Oleh Bambang Kussriyanto
2. Biosfer
Kehidupan manusia senantiasa tergantung kepada jasa yang diberikan oleh sistem biosfer dan aneka ekosistemnya. Biosfer sendiri sesungguhnya merupakan hasil penggabungan dari seluruh kehidupan di muka bumi. Komposisi atmosfer dan tanah, siklus hara melalui udara dan air serta aset ekologi lainnya merupakan hasil dari proses-proses kehidupan – dan semuanya dipertahankan dan dilengkapi oleh ekosistem yang hidup. Biosfer meliputi semua mahluk hidup, mulai dari bakteri ber sel satu sampai pada tanaman, hewan dan manusia. Biota – yaitu semua bentuk hidup – melalui pernafasan dan interaksi kimiawi lainnya yang dibantu atmosfer memengaruhi komposisi dan sifat-sifat fisik udara dan air. Misalnya pada proses foto-sintesis di daratan, 6CO2 (karbon dioksid)+126H20 (air) + sinar matahari, diubah menghasilkan C6H12O6 (tisu organik pada tanaman) + 6O2 (Oksigen dioksid)+6H2O. Karbon dioksid CO2 diserap tanaman dari udara, diubah jadi molekul pada tisu organik tanaman C6H12O6, yang kemudian menjadi makanan untuk hidup hewan atau manusia, atau nanti diserahkan ke tanah. Sedang O2 dilepas tanaman ke udara untuk menyegarkan nafas manusia dan hewan. Adapun dari proses pernafasan kita amati olahan CH2O + O2 menghasilkan CO2 + H2O + energi. Nitrogen, sulfur dan fosfor penting bagi hewan dan tanaman untuk produksi dan menyediakan protein. Fosfor dalam ikatan tertentu (sulfat) merupakan bahan bakar untuk semua proses bio-kimia. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa biosfer ini terkait dengan sistem bumi melalui siklus bio-geo-kimia.
Pernah mendengar kata-kata “bentuk hidup berbasis karbon” (unsur C)?
Mahluk hidup di bumi disebut berbasis karbon (unsur C), sebab kebanyakan molekul yang ada padanya merupakan rantai perikatan atom karbon seperti pada karbo-hidrat dan lemak. Jumlah rantai karbon ini bertambah-tambah seiring dengan jumlah keseluruhan mahluk hidup yang ada di bumi. Seluruhnya diperkirakan 1.900 GtC (gigaton karbon). Untuk menggambarkan jumlah itu bayangkanlah 120 milyar bus! Dalam sistem biosfer dan pelbagai sub-sistemnya ini kita memerhitungkan adanya keanekaragaman hayati yang perlu dijaga, dipelihara, dilindungi dan dikembangkan dalam kebersamaan.
Indonesia sangat berkepentingan dalam hal ini, karena sadar akan posisinya yang sangat penting dalam hal keragaman hayati global. Indonesia termasuk satu di antara sepuluh negara yang paling kaya dalam keragaman hayati dan disebut suatu negeri “megadiversity” (Primack et al. 1998). Dengan luas daratan 1,86 juta km2 dan 5,8 juta km2 perairan, Indonesia berada di tempat kedua sesudah Brazil dalam hal nilai kekayaan keragaman hayati [Biodiversity Conservation Unit Ministry of Environment, 2009. Hal. 2].
Negara | Nilai Keragaman Hayati | Nilai Endemik | Total Nilai |
Brazil | 30 | 18 | 48 |
Indonesia | 18 | 22 | 40 |
Colombia | 26 | 10 | 36 |
Australia | 5 | 16 | 21 |
Mexico | 8 | 7 | 15 |
Madagascar | 2 | 12 | 14 |
Peru | 9 | 3 | 12 |
China | 7 | 2 | 9 |
Filipina | 0 | 8 | 8 |
India | 4 | 4 | 8 |
Ecuador | 5 | 0 | 5 |
Venezeula | 3 | 0 | 3 |
Sumber: Mittermeier et al. 1997.
Mengenai keragaman spesies, jumlah spesies tanaman Indonesia berada di peringkat lima besar di dunia. Dari seluruh spesies, 55% tanaman diketemukan di Indonesia. Sedang untuk hewan, sekitar 12% mamalia (515 spesies) terdapat di Indonesia [Ibid. Hal 2-3]. Hasil penelitian mutakhir menyatakan bahwa ada 1.500 spesies ganggang yang terdokumentasi, tanaman penghasil spora seperti 80.000 spesies jamur, 595 spesies lichen, 2.197 spesies pakis, dan spermatofita antara 30.000 – 40.000 spesies. Seluruhnya merupakan 15,5% dari flora dunia, sedang kekayaan fauna terdiri dari 8.157 spesies vertebrata; mamalia, burung, reptil dan amfibia serta ikan; dan invertebrata, 1.900 spesies kupu-kupu yag merupakan 10 % dari spesies dunia [LIPI. 2014. Dalam Biodiversity Conservation Unit Ministry of Environment, 2014. Hal. 1].
Untuk dasar hukumnya, Indonesia mengatur lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU No. 32/2009 menggantikan UU No. 23/1997), dan undang-undang mengenai konservasi kekayaan hayati dan ekosistemnya (UU No. 5/1990; UU No. 5/1994 tentang ratifikasi United Nations Convention on Biological Diversity (CBD). Indonesia sejak Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (CBD) dalam KTT Bumi 1992 ikut aktif berusaha melindungi dan mengembangkan kekayaan keragaman hayatinya, melalui perundingan para pihak (COP), mulai dari COP-CBD pertama tahun 1992 hingga COP-CBD XII tahun 2014, dan mengikuti hukum internasional yang timbul dari Konvensi.
Biosfer terdiri dari beberapa sub-sistem yang kita sebut bioma. Yaitu bagian dari bumi yang terdiri dari beberapa ekosistem yang serupa, di mana keanekaragaman hayati tumbuhan, binatang dan mahluk hidup lainnya menemukan habitatnya dan hidup nyaman menurut iklim dan kondisi-kondisi lainnya. Sesuai letak dan kondisi negara kita, demi memudahkan pemahaman, pertama-tama kita pelajari bioma yang dekat dengan kita.
A. Bioma Laut
Laut merupakan bioma terbesar di bumi. Sekitar 70% dari permukaan bumi adalah laut. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.500 pulau. Dan sebagai negara kepulauan, 70% dari tanah air kita Indonesia adalah laut. Garis pantainya 95.181 kilometer, negara keempat dengan garis pantai terpanjang di dunia. “Bumi Indonesia adalah sebuah ‘benua maritim’, yang menyediakan dan menawarkan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan serta dikelola secara bijaksana sebagai sumber nafkah, protein, dan energi” [KWI, 2006. Art 7]. Kawasan pesisir Indonesia pada umumnya mempunyai tiga ekosistem tropis yang unik, yaitu mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Sedang di laut ada begitu banyak mahluk hidup, terutama mikro-organisma. Mahluk terkecil yang berumah di laut begitu kecilnya sehingga hanya dapat kita lihat dengan menggunakan mikroskop. Mahluk terbesar di laut adalah paus biru, yang panjangnya bisa mencapai 36 meter. Cara hidup mahluk-mahluk itu juga berbeda. Ada yang berkelana hingga jauh mengikut gelombang laut, ada yang menetap di tempat yang sama di lantai laut sepanjang hidupnya. Ada yang mengubur dirinya berselimut pasir, sedang yang lain melayang hingga ke permukaan laut. Laut yang satu berbeda dengan yang lain. Maka ada banyak ekosistem yang berbeda-beda pada laut, bergantung pada situasi seperti suhu air, jumlah sinar matahari yang dapat menembus air, dan jumlah zat hara yang ada. Sinar matahari menembus lapisan atas air laut hingga 200 meter. Hampir semua mahluk laut (90%) hidup di lapisan air laut bagian atas yang menerima sinar matahari. Fitoplankton, algae, dan tumbuhan seperti rumput-laut membuat makanannya dengan proses fotosintesis dan menjadi awal dari rantai pangan dari laut.
Binatang laut dan dan organisme lainnya hanya dapat bertahan hidup pada suhu tertentu. Sedang suhu laut berbeda-beda. Yang lebih dekat dengan garis katulistiwa hangat, semakin jauh ke arah kutub lebih dingin. Lapisan air laut dekat permukaan hangat, makin dalam makin dingin. Ada hewan dan organisme laut yang dapat hidup dalam bentangan selisih suhu yang lebih besar, dan karenanya ada yang dapat hidup di banyak tempat di laut.
Setidaknya kita mengenal empat zona keragaman hayati (katakanlah ekosistem luas) di laut:
* Keragaman hayati laut di zona pasang-surut – yaitu di pesisir dan estuari di mana terdapat hewan, tanaman seperti bakau (mangrove) dan algae, yang berhabitat pada pertemuan air pasang dan air surut.
* Keragaman hayati laut dangkal – di bagian laut dangkal yang ditembus sinar matahari terdapat banyak hewan, tumbuhan seperti rumput laut, ganggang yang hidup di terumbu karang dasar laut sementara berbagai ragam ikan berenang hilir-mudik di atasnya.
* Keragaman hayati laut terbuka – daerah terbesar dari ekosistem laut, yang menjadi habitat ikan perenang, plankton yang mengambang, dan lain-lain.
* Keanekaragaman hayati di laut dalam – lingkungan ekstrem yang gelap dan dingin masih dapat memberikan dukungan pada kehidupan banyak mahluk.
[Dua ekosistem yang pertama akan kita bahas dalam seksi Biosfer. Sedang dua yang terakhir akan kita bahas dalam seksi Hidrosfer di bawah nanti].
Indonesia berusaha menanggapi perubahan iklim dengan melakukan apa yang bisa dilaksanakan dengan kemampuan yang ada. Maka ketika diadakan perundingan Konvensi Keragaman Hayati (CBD) PBB, COP-II di Jakarta 1995, Indonesia menyampaikan usulan untuk memerhatikan Ekosistem Laut dan Pesisir. Indonesia bahkan ditunjuk menjadi tuan-rumah untuk pertemuan internasional pertama para ahli kawasan pantai dan laut. Pertemuan itu kemudian menghasilkan Mandat Jakarta yang ditindaklanjuti dalam perundingan di masa selanjutnya, meliputi lima topik: Manajemen Kawasan Laut dan Pantai terpadu; Sumber Hayati Laut dan Pantai; Kawasan Lindung Laut dan Pantai; Budidaya Kelautan; Spesies Asing dan Gentotip. Untuk konsentrasi perlindungan, menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P/48/Menhut-II/2014, Ekosistem perairan laut adalah ekosistem perairan yang berada di perairan laut mulai dari tepi pantai sampai laut dalam, yang meliputi komponen kehidupan flora, fauna dan abiotis di pesisir pantai, perairan pantai, perairan laut yang saling berinteraksi dalam suatu kesatuan sistem, antara lain terumbu karang, padang lamun, mangrove, perairan laut dangkal dan perairan laut dalam (dengan kedalaman lebih dari 6 meter pada saat surut terendah).
Tak dapat disangkal, sebagai negara berkembang Indonesia condong memerhatikan nilai ekonomis dan perdagangan kekayaan hayati lautnya ketimbang untuk segi-segi lain. Namun di masa depan bersama dengan kemajuan wawasan, pasti kecondongan Indonesia itu akan berubah. Paus Fransiskus menulis: “Tidaklah cukup menganggap spesies lain semata-mata sebagai ‘sumber daya’ potensial untuk diekspoitasi, dan melupakan fakta bahwa mereka punya nilainya sendiri” [Paus Fransiskus, 2015. Art. 33]. Berikut adalah taksiran nilai manfaat dari ekosistem pesisir dan laut menurut penelitian GEF/UNDP/IMO 1999:
- (a). Nilai mangrove (bakau) Indonesia AS$ 2.3 milyar. (b). Nilai ekonomis terumbu karang Indonesia AS$ 567 juta. (c). Nilai ekonomis dan ekologis rumput laut Indonesia AS$ 16 juta.
- Dari sumber lain didapat nilai padang lamun AS$ 3.858.91/ha/tahun (Bapedal and PKSPL – IPB 1999) dan potensi nilai ekonomis ikan laut Indonesia adalah AS$ 15.1 milyar (Dahuri 2002).
Tentu saja nilai ekologis kekayaan hayati suatu negara, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi iklim di masa depan, akan jauh melampaui nilai ekonomisnya sekarang atau di masa lalu. Namun untuk sementara kita ikuti saja jalur pemikiran yang ada.
Indonesia mempunyai sebaran ekosistem mangrove yang luas, bahkan terbesar di dunia (FAO, 2007) merupakan 20% dari total tutupan mangrove yang ada di dunia, 60% luas total mangrove Asia Tenggara. Menurut FAO, ada 48 spesies mangrove di Indonesia, membuat Indonesia menjadi pusat penting keanekaragaman hayati mangrove dunia. Penelitian lain menyatakan pada awal 1990-an mangrove atau bakau merupakan tutupan bumi seluas 2,5 juta hektar di Indonesia, dengan 89 spesies (Nontji dalam Dahuri et al. 2001).
Hutan bakau Indonesia antara lain menjadi habitat mahluk hidup seperti aneka spesies mamalia, reptil, amfibia, dan serangga (Whitten et al. 1999). “Ekosistem yang berfungsi baik juga memerlukan jamur, ganggang, ulat, serangga, reptil dan mikro-organisme yang tak terhitung banyaknya. Sebagian spesies yang tak banyak jumlahnya, dan umumnya tak tampak, namun mereka memainkan peran yang menentukan dalam menjaga keseimbangan suatu tempat tertentu” [Paus Fransiskus, 2015. Art. 34]. Paus Fransiskus mengakui, “Di beberapa daerah pesisir hilangnya ekosistem yang ditopang oleh hutan bakau merupakan sumber keprihatinan serius” [Ibid. Art. 39]
Mangrove Indonesia sudah sangat berkurang dari 5,2 juta hektar pada 1982, menjadi 3,2 juta hektar pada 1987 dan selanjutnya menjadi 2,4 juta hektar pada 1993 karena penggantian secara intensif ragam tanaman (Dahuri et al. 2001). Hutan bakau juga diubah menjadi tambak udang/ikan, direklamasi untuk kebun, jalan, kompleks industri, pelabuhan, atau dibabat untuk bahan pulp bagi industri kertas.
Mangrove dapat berfungsi menangkap sedimen endapan, sehingga air menjadi jernih, yang merupakan prasyarat bagi pengembangan terumbu karang [Erftemeijer, P.L.A. Lewie III, R.R.R., 2006].
*****
Dalam hal terumbu karang, data terakhir dari satelit menunjukkan bahwa daerah terumbu karang Indonesia seluas 21.000 km2 [Mahdi Kartasasmita, Kompas 5 Maret 2003]. Sebelumnya, terumbu karang Indonesia diperkirakan antara 50.020 km2 [Moosa et al. 1996 dalam KLH 2002] hingga 85.000 km2 [Dahuri 2002]. Sumber Reefbase[1997] menyatakan bahwa di Indonesia setidaknya terdapat 14.000 satuan terumbu karang meliputi 85.700 km2 atau 14% dari total terumbu karang dunia.
Terumbu karang di Indonesia bertambah rusak karena praktek penangkapan ikan dengan cara yang merusak, berlebihan; tercemar; terdampak pengembangan wilayah pantai dan karena pengendapan atau sedimentasi. Dalam 50 tahun terakhir terumbu karang yang rusak meningkat dari 10% hingga 50%. Antara 1989 dan 2000, karang dengan 50% terumbu menurun jumlahnya antara 36% dan 29%. (Hopley and Suharsono, Wilkinson et al. dalam Burke et al. 2002).
Penelitian tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya 6% dari terumbu karang Indonesia dalam keadaan sangat bagus; 24% dalam keadaan bagus; sisanya sedang-sedang saja atau buruk kondisinya [John Hopkins University dan Terangi, 2003]. Di Taman Nasional Bali Barat sebagian besar terumbu karang dalam keadaan buruk, lebih dari separoh mengalami kerusakan karena pemutihan (bleaching) [Wilkinson, 2000, dalam Setiasih, 2006]. Berdasarkan pemantauan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI pada 2012 di 1.133 lokasi,hanya sekitar 5,30 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik. Lalu, 27,19 persen dalam keadaan baik; 37,25 persen cukup baik; dan 30,45 persen buruk [Arifin,Z. et al., 2012]. Suatu keprihatinan disuarakan pada tahun 1994 oleh Wilkinson yang meramalkan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang antara 10-20 tahun lagi (yang berkondisi kritis) dan yang lain akan hilang antara 20-40 tahun (artinya, dalam keadaan terancam).
Padahal terumbu karang merupakan ekosistem laut dan habitat yang penting bagi banyak mahluk hidup sebagai kekayaan anekaragam hayati. Kekayaan hayati terumbu karang Indonesia paling beranekaragam. Lebih dari 480 spesies karang keras terdapat di Indonesia bagian timur, meliputi sekitar 60% yang dikenal dunia dari spesies itu (Dahuri and Dutton, dalam Burke et al. 2002). Indonesia juga mempunyai ragam ikan terumbu karang yang terbanyak di dunia; lebih dari 1.650 spesies ditemukan hanya di Indonesia bagian timur saja (Suharsono and Purnomohadi, dalam Burke et al. 2002). Sekitar 280 spesies ikan hias terkait dengan terumbu karang dan 170 di antaranya diperdagangkan. Paus Fransiskus mengingatkan: “Dalam laut tropis dan subtropis, kita menemukan terumbu karang yang dapat disamakan dengan hutan besar di lahan kering, karena mereka menjadi tempat berlindung sekitar satu juta spesies, termasuk ikan, kepiting, moluska, spons dan ganggang. Banyak terumbu karang dunia sudah mandul atau dalam keadaan penurunan konstan. Siapa yang telah mengubah pesona dunia bawah laut menjadi kuburan, kehilangan rona dan kehidupan?” (Paus Fransiskus. 2015. Art. 41).
*****
Lamun atau rumput laut adalah tanaman berbunga yang dapat tumbuh sepenuhnya di bawah air dan berakar di landasan laut dangkal dan estuari [Hartog, 1970. Hal. 271]. Lamun tumbuh dari rhizoma yang merambat. Morfologi yang tampak dari lamun dapat memungkinkan pembedaan bagian daun, batang, akar, bunga dan buah. Daun-daun lamun panjang, tipis dan seperti pita yang memiliki saluran-saluran air.
Padang lamun sebagai suatu ekologi sangat menyerupai padang rumput di daratan, pada kedalaman air yang relatif dangkal, antara 1-20 meter. Indonesia memiliki padang untuk lamun yang luas sekitar 31.000 km2 [Kuriandewa et.al. 2003 dalam Green, E.P. et al. 2003]. Biasanya berlokasi di antara hutan mangrove dan terumbu karang. Dari 60 spesies lamun yang ada di dunia, Indonesia memiliki 12 spesies [LPP Mangrove, 2004. Juga, Bengen, 2001]. Dulu pernah ada dua spesies lain, Halophila beccarii dan Ruppia maritimam, namun kedua spesies itu belakangan menghilang tak diketemukan lagi di perairan Indonesia.
Lamun atau rumput laut merupakan bahan bagi industri pangan (agar-agar) dan minuman, untuk industri pakan ternak dan bagi industri obat tradisional maupun modern. Ekosistem padang lamun dikenal merupakan pendaur zat hara yang efektif [Fortes, 1989; Waycott, 2006] dan bersama hutan mangrove padang lamun menjadi penangkap sedimen, menyebabkan air menjadi jernih, dan membantu pengembangan terumbu karang [Erftemeijer, P.L.A. et al., 2006].
Wilayah pesisir dan laut juga memberikan jasa yang berhubungan dengan lingkungan, terutama sebagai resapan karbon. Namun khusus hutan mangrove memelihara pantai dari erosi sekali gus pelindung dari hempasan ombak tinggi. Pasca tsunami 2004 di Aceh, diskusi ilmiah menyatakan bahwa seandainya pantai barat Aceh mempunyai hutan mangrove yang memadai, tsunami tidak meminta korban jiwa begitu banyak. Ketika topan Katrina meminta banyak korban di AS tahun 2005, pemerintah AS juga dicela karena tidak memerhatikan kondisi hutan mangrove di kawasan pantainya. Mangrove, ladang garam dan padang lamun seluruhnya hanya 5% dari dari lantai laut. Namun belakangan diakui bahwa ekosistem itu mampu menyerap karbon (sebagai “karbon biru”) 55% lebih efektif ketimbang serapan karbon hutan daratan (sebagai “karbon hijau”). Karbon biru disimpan dalam bentuk endapan sedimen di sekitar mangrove, dan lantai padang lamun. Endapan karbon biru bisa berbilang masa ribuan tahun. Setiap tahun, total sekitar 235-450 Tg (Tera gram = 10 juta ton) karbon biru diserap dan disimpan dalam estuari mangrove dan padang lamun [Nellemann, et.al, 2009]. Karbon disimpan dalam tanah permukaan sekitar 1.030 Megagram[1] setara CO2 per hektar (Mg CO2eq ha−1) di hutan mangrove estuari, 920 Mg CO2eq per hektar di pesisir pasang surut, dan 520 Mg CO2eq per hektar di padang lamun. Jika biomasa tumbuhan ditambahkan, maka rata-rata endapan karbon di ekosistem pantai dan laut adalah 1.494 Mg CO2eq per hektar untuk mangrove, 951 Mg CO2eq per hektar untuk pantai pasang surut dan 607 Mg CO2eq per hektar padang lamun. [Pan et al. 2011; Pendleton et al. 2012]. Pada akhir milenium yang lalu, nilai serapan karbon biru oleh padang lamun diperkirakan AS$ 180/ha/tahun (GEF/UNDP/IMO 1999).
B. Bioma Hutan Tropis
Hutan aneka macam secara keseluruhan menjadi habitat dua pertiga dari seluruh spesies bumi dan memberi matapencarian untuk hidup 1,6 milyar orang. Hutan hujan tropis diketahui paling padat. Lebih dari 50% dari semua spesies tumbuhan yang dikenal, terdapat di hutan tropis (Mayaux et al. 2005).Di dalam hutan tropis diduga masih banyak spesies mahluk hidup, hewan, tanaman, jamur, lumut, paku, tanaman berbunga, anggrek, amfibi, mamalia, burung, reptil, serangga atau mikroba yang masih belum “diketemukan” sehingga belum dapat disebut namanya atau diterangkan. Tentu banyak endemik di sini. Bioma hutan tropis meliputi sekitar 17 juta km2 permukaan bumi. Maka proses foto-sintesis dan pernapasan yang menarik CO2 dan N dari atmosfer diperkirakan paling banyak di hutan tropis. Di sini tempat-tempat yang dapat diterangi sinar matahari penuh dengan tanaman yang eksotis. Hutan tropis menerima banyak hujan, hingga rata-rata 203 cm setahun! Maka hutan juga menjadi pendaur air yang utama.
Di Indonesia pada tahun 1985 terdapat 15 hutan alam yang meliputi areal 119 juta hektar (RePPProT, dalam Zuhud dan Putro 2000). Jenis ekosistem hutan utama terdapat mulai dari ekosistem hutan lestari dataran rendah Kalimantan dan Sumatra, ekosistem hutan monsun dan savana di Nusa Tenggara, hingga ekosistem hutan alpin di Papua. Bagi komunitas internasional, hutan Indonesia sungguh penting karena meliputi sekitar 4% dari hutan garda depan (hutan alam yang luas, lengkap dengan komposisi ekosistemnya dan relatif masih asli, sehingga proses suksesi ekologis dan alamiah dapat berlangsung, lih. Bryant et al. 1997). Hutan Indonesia merupakan sumber kayu perdagangan internasional; ada sekitar 120 keluarga (meliputi 267 spesies) kayu bermutu yang diminati perdagangan internasional (Dephut 1991). Selain itu hutan Indonesia juga menjadi habitat sekitar 1.300 tanaman obat (Sangat et al. 2000). Hutan pun menjadi tempat perlindungan berbagai satwa liar. Dalam mengawal ekologi selaku pelaksana fungsi hidrologis pengatur sirkulasi air, hutan mewujudkan iklim mikro, dan menjadi sumber genetik yang berharga serta mempunyai fungsi sosio-budaya bagi kelompok komunitas asli, masyarakat adat dan setempat. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06 % dari desa‐desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010–2014 pun menunjukkan data, bahwa pada tahun 2003, dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 48,8 juta orang yang tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan ada sekitar 10,2 juta orang miskin yang berada di sekitar wilayah hutan. Keberadaan mereka memelihara kearifan lokal dan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat Peminggir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara, atau Hutan Titipan; yaitu kawasan hutan yang tidak boleh diganggu atau dirusak. dan Hutan Tutupan; yaitu kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat.
Selain menyokong keanekaragaman hayati dan masyarakat yang bergantung pada hutan, hutan dan tanahnya menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar. Hutan ikut mengatur iklim bumi melalui siklus karbon; menyerap karbon dari atmosfer, dan menyimpan karbon dalam dedaunan, jaringan kayu, akar, dan materi organik dalam tanah. Hutan dunia menyerap 2,4 miliar ton karbondioksid setiap tahunnya, atau sekitar sepertiga dari karbondioksid yang dilepaskan pembakaran bahan bakar fosil [Pan, Y., dkk. 2011]. Hutan juga menjadi tempat penyimpanan karbon terestrial, meliputi 77% dari semua karbon dalam vegetasi dan 39% dari semua karbon dalam tanah; dua kali lebih banyak jumlahnya dari karbon yang terdapat di atmosfer [The Eliasch Review 2008]. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan di Indonesia menghasilkan lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia, dan setara dengan sekitar 20 persen biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini, secara kasar menyimpan sekitar 3,5 miliar ton karbon. Penelitian terakhir dalam soal ini memerkirakan hampir tiga ratus milyar ton karbon tersimpan di hutan, atau sekitar 40 kali jumlah emisi bumi yang dilepaskan ke atmosfir [Solomon S. et.al. 2007]. Namun sebaliknya, dari sektor kehutanan Indonesia diperhitungkan telah terjadi emisi 2.563 juta metrik ton CO2 karena hutan dibakar atau pohon-pohon dibabat karena areal hutan dialihfungsikan untuk yang lain.
Ekosistem hutan tropis dunia sedang mengalami ancaman deforestasi (pengurangan areal hutan). Paus Fransiskus mencatat dalam soal ini, salah satu faktor “yang ikut menentukan adalah perubahan tata-penggunaan tanah, terutama penggundulan hutan untuk keperluan pertanian” (Paus Fransiskus, 2015. Art 23). Paus mencemaskan pemanasan bumi karena emisi karbon dioksida “diperparah oleh hilangnya sebagian hutan tropis yang seharusnya membantu mencegah perubahan iklim” (Ibid. Art 24). Maksudnya bahwa potensi yang dapat menyerap CO2 jadi hilang seiring pembabatan hutan. Paus juga mencemaskan hilangnya keanekaragaman hayati: “Hilangnya hutan punya konsekuensi hilangnya spesies yang mungkin merupakan sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya untuk pangan tetapi juga untuk obat penyembuh penyakit dan penggunaan lainnya. Spesies yang berbeda mengandung gen yang bisa menjadi sumber kunci dalam tahun-tahun mendatang untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mengatur masalah lingkungan” (Ibid. Art. 32). Beliau menyebut parahnya pembabatan hutan di Brazil dan Kongo: “Kita semua tahu betapa pentingnya mereka bagi dunia dan bagi generasi masa depan. Ekosistem hutan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kompleks yang sungguh tak ternilai harganya, namun ketika hutan tersebut terbakar atau diratakan untuk tujuan perkebunan atau pertanian, dalam waktu beberapa tahun saja spesies yang tak terhitung jumlahnya lenyap dan daerah sekelilingnya sering menjadi lahan terlantar gersang” (Ibid. Art. 38). Brazil menjadi pemain dominan dalam deforestasi dari 2000-2005, dengan laju pembabatan hutan 3.1 juta hektar per tahun. Namun mulai tahun 2005, Brazil membuat komitmen untuk mengurangi laju deforestasinya dengan sasaran sebanyak 80 % hingga tahun 2020. (Rademaekers et al. 2010).
Situasi Indonesia tidak kalah mencemaskan. Indonesia pada mulanya malah “tidak sadar” bahwa telah kehilangan kekayaan areal hutannya sangat parah. Deforestasi baru menjadi masalah penting di Indonesia tahun 1970-an, ketika terjadi penebangan hutan secara komersial secara besar-besaran. Tadinya praktek pembalakan hutan dimaksud untuk mengembangkan produksi kayu untuk kepentingan jangka panjang, namun tindakan ini ternyata mengarah pada degradasi hutan yang makin serius, diikuti dengan pembukaan lahan untuk kepentingan lain. Menurut hasil kegiatan pemetaan untuk program transmigrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia (RePPProT, 1990), tutupan hutan Indonesia pada tahun 1985 adalah 119 juta ha. Angka ini menunjukkan penurunan luas hutan sebesar 27 persen dari luas kawasan hutan Indonesia pada tahun 1950 . Antara tahun 1970-an dan 1990-an, laju deforestasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta ha per tahun (Sunderlin dan Resosudarmo, 1996). Selanjutnya survai pemetaan tutupan hutan tahun 1999 oleh Pemerintah Indonesia dengan bantuan dari Bank Dunia (PI/World Bank, 2000) menyimpulkan bahwa laju deforestasi rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1,7 juta ha per tahun. Namun setelah beberapa koreksi, didapatkan perkiraan laju deforestasi di Indonesia adalah 2 juta ha per tahun, bahkan lebih besar lagi (Hansen, Stehman, and Potapov 2010).
Para Uskup Indonesia mengangkat persoalan ini agar segera mendapat perhatian pada tahun 2004, sebab kendati pemerintah sudah lama menyadari situasi hutan-hutan Indonesia, namun berlarut-larut mendiamkannya, sehingga diperlukan dorongan moral (KWI, 2004. Art 6.3). Sejak 1950, lebih dari 74 juta hektar hutan Indonesia hancur, dan area sekitarnya pun mengalami kerusakan berat.[FWI/GFW 2002; FAO 2005]. Di mana-mana dari tahun 1960-an akhir 1980-an atau awal 1990-an, pendorong utama deforestasi adalah pemerintah sendiri (Rudel 2007). Sejak awal 1990-an deforestasi disponsori oleh perusahaan-perusahaan besar, meski pemerintah masih memberi kemudahan atau memberi jalan secara tak langsung (DeFries et al. 2010; Rudel et al. 2009). Para Uskup Indonesia mencatat: “Hingga tahun 2012 tercatat sebanyak 10.677 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari jumlah IUP tersebut, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) mencatat bahwa sejak tahun 2004 hingga 2012 terdapat 1.724 kasus penambangan yang merusak kawasan hutan secara ilegal. Pada tahun 2004, sebanyak 13 unit usaha tambang beroperasi di kawasan hutan lindung dan membabat areal hutan seluas 950.000 hektar” (KWI, 2012. Art. 8.1). Jenis perusahaan di balik deforestasi berbeda-beda. Dalam pengamatan organisasi non-pemerintah (ornop), deforestasi hutan tropis Indonesia didorong oleh permintaan global akan kayu, bahan produk kertas serta minyak kelapa sawit yang digunakan dalam pembuatan pasta gigi, coklat dan mentega serta biofuel. “Penebangan kayu yang berlebihan, praktik illegal logging, semakin luasnya areal penggunaan lain di mana hutan dapat dikonversi untuk kepentingan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan, pertambangan, dan permukiman. Kerusakan tersebut tidak lepas dari peran para pengambil kebijakan yang sering hanya mendasarkan kebijakan pada pertimbangan keuntungan ekonomis semata. Pengawasan terhadap pengelolaan hutan yang lestari masih lemah, sanksi hukum terhadap para pelanggar peraturan tentang in-dustri kehutanan juga masih rendah” (J.Milburn Thompson, 2009, dalam KWI, 2012, art. 8.3]. Pemerintah Indonesia menerapkan moratorium selama dua tahun untuk pembukaan hutan sejak 2011, diperpanjang pada 2013, dan diperpanjang lagi pada 2015.
Pemerintah negara berkembang di pihak lain dewasa ini berusaha meningkatkan peran hutan mereka untuk mitigasi perubahan iklim. Sejak konferensi para pihak Konvensi Perubahan Iklim PBB tahun 2009 (UNFCCC-COP 15) di Copenhagen yang menghasilkan Copenhagen Accord, sesuai Bali Road Map (2007)para pemimpin di seluruh dunia memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk memastikan kesepakatan tentang rencana matang pasca pelaksanaan bagian pertama Protokol Kyoto (2003-2012), untuk memasukkan mekanisme pendanaan dari negara-negara industri dalam berkontribusi setidaknya 30 milyar Euro per tahun pada negara tempat beradanya hutan tropis, seperti Indonesia, Kongo dan Bazil, demi mengakhiri deforestasi hutan tropis sebelum 2020. Kesepakatan tersebut mendapat kemajuan dalam UNFCCC COP 16 di Cancun (2010), menghasilkan daftar reduksi emisi yang besar di negara berkembang (NAMA) akibat dari deforestasi, dengan prosedur keuangan yang sudah tertata, dan didirikannya Green Climate Fund (GCF), serta menjaga kehidupan alam dan menghormati hak-hak masyarakat yang bergantung pada hutan.
Riswan and Yamada (2006) menggolongkan ekosistem hutan Indonesia dalam dua kelompok utama: yang pertama adalah hutan hujan tropis (meliputi hutan tanah kering, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, hutan konifer dan hutan lahan gambut) , dan yang kedua adalah kelompok hutan tropis monsun, meliputi sabana dan padang rumput penggembalaan, yang merupakan ekosistem perbatasan.
C. Bioma Hutan Beriklim Sedang
Bioma ini terdiri dari berbagai ekosistem yang khusus, ditandai oleh suhu garis lintang tengah, jauh dari ekuator, tetapi juga jauh dari kutub. Di kawasan ini musim dingin memang dingin, dan musim panas juga panas. Maka ada dua macam pepohonan, yang daunnya gugur jika musim dingin, dan pepohonan yang selalu hijau seperti pinus. Indonesia yang terletak di garis ekuator tidak mempunyai bioma dan ekologi hutan beriklim sedang seperti ini. Curah hujan di hutan-hutan ini mestinya mencukupi dan menunjang bagi pohon-pohon, sebab jika tidak, maka mereka akan menjadi padang penggembalaan atau padang rumput.
Serupa namun tak sama, di Indonesia terdapat hutan berhawa sedang yang membentuk ekosistem tanah karst atau pegunungan kapur, dengan luasan sekitar 15,4 juta hektar, tersebar baik di pulau-pulau besar maupun kecil. Di Papua (Wamena-Trikora), Kalimantan (Pegunungan Haje, Meninting, Meratus, Mangkalihat), Sumatra (Leuser, Perbukitan Bohorok, sebagian Bukit Barisan), Sulawesi (Maros-Pangkajene, Wowolesea), Jawa (Pegunungan Kendeng, Menoreh, Kapur Utara dan Selatan, Gunung Kidul/Gunung Sewu, Malang Selatan), Madura, Bali, Halmahera, Lombok, Sumbawa, Flores, dan Timor; Nusa Penida, Sumba (Waingapu), Muna, Togian, Biak and Misool. Banyak hutan jati berada dalam ekosistem karst. Banyak gua karst merupakan habitat beberapa spesies khusus kelelawar penghuni gua. Sayangnya, belum banyak studi dilakukan mengenai ekosistem karst di Indonesia. Sebagian gua karst menjadi obyek tujuan wisata budaya dan religi. Ekosistem karst berfungsi sebagai pemurni air dan cadangan air tanah, tetapi juga merupakan cadangan karbon. Namun industri semen mengambil bahannya dari ekosistem karst, dan serta merta melepas ikatan karbon yang tersimpan dan menyebabkan emisi CO2 ke udara.
D. Bioma Padang Rumput
Lebih dari 17% permukaan bumi ditutup dengan padang rumput. Sebagian besar dari Asia dan Afrika adalah padang rumput. Ada bermacam-macam padang rumput dengan nama masing-masing. Di Amerika Serikat disebut prairi, atau llano (Venezeula, Colombia), cerrado (Brazil) di tempat lain sabana atau savana, atau padang penggembalaan. Karakteristik padang rumput hamparan tanah yang luas namun kekurangan hujan karena musim hujan yang pendek sehingga tak bisa jadi hutan hujan; namun rata-rata tetap kelebihan curah hutan hingga tak bisa jadi gurun atau padang pasir. Dan tentu saja padang rumput penuh dengan…. rumput berbagai ragam. Padang rumput Afrika di sebelah selatan gurun Sahara terkenal karena menjadi habitat banyak sekali satwa liar. Sebagian padang rumput basah, sebagian yang lain kering. Dari seluruh bioma padang rumput, lebih dari 50% digunakan untuk penggembalaan ternak atau untuk pertanian pangan. Lucunya, karena gandum dan padi yang termasuk rumput-rumputan ditanam orang di ladang atau di sawah, maka ladang gandum dan sawah padi secara ekosistem digolongkan juga sebagai padang rumput.
Bagi Indonesia ekosistem sawah, ladang dan padang penggembalaan sungguh penting dalam sektor pertanian atau agraria. Sawah dan ladang diperlukan untuk menghasilkan padi, jagung, kedelai, yang mencukupi kebutuhan pangan bangsa Indonesia. Lahan sawah di Indonesia meliputi 4,2% dari total luas daratannya, atau 8,11 juta hektar. Dengan indeks produktivitas intensifikasi lahan rata-rata 199%, maka lahan yang ada itu menghasilkan luas panen padi 13,25 juta hektar pada 2010, dan 13,44 juta hektar pada 2013. Produktivitas mengalami peningkatan dari 50,15 kuintal padi per hektar pada 2010, menjadi 51,36 kuintal pada tahun 2012. Demi ketersediaan padi/beras yang mendukung ketahanan pangan dengan kecenderungan angka intensifikasi dan produktivitas sedemikian, Indonesia hingga tahun 2015 membutuhkan tambahan 1,5 juta hektar lahan sawah dan hingga 2050 masih membutuhkan lagi 5 juta hektar. Dari luas daratan Indonesia 189 juta hektar, hanya 32 juta hektar yang tergolong subur dan sudah dimanfaatkan, sekitar 157 juta hektar tanah Indonesia tergolong sub optimal, termasuk yang sudah mengalami kerusakan (degradasi) dan terlantar. Dalam hal degradasi lahan, para Uskup Indonesia menyebut peran pencemaran: “Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan-bahan kimia buatan manusia masuk dan mengubah lingkungan tanah alami. Tanah dimengerti sebagai permukaan bumi yang banyak dihuni oleh makhluk hidup, terutama manusia, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Pencemaran ini terjadi karena masuknya limbah cair atau bahan kimia industri, limbah pertanian, dan limbah rumah tangga ke dalam tanah yang akan mengubah metabolisme dan mikroorganisme dalam tanah, memusnahkan spesies dan mengganggu rantai makanan dalam tubuh manusia. ….. Hal ini terjadi sebagai akibat penggunaan pupuk, pestisida, dan limbah tidak terurai seperti plastik, kaleng, limbah cair, dan air hujan yang tercampur dengan senyawa kimia di udara. Pencemaran ini akan berdampak negatif terhadap ekosistem yang hidup di dalam dan di atas tanah. Kualitas hidup manusia juga akan mengalami penurunan sebagai akibat rantai makanan yang tercemar dan menurunnya fungsi tanah sebagai sumber kehidupan yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup “ [KWI, 2012, art. 8.4]. Tantangan Indonesia adalah bagaimana merehabilitasi dan menyuburkan tanah yang terdegradasi dan terlantar, dan menjadikannya sawah atau ladang yang subur. Belakangan kegiatan itu disebut “Revitalisasi Lahan”.
Padang penggembalaan adalah hamparan tanah yang disediakan untuk menggembalakan ternak ruminansia atau pemakan rumput (sapi, kerbau, kambing, domba) supaya bebas “merumput” (memakan rumput) agar selanjutnya menghasilkan bahan pangan daging dan susu yang memadai. Sebagian besar padang penggembalaan adalah padang alami dengan rumput alang-alang. Sebagian yang lain dikondisikan manusia dengan tanaman rumput bervariasi. Tergantung pemakannya dan maksud penggemukannya, rumput yang ditanam bervariasi: B. Humidicola (Rumput beha), Andropogon gayamus (Rumput gamba), Digitaria decumbens (Rumput pangola), Cenchus ciliaris (Rumput buffet), Stilosanthes spp (Stilo), Macroptilium atropurpureum (Siratro), untuk penggembalaan kecil. Biasanya Chloris gayana (Rumput rhodes), Brachiaria mutica (Rumput malela), Cynodon plectostachyus (Star grass), Setaria spp (Setaria), Desmodium spp (Desmodium), Centrosema pubescen (Sentro) untuk penggembalaan sedang. Rumput Brachiaria decumbens (Rumput signal), Paspalum dilatatum (Rumput australi), Paspalum notatum (Rumput bahia), Cynodon dactylon (Rumput kawat), Calopogonium muconoides (Kalopo), Pueraria phaseloides(Poero) untuk penggembalaan berat (Prawiradiputra dkk, 2006).
Data luas padang penggembalaan sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan luas padang penggembalaan di Indonesia, termasuk alang-alang mencapai 8,24 juta ha (Peta Penggunaan Tanah Indonesia, 1972, dalam Sukardi dan Suhardjo, 1993) yang tersebar di Sumatera (3,12 juta ha), Kalimantan (2,04 juta ha), Sulawesi (1,29 juta ha), NTB (0,23 juta ha), NTT (0,62 juta ha), Maluku (0,44 juta ha) dan lainnya (0,49 juta ha). Data lainnya melaporkan bahwa total luas padang penggembalaan adalah 10,27 juta ha (RePPPROT, 1990), yang terdapat di Jawa (1,58 persen), Sumatera (26,85 persen), Kalimantan (13,86 persen), Sulawesi (10,84 persen), dan lainnya (47,85 persen).
Suatu ekstensi dari bioma hutan tropis yang di Indonesia merupakan ekosistem setara padang rumput adalah tanah becek atau rawa-rawa, yang juga disebut lahan gambut (peatland). Luas lahan gambut Indonesia diperkirakan sebesar 39,4 juta Ha (20,8% dari luas lahan total di Indonesia), terdiri dari lahan gambut pesisir 24,7 juta ha dan lahan gambut pedalaman 14,72 juta ha [Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dan Rijks Waterstaat Netherlands,2002]. Gambut adalah massa air kental yang mengandung substansi organik, yang terbentuk di lahan basah; disebut massa air, karena gambut 70%-85% terdiri dari air. Substansi organik yang dimaksud adalah daun-daun, ranting dan batang pohon, akar, atau hewan yang sudah mati dan berakumulasi di satu tempat tanpa terbawa oleh air limpasan dan kemudian berubah rupa menjadi gambut ini memiliki kandungan karbon paling kaya dibanding jenis tanah lainnya. Lahan gambut adalah hamparan tanah yang digenangi air dan jenuh dan keberadaannya dalam masa yang memadai untuk menopang hidup tumbuhan yang mampu hidup di lahan becek, seperti mangrove dan alang-alang. Lahan gambut di Asia Tenggara diperkirakan menyimpan 42 milyar ton karbon dan sekitar 80% atau 35 milyar ton dari jumlah tersebut tersimpan di Indonesia. [Hooijer, A, et al. 2006]. Sayangnya lahan gambut di Indonesia dan di mana-mana semakin berkurang jumlahnya karen alih fungsi, sebagian menjadi lahan industri, perkebunan, bahkan di kota-kota direklamasi dijadikan perumahan. Sehubungan dengan fungsi lahan gambut bagi keanekaragaman hayati, Paus Fransiskus menyayangkan: “lahan becek yang dikonversi menjadi lahan budidaya kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat besar, yang sebelumnya mendapat habitat di lahan becek selaku tuan rumah bagi mereka” [Paus Fransiskus, 2015. Art. 39]. Potensi penyerapan CO2 atmosfer berkurang ketika lahan gambut menghilang. Selain itu, lahan gambut juga berfungsi sebagai tampungan air, sehingga ketika air dari lahan gambut dikeringkan tanpa tampungan pengganti yang sepadan, berkurang jugalah potensi bumi untuk menyediakan air tawar untuk kehidupan di atasnya. Keppres No.32/1990 dan UU No.21/1992 tentang tata-ruang kawasan bergambut dengan ketebalan 3 meter lebih di hulu sungai atau rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung, suatu ekosistem khusus yang dilindungi. Suatu penelitian tahun 2007 menyatakan bahwa luas lahan gambut Indonesia tinggal 20,6 juta Ha (atau 10,89% dari daratan Indonesia). Indonesia berusaha melakukan rehabilitasi lahan gambut, setelah upaya mengubah lahan gambut di Kalimantan untuk usaha pertanian berakhir dengan bencana ekologis, di mana proyek gagal dan meninggalkan lahan luas sebagai hamparan tanah kritis yang terbengkelai.
E. Bioma Gurun, Padang Pasir atau Tanah Kering
Selain di Eropa, di setiap benua lainnya ada gurun. Curah hujan di gurun rata-rata hanya 30cm per tahun. Awan termasuk langka di gurun, namun tetap ada untuk mendinginkan gurun. Di malam hari gurun sangat dingin sebab kekurangan kelembapan yang dapat menahan panas dari siang harinya.
Geologi setiap gurun berbeda. Sebagian gurun terdiri dari gunung pasir, atau gelombang pasir yang berasal dari batuan, dan yang bergerak setiap kali angin meniup sedimen itu. Gurun yang lain tak punya pasir, melainkan terdiri dari formasi karang-karang yang unik yang dibentuk angin.
Gurun di dunia diperhatikan semakin meluas, dengan makin maraknya fenomena kekeringan. Negara-negara yang punya gurun besar cepat tanggap ketika PBB mencanangkan upaya penanggulangan meluasnya gurun pada 1977, setelah kekeringan besar di dataran Sahel menyebabkan wabah kelaparan yang meminta banyak korban jiwa. RRC, Rusia dan A.S. membentuk lembaga nasional untuk mencegah meluasnya tanah kering dan gurun. Pengertian dasar dari upaya ini adalah mencegah berlangsungnya proses perkembangan dari suatu lahan kering, setengah kering atau kurang basah menjadi “bagaikan gurun”, yang ditandai antara lain dengan semakin berkurangnya produktivitas tanaman di lahan itu dalam membuahkan hasil, kerusakan dan semakin melaratnya ekosistem, merosotnya rupa-rupa tanaman, kerusakan dan berkurangnya potensi biologis.
Karena merupakan negara kepulauan dengan sebagian besar wilayah berupa laut, penguapan air dan pembentukan awan selalu terjadi di Indonesia, sehingga selalu ada awan dan hujan datang terutama pada musim penghujan, namun di musim kemarau pun masih ada hujan. Karenanya tidak ada gurun di Indonesia, walau ada formasi unik “Lautan Pasir” (Segara Wedi) di Gunung Bromo. Yang ada di Indonesia adalah fenomena lahan kering dan kekeringan yang menyebabkan mutu tanah merosot dan air menjadi langka, entah karena salah urus, entah karena kelalaian menanggapi situasi cuaca, entah karena sifat fisik tanah setempat. Di antara 157,2 juta hektar yang disebut lahan sub-optimal (LSO) di Indonesia, menurut alamnya 123 juta hektar adalah lahan kering, baik lahan kering yang beriklim basah, maupun lahan kering beriklim kering. Kategori yang diperhatikan secara khusus di sini adalah lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta hektar, yang tersebar di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Ketika seluruh dunia bekerja-sama memerangi meluasnya lahan gurun, Indonesia berusaha menjaga agar lahan kering beriklim kering tidak meluas, dan lahan kering beriklim basah (tegalan dan pekarangan) ditingkatkan mutu dan kegunaannya, jangan sampai menjadi lahan kritis. Lahan kering bisa menjadi lahan kritis karena kerusakan akibat salah urus, misalnya bekas lahan gambut yang dikeringkan dan dibakar, dan kemudian ditinggalkan terbengkelai tidak diurus. Pengairan dan penggenangan kembali lahan itu diharapkan dapat mengembalikan fungsinya sebagai lahan becek atau lahan basah penyimpan karbon. Dalam rangka sirkulasi air, Indonesia yang berada di lintasan pengaruh El Nino dan La Nina, tentunya harus sangat cermat menerapkan manajemen air untuk pengairan lahan-lahan kering.
F. Bioma Taiga
“Taiga” adalah kata Rusia yang berarti hutan lestari yang selalu hijau. Bioma Taiga di dunia berada di bagian utara benua Eropa, Asia dan Amerika di mana terdapat ekosistem hutan-hutan konifer atau boreal, dengan suhu yang sangat dingin dan bersalju di musim dingin.
Di Indonesia tidak ada iklim dingin bioma Taiga, juga tidak ada spesies tanaman konifer dan boreal. Namun kita punya “hutan lestari” yang selalu hijau pada kawasan gunung bersalju yang sangat tinggi, yang masih perlu kita pelajari lebih dalam, terutama yang berstatus “hutan lindung”.
G. Bioma Tundra
Kawasan tundra merupakan kawasan dekat kutub yang sangat dingin. Tanahnya beku. Tak ada pohon kayu yang bisa hidup di sana. Namun ada hewan dan tumbuhan yang menyesuaikan diri dengan kondisi yang sangat sulit itu. Wilayah bumi dan mahluk hidup di situ itu disebut bioma tundra. Sebaian besar berada di kutub utara, Tundra Arctic. Hanya ada sedikit tundra di kutub selatan, Antartika. Selain itu bioma tundra juga ditemukan di puncak gunung yang tinggi dan bersalju, yang disebut Tundra Alpina.
Untuk sementara kita buat ikhtisar percakapan bagian ini:
Biosfer mempunyai dampak atas iklim sebab biosfer sangat erat berhubungan dengan atmosfer, melalui proses bio-geo-kimia. Ketika tanaman di seluruh bumi untuk hidup dan pertumbuhannya memanfaatkan energi sinar matahari melancarkan proses fotosintesis, karbon-dioksid diserap, oksigen dilepaskan ke udara. Ketika tanaman dan hewan melakukan pernafasan, oksigen diserap, karbon dioksid ditambahkan ke udara. Mikroba yang hidup di tanah melepaskan gas nitrogen oksid ke udara. Ketika manusia membakar komponen biosfer seperti bahan bakar fosil, biomas hutan dan ladang, gas rumah kaca seperti karbon dioksid dan nitrogen oksid dilepaskan ke atmosfer.
Untuk memahami biosfer lebih rinci dan bagaimana mahluk hidup menyerap atau melepaskan gas rumah kaca, perlu diadakan pembeda-bedaan menurut kondisi alam yang menopang proses bio-geo-kimia. Untuk itu biosfer dipandang sebagai keseluruhan dari bioma-bioma : laut dan pesisir, hutan tropis, hutan subtropis, padang rumput-padang penggembalaan, gurun dan tanah kering, taiga dan tundra. Tiap-tiap bioma terdiri dari beberapa ekosistem yang berdekatan sifatnya. Yang disebut ekosistem adalah interaksi di antara mahluk hidup dan material yang tidak hidup di suatu tempat untuk saling mendukung berlangsungnya kehidupan dalam kondisi yang wajar.
Kadang-kadang ekosistem berada dalam situasi menyimpang. Mahluk-mahluk di dalamnya melakukan penyesuaian atas situasi dan tak lama kemudian keseimbangan dan kewajaran ekosistem dicapai lagi. Kadang penyimpangan ekosistem bertambah-tambah, dan dirasakan bahwa kerusakan ekosistem semakin parah. Ketika tindakan manusia menyebabkan kerusakan ekosistem, akibatnya bukan hanya dirasakan setempat, tetapi di seluruh dunia, karena ekosistem memengaruhi bioma, dan bioma memengaruhi seluruh biosfer, seluruh bumi. Untuk melakukan stabilisasi, maka baik situasi umum seluruh bumi maupun situasi khusus di setiap ekosistem dalam biomanya sendiri-sendiri perlu diperhatikan dan tindak lanjut dilakukan secara lokal. Karena itu setiap kali kita memerhitungkan ekosistem yang dekat sekali dengan kita di Indonesia.
Perubahan iklim bisa dirasakan dari peningkatan suhu rata-rata. Walau setiap tahun atau bahkan dasawarsa mungkin tidak seburuk tahun kemarin panasnya, namun suhu permukaan bumi secara global mengalami peningkatan pemanasan 0,75o sejak tahun 1900 hingga 2010 akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca terutama CO2 di atmosfer.
Menurut perkiraan, secara keseluruhan mahluk hidup dan tanah permukaan bumi mengi endapkan karbon antara 1.500-2.000 Pg (1Peta gram =1Gt atau Gigaton = 1 milyar ton); sekitar 500 Pg untuk proses foto-sintetis dan pernapasan mahluk hidup, sedangkan 1.500 Pg di serap tanah. Pada ekosistem laut dan pantai, lapis permukaan laut dan pantai menyerap karbon sekitar 900 Pg (serapan Laut Dalam dan proses sedimentasi akan kita bahas di bagian Hidrosfer di bawah nanti) [Smith T.M., et al: 1993]. Ekosistem hutan secara keseluruhan menyerap 300 Pg [Solomon, et al: 2007].
[1] 1 Megagram = 1 Ton metrik.