Oleh Bambang Kussriyanto
Setelah catatan-catatan tentang “Perhatian pada Bumi”, selanjutnya saya menulis tentang Perubahan Iklim yang menjadi perhatian mutakhir karena dampak merugikan yang dirasakan seluruh dunia. Tulisan ini saya selesaikan pada 10 Juli 2015 menanggapi Ensiklik Laudato Si (Juni 2015), sehingga belum mencakup peristiwa-peristiwa antara 2015-2023. Semoga dapat dimanfaatkan.
Undangan Usaha Stabilisasi
Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” yang diterbitkan pada 18 Juni 2015, merupakan seruan mondial mutakhir agar kita memerhatikan keadaan bumi, rumah kita bersama. Diingatkan bahwa “kita bernapas menghirup udara darinya, kita hidup dan mengecap kesegaran dari airnya” (Paus Fransiskus 2015, art. 2). Dikatakan bahwa bumi, yang digambarkan sebagai saudari kita, sedang “mengeluh dalam hati” karena sakit dan meminta pertolongan kita; tanahnya sakit, udaranya sakit, airnya sakit, dan aneka ragam mahluk hidup yang ditopangnya sakit (Ibid).Kita teringat suatu nyanyian masa kecil bahwa “ibu pertiwi sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, sawah ladang terkenang. Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan”galau, kacau, gerah dan resah. Itu antara lain karena situasi sekitar yang menyelimuti bumi tidak normal lagi.
Iklim yang berubah bagi bumi sudah menjadi perhatian sejak lama, dan sekarang menjadi persoalan besar yang tidak dapat disangkal lagi kenyataannya, sebab banyak orang telah mengalami akibatnya yang buruk.
“Perubahan iklim merupakan masalah global dengan implikasi serius atas lingkungan alam, sosial, ekonomi, politik dan atas distribusi barang-barang. Ini merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia di zaman kita. Dampaknya yang terburuk mungkin akan dirasakan oleh negara-negara berkembang dalam beberapa dekade mendatang. Banyak orang miskin tinggal di daerah yang terkena dampak utama fenomena yang terkait dengan pemanasan,” [Paus Fransiskus, 2015, art. 25]. “Dalam beberapa dasawarsa terakhir pemanasan ini telah disertai kenaikan permukaan laut secara terus menerus dan, dan tampaknya juga disertai peningkatan cuaca ekstrim…” [Ibid, art. 23].
Gelombang Panas
Ketika saya mulai mengerjakan tulisan ini, pada 3 Juli 2015,Spanyol, Portugal, menerima gelombang panas yang mengalir dari Afrika. Suhu meningkat antara 40-44o Celsius. Tertinggi sejak 1945. Di Paris suhu meningkat jadi 39,7o Celsius menurut Météo-France. Sedang di London 36,7o Celsius, tertinggi di Inggris menurut Met Office. Belgia dan Belanda juga mengalami peningkatan suhu hingga 35o Celsius. Gelombang panas sedang mengancam Eropa.
Tiga minggu sebelumnya, dari pertengahan hingga akhir Juni 2015, tersiar berita yang menyesakkan. Bumi makin panas. Gelombang panas sedang menyerang Asia Selatan, India, Pakistan. Yang dimaksud dengan gelombang panas adalah suhu yang sangat tinggi, tidak wajar melampaui suhu rata-rata di suatu tempat selama beberapa hari atau minggu. Misalkan suhu rata-rata yang normal adalah 31o Celsius, namun yang dialami adalah antara 41-45o Celsius. Kenaikan drastis atau ekstrem temperatur itu membuat fungsi badan terpengaruh dan kacau. Ikatan oksigen di udara menjadi renggang dan berkurang, sehingga membuat orang tersengal-sengal. Badan gerah, keringat mengucur terus, dan kita perlu sering minum. Kekurangan minum membuat orang mengalami dehidrasi (kekurangan cairan tubuh). Hal itu bukan hanya di siang hari, tetapi juga di malam hari ketika tingkat kelembapan tinggi, semakin bertambah sering lebih panas, dan akibatnya malah lebih serius lagi. Orang tua, bayi dan hewan terutama yang sedang sakit, rentan menjadi korban. Di India lebih dari 2.000 orang meninggal. Di Pakistan korban meninggal lebih dari 1.300 orang [AFP, More Heat Waves Will Up Health Risks, 2 Juli 2015].
Beberapa fenomena gelombang panas yang meminta banyak korban jiwa [lihat: PERHATIAN PADA BUMI]:
– Tahun 1980 gelombang panas menyerang Amerika Serikat sehingga diperkirakan antara 1.700–5.000 orang menjadi korban – Tahun 1987, gelombang panas yang ekstrem menerjang Yunani selama 10 hari pada bulan Juli 1987, sehingga menimbulkan banyak korban. – Tahun 1988 di Amerika Serikat bagian timur dan tengah gelombang panas pernah menelan korban hingga sekitar 10.000 orang meninggal. – Tahun 1998, tercatat 2.541 orang di India meninggal karena gelombang panas yang menerjang sepuluh negara bagian. – Tahun 2003, tercatat 1.210 orang meninggal karena gelombang panas di Andhra Pradesh dan Tamil Nadu, India Selatan, pada bulan Mei. – Agustus 2003 gelombang panas dengan suhu 40o Celsius menyerang Eropa yang umumnya sejuk selama seminggu dan sekitar 40.000 orang meninggal dunia, terutama di Prancis. – Tahun 2006 tercatat 3.418 orang meninggal karena gelombang panas di Eropa Barat. – Gelombang panas bulan Juli 2007 melanda Eropa timur, Romania, Bulgaria, Yunani, Kroasia dan Hungaria. Lebih dari 1.000 orang meninggal sebagai korban. – Tahun 2010 sekitar 56.000 orang menjadi korban gelombang panas di Russia, dan di Jepang gelombang panas juga meminta korban jiwa 1.718 orang. Catatan di atas hanyalah berkenaan dengan fenomena gelombang panas yang menimbulkan banyak korban jiwa, setidaknya 1.000 orang. Fenomena gelombang panas yang meminta korban jiwa kurang dari 1.000 orang tidak saya catat, namun juga banyak terjadi. |
Cuaca ekstem yang merupakan kebalikan dari gelombang panas adalah gelombang dingin, di mana sebagian dari daerah di bumi mengalami hawa dingin yang melampaui rerata suhu dingin yang normal di daerah itu, disertai hujan es atau salju yang tebal, misalnya di bawah nol -5o C hingga -10o C, selama beberapa hari terus menerus.
Semakin banyak studi menyatakan bahwa gelombang panas (atau sebaliknya, gelombang dingin) disebabkan oleh iklim yang berubah, dan iklim yang berubah terutama disebabkan oleh tindakan manusia (Gutowski, et al. 2008; Stott, P.A., et al. 2010; Christidis, N., P.A. Stott, dan S.Brown. 2011; Seneviratne et al. 2012; Hansen, Sato, dan Ruedy, 2012).
Banjir, tanah longsor
Di banyak daerah di dunia, belakangan banjir semakin besar daya merusaknya, menimbulkan kerugian material milyaran dolar AS, dan semakin banyak membawa korban, baik yang meninggal maupun luka-luka setiap tahun. Mungkin kita di Indonesia menganggap banjir adalah soal biasa, tetapi sebenarnya banjir semakin bertambah merepotkan di Jakarta, di Bandung, bahkan di Jogjakarta, dan di kota-kota dan daerah-daerah lain juga. Menurut pengamatan suatu badan ahli dunia, “Banjir semakin merupakan kejadian cuaca yang sungguh makin menjadi-jadi bersifat bencana, menunjukkan kecenderungan peningkatan yang cepat: rerata kerugian material yang diakibatkannya setiap tahun (dalam nilai uang yang disesuaikan dengan tingkat inflasi) berlipat hingga sepuluh kali antara 1950an-1990an” (IPCC, 2001).
Secara sosial dampak banjir semakin luas pada penduduk, misalnya jiwa [lihat: PERHATIAN PADA BUMI]:
– Sekitar 100.000 jiwa menjadi korban dalam banjir bandang Hanoi dan Delta Red River, Vietnam Utara, 1971. – 229.000 jiwa yang melayang, ketika banjir menerjang dan 62 dam jebol di China 1975. – Di Jakholi (Tehri Garhwal) dan Devaldhar (Chamoli), India, pada bulan Juli 1986 terjadi banjir dan tanah longsor yang berdampak kepada kehidupan 2,5 juta orang. – Banjir dan tanah longsor di La Paz dan Cochabamba, Bolivia, Februari 1994, menimbulkan dampak pada 165.000 jiwa dari 30.000 keluarga. – Banjir besar yang menggenangi seluruh cekungan Sungai Yangtze September 1998 menimbulkan kerugian hingga AS$30 milyar. Lebih dari 4,100 orang meninggal, 13.8 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan 240 juta orang terkena dampak genangan air. – Banjir bandang di lereng pegunungan Cordillera de la Costa, Venezuela pada 14-16 Desember 1999, menyebabkan puluhan tanah longsor yang meminta korban tewas 30.000 orang. Tercatat 40.150 rumah terdampak, 20.000 di antaranya roboh; 214.000 orang mengalami luka-luka. – Hujan deras dan terus menerus menyebabkan tanah longsor dan banjir di Recife dan sekitarnya di Brazil pada 30 Juli 2000, memengaruhi hidup 143.000 orang secara langsung. – Pada 2002, hujan dengan curah tinggi, deras, dan turun berhari-hari dari pertengahan Juli hingga akhir September, menyebabkan 52 distrik di Nepal mengalami tanah longsor dan banjir, 444 orang meninggal dan sekitar 44 lainnya hilang, sedang yang luka-luka lebih dari 100, dan berdampak pada lebih dari 55.000 keluarga; 265.865 orang mengungsi. – Pada 31 Maret 2003 tercatat 299.548 orang dari 45.800 keluarga terdampak oleh banjir dan tanah longsor setelah hujan deras tak berhenti selama dua hari berturut-turut di Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tercatat 1.300 rumah hancur, 4.800 rusak, di antaranya 2.100 rusak berat. – Mei 2003, tanah longsor akibat hujan deras dan banjir terjadi di 3 provinsi di RRC, Fujian, Guangdong dan Hunan menyebabkan 200.000 orang harus mengungsi meninggalkan rumah mereka. – 217.988 warga terkena dampak banjir dan tanah longsor akibat hujan deras terus menerus antara 15-22 Desember 2003, mengguyur kawasan Mindanao dan Visayas , Filipina. – Antara Januari hingga Agustus 2004, kira-kira 46 juta orang terkena dampak banjir di RRC. – Di Mumbai, India, pada 26-27 Juli 2005, hujan besar menyebabkan sungai Mithi meluap dan banjir meminta korban lebi dari 1.000 jiwa dan kerugian hingga AS$750 juta. – Terjadi tanah longsor di Afghanistan pada 13 Januari 2006 setelah hujan lebat dan salju di provinsi Sar-i-Pul utara, yang berdampak pada kehidupan 300.000 orang. – Pada 17 Februari 2006 desa Guinsaugon, St Bernard, Leyte Selatan, Filipina, terkubur lumpur sebanyak 15 juta m³ karena tanah longsor yang dipicu hujan lebat selama sepuluh hari. Korban tewas antara 1.126 – 2.500 orang terkubur dalam lumpur – Antara bulan Mei hingga Agustus 2007, banjir melanda provinsi-provinsi Guangdong, Guangxi, Guizhou, Hunan, Fujian dan Jiangxi di China, meminta korban lebih dari 700 orang meninggal, 69.000 rumah hancur, 94.000 lainnya rusak, 788.000 penduduk diungsikan. Diperkirakan 23,6 juta penduduk di enam provinsi terkena dampak banjir, badai petir dan tanah longsor. – Dan seterusnya….
|
Sekaligus ada banyak faktor yang menyebabkan banjir dengan dampak besar secara sosial: perubahan tata-guna tanah akibat urbanisasi, meluasnya daerah banjir akibat bertambahnya penduduk dan kemakmuran di situ, perubahan sistem tanah yang menyebabkan berkurangnya tanah resapan dan tampungan air alamiah (telaga, paya-paya, tanah becek, tanah terbuka), dan besarnya volume air yang tercurah, melampaui daya tampung sungai dan pelbagai saluran air. Di masa sekarang curah hujan yang tinggi dan membawa ancaman bahaya banjir banyak terkait dengan perubahan iklim, yaitu meningkatnya penguapan badan air karena pemanasan bumi yang bertambah.
Topan, siklon, tornado, angin puting beliung
Topan, siklon, tornado, angin putting beliung adalah gerakan angin berputar dengan arah dan kecepatan tertentu, dan dengan diameter tertentu (yang tergolong besar berdiameter hingga puluhan kilometer). Terjadi karena perpindahan udara (sebagai angin) dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah, namun berputar terkena dampak daya Coriolis, yaitu rotasi bumi yang cepat pada porosnya. Di sekitar garis katulistiwa sering terjadi topan tropis. Negara seperti Filipina sangat sering diterjang topan tropis, setiap tahun mungkin sekitar 24 jenis topan yang masing-masing diberi nama sendiri dibangkitkan dan bergerak menerjang. Sebagian topan itu (16) adalah topan yang dibangkitkan di Lautan Pasifik. Sebagian topan (8) terutama di sekeliling Teluk Mexico dan Caribia, adalah topan tropis Lautan Atlantik. Besarnya perbedaan tekanan udara yang tidak lazim (anomali berbeda dari kebiasaan) belakangan ini, yang membangkitkan topan dan teman-temannya dan terutama kedahsyatannya, disebabkan oleh perubahan iklim.
Beberapa fenomena di antaranya dicatat karena dampaknya yang besar pada manusia:
– topan Bhola mengamuk di Pakistan Timur (waktu itu, sekarang Bangladesh) sehingga sekitar 350.000 jiwa menjadi korban pada tahun 1970. – Badai tropis Marian menerjang Kutubia dan pantai timur Bangladesh membawa korban 139.000 jiwa pada 29 April 1991. Sebanyak 780,000 rumah hancur, 9,300 sekolah rusak, dan 655 pusat kesehatan rusak. – Pada minggu pertama Juli 2000 dua topan menerjang Filipina dan membuat setidaknya 400.000 orang terpaksa mengungsi. – Amerika Serikat pada bulan Agustus diterjang badai tropis Katrina di beberapa kawasan (Ontario, pantai timur sebelah utara, dan Georgia, terutama New Orleans), menimbulkan korban jiwa 1.833 orang dan menimbulkan kerugian besar. – Pada akhir tahun 2006 topan Durian atau topan Reming menimbulkan huru-hara. Durian menerjang 11 provinsi di Filipina menebar dampak atas 3,5 juta orang, menghancurkan 181.676 rumah, membuat 95.000 orang mengungsi, 2.174 orang luka, 764 orang dinyatakan hilang, dan 715 orang meninggal. Topan Durian dengan kekuatan yang sudah sangat berkurang juga menerjang Vietnam lima hari kemudian, di provinsi Vung Tau dan Delta Sungai Mekong, menyebabkan 48 orang meninggal, 184 cedera, dan 10 orang hilang; 120.000 rumah roboh atau rusak, dan 700 perahu tenggelam. – Topan tropis Nargis turun menerjang Myanmar tenggara 2 Mei 2008, dekat kota Wagon di provinsi Ayeyarwady menyebabkan sejuta orang kehilangan rumah di dataran rendah delta Sungai Irrawady, merusak lahan pertanian, usaha peternakan dan perikanan. Korban jiwa 138.366 orang. – Topan Fengshen atau topan Frank (nama lokal) pada 23 Juni 2008 menerjang Filipina dan menyebabkan lebih dari 1.300 orang meninggal, di sepuluh wilayah 99.687 keluarga terdampak, 155.564 rumah rusak, 53.706 di antaranya hancur total. – Topan Morakot pada bulan Agustus 2009 menyebabkan kerusakan besar di Taiwan setelah membawa hujan lebat, banjir bandang dan banjir lumpur. Lebih dari 25.000 orang diungsikan, terdapat 700 korban jiwa. – Topan tropis Washi atau Sendong di Filipina menyebabkan kerusakan besar akhir tahun 2011. Sekitar 40.000 rumah rusak, di antaranya 11.463 roboh. Hampir 700.000 orang terdampak, 1.292 orang tewas, 1.049 orang hilang, dan 2.002 orang luka-luka. – Kawasan Mindanao, Filipina, pada awal Desember 2012 diterjang topan Bopha, yang menewaskan 1.020 orang, dan menyebabkan 850 orang hilang dan 27.000 penduduk mengungsi. – Topan Haiyan atau Yolanda menerjang kawasan Tacloban, Filipina, November 2013. Sekurangnya 6.340 orang meninggal karena amukan topan Haiyan.
|
Melalui fenomena-fenomena di atas itu kita akan berusaha mendapatkan pemahaman dan nantinya “dorongan dan tuntutan baru sehubungan dengan dunia di mana kita adalah salah satu bagiannya, [setelah] secara ringkas kita tilik apa yang terjadi dengan rumah kediaman kita bersama” [Paus Fransiskus. 2015. Art 17].
Iklim
Walau indikatornya adalah suhu, curah hujan, penguapan, gelombang dan permukaan laut, angin, atau cuaca, namun cuaca suatu ketika di suatu tempat bukan iklim; tetapi iklim adalah rata-rata situasi cuaca secara menyeluruh untuk jangka panjang. “Pada tingkat global, iklim adalah suatu sistem yang kompleks yang terkait dengan berbagai kondisi yang penting bagi hidup manusia” (Paus Fransiskus, 2015, art. 23). Pada sistem bumi, ada dua sistem yang ikut menentukan iklim: yaitu sistem geosfer dan sistem biosfer. Namun selanjutnya ada beberapa sub-sistem di dalam tiap sistem itu, yang masing-masing bekerja sendiri namun juga saling berinteraksi melalui siklus membentuk iklim sebagai suatu keseluruhan.
Pertama-tama adalah matahari yang sinarnya memberikan energi untuk hidup bagi bumi, yang kemudian diolah melalui kedua sistem dan sub-sistem bumi.
Dalam lingkup geosfer sinar matahari diolah sub-sistem atmosfer, litosfer, hidrosfer dan kriosfer.
Dalam biosfer sinar matahari diolah: tanaman, hewan, manusia dalam kelompok besar bioma, yang berada di dalam berbagai ekosistem yang kurang lebih sama. Masing-masing berproses mengubah energi panas yang disampaikan matahari, demi hidup masing-masing, namun dalam suatu pola berdaur (siklus), berinteraksi dan melayani yang lain.
Masing-masing proses pada komponen bumi adalah “kondisi yang penting bagi hidup manusia”. Perubahan kondisi salah satu sub-sistem memengaruhi yang lain, dan perubahan beberapa sub-sistem mengubah iklim sebagai kondisi keseluruhan.
Para ahli sejak 1988 dihimpun PBB dari seluruh dunia untuk mengadakan penelitian mengenai iklim dan sub-sistem iklim dan secara teratur mereka menyampaikan laporan hasil pengamatan dan penelitian mereka. Ada pula kelompok-kelompok pengamat dan peneliti independen yang secara berkala juga menerbitkan laporan. “Suatu konsensus ilmiah yang kuat menunjukkan bahwa kita dewasa ini sedang mengalami tingkat pemanasan yang mengganggu sistem iklim” [Ibid].
Bumi menerima sinar matahari namun atmosfer bumi langsung memantulkan kembali sepertiganya (30%) ke luar angkasa, dan proses ini disebut albedo. Selebihnya (70%) sinar matahari yang membawa panas diserap dan diolah untuk berbagai keperluan di dalam berbagai komponen iklim yang ada di bumi (atmosfer, laut, es, daratan dan mahluk hidup) dan menghangatkan mereka. Pada berbagai komponen yang ada di bumi itu sinar matahari dan panasnya diolah dalam suatu sistem transformasi, seperti misalnya yang disebut foto-sintesis pada tanaman dan laut. Secara seimbang dalam jangka panjang, besarnya energi yang diterima bumi dari sinar matahari itu dipancarkan bumi kembali ke angkasa secara seimbang.
Namun keseimbangan antara energi yang diserap bumi dan yang dilepaskan bumi melalui atmosfer dapat terganggu oleh beberapa faktor alam, yang menimbulkan daya radiatif (RF, radiating force) yang memicu perubahan iklim. Perbedaan itu tampak pada perputaran matahari dalam 11-tahun, atau pada periode yang lebih lama. Perbedaan perputaran bumi yang lebih lambat memengaruhi musim dan sebaran sinar matahari menurut garis lintang bumi yang memengaruhi pembentukan es kutub. Adapun daya radiatif, RF, belakangan menjadi lebih besar sehingga membuat bumi makin panas dan iklim mengalami perubahan.
Dalam penilaian tahun 2012, suhu daratan seluruhnya dan permukaan laut meningkat rata-rata 0,85o C sejak 1880 hingga 2013; dan antara 1901-2013 seluruh bumi telah mengalami pemanasan permukaan.
Dua puluh tahun ke depan (2016-2035) para ahli memperkirakan suhu rata-rata bumi akan terus bertambah lagi antara 0,3o C – 0,7o C, dan hingga akhir abad nanti (2100) peningkatan suhu antara 0,3o C hingga 4,8o C.
Selanjutnya kita lihat bagaimana keadaan atmosfer memengaruhi hal ini.
- Atmosfer
Atmosfer adalah udara yang terdiri dari gas-gas yang tidak tampak termasuk oksigen yang kita hirup. Hasil pengukuran tahun 1990 menunjukkan, bagian terbesar adalah Nitrogen, N2 , sebanyak 78.1% dan Oxygen, O2 sebanyak 20.9% . Lainnya adalah gas Argon, A, sebanyak 0.9% ; Karbon dioksid, CO2 sebanyak 350 ppm (part per million); Neon, Ne, sekitar 18 ppm; Helium, He, sekitar 5,2 ppm; Uap air, H2O antara 0–4% berubah-ubah; Hidrogen, H, sekitar 0,5 ppm; Ozon, O3 sekitar 4–65 ppb (part per billion); Metana, CH4 sekitar 1.750 ppb; Karbon monoksid, CO, sekitar 150 ppb; Krypton, Kr, sekitar 1,1 ppm; dan Nitrous oksid, N2O sekitar 280 ppb.
Atmosfer tersusun dalam lima lapisan utama, yang mengisi ruang-ruang makin tinggi lebih dari 10.000 kilometer di atas kita hingga ke angkasa luar. Lapisan yang bersentuhan dengan permukaan bumi adalah troposfer, hingga sekitar 16 kilometer di atas kita. Cuaca dan awan berada di dalam lapisan ini. Pesawat udara terbang di lapisan ini karena keadaannya relatif stabil. Di atasnya, lapisan stratosfer hingga sekitar 50 kilometer di atas kita. Di sini gas ozon stratosferik menyerap unsur sinar matahari yang merugikan dan mendinginkan bumi. Kemudian lapisan mesosfer, yang tingginya sampai sekitar 85 kilometer di atas kita, di mana keadaannya sangat dingin, hingga minus 90o C, namun bisa membuat meteor dan pecahan batu yang terlempar dari luar angkasa terbakar sebelum jatuh ke bumi. Selanjutnya adalah lapisan termosfer atau lapisan aurora, karena warna-warna sinar yang menakjubkan yang kita sebut aurora borealis terjadi di sini. Keadaannya sangat panas, sampai ribuan derajat, karena berhadapan dengan panas matahari . Pada bagian tengah hingga atas lapisan yang tingginya sampai 600 kilometer di atas kita ini, ditempatkan satelit-satelit dan kendaraan angkasa luar mengelilingi bumi pada suatu lintasan (orbit). Akhirnya atmosfer bersentuhan dengan angkasa luar dengan lapisan tipis yang disebut eksosfer, yang tingginya bisa mencapai 10.000 kilometer di atas kita.
Dalam sistem iklim, atmosfer berperan sebagai komunikator (penghubung) yang efisien dengan proses sirkulasi gas-gas energi. Atmosfer mampu dengan cepat menggerakkan dan membagikan massa dan panas meliputi jarak yang jauh, baik horisontal maupun vertikal dan memecah konsentrasi dengan menyebarluaskan dampak gangguan (misalnya dari letusan gunung api) yang sering terjadi seperti debu, asap dan panas hingga jauh dalam beberapa jam hingga hari sejak kejadiannya. Proses sirkulasi yang dimaksud adalah memberikan kemudahan pada terjadinya beberapa siklus yang penting bagi kehidupan: yaitu, siklus oksigen dan nitrogen, siklus air, siklus fosfor dan siklus karbon.
Dalam siklus oksigen dan nitrogen, atmosfer langsung memengaruhi kehidupan di bumi dengan menyediakan gas pernapasan bagi tanaman, hewan dan manusia.
Melalui siklus air, atmosfer memindahkan air dari laut dalam bentuk uap air, untuk kemudian dengan pengembunan dalam hujan memindahkannya bagi mahluk hidup dan untuk disimpan di tanah, baik dalam bentuk cair maupun padat (salju).
Dalam siklus fosfor, atmosfer membantu fosfor di bebatuan terurai, jatuh di tanah, berfungsi pada organisme, lalu di bawa ke laut (dan bersirkulasi lagi mengikut siklus air).
Dalam siklus karbon, pernapasan foto-sintetis pada tanaman dan pada sel-sel mikro-organisme merupakan dua proses karbon yang berlangsungnya dibantu atmosfer.
Keseimbangan unsur-unsur di dalam atmosfer agar mampu melaksanakan fungsinya dengan baik adalah penting dijaga untuk hidup yang berkelanjutan.
Namun sayang. “Paparan unsur pencemaran atmosfer menghasilkan suatu spektrum luas bahaya kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini. Orang jadi sakit, misalnya, karena menghirup asap yang melampaui ambang batas dari bahan bakar yang digunakan dalam memasak atau pemanasan. Ada juga polusi yang mempengaruhi semua orang, yang disebabkan oleh alat transportasi, asap industri” [Paus Fransiskus, 2015. Art. 20]. “Sejumlah studi ilmiah menunjukkan bahwa pemanasan global dalam beberapa dekade terakhir ini terutama disebabkan oleh konsentrasi besar gas rumah kaca (karbon dioksid, metana, nitrogen oksid dan lain-lain) yang timbul dari aktivitas manusia. Mengumpul di atmosfer, gas-gas ini menghalangi panas sinar matahari yang dipantulkan bumi menyebar di ruang angkasa. [Ibid. Art 23].
Pengukuran para ilmuwan yang teliti di Observatori Mauna Loa, Hawaii, pada awal tahun 1960-an menghasilkan Kurva Keeling yang menunjukkan bahwa pada atmosfer kita, konsentrasi gas rumah kaca utama, terutama CO2, telah mengalami banyak peningkatan dan dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak baik. Tergerak oleh temuan itu, banyak ilmuwan ikut serta melakukan penelitian. Perkembangan komputer sejak awal 1970-an dan pengembangan metode penginderaan jauh serta anjungan-anjungan pengamatan seperti satelit-satelit, selanjutnya membantu penghimpunan data, perhitungan, dan pengembangan model-model yang makin memantapkan prediksi-prediksi tentang semakin meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer dan kemungkinan dampaknya.
Penjelasan efek gas rumah kaca adalah sebagai berikut: “Gas rumah kaca bekerja bagaikan kaca/plastik transparan pada rumah kaca petani untuk sayuran atau buah-buahan di iklim sedang. Cahaya matahari bisa sampai ke muka bumi, sebab gas rumah kaca transparan untuk cahaya matahari gelombang pendek. Setelah menyentuh bumi, cahaya matahari dipantulkan kembali sebagai sinar infra merah. Untuk gelombang infra merah, gas rumah kaca tidak transparan,tapi malah menyerapnya, hingga gelombang tersebut terperangkap di dalam atmosfer. Akibatnya suhu atmosfer naik. Maka terjadilah apa yang disebut efek rumah kaca. Makin tinggi gas rumah kaca, makin besar juga efek rumah kaca, dan makin tinggilah suhu atmosfer” [Soemarwoto 2001, dalam Francis Wahono, 2012, 93-94].
Para ilmuwan sepakat bahwa meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca yang dilepaskan manusia ke dalam atmosfer menyebabkan perubahan iklim.”Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer karbon dioksid, metana, klorofluorkarbon dan nitrogen oksid … meningkatkan dampak rumah kaca, yang selanjutnya menambah pemanasan pada permukaan bumi. Uap air yang juga gas rumah kaca utama akan bertambah sebagai akibat dari pemanasan bumi, dan pada gilirannya ikut menambah pemanasan itu juga….” (IPCC 1990, xi, dinyatakan lagi dalam IPCC (2007a) dan IPPC (2007b).
Secara teknis untuk perhitungan komposisi gas-gas di atmosfer, kecenderungan global diindikasikan oleh kesenjangan antara pelepasan dan serapan gas rumah kaca, pertama-tama dalam anggarannya (yang terus dibicarakan setiap tahun dalam konferensi perubahan iklim FCCC-COP dan diatur menurut Protokol Kyoto 1994), dan angka kesenjangan itu selanjutnya memainkan peran penting dalam verifikasi emisi pada tingkat global. Emisi CO2 secara global meningkat 36% antara 1992 dan 2008, dari sekitar 22.000 juta ton menjadi lebih dari 30.000 juta ton. Sementara laju kenaikan emisi di negara-negara maju menurun, laju kenaikan emisi CO2 di negara-negara berkembang melonjak naik (antara 1992 dan 2008, total emisi CO2 naik 64% atau dalam hitungan per kapita 29%). Dalam perhitungan tahun 2010, emisi CO2 global mencapai 30.600 juta ton (IEA 2011).
Hasil asesmen IPCC 2007 menyimpulkan bahwa meningkatnya konsentrasi campuran gas rumah kaca di atmosfer membuat tambahan daya radiatif (RF) 9% dari 1998 hingga 2005. Selanjutnya dalam asesmen IPCC 2012 disimpulkan tambahan daya radiatif dari gas rumah kaca 7,5% antara 2005 dan 2011, 80% berasal dari kontribusi CO2. Tambahan rata-rata metana di atmosfer (CH4) adalah dari ~0.5 ppb dalam masa 1999–2006, menjadi ~6 ppb antara 2007 hingga 2011. Namun tercatat pula bahwa sejak 2005, konsentrasi gas-gas yang merusak ozon di atmosfer, setelah produksi dan penggunaannya diatur dalam Protokol Montreal (1987) jumlahnya menurun. Maka emisi gas rumah kaca dominan yang dicermati adalah CO2, CH4, dan N2O. Dalam persentase peningkatan konsentrasi CO2 karbon dioksid adalah 40%, CH4 metana 150% dan N2O nitrogen oksid 20%.
Karbon Dioksid
Pengukuran yang tepat dan akurat atas CO2 atmosfer dilakukan di Mauna Loa, Hawaii dan Kutub Selatan oleh C. D. Keeling dari Scripps Institution of Oceanography sejak akhir 1950-an (Keeling et al., 1976a; Keeling et al., 1976b). Jumlah CO2 di atmosfer secara global untuk tahun 1750 dijadikan dasar perhitungan selanjutnya, dihitung dari contoh gelembung udara yang terperangkap dalam inti es adalah 278 ± 2 ppm (Etheridge et al., 1996). Angka CO2 di atmosfer pada tahun 1990 adalah 350 ppm. Faktor pertama bertambahnya angka CO2 adalah tambahan jangka panjang dan siklus musiman emisi CO2 hasil fotosintesis dan pernapasan biosfer darat, yang jumlahnya relatif sangat kecil. Faktor kontributor terbesar peningkatan CO2 di atmosfer adalah pembakaran bahan-bakar fosil dan perubahan tata-guna tanah (utamanya deforestasi). Angka CO2 di atmosfer pada tahun 2005 adalah 379,8 ppm. Sejak pengukuran terakhir di tahun 2005, CO2 di atmosfer bertambah 11,7 ppm menjadi 390,5 ppm pada 2011. Menurut pengukuran dari 1980 hingga 2011, secara global peningkatan rata-rata tahunan CO2 (dari 1 Januari suatu tahun hingga 1 Januari tahun berikutnya adalah 1,7 ppm. Sejak 2001, CO2 telah meningkat 2,0 ppm. Namun laju peningkatan CO2 berbeda-beda dari tahun ke tahun; sejak 1980 laju kenaikan tahunan bergerak di antara 0,7 ± 0,1 ppm pada 1992 hingga 2,9 ± 0,1 ppm pada 1998. Secara kumulatif emisi CO2 yang dibuat manusia antara 1750 dan 2011 seluruhnya adalah 555 Giga ton dan sekitar 43% dilepaskan ke dalam atmosfer [bagian yang lain diserap lautan dan daratan].
Tentang sumber-sumber peningkatan konsentrasi CO2 dalam atmosfer, dikatakan terutama bersifat antropogenik, artinya berasal dari kegiatan manusia. Pembakaran bahan bakar fosil (minyak/gas bumi) untuk membangkitkan listrik, alat transportasi dan untuk alat pemanasan/pendinginan melepaskan CO2 dalam jumlah terbesar ke dalam atmosfer. Dalam industri, produksi semen bukan saja membutuhkan masukan energi yang sangat besar, tetapi juga melepas CO2 secara langsung melalui pemanasan kalsium karbonat. Industri semen merupakan sumber emisi CO2 yang paling cepat bertumbuh (+230% sejak 1992). Pembakaran bahan bakar fosil secara keseluruhan menyumbang 26% peningkatan konsentrasi karbon dioksid dalam atmosfer.
Deforestasi juga menyumbang antara 15%-17% pada pelepasan konsentrasi CO2 ke dalam atmosfer. Bila hutan ditebang untuk kayu komersial, lahannya diubah untuk pertanian, atau penggembalaan ternak, jumlah pohon kayu yang tersedia untuk menarik CO2 keluar dari udara dan mengendapkannya dalam batang dan daunnya berkurang, sehingga lebih banyak CO2 tetap berada di atmosfer. Jika pohon atau hutan dibakar, karbon dioksida dilepas ke udara.
Sektor energi, industri dan kehutanan bersama-sama menyumbang 60% emisi gas rumah kaca.
Metana
Tingkat konsentrasi gas metana CH4 dalam atmosfer pada tahun 1750 secara global adalah 722 ± 25 ppb (Etheridge et al., 1998; Dlugokencky et al., 2005). Angka rata-rata pada tahun 2011 adalah 1.803 ± 2 ppb. Tampaknya ada fluktuasi konsentrasi metana, di mana terjadi penurunan dari awal 1980an hingga 1998, stabil dari 1999 hingga 2006, lalu peningkatan dari 2007 hingga 2011. Menurunnya laju konsentrasi CH4 yang diamati dari awal 1980-an hingga 2006 menunjukkan keberhasilan usaha stabiliasi emisi global hingga konstan ~550 Tg (CH4). Penyebab peningkatan konsentrasi alamiah metana CH4 di atmosfer adalah suhu laut Arctic yang tinggi pada 2007 dan anomali lebih dari rata-rata penguapan laut di wilayah tropis antara 2007 dan 2008. Penyebab-penyebab lainnya adalah peningkatan produksi padi, peternakan, pembakaran biomasa, pertambangan batubara, dan pembakaran sebagian gas yang ditambang dalam pertambangan gas bumi.
Nitrogen Oksid
Konsentrasi rata-rata secara global N2O dalam atmosfer pada 2011 adalah 324,2 ppb, bertambah 5,0 ppb di atas angka tahun 2005 ). Dibanding angka titik tolak dari tahun 1750 sebanyak 270 ± 7 ppb, maka angka ini menunjukkan peningkatan 20%. Pengukuran N2O menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi di atmosfer sejak awal 1950-an, terutama dari emisi yang disebabkan pengolahan tanah menggunakan pupuk nitrogen baik sintetis maupun organik atau kotoran hewan. Sejak pengukuran sistematik yang dimulai akhir 1970-an, N2O meningkat pada laju rata-rata ~0.75 ppb. N2O sekarang menggantikan posisi CFC-12 sebagai gas rumah kaca ketiga yang berkontribusi peningkatan RF atau daya radiasi yang memengaruhi pemanasan global dan perubahan iklim.
Secara singkat, ada tambahan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang menjadi bahan perundingan negara-negara yang adalah pihak-pihak (COP) dalam Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCC) guna membentuk kebijakan pengurangan emisi menurut Protokol Tokyo sejak antara 2005-2011, dan selanjutnya. Konsentrasi CO2 dalam atmosfer adalah 390,5 ± 0,2 ppm pada tahun 2011; 40% lebih besar dari tingkat konsentrasi tahun 1750. Konsentrasi atmosferik N2O adalah 324,2 ± 0,2 ppb padatahun 2011; peningkatan 20% sejak 1750. Konsentrasi atmosferik CH4 adalah 1803,2 ± 2,0 ppb pada tahun 2011; ini berarti 150% lebih besar dari konsentrasi tahun 1750. Situasi peningkatan gas-gas rumah kaca dalam atmosfer ini memicu pemanasan global 0,75o C selama ini dengan pelbagai dampaknya. Ke depan, hingga tahun 2035, dan lebih jauh lagi hingga 2100, sambil mengenangkan anak-cucu-cicit kita, situasi konsentrasi gas rumahkaca di atmosfer akan lebih berat lagi. Pemanasan bumi pun akan bertambah antara 0,75 hingga 4,00oC, dan akibatnya akan semakin parah.
Indonesia sendiri setelah melalui perhitungan yang rumit muncul selaku pengemisi gas rumah kaca ketiga yang terbesar di dunia [Houghton, 2003; dikutip dalam Baumert et al., 2005], sesudah AS dan China. Sumber utamanya adalah gas rumah kaca yang lepas tidak tertangkap hutan, karena hutan sudah rusak (deforestasi). Emisi gas rumah kaca setara CO2 dari sektor energi/transpor, pertanian dan limbah, seluruhnya hanya 451 juta metrik ton. Sedangkan dari sektor kehutanan 2.563 juta metrik ton. Total emisi gas rumah kaca Indonesia seluruhnya, 3.014 juta metrik ton setara CO2. (AS 6.005 juta metrik ton; China, 5.017 juta metrik ton; Brazil di tempat keempat 2.316 juta metrik ton; Inda di tempat keenam, 1.577 juta metrik ton). Dan Indonesia sejak awal Konvensi PBB untuk perubahan iklim sudah sangat aktif terlibat untuk ikut melakukan perubahan, melalui konferensi para pihak, UNFCCC- COP, I (1992)-XX (2014). Untuk mencari solusi. Apa yang harus kita lakukan?