Oleh Bambang Kussriyanto
Dua Dekade Akhir Abad ke-20
Dasawarsa 1980-an
1980-1984
Dalam belahan pertama dasawarsa ini Indonesia melancarkan Pembangunan Lima Tahun III (1979-1984) dengan masih menikmati berkah dari minyak bumi yang memberi sumbangan besar bagi keuangan negara. Laju pertumbuhan ekonomi dalam Repelita II sebesar rata-rata 6,9% akan dilanjutkan. Pelbagai produksi dan penambangan hasil bumi menjadi andalan. Produksi beras pada tahun 1968 berjumlah 11.666 ribu ton dan pada tahun 1973 mencapai 14.607 ribu ton. Dorongan FAO dalam Konferensi Pangan Roma 1974 agar negara-negara mengusahakan keamanan pangan masing-masing sungguh diperhatikan. Pada tahun 1978 produksi beras mencapai 17.598 ribu ton, dan dalam Repelita II produksi beras terus meningkat dan laju perkembangannya rata-rata mencapai 3,9% per tahun. Pertanian Indonesia mengalami serangan hama wereng dalam tahun 1976 dan 1977. [Bappenas, 1979, 29]. Usaha-usaha mengurangi perladangan liar dan penebangan hutan yang merusak yang mengakibatkan meluasnya padang alang-alang terus ditingkatkan, dan pengawasan terhadap areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) terus dibina. Dalam tahun 1978 terdapat 710 unit HPH yang meliputi luas areal hutan sebesar 71.5 juta ha, yang terdiri dari 382 unit HPH yang meliputi luas 35.88 juta ha telah memiliki SK-HPH; 88 unit HPH seluas 8.1 juta ha dalam tahap izin investasi, 14 unit HPH seluas 1.76 juta ha dalam tahap Forestry Agreement (FA), 174 unit HPH seluas 21.73 juta ha dalam tahap pencadangan areal dan 52 unit HPH seluas 4.1 juta ha dalam tahap persetujuan prinsip. Juga dalam tahun 1978 luas hutan yang telah ditunjuk meliputi luas 122.22 juta ha yang terdiri dari 16.73 juta ha hutan lindung, 59.21 juta ha hutan produksi, 2.89 juta ha hutan lindung-produksi, 6.6 juta ha areal pelestarian alam, dan 36.83 juta ha hutan lainnya [Ibid, 32].
Menyedihkan sungguh ketika gelombang panas pada tahun 1980 menyerang Amerika Serikat sehingga diperkirakan antara 1.700–5.000 orang menjadi korban bencana alam itu.
Menyoroti dampak sosial dari penggunaan sumber daya alam, Komisi independen yang diketuai oleh Willy Brandt, kanselir Jerman Barat, pada 1981 menunjukkan ketimpangan yang terjadi antara negara-negara Utara-Selatan di bumi. Ia membagi bumi menjadi dua belahan dengan yang dikenal sebagai ”Garis Grant”, menunjukkan belahan bumi utara yang miskin sumberdaya alam namun kaya karena industrialisasi, dan belahan bumi selatan yang kaya akan sumberdaya alam namun miskin karena kurang industri. Dianjurkannya kerjasama penyetaraan melalui apa yang disebutnya “transfer radikal” sumber daya dari Utara ke Selatan. Rencana KTT Utara-Selatan yang diusahakan Brandt untuk itu menemui kegagalan.
Kemajuan lebih lanjut dari KTT Bumi Stockholm 1972 adalah diadakannya Ad-Hoc Meeting of Senior Government Officials Expert in Environmental Law di Manlevedeo, Uruguay, pada November 1981. Dan baru pertama kalinya itulah diadakan pertemuan Internasional tentang hukum lingkungan (Hardjasoemantri, 1999 ; 12). Tujuan pertemuan Ad Hoc tersebut untuk membuat kerangka metode dan program yang meliputi upaya-upaya tingkat internasional, regional dan nasional untuk pengembangan dan peninjauan dalam UNEP. Selanjutnya pada tahun 1982 Indonesia mengeluarkan undang-undang yang sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu: UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai tanggapan pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap hasil KTT Bumi Stockholm 1972. Dalam UU No.4 1982 itu Pasal 16 dikatakan: Setiap rencana yang diperrkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak atas lingkungan (AMDAL).
Kesadaran akan keadaan bumi mondial selanjutnya menukik lebih menyentuh akar rumput ketika dalam proses sidang Konvensi UNEP di Nairobi, Kenya, Juni 1982, membicarakan rencana tindakan mengenai perlindungan, manajemen dan pengembangan laut dan pantai. Utamanya untuk laut dan pantai Afrika Timur, tetapi juga meneguhkan program-program untuk Laut Tengah, Kuwait, Afrika Barat dan Tengah, Karibia, Asia Timur, Lautan Pasifik Tenggara, Laut Merah dan Teluk Aden. Langkah-langkah itu akan dilanjut dengan program untuk Lautan Pasifik Selatan (1982), Asia Selatan (1987) dan Lautan Atlantik Barat Daya.
