepakat menetapkan tujuan Konvensi yaitu stabilitasi konsentrasi gas rumah kaca antropogenik di atmosfer, pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Yaitu tingkatan yang membuat ekosistem leluasa untuk menyesuaikan diri pada perubahan iklim secara alamiah, menjamin keamanan produksi pangan, dan pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (Ibid. Art. 2. Hal 9). UNFCCC (Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB) efektif berlaku 90 hari sesudah memeroleh 50 ratifikasi, pada 21 Maret 1994.
Pokok-pokok Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC):
Sasaran | Stabilitasi konsentrasi gas rumah kaca antropogenik di atmosfer, pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim dalam suatu kerangka waktu (1) yang membuat ekosistem leluasa untuk menyesuaikan diri pada perubahan iklim secara alamiah, (2) menjamin keamanan produksi pangan, dan pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (art. 2) |
Prinsip | Keadilan semasa dan antar-generasi; perbedaan tanggungjawab dan menurut kemampuan pihak-pihak; kebutuhan khusus pihak negara yang sedang berkembang; hak untuk melaksanakan pembangungan berkelanjutan ; efektivitas biaya dan sifat menyeluruh; sistem ekonomi yang menunjang dan terbuka (Art. 3). |
Komitmen Mitigasi | Semua Negara – Komitmen umum untuk: melakukan inventarisasi GRK nasional; merumuskan program mitigasi dan adaptasi nasional; memajukan dan bekerjasama dalam penelitian ilmiah, pendidikan, pelatihan dan peningkatan kesadaran masyarakat (Art. 4(1), 5, 6).
Negara Maju (tercantum dalam daftar Annex 1) – Mengakui bahwa usaha mencapai kembali tingkatan emisi masa lalu CO2 dan GRK lain hingga akhir dasawarsa akan memberi kontribusi pada upaya mengubah kecenderungan emisi jangka panjang, dan bermaksud untuk kembali pada tingkat emisi tahun 1990 (Art. 4(2)). Negara OECD (terdaftar dalam Annex 2) – Komitmen untuk mendanai sepenuhnya inventarisasi dan laporan negara sendiri; mendanai biaya yang berangsur meningkat dari tindakan mitigasi yang telah disepakati; |
Adaptasi | Semua negara mengusahakan aksi adaptasi;
Negara maju menyediakan bantuan bagi negara berkembang untuk adaptasi; serta memfasilitasi, memajukan dan mendanai alih-teknologi (Art. 4(3)-(5)). |
Kelembagaan | Conference of the Parties (COP) (Art. 7),
Sekretariat (Art. 8), Subsidiary Body forScientific and Technological Advice , SBSTA(Art. 9), Subsidiary Body for Implementation, SBI (Art.10), Mekanisme keuangan (Art. 11). |
Pelaporan
(atau Komunikasi Atau Informasi) |
Semua Negara – Neraca GRK nasional; langkah yang diambil untuk implementasi Konvensi (Art.12(1)).
Negara Maju (Annex I) – uraian rinci kebijakan dan tindakan pembatasan emisi GRK dan peningkatan endapan karbon, serta taksiran spesifik atas dampak kebijakan dan tindakan itu atas emisi mereka (Art. 12(2)). Negara OECD (Annex II) – Rincian bantuan keuangan dan teknologi (Art. 12(3)). |
Penyesuaian/
perubahan |
Tinjauan ulang atas kecukupan komitmen setiap tiga tahun, berdasar informasi ilmiah yang sebaik-baiknya (Art. 4(2)(d)).
Tinjauan ulang pertama dalam COP-1 (Berlin, 1995). |
Seperti Konvensi Vienna (1985) yang menjadi induk upaya perlindungan lapisan ozon dan Protokol Montreal (1988), Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) berlaku sebagai induk usaha-usaha stabilisasi gas-gas rumah kaca di atmosfer dalam rangka perubahan iklim sejak 1994.
Di dalam Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), perundingan para pihak (COP) yang merupakan forum pengambil keputusan tertinggi diselenggarakan setiap tahun (Ibid. Art.7. Hal. 17-19). INC dari tahun 1993 masih melakukan lima kali pertemuan kerja (INC-7 sampai dengan INC-11) berdasarkan Kerangka Konvensi memersiapkan COP UNFCCC yang pertama dengan merumuskan bahan yang perlu dirundingkan pihak-pihak dan dijadikan keputusan hingga Februari 1995. Berbeda dari metode kerja Konvensi Vienna untuk ozon yang menggunakan kelompok kecil, menyadari besarnya persoalan dan luasnya dampak keputusan yang akan diambil, INC untuk Kerangka Konvensi Perubahan Iklim sejak awal mengusahakan konsensus kelompok besar untuk bahan-bahan yang akan dijadikan keputusan.
Setahun setelah UNFCCC dinyatakan sah berlaku, COP atau Conference of Parties yang pertama diselenggarakan pada bulan April 1995 di Berlin, dan menghasilkan Mandat Berlin (nama ini diusulkan delegasi AS sebagai penghargaan pada usaha delegasi Jerman untuk membawa maju UNFCCC. Pada awal COP-1 April 1995 diberitahukan bahwa UNFCCC telah diratifikasi oleh 127 negara. Dalam satu tahun sejak Maret 1994 telah diterima tambahan 77 ratifikasi dari negara-negara yang kemudian menjadi pihak-pihak dalam Konvensi. Selanjutnya dalam proses COP-1, pertama-tama dibangun sistem dan prosedur, kelembagaan dan badan-badan penunjang yang diperlukan, dan mekanisme kerja serta agenda Kerangka Konvensi sendiri sebelum berbicara tentang program, proyek dan kegiatan untuk perubahan iklim [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, hal 206]. Isu pokok adalah perlunya “kecukupan komitmen” (adequacy of commitment). Belum didapat kesepakatan dalam hal prosedur keuangan dan tata-cara pengambilan suara untuk pengambilan keputusan hingga ditunda menjadi agenda COP 2. Untuk itu pihak-pihak sepakat menyelenggarakan Ad Hoc Group on the Berlin Mandate (AGBM) untuk menyusun agenda hingga tahun 2000. Demikian pula diselenggarakan badan-badan kelengkapan yang menunjang, yaitu Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI). SBSTA bertugas untuk menyediakan informasi dari badan-badan dunia yang kompeten (termasuk IPCC) untuk tujuan perumusan kebijakan dalam COP, sedang SBI menyiapkan saran-saran persiapan implementasi dan penilaian implementasi keputusan COP.
Konferensi para pihak (COP) dalam UNFCCC yang ke-2 diselenggarakan di Geneva 1996, menjabarkan lebih lanjut agenda Mandat Berlin, yang telah disiapkan AGBM dalam tiga kali sidang sebelumnya. Diumumkan bahwa Konvensi telah didukung 160 ratifikasi negara-negara. COP-2 membahas hasil laporan penilaian situasi ke-2 dari IPCC (Assessment Report 1995). Dari tinjauan atas laporan negara-negara maju yang dimasukkan dalam Annex I Konvensi, 15 negara dinyatakan bertanggungjawab atas 55% emisi GRK. Maka perlu target pengurangan emisi yang ambisius sejak tahun 2000. Walau tidak ada kepastian sikap tentang penggunaan dokumen IPCC AR 1995 sebagai dasar program, sebab walau mayoritas setuju, suara-suara minoritas (termasuk Rusia dan sebagian besar negara OPEC) juga dipertimbangkan, AS-Uni Eropa dll menyetujui target-target yang secara hukum mengikat dan jadwal pengurangan emisi negara-negara maju, ada penghargaan pada prakarsa negara berkembang yang membuka wacana implementasi bersama bersubsidi, sehingga juga ada usulan untuk suatu skema perdagangan emisi internasional. Para menteri lingkungan Eropa mengusulkan agar negara-negara industri hingga tahun 2010 mengurangi emisi hingga 15% di bawah level tahun 1990. Diambil keputusan tentang Global Environment Facility (GEF), yang selama 1994-1996 mengerjakan urusan keuangan Konvensi untuk terus berfungsi sebagai badan pengelola kegiatan dan keuangan Konvensi [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, hal. 206-207].
Perundingan mengenai perubahan iklim FCCC-COP ke-3 di Kyoto (Desember 1997) dilaksanakan dengan debat sengit atas teks yang telah dipersiapkan badan-badan penunjang (AGBM dan SBSTA-SBI) sebagai Protokol Kyoto, khususnya artikel 3 mengenai penetapan kebijakan QUELRO (quantitative emission limitation and reduction objectives, sasaran kuantitatif pembatasan dan pengurangan emisi). Mula-mula berkenaan dengan gas rumah kaca yang dikendalikan, apakah 3 (CO2, CH4, NO2) ataukah 6 (CO2, CH4, NO2, HFC, PFC dan SF6) mengingat lingkup kaitan konsekuensi yang amat luas. Atas dasar ragam gas itu kemudian dihitung agregat sasaran pembatasan dan pengurangannya. Kemudian mengenai kurun waktu upaya, diusulkan antara 2005, 2010 dan 2020. Juga dibahas soal endapan (sink) karbon yang perlu dirinci lebih luas, bukan sekedar lautan dan hutan, dengan memerhatikan perkembangan pembicaraan tentang perubahan tata-guna lahan dan hutan (LUCF) . Namun pada akhirnya COP ke-3 menghasilkan Protokol Kyoto, yang menetapkan target-target usaha mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengikat negara-negara maju selama 15 tahun hingga 2012, namun masih memerlukan rincian lebih lanjut hingga ratifikasi diterima [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, hal. 207].
Kyoto Protocol 1997
Kritisi menyambut Protokol Kyoto dengan nada optimis, sebagai upaya koalisi dan berbagi beban di antara pihak-pihak yang tidak setara [Botteon, M. and C. Carraro 1997]. Namun juga harapan agar Protokol Kyoto segera mewujud jadi suatu persetujuan internasional yang nyata [Cooper, R. 1998]. Diingatkan beberapa hal mengenai pentingnya keadilan dalam berbagi beban [Rose, A., et al 1998] serta kriteria yang digunakan [Ringius, L., et al. (1998)], tentang penerapan analisis cost-benefit mengingat gambaran penentuan sasaran pengurangan emisi yang ambisius [Pearce, D. 1998] sementara ada sikap inertia sosio-ekonomis atas ketidakpastian pengurangan CO2 [Ha-Duong, M., et al. 1997], sampai pada perkiraan negatif pesimistis bahwa kesepakatan baru ini akan sia-sia [Nordhaus, W.D., and J.G. Boyer 1999]. Protokol Kyoto yang mengikat 38 negara industri (disebut negara-negara Annex I) untuk mengurangi emisi seluruh gas rumah kaca ekivalen CO2 hingga minimum 5% di bawah level 1990 untuk periode antara 2008-2012 selanjutnya menunggu tandatangan kesepakatan dan ratifikasi. Agar dapat menjadi hukum internasional, sekurangnya 55 negara harus meratifikasi Protokol Kyoto dan termasuk di dalamnya semua negara dalam Annex I. Protokol juga mengatur penyelenggarakan “perdagangan emisi” antar negara maju, dan suatu mekanisme pengembangan bersih (clean development mechanism, CDM) untuk fasilitasi implementasi bersama di antara negara maju dan negara sedang berkembang. Berdasarkan prinsip “keprihatinan sama, tapi tanggungjawab berbeda” negara-negara maju pengemisi karbon utama dimasukkan dalam suatu daftar lampiran Annex I, sedang negara-negara lainnya disebut Pihak non-Annex I termasuk China dan India, yang sebenarnya emitor besar juga. Canada berhasil memasukkan wacana tentang “endapan karbon” (carbon sinks) di dalam persetujuan itu, dan memungkinkan negara-negara memerhitungkan karbon yang tersimpan mengendap di hutan dan tanah pada target-target pengurangan emisi mereka.
Pada tahun 1998 Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) telah diratifikasi 176 negara. Dalam Konvensi Perubahan Iklim COP ke-4 (November 1998) di Buenos Aires-Argentina pertemuan badan penunjang SBSTA/SBI ke-9 dilangsungkan sekaligus untuk menyusun rencana tindak lanjut Kyoto Protocol (1997). Di pihak lain, untuk Protokol Kyoto dalam waktu setahun hingga November 1988, telah diterima ratifikasi dari 60 negara. Setelah negosiasi tertutup selama empat jam disepakatilah yang dinamakan Buenos Aires Plan of Action, disingkat BAPA. Tuan rumah Argentina pada awal negosiasi berusaha memasukkan agenda mengenai “partisipasi sukarela” Pihak non-Annex I untuk mendapat dukungan langkah nyata keikutsertaan negaranya sendiri dalam pengurangan emisi global, walau mendapat banyak tantangan. Soal ini sudah dibicarakan dalam COP-3 Kyoto namun belum menemukan konsensus. Ini merupakan suatu yang baru di luar agenda tentang kesanggupan negara maju dalam Annex I untuk mengurangi tingkat emisinya. Jika bagi negara maju emisi digambarkan sebagai buah “kemewahan”, bagi negara berkembang emisi terjadi untuk pergumulan “hidup-mati”. Dalam UNFCCC usul komitmen “partisipasi sukarela” negara berkembang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca merupakan “jalan baru”. Sementara itu negara-negara maju masih berdebat mengenai “mekanisme yang fleksibel” dalam rangka Kyoto Protocol, yang oleh negara-negara berkembang dalam G77 dianggap akal-akalan untuk menghindari komitmen dalam negeri. Di luar soal keorganisasian dan sikap-sikap nasional, Konvensi menyampaikan pemikiran menyangkut Penggunaan Lahan, Alih Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF); Hubungan antara upaya perlindungan lapisan ozon stratosfer dan upaya melindungi sistem iklim global, sehubungan dengan hydrofluorocarbons dan perfluorocarbons; serta tentang Riset dan pengamatan sistematik. Argentina dan Amerika Serikat menandatanganani Protokol Kyoto, namun belum melakukan ratifikasi [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 207-208].
Pokok-pokok Protokol Kyoto 1997
Komitmen Pengurangan Emisi
(art. 3) |
Komitmen khusus pembatasan emisi ditetapkan untuk negara-negara maju dalam daftar Annex B.
Komitmen berlaku untuk 6 jenis gas rumah kaca “in basket” CO2, CH4, NO2, HFC, PFC dan SF6 . Periode komitmen lima pertama antara 2008-2012. Periode komitmen selanjutnya akan dibicarakan mulai 2005. |
Endapan
(Art 3) |
Emisi dan peniadaannya melalui pembuatan hutan baru, penanaman hutan lagi, dan deforestasi diperhitungkan dari 1990 dan memengaruhi target. (Art 5)
Tindakan endapan karbon lainnya ditetapkan oleh pihak-pihak. |
Perdagangan Karbon
(Art 4, 16 bis) |
Negara-negara maju diperbolehkan memperdagangan jatah pengurangan karbon mereka. |
Pelaksanaan Bersama
(Art 6) |
Suatu negara maju bisa mendapatkan kredit dari pelaksanaan pengurangan emisi di negara maju lainnya. Dilaporkan dan ditinjau untuk akreditasi (Art 7,8) |
Laporan dan Tinjauan
(Art 7,8) |
Negara maju wajib mengembangkan “sistem nasional” masing-masing untuk memonitor dan melaporkan situasi pengurangan emisi mereka, sesuai pedoman yang diterbitkan IPCC. Atas laporan itu akan diadakan tinjauan penilaian oleh tim ahli yang dapat mengusulkan penyesuaian atau perubahan angka akibat penyimpangan dari pedoman IPCC. |
Peningkatan Komitmen (Art 10) | Alokasi peningkatan komitmen Negara maju dalam pengurangan emisi, termasuk kerjasama dengan negara berkembang dan bantuan dana adaptasi untuk negara berkembang |
Sumber Dana
(Art 11) |
Terutama untuk membantu negara berkembang untuk alh teknologi, pengembangan kapasitas dan implementasi komitmen |
Mekanisme pengembangan bersih (Clean Development Mechanism, CDM)
(Art 12) |
Suatu negara maju bisa memeroleh kredit untuk target pengurangan emisinya dari proyek-proyek yang dibiayainya di negara-negara sedang berkembang.
CDM dikelola oleh suatu Dewan Eksekutif, dengan proyek-proyek yang diawasi oleh pelaksana operasi, misalnya suatu kantor akuntan internasional |
Kelembagaan
(Art 13, 14,15) |
Sama dengan UNFCCC, COP UNFCCC sekaligus berfungsi sebagai Pertemuan para Pihak (MOP, Meeting of Parties) dalam Protokol.
Badan Penunjang (Subordinate Bodies): SBSTA, SBI, AWG |
Ketidakpatuhan
(Art 17) |
Pranata dan aturan kepatuhan dirundingkan dalam perundingan pihak-pihak mengikuti Buenos Aires Plan of Action (BAPA) Juni 2000. |
Pada bulan April 1999 diselenggarakan rapat kerja mengenai mekanisme artikel 6 (implementasi bersama), artikel 12 (CDM, mekanisme pengembangan bersih), dan artikel 17 (perdagangan emisi) dari Protokol Kyoto sebagai persiapan agar COP ke-6 dapat mengambil keputusan. Terkait dengan artikel 6 dibahas soal ragam proyek-proyek. Untuk artikel 12 dibahas metodologi dasar, tambahan dan verifikasi dan pelaporani dalam rangka validasi dan pendanaan di bawah CDM. Terkait dengan artikel 6 dibahas soal ragam proyek-proyek. Untuk artikel 12 dibahas metodologi dasar, tambahan dan verifikasi dan pelaporan dalam rangka validasi dan pendanaan di bawah CDM. Dan untuk artikel 17 dibahas soal adaptasi, pelaporan, verifikasi dan akuntabilitas. Kiranya perlu disebutkan juga bahwa International Energy Agency (IEA)pada bulan April 1999 menyelenggarakan pertemuan di Paris untuk pertukaran wawasan dan pengalaman di antara negara-negara anggota mengenai rancangan dan implementasi kebijakan tentang pengurangan emisi gas rumah kaca dari bidang energi dan transpor. Pertemuan IEA dimaksud untuk kesiapan negara anggota dalam hal implementasi Protokol Kyoto. Pada bulan Juni rapat kerja SBSTA membahas artikel Protokol Kyoto no. 5 (metodologi),7 (komunikasi), dan 8 (tinjauan informasi) dalam rangka penyiapan kerangka komunikasi nasional pihak-pihak. Diberitakan bahwa International Maritime Organization
(IMO) sedang mengusahakan kajian mengenai emisi GRK dari perkapalan, dan International
Civil Aviation Organization (ICAO) bahkan telah menyampaikan pandangan teknis dan standar-standar operasi untuk pembatasan emisi di tingkat bunker bahan bakar penerbangan. Rapat kerja SBI membahas komunikasi negara-negara Annex I dan non-Annex I, implementasi artikel 4.8 dan 4.9 Konvensi Perubahan Iklim tentang dampak yang merugikan, fasilitasi pertemuan-pertemuan antar-pemerintah dan soal-soal administrasi dan keuangan Konvensi.
Perundingan FCCC-COP ke-5 (1999) diselenggarakan akhir Oktober hingga awal November di Bonn [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 208-209] sebagai tahun pertama BAPA (Buenos Aires Plan of Action). Diumumkan bahwa negara-negara yang menjadi anggota Konvensi meningkat jadi 179 negara plus Uni Eropa. Dari antara mereka 61 telah meratifikasi Protokol Kyoto. Untuk aspek teknis Konvensi dibahas soal riset dan pengamatan sistematik; pedoman tinjauan teknis atas inventarisasi gas rumah kaca; pengembangan dan transfer teknologi; pembinaan kapasitas dan tentang emisi terkait bahan bakar yang dijual kepada kapal dan pesawat udara dalam transportasi internasional. Di sini Kanselir Jerman Gerhard Schroeder menantang negara-negara terdaftar dalam Annex I untuk meratifikasi Protokol Kyoto selambat-lambatnya 2002. Uni Eropa sudah siap dan mau melakukannya. Namun Canada dan AS menentang tenggat waktu yang diajukan.
FCCC-COP ke-6 diselenggarakan dalam dua bagian; bagian pertama di Denhaag-Belanda (November 2000) dan bagian kedua di Bonn Juli 2001 [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006,hal .209]. Konferensi didahului oleh pertemuan badan-badan penunjang SBSTA-SBI menyiapkan teks-teks bahasan Konferensi, yang ketika disampaikan ternyata malah menjauhkan kesepakatan dan banyak hal mengecewakan. Situasi di Denhaag dinilai kacau. Tuan rumah berusaha melancarkan kemajuan perundingan dengan membagi peserta dalam empat klaster bahasan: (a) pembinaan kapasitas, alih teknologi, dampak merugikan dan pedoman GEF; (b) berbagai mekanisme; (c) LULUCF (land-use, land-use change and forestry; tataguna tanah, perubahan tataguna tanah dan kehutanan); serta (d) kepatuhan, kebijakan dan tindakan, pelaporan, verifikasi. Namun hampir di semua klaster perbedaan wawasan sangat jauh hingga tak dapat diperoleh konsensus. Perundingan yang dimaksudkan untuk menyusun detil komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menurut Protokol Kyoto 1997 menemui jalan buntu. Sama dengan sebelumnya dalam COP 1998 dan 1999, Canada dan AS, Jepang dan Australia berusaha memanfaatkan kelonggaran mekanisme Protokol Kyoto dan menuntut perlakuan adil di antara para emitor besar gas rumah kaca. Sedang Uni Eropa dan banyak negara pulau kecil dalam rangka CDM mengusahakan pemberian kredit penghargaan hanya pada tindakan yang sungguh-sungguh mengurangi emisi. Negara-negara berkembang yang antusias dan positif menjadi penyelamat dengan usul untuk mengulang sidang COP 6 (dianggap bagian kedua) tahun berikutnya, sambil menunggu agar rumusan-rumusan masalah disiapkan dengan lebih baik dan dapat diterima.
[1] Kej 1:10.12.18.21.25.
[2] Kej 1:31
[3] Kol 1:19-20.
[4] 1Kor 5:28.
[5] UNEP, Governing Council, Decision 29(III), April 1975
[6] UNEP, Governing Council, Decision 65(IV), April 1976.
[7] Sekilas latar belakang keilmuan: 1824 – Joseph Fourier menemukan komposisi gas di atmosfer, yang memengaruhi suhu di Bumi. 1859 – John Tyndall menunjukkan kemampuan uap air dan karbon dioksid (CO2) memerangkap gelombang panas. 1896 – Svante Arrhenius dan Arvid Högbom mengemukakan teori bahwa emisi CO2 oleh manusia dapat mengubah suhu global. 1938 – Guy Stewart Callendar merumuskan kecenderungan pemanasan dan menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat sekitar 10% dalam 100 tahun. 1955 – Hans Suess mengumumkan temuannya atas jejak bahan bakar fosil, dari batubara dan minyak bumi dalam atmosfer. 1955, Desember – Suess dan Roger Revelle melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa lautan hanya dapat menyerap sekitar 10% CO2 yang ada di dalam atmosfer, berbeda dari dugaan umum bahwa semua CO2 dapat diserap lautan. 1956 – Gilbert N. Plass membuktikan bahwa CO2 memengaruhi radiasi sinar infra-merah dan mengakibatkan peningkatan suhu bumi selang beberapa waktu. 1960 – Charles David Keeling menunjukkan bahwa tingkat rata-rata CO2 dalam atmosfer telah mengalami peningkatan. 1968 – Beberapa kajian menunjukkan bahwa kenaikan suhu global menyebabkan es kutub Artik and Antartik mencair, sehingga permukaan laut meningkat. 1975 – Manabe dan Richard Wetherald menerbitkan suatu model yang menunjukkan bahwa CO2 dalam atmosfer yang meningkat dua kali konsentrasinya akan menambah suhu bumi 2-4 derajat.