Suatu Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) dibentuk pada tahun 1983 untuk menyampaikan program-program tindakan nyata sehubungan dengan keadaan bumi yang memburuk, ditandai oleh peningkatan suhu “bumi makin panas”, ancaman pada lapisan ozon, dan meluasnya gurun mencaplok lahan-lahan pertanian. Bukan semata-mata soal dampak industri yang dianggap sepele oleh negara-negara maju, melainkan soal hidup-mati untuk negara-negara berkembang. Itu tampak pada berbagai kejadian yang mewarnai tahun-tahun antara 1983-1987 antara lain: kekeringan di Afrika menyengsarakan 36 juta orang dan sejuta orang meninggal dunia karena kelaparan; kebocoran pabrik kimia pestisida di Bhopal, India, menewaskan 2000 orang dan mencederai 200.000 orang; ledakan tanki gas di Mexico menyebabkan 1000 orang meninggal dan ribuan lainnya kehilangan rumah; ledakan reaktor nuklir Chernobyl menimbulkan dampak menyebarnya kanker ke seluruh Eropa; suatu kebakaran gudang kimia pertanian di Swiss mencemari sungai Rhine membuat ikan-ikan mati dan membahayakan air minum di Jerman dan Belanda; kira-kira 60 juta orang meninggal karena wabah diare berhubungan dengan air minum yang tidak aman dan malnutrisi di kalangan anak-anak.
Indonesia dalam belahan kedua dasawarsa 80-an ini melanjutkan pembangunan nasional melalui program Pembangunan Lima Tahun IV (1984-1989). Sasaran Repelita IV diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun ringan [Departemen Penerangan RI, 1984, 18]. Ambisi mencapai laju pertumbuhan ekonomi 6,5% dalam Repelita III gagal dilakukan karena terdampak oleh resesi dunia. Laju pertumbuhan ekonomi selanjutnya diperkirakan akan sekitar rata-rata 5% setahun [Ibid, 25]. Laju pertumbuhan penduduk diharapkan akan dapat turun dari rata – rata 2,3% setahun selama Repelita III menjadi sekitar 2% setahun [Ibid, 26-27]. Pembangunan pertanian akan dilakukan dengan usaha-usaha intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi secara terpadu, serasi dan merata dengan tetap memelihara kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup. Usaha memantapkan swasembada pangan dilakukan melalui peningkatan intensifikasi, diversifikasi dan ekstensifikasi, baik di lahan basah maupun di lahan kering pada padi, palawija, hortikultura, perkebunan dan peternakan serta perikanan [Ibid, 38]. Areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) akan dikembangkan menjadi unit-unit pengusahaan hutan dengan pengelolaan intensif melalui perencanaan pengusahaan yang mantap. Selain itu akan dikembangkan pula Hak Pengusahaan Hutan Tanaman meliputi hak dan kewajiban membangun hutan tanaman, memelihara dan memungut hasilnya [Ibid, 40]. Indonesia mendapat prestasi swa-sembada beras pada tahun 1984 dengan produksi beras 25,8 juta ton dan mendapat pujian FAO pada tahun 1985/1986. Namun prestasi itu hanya berlangsung beberapa tahun, tidak dapat dijaga secara berkelanjutan. Upaya mencapai swasembada pangan pada waktu itu dan selanjutnya tidak disertai dengan upaya penguatan ketahanan pangan.
1985-1989
Dunia prihatin karena di Jakholi (Tehri Garhwal) dan Devaldhar (Chamoli), India, pada bulan Juli 1986 terjadi banjir dan tanah longsor yang berdampak kepada kehidupan 2,5 juta orang.
Krisis Minyak Dunia yang ketiga 1987. Bukan karena kurang persediaan, melainkan karena yakin akan adanya kelebihan persediaan dari produsen-produsen baru, dan karena bumbu politik Ronald Reagan yang menggunakan minyak bumi sebagai senjata, kali ini AS melawan Uni Soviet [Lihat Energy and Capital, 2007], harga minyak bumi sengaja dibanting menjadi murah sekali, hingga sama lagi dengan harga tahun 1974. Pada bulan Desember 1985, harga minyak AS$26.46 per barel. Dan kemudian mendadak pada 31 Maret 1986, terjun bebas jadi AS$10.25 per barel. Ini menimbulkan kesulitan pada negara-negara penghasil minyak, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, jatuhnya harga minyak mengurangi kontribusi sektor minyak bumi kepada pendapatan nasional, dan sekali gus mengurangi potensinya untuk menyumbang pembangunan. Karena itu Indonesia mulai beralih menggeber kemajuan sektor industri di luar minyak dan gas bumi.
Produksi dan konsumsi Minyak Bumi Dunia dan Indonesia, 1983-1987, ribu barel/hari
1983 | 1984 | 1985 | 1986 | 1987 | |
Produksi minyak bumi Seluruh Dunia | 57928 | 59563 | 59156 | 61534 | 62099 |
Konsumsi minyak bumi Seluruh Dunia | 58785 | 59795 | 60083 | 61819 | 63107 |
Produksi Indonesia | 1448 | 1498 | 1380 | 1426 | 1370 |
Konsumsi Indonesia | 470 | 470 | 465 | 470 | 493 |
Sumber: US Energy Information Administration.
Komisi Dunia yang diketuai oleh Gro Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnya pada tahun 1987 mengajukan konsep program “pembangunan yang berkelanjutan” atau “sustainable development” sebagai alternatif dari pertumbuhan ekonomi semata-mata, dengan lebih memerhatikan pemeliharaan lingkungan hidup dan situasi sosial (WCED, 1987, Our Common Future). Komisi Brundtland mengantar perhatian dunia kepada soal keamanan pangan, spesies dan ekosistem sebagai sumber daya pembangunan atau perkembangan, situasi energi (mengingat krisis minyak bumi akhir 70-an dan tahun 1987), efisiensi industri dan tata-kota serta kerjasama internasional dalam semua itu. Menanggapi hasil Komisi Bruntland itu kemudian dibentuklah UN Conference on Environment and Development (UNCED) untuk memelajari pembangunan sosio ekonomi yang tanggap pada kelestarian lingkungan, mencegah kerusakan dan menggalang kerjasama internasional, demi memastikan suatu planet yang sehat di masa depan.
Paus Santo Yohanes Paulus II dalam ensikliknya tahun 1987 mengharapkan agar pembangunan manusia yang autentik memiliki karakter moral. Ini mengandaikan sikap hormat sepenuhnya kepada pribadi manusia, tetapi juga harus peduli kepada dunia di sekitar kita dan “mengindahkan kodrat setiap makhluk serta hubungan antar ciptaan dalam suatu tata-susunan yang teratur” [Paus Yohanes Paulus II , 1987, art. 34; lihat juga Paus Fransiskus, 2015, art. 5].
Gelombang panas yang ekstrem menerjang Yunani selama 10 hari pada bulan Juli 1987, sehingga menimbulkan banyak korban. New York Times melukiskan: “Para penggali kubur harus kerja lembur malam hari. Rumah sakit terpaksa menyuruh pegawai membeli es di pasar ikan untuk mendinginkan jenazah… Yang seharusnya menjadi waktu santai kini menjadi penuh horor,… gang-gang rumah sakit sesak dengan tempat tidur sementara, dan kebanyakan pasien tampak megap-megap…” (Alan Cowell, Heat Wave in Greece Turns Into Grisly Affair, NYT, 29 Juli 1987).
Pada 1988 diselenggarakan Konferensi Toronto mengenai Atmosfir yang Berubah (karena lubang lapisan ozon) yang menghasilkan rekomendasi agar diadakan kerangka konvensi sedunia mengenai perlindungan lapisan atmosfir. “Manusia melakukan percobaan yang tak disengaja, tak terkendali, dan secara global mengandung konsekuensi yang hanya dapat ditandingi oleh perang nuklir global”. Konferensi merekomendasikan mengurangan emisi karbon dioksida 20% hingga tahun 2005.
Di tempat lain, di sebelah selatan Toronto (Canada), dunia seolah menyaksikan bukti konsekuensi perubahan iklim dan prihatin akan korban karena setelah anomali iklim menyebabkan musim semi yang kering, sebanyak antara 5.000–10.000 orang tewas akibat gelombang panas yang menerjang Amerika Serikat (tengah, barat, utara) tahun 1988 (penjelasan teknis Lyon; Dole; 1995). Kekeringan juga menyebabkan kegagalan pertanian dan kebakaran hutan yang menimbulkan kerugian sebesar AS$60 milyar. Kekurangan air dirasakan di mana-mana sehingga pemerintah mengambil air danau dan membagikannya kepada penduduk. Bencana paling mahal di AS.
Setelah itu di Asia Selatan sekitar 1.300 orang tewas karena tornado Daulatpur – Salturia di kawasan Manikganj, di Bangladesh Tengah pada April 1989. Tambahan lagi 12.000 orang mengalami luka dan 80.000 orang kehilangan tempat tinggal (Richard Angwin, 2014).
Dasawarsa 1990-an
1990-1994
Organisasi Meterologi Dunia (WMO) dan Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terdiri dari pakar, guna secara ilmiah memerkirakan besarnya dan waktu terjadinya perubahan musim, menakar dampaknya dan menyusun strategi bersama untuk menghadapinya. Pada 1990 IPPC yang terdiri dari 2500 ilmuwan dan ahli terkait variabel iklim menyampaikan hasil studinya dalam Konferensi Dunia tentang Iklim yang Kedua di Geneva, yang melahirkan dasar-dasar negosiasi antar pemerintah untuk menanggapi perubahan iklim. Pengertian ilmiah tentang perubahan iklim semakin berkembang.
Indonesia melancarkan program Pembangunan Lima Tahun V (1989-1994) dengan mengandalkan hasil-hasil non minyak dan gas bumi. Sasaran utama adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang, yaitu struktur ekonomi dengan titik berat kekuatan industri yang didukung oleh bidang pertanian yang kuat. Laju pertumbuhan penduduk menurun dari 2,3% pada 1979, jadi 2,2% pada 1984 dan kemudian menjadi 2,1% pada 1989. Diharapkan pada 1994 laju pertumbuhan penduduk Indonesia turun lagi menjadi 1,8%. Laju pertumbuhan ekonomi diharapkan sebesar rata-rata 5% per tahun kendati dunia masih dibayangi resesi ekonomi. Sektor industri diperkirakan mencapai laju pertumbuhan rata-rata 8,5% setahun. Sektor pertanian diperkirakan tumbuh 3,6% per tahun, didukung dengan laju kenaikan produksi beras sebesar rata-rata 3,2% per tahun. [Departemen Penerangan RI, 1989, 18-24]. Pembangunan ekonomi akan dilaksanakan dalam kerangka tercapainya pembangunan secara berkelanjutan. Diharapkan, pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup akan diarahkan agar segala usaha pendayagunaannya tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan serta kelestarian fungsi dan kemampuannya, sehingga di samping dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, tetap bermanfaat pula bagi generasi mendatang. Akan terus diusahakan perluasan keanekaragaman pemanfaatan sumber alam guna meningkatkan kekuatan dan ketahanan ekonomi bangsa. Sedangkan usaha pemeliharaan sumber alam dan lingkungan hidup akan diteruskan dan lebih disempurnakan dengan meningkatkan swadaya dan keikutsertaan masyarakat. Demikian pula usaha rehabilitasi sumber alam dan lingkungan hidup yang mengalami kemunduran atau kerusakan [Ibid, 32]. Indonesia menyadari bahwa sumber daya lama hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan, maka UU No.5/1990 diterbitkan berkenaan dengan Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya (KSDE). Undang-undang ini mengacu pada UU No. 5/ 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No 4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada 21 Desember 1990 Sidang Umum PBB berdasar Resolusi 45/212, menyelenggarakan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk menghasilkan Kerangka Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC).
Badai tropis Marian menerjang Kutubia dan pantai timur Bangladesh dengan kecepatan antara 210 dan 235 km per jam, mengangkat gelombang laut hingga setinggi 6 meter, menyebabkan banjir besar yang membawa korban 139.000 jiwa pada 29 April 1991. Sebanyak 780,000 rumah hancur, 9,300 sekolah rusak, dan 655 pusat kesehatan rusak. [Lihat http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNADG744.pdf].
Paus Santo Yohanes Paulus II menurut Ensiklik Laudato Si art. 5 mencatat bahwa ada sedikit usaha untuk “mengamankan kondisi-kondisi moral bagi suatu ekologi manusia yang otentik” [Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 38]. Penghancuran lingkungan manusia sangat serius, bukan hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada kita laki-laki dan perempuan, tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan karunia yang harus dipertahankan dari berbagai bentuk yang papa. Setiap upaya untuk melindungi dan memerbaiki dunia kita memerlukan perubahan besar “gaya hidup, model produksi dan konsumsi, dan struktur kekuasaan yang saat ini berlaku dalam masyarakat”. [Ibid., 58]. Dengan demikian, kemampuan manusia untuk mengubah realitas harus diwujudkan selaras dengan pengaruniaan Allah menurut maksud-Nya yang semula dari semua itu [bdk. Ibid, 37].
Dengan dibanjiri tamu 17.000 orang dari seluruh muka bumi, wacana seluruh dunia tentang bumi berlanjut dan memuncak pada KTT Bumi Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, atau Konferensi Tingkat Tinggi “Pembangunan Berkelanjutan” (Sustainable Development) yang melibatkan para pemimpin dari 179 negara. Pemahaman yang meningkat tentang dampak perubahan iklim memicu tanggapan luas dari negara-negara, masyarakat dan perusahaan-perusahaan. Di sini INC memaparkan hasil kerjanya berupa Kerangka Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) antara lain menyangkut upaya pengurangan emisi gas rumah kaca yang mendapat persetujuan 154 negara-negara peserta, bersamaan dengan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity) [The Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005, 3-28], dan Prinsip-prinsip mengenai Kehutanan.
Deklarasi KTT Bumi Rio 1992 menyatakan menegaskan kembali Deklarasi KTT Bumi Stockholm 1972 dan berusaha mewujudkannya melalui kerjasama antar pemerintah, antar masyarakat, dan lapisan-lapisan di dalamnya. Kerjasama internasional itu dimaksudkan untuk menghormati kepentingan semua pihak dan melindungi kesatuan lingkungan global dan sistem pembangunan, dengan mengakui keutuhan dan interdependensi “Bumi, Rumah kita bersama”. Selanjutnya Deklarasi Rio menyatakan 27 prinsip yang bertolak dari pengakuan bahwa manusia adalah pusat perhatian pembangunan yang berkelanjutan, dan mereka berhak untuk hidup secara sehat dan produktif dalam keselarasan dengan lingkungannya (Prinsip 1). Negara berdaulat untuk mengurus wilayah kedaulatannya namun tidak boleh menyebabkan kerusakan lingkungan itu baik dalam yurisdiksinya maupun di negara lain( Prinsip 2). Hak untuk melakukan pembangunan adalah untuk memenuhi kebutuhan perkembangan dan kebutuhan lingkungan demi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (Prinsip 3). Dalam pembangunan itu perlindungan lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan (Prinsip 4). Semua negara dan semua orang bertanggungjawab untuk mengentaskan kemiskinan sebagai syarat pembangunan yang berkelanjutan, seraya mengurangi kesenjangan tingkat hidup di dunia (Prinsip 5). Kepentingan semua negara diperhatikan, namun prioritas diberikan kepada negara sedang berkembang dan yang terbelakang (Prinsip 6). Negara-negara bekerjasama untuk menjaga, melindungi dan memulihkan kebaikan dan keutuhan ekosistem bumi, namun dalam hal kontribusi atas kerusakan lingkungan global, negara-negara mempunyai keprihatinan yang sama dengan tanggungjawab yang berbeda (Prinsip 7). Demi pembangunan yang berkelanjutan dan mutu hidup yang lebih baik bagi semua orang, negara-negara seharusnya mengurangi dan meniadakan pola konsumsi dan produksi yang tidak selaras dengan itu serta menerapkan kebijakan kependudukan yang tepat (Prinsip 8). Negara-negara harus bekerja sama menguatkan kemampuan asli lokal dan mengembangkannya melalui kerjasama dan pertukaran atau transfer ilmu dan teknologi antar negara (Prinsip 9). Masalah-masalah lingkungan hidup sebaiknya ditangani dengan partisipasi masyarakat yang terlibat pada tingkatan masing-masing dan di tingkat nasional pemerintah menyediakan informasi yang diperlukan (Prinsip 10). Penyelenggaraan kerangka sistem hukum lingkungan oleh masing-masing negara (Prinsip 11). Kerja sama antar negara dalam perkembangan ekonomi termasuk keikutsertaan dalam sistem perdagangan dan pemeliharaan lingkungan lintas batas (Prinsip 12). Tanggunggugat dan silih pada kurban polusi den kerusakan lingkungan (Prinsip 13). Pencegahan pengalihan barang-barang berbahaya yang berpotensi merusak lingkungan antar-negara (Prinsip 14). Perlindungan lingkungan harus dilakukan sec ermat-cermatnya sesuai kemampuan negara dan tidak ada alasan teknis untuk menunda-nunda (Prinsip 15). Yang menarik adalah pengakuan bahwa perempuan mempunyai peran vital dalam manajemen dan pengembangan lingkungan hidup sehingga partisipasi mereka harus ditingkatkan (Prinsip 20). Kaum muda pun perlu dilibatkan dalam kemitraan global demi masa depan yang lebih baik (Prinsip 21). Dan masyarakat asli atau adat justru karena kekayaan kearifan dan praktek lokal mereka dalam memelihara lingkungan (Prinsip 22) [United Nations, 1992 (1), 1-5. Deklarasi Rio 1992 juga disinggung sedikit dalam Paus Fransiskus, 2015, art. 186, terkait analisis dampak lingkungan].
Prinsip-prinsip Deklarasi Rio 1992 kemudian dituangkan ke dalam Agenda 21, yaitu program-program tindakan internasional berkenaan dengan pemeliharaan bumi melalui pembangunan berkelanjutan atau ekonomi hijau, menyelaraskan derap maju ekonomi dengan keseimbangan sosial dan kelestarian lingkungan, menyongsong abad 21. Dikelompokkan dalam empat bagian, disusunlah 40 program tindakan. Bagian pertama diberi judul Dimensi Sosial dan Ekonomi, meliputi 7 program: (1) Kerjasama internasional untuk percepatan pembangunan berkelanjutan dan kebijakan nasional; (2) Mengentas Kemiskinan; (3) Mengubah pola konsumsi; (4) Dinamika kependudukan dan keberlanjutan; (5) Melindungi dan memajukan kondisi kesehatan; (6) Meningkatkan pengembangan pemukiman yang berkelanjutan; (8) Mengintegrasikan pembangunan dan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan. Bagian kedua diberi judul Konservasi dan Manajemen Sumberdaya Untuk Pembangunan, meliputi 14 program: (1) Perlindungan atmosfer; (2) Pendekatan terpadu untuk perencanaan dan manajemen lahan; (3) Memerangi pembabatan hutan; (4) Memanajemeni ekosistem yang rapuh: memerangi kekeringan dan perluasan gurun; (5) ) Memanajemeni ekosistem yang rapuh: pengembangan kawasan gunung yang berkelanjutan; (6) Memajukan perkembangan pertanian dan perdesaan; (7) Konservasi keanekaragaman hayati; (8) Manajemen teknologi hayati yang sehat untuk lingkungan; (9) Perlindungan atas ekosistem kelautan; (10) Perlindungan mutu dan jumlah sumber air tawar dengan pendekatan integral; (11) Manajemen bahan-bahan kimia beracun, termasuk pencegahan lalu-lintas internasional produk beracun dan berbahaya dengan manajemen yang sehat untuk lingkungan; (12) Manajemen limbah berbahaya; (13) Manajemen limbah padat dan resistan; (14) Manajemen limbah radioaktif. Bagian Ketiga diberi judul Penguatan Kelompok-kelompok Utama Pembangunan, meliputi 9 program: (1) Pemberdayaan kaum perempuan; (2) Anak-anak dan kaum muda dalam pembangunan berkelanjutan; (3) Peneguhan dan penguatan peran suku asli dan kaum adat dan komunitas mereka; (4) Penguatan peran organisasi non-pemerintah (ornop)sebagai mitra dalam pembangunan berkelanjutan; (5) Prakarsa lokal menunjang Agenda 21; (6) Penguatan peran pekerja dan serikat-serikat kerja; (7) Penguatan bisnis dan industri; (8) Masyarakat ilmu dan teknologi; (9) Penguatan peran petani. Bagian Keempat diberi judul Sarana-sarana Implementasi, meliputi program-program seperti (1) Sumber dan Mekanisme Pendanaan; (2) Transfer Teknologi Ramah Lingkungan, Kerjasama dan Pembinaan Kapasitas; (3) Jaringan Keilmuan untuk Pembangunan Berkelanjutan; (4) Memajukan Pendidikan, Kesadaran Umum dan Pelatihan tentang Pembangunan Berkelanjutan; (5) Mekanisme Nasional dan Kerjasama Internasional untuk Pembinaan Kapasitas di Negara Sedang Berkembang; (6) Penataan Lembaga-lembaga Internasional; (7) Instrumen dan Mekanisme Hukum Internasional. Program-program dalam Agenda 21 disebut dasar internasional yang dinamis. Pelaksanaannya baik secara nasional maupun internasional disesuaikan dengan situasi masing-masing pelaku yang berbeda, sesuai dengan kemampuan dan prioritas masing-masing. (United Nations, 1992 (2), Annex II, Vol. I-III).
Mengikuti perkembangan baru Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengatasi turunnya kualitas udara akibat emisi gas kendaraan bermotor, seperti Keputusan Menteri No. 35/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Bappenas menerbitkan Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 (BAPI 1993).
Bumi guncang karena gempa Killari (Latur-Osmanabad), dengan kekuatan 6,4 skala Richter dan kedalaman 14,1km di negara bagian Maharasthra India Barat, pada 29 September 1993, menyebabkan sekitar 11.000 korban jiwa dan 30.000 yang lain luka-luka. [Bdk. Parasuraman, S., 1995].
Sedang di ujung lain terjadi tanah longsor di La Paz dan Cochabamba, Bolivia, Februari 1994, menimbulkan dampak pada 165.000 jiwa dari 30.000 keluarga. Kontur dan kondisi tanah yang rawan gempa, banjir dan longsor di pegunungan Central Andes, ditambah dengan budaya bercocok tanam di lahan berteras-teras dan pemukiman yang tanpa disengaja memadat di dekatnya, menjelaskan mengapa tanah longsor menimbulkan dampak yang begitu luas [Roberts, 2009].
Produksi dan konsumsi Minyak Bumi Dunia dan Indonesia, 1991-1994, ribu barel/hari
Produksi | 1991 | 1992 | 1993 | 1994 |
OPEC | 24692 | 26074 | 26875 | 27204 |
Non-OPEC | 40442 | 39631 | 39115 | 39693 |
Total | 65144 | 65705 | 65990 | 66897 |
Konsumsi | ||||
OECD | 41555 | 42503 | 42822 | 44012 |
Non-OECD | 24776 | 24469 | 23849 | 24046 |
Total | 66331 | 66972 | 66671 | 68058 |
Produksi Indonesia | 1669 | 1579 | 1588 | 1589 |
Konsumsi Indonesia | 669 | 729 | 782 | 774 |
Sumber: BP Statistical Review of Energy, 2000. Angka Non-OPEC dan Non-OECD diolah penulis.
Indonesia melancarkan Pembangunan Lima Tahun VI (1994-1999). Kekayaan alam yang potensial berupa barang tambang, minyak dan gas bumi, serta mineral lainnya yang terdapat di darat dan di dasar laut nusantara, makin ditingkatkan eksplorasi, penggalian dan pendayagunaannya untuk menunjang pembangunan dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dengan memanfaatkan teknologi maju [Departemen Penerangan RI, 1994, 56]. Pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama sejak 1969 berakhir pada tahun 1993/94. Indonesia mengancang pembangunan jangka panjang 25 tahun kedua mulai 1994/1995. Selama 25 tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 6,8 persen per tahun. Pendapatan per kapita yang pada tahun 1969 AS$70 telah meningkat menjadi sekitar AS$700 pada 1994. Jumlah penduduk miskin menurun tajam. Pada tahun 1970, jumlah penduduk miskin masih sekitar 60% dari seluruh penduduk. Pada tahun 1976 telah turun menjadi sekitar 40,1 persen, dan pada tahun 1990, jumlah penduduk miskin telah menurun lagi menjadi sekitar 15 persen dari seluruh penduduk. Dalam Pelita V prestasi baik akan ditingkatkan untuk mencapai tahap tinggal landas [Ibid, 82-83]. Pada 1994 dunia masih belum sembuh dari resesi. Indonesia semakin luas dan dalam melakukan industrialisasi. Industri pertanian dan industri lain yang terkait lebih didorong perkembangannya. Penyebaran lokasi industri keluar Jawa diharap mendorong pertumbuhan industri di daerah yang potensial, demi pemerataan kesempatan dan lapangan kerja, kesempatan usaha, dan pemanfaatan sumber daya setempat secara optimal, dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup [Ibid, 53-54]. Pembangunan kehutanan diarahkan untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman hasil hutan bagi pembangunan industri, ….serta menjaga fungsi hutan sebagai salah satu penentu ekosistem untuk memelihara tata air, plasma nutfah, kesuburan tanah, dan iklim. Upaya perlindungan, penertiban, pengamanan, pengawasan, pengendalian serta rehabilitasi dan konservasi hutan tetap dilanjutkan dan ditingkatkan agar hutan lestari.
Air, tanah, dan lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi [Ibid, 57].
Dengan UU No.5/1994 Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, dalam rangka melestarikan keanekaragaman hayati, memanfaatkan setiap unsurnya secara berkelanjutan, dan meningkatkan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang, mengesahkan Konvensi Keragaman-hayati KTT Bumi Rio de Janeiro 1992. “Keanekaragaman hayati” ialah keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem. Negara melakukan identifikasi komponen-komponen keanekaragaman hayati yang penting untuk konservasi dan pemanfaatannya secara berkelanjutan, dan memantau komponen-komponen keanekaragaman hayati yang diidentifikasi seperti tersebut, serta mengidentifikasi proses-proses dan kategori-kategori kegiatan yang mempunyai atau diperkirakan mempunyai dampak merugikan yang nyata pada konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati. Negara menyelenggarakan konservasi in-situ dengan mengembangkan sistem kawasan lindung atau kawasan yang memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati, mengatur atau mengelola sumber daya hayati yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, dengan maksud untuk menjamin konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan, serta memajukan perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan populasi yang berdaya hidup dari spesies di dalam lingkungan alaminya. Sejauh dan bila mungkin, serta khususnya untuk maksud melengkapi upaya in-situ setiap Negara juga wajib melakukan upaya-upaya konservasi ex-situ komponen-komponen keanekaragamn hayati, terutama di negeri asal komponen-komponen yang dimaksud. Dalam hal teknologi hayati negara melakukan upaya legislatif, administratif dan kebijakan demi keuntungan bersama antar negara secara adil. Dalam penjelasan UU dikatakan “Dengan meratifikasi konvensi itu, kita tidak akan kehilangan kedaulatan atas sumber daya alam keanekaragaman hayati yang kita miliki karena Konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara, sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum internasional, mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak merusak lingkungan” (lihat Lembaran Negara Republik Indonesia, 1994, No. 41 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3556). Indonesia juga mengikuti Conference of Parties (COP) baik dalam rangka Konvensi keragaman hayati (COP-CBD, mula-mula setahun sekali, lalu dua tahun sekali. COP-CBD ke-1 tahun 1994 diselenggarakan di Nassau-Bahama. Dan untuk COP-CBD ke-2 tahun 1995 di Jakarta, Indonesia menjadi tuan rumah).
1995-1999
Awal tahun 1995 bumi berguncang di bagian Asia Timur pada 17 Januari, ketika gempa Hyogoken-Nanbu berkekuatan 6.9 skala Richter terjadi di Kobe (Jepang) dan sekitarnya, dan merupakan gempa bumi yang paling parah dalam sejarah untuk kawasan itu. Gempa itu menyebabkan kematian 6.433 orang, sedang 27.000 lainnya cedera. Kebakaran yang luas mengikut setelah gempa dan semuanya menyebabkan 45.000 bangunan rumah dan kantor hancur, dan sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Kerugian ekonomis akibat gempa Kobe mencapai AS$100 milyar. [http://news.bbc.co.uk/onthisday/hi/dates/stories/january/17/newsid_3375000/3375733.stm]
Dalam COP-CBD ke-1 Februari 1995 di Nassau, diambil beberapa keputusan strategis antara lain: Global Environment Facility (GEF) untuk sementara disetujui akan bertindak selaku struktur keuangan untuk Konvensi dan diharapkan segera bekerja menunjang program, proyek dan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati berskala nasional yang telah direncanakan sesuai dengan kriteria Konvensi (Keputusan I/2). Sidang juga menyetujui penyelenggaraan mekanisme kliring untuk meningkatkan dan memberi kemudahan kerjasama ilmiah dan teknik (Keputusan I/3). Sidang menyetujui pembentukan dan pengelolaan Dana Trust untuk konversi keanekaragaman hayati berlaku sejak 1995/96 [Keputusan I/6]. Indonesia pada 1994 diharapkan memberi kontribusi AS$10.534 untuk Dana Trust itu. Dari seluruh dunia diharapkan terkumpul AS$ 4,78 juta. Sidang juga menyepakati mekanisme kerja badan penunjang Konvensi dalam hal keilmuan, teknik dan teknologi (Subsidiary Body on Scientific, Technical and Technological Advice, SBSTTA) dalam Keputusan I/7). Keputusan I/12 menetapkan 29 Desember sebagai Hari Keanekaragaman Hayati Internasional. [Lihat : The Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005, 411-421].
Sedang dalam COP-CBD ke-2 tahun 1995 di Jakarta diambil keputusan-keputusan [lihat The Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005, 423-458], antara lain : Mengenai penyempurnaan cara kerja badan penunjang SBSTTA (Kep 2/1); Penghimpunan dan penyebaran informasi teknis dan ilmiah tentang keanekaragaman hayati (Kep2/2); Cara dan sarana memajukan dan memberi kemudahan akses, transfer dan pengembangan teknologi (Kep 2/4); Perlunya protokol untuk transfer, penanganan dan penggunaan secara aman LMO/GMO atau living/genetically modified organism dan untuk itu membentuk Open-ended Ad Hoc Working Group (Kep 2/5 + Annex); pemikiran pendahuluan tentang komponen kearekaragaman hayati yang terancam dan tindakan yang dapat diambil sesuai Konvensi (Kep 2/8); Hutan dan keragaman hayati dan kerjasama dengan Panel Antar-Negara Tentang Hutan (Kep 2/9+Annex); Konservasi dan penggunaan berkelanjutan keanekaragaan hayati laut dan pesisir (Kep 2/10); Akses pada sumber-sumber genetik (Kep 2/11); Hak Cipta Intelektual di bidang keanekaragaman hayati (Kep 2/12); mencari solusi tentang hak petani dalam konservasi dan pemanfaatan sumber genetika tanaman menurut sistem global FAO (Kep 2/15).
Indonesia juga mengikuti Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (FCCC-COP, setiap tahun) yang sejak April 1995 di Berlin menghasilkan Mandat Berlin, mengawali langkah adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan keuangan program terkait perubahan iklim, yang terutama membangun sistem dan mekanisme kerja Kerangka Konvensi sendiri sebelum berbicara tentang program, proyek dan kegiatan untuk perubahan iklim [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 206]. Namun disadari bahwa UNFCCC tidak memadai tanpa komitmen khusus dan kesediaan negara-negara industri untuk merundingkan target-target pengurangan emisi. Di Indonesia, Rencana Induk Konservasi Energi (RIKEN) yang disusun oleh Badan Kordinasi Energi Nasional (BAKOREN) di tahun 1995 merupakan dasar kebijakan untuk mempromosikan konservasi energi yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Tanah longsor terjadi di kawasan Himachal Pradesh, India, 12 September 1995, berdampak pada 1,1 juta orang. Di satu lokasi, ratusan orang terkubur hidup-hidup di Luggar-Bhatti, Kullu. Longsor ini menimbulkan akumulasi tanah sepanjang 200 m dan tingginya 100 m. “… Longsor terjadi pukul 9:45 ketika orang mau pergi bekerja dan anak-anak berangkat ke sekolah… Semua petugas yang membersihkan selokan jalan menuju Manali sedang bekerja. Mereka itu yang kebanyakan datang dari Nepal, semuanya terkubur… laporan mengatakan bahwa sejumlah anak sekolah yang beramai-ramai berjalan di atas bukit yang longsor, juga terkubur hidup-hidup” (The Tribune, 12 September 1995).
Mengenai keanekaragaman hayati bumi COP-CBD ke-3 di Buenos Aires 1996, menghasilkan 27 keputusan, antara lain [lihat The Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005, 459-501]: identifikasi, monitoring dan asesmen keanekaragaman hayati (Kep 3/10); konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati pertanian (Kep 3/11); program keanekaragaman hayati daratan; keanekaragaman hayati hutan (Kep 3/12); program keanekaragaman hayati lahan kering, gunung dan perairan darat (Kep 3/13); akses kepada sumber genetika (Kep 3/15); HAKI (Kep 3/17).
Di Roma pada 1996 diselenggarakan World Food Conference yang kedua. Jumlah penduduk dunia yang riskan terhadap bahaya kelaparan telah menurun, dari 38% pada 1974 menjadi 20% pada tahun 1996. Produksi pangan dunia meningkat. Walau negara-negara tetap dihimbau memerhatikan “swa-sembada pangan” namun konferensi juga mengajukan konsep “food self-reliance” yang berhubungan dengan kemampuan diri sendiri untuk “membeli” bahan pangan. Itu terkait dengan upaya memerangi kemiskinan dengan meningkatkan pendapatan. Keamanan pangan dalam arti persediaan pangan bukan ancaman lagi bagi dunia di dalam konferensi itu, namun beralih pada soal harga pangan yang sedang mengalami gejolak dalam perdagangan dunia [Overseas Development Institute, 1997, 1-2]. Konsep keamanan pangan selanjutnya meluas dari soal ketersediaan, kepada akses, penggunaan dan stabilitas (harga sebagai keseimbangan antara ketersediaan dan akses) [FAO, 2006, 1]
Konferensi perubahan iklim FCCC-COP ke-2 diselenggarakan di Geneva 1996 menjabarkan Mandat Berlin. AS menyetujui target-target yang secara hukum mengikat dan jadwal pengurangan emisi, tetapi juga mengusulkan suatu skema perdagangan emisi internasional. Di sini para menteri lingkungan Eropa mengusulkan agar negara-negara industri hingga tahun 2010 mengurangi emisi hingga 15% di bawah level tahun 1990. Keputusan tentang Global Environment Facility (GEF) sebagai badan pengelola kegiatan dan keuangan Konvensi [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 206-207].
Di Indonesia terbit Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 15/1996 berkenaan dengan Program Langit Biru. Selanjutnya terbit Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 45/1997 berkenaan dengan Indeks Standar Pencemar Udara. Juga terbit UU No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup, menggantikan UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup mengikuti perkembangan yang terjadi.
Deklarasi Nairobi 1997 dalam rangka 5 tahun KTT Bumi Rio 1992 meneguhkan peran dan mandat UNEP untuk Pembangunan Berkelanjutan, mengawal 5 tahun Agenda 1992 Rio de Janeiro yang menyeimbangkan tiga pilar: People, Planet, Prosperity (Sosial+Lingkungan+ Ekonomi).
Perundingan mengenai perubahan iklim FCCC-COP ke-3 di Kyoto (1997) menghasilkan Protokol Kyoto yang menetapkan target-target usaha mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengikat negara-negara maju selama 15 tahun hingga 2012. [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 207]. Lebih dari 150 negara menandatangani Protokol Kyoto yang mengikat 38 negara industri (disebut negara-negara Annex 1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga sekitar 5,2% di bawah level 1990 untuk periode antara 2008-2012. Agar dapat menjadi hukum internasional, sekurangnya 55 negara harus meratifikasi Protokol Kyoto dan termasuk di dalamnya semua negara dalam Annex 1. Protokol juga menyelenggarakan “perdagangan emisi” antar negara maju. Canada berhasil memasukkan wacana tentang “endapan karbon” (carbon sinks) di dalam persetujuan itu, dan memungkinkan negara-negara memerhitungkan karbon yang tersimpan mengendap di hutan dan tanah pada target-target pengurangan emisi mereka.
Dalam rangka menata kembali beban bumi, Indonesia termasuk negara yang menyepakati Agenda 21 dan secara bertahap menyusun program Agenda 21 nasional, mengembangkan apa yang kita kenal sebagai Millenium Development Goals (MDG) nasional hingga tahun 2015. Pada 1997, Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan Agenda 21 Indonesia sebagai hasil penerjemahan Agenda 21 Global yang disepakati dalam KTT Bumi Rio 1992. Agenda utama adalah memberantas kemiskinan, melalui program-program seperti Dana Instruksi Presiden untuk Desa Tertinggal, dan pengembangan sistem kredit untuk investasi skala kecil (Kredit Industri Kecil, KIK), usaha skala kecil (Kredit Usaha Kecil, KUK), modal kerja permanen (Kredit Modal Pengusaha Kecil, KMPK), dan pinjaman pedesaan (Kredit Umum Pedesaan, KUPEDES). Jumlah penduduk miskin sudah cenderung menurun tajam, dari 40 persen di tahun 1976 menjadi 13,7 persen di tahun 1996. Agenda kedua adalah Perubahan Pola Produksi dan Konsumsi, utamanya Energi. Konsumsi energi primer masih didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama minyak yang memberi kontribusi hampir 60% dari total penggunaan bahan bakar fosil, sedang sebagian besar rumah tangga di pedesaan masih menggunakan kayu bakar. Pemakaian energi di Indonesia tidak efisien, dan karenanya perlu dilakukan usaha-usaha efisiensi Energi. Keputusan Presiden No. 43/1991 dan Rencana Induk Konservasi Energi (RIKEN) yang disusun oleh Badan Kordinasi Energi Nasional (BAKOREN) di tahun 1995 merupakan dasar kebijakan untuk mempromosikan konservasi energi yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Keputusan Menteri Energi No. 1895.K/1995 diterbitkan untuk memajukan usaha-usaha diversifikasi energi terutama di daerah pedesaan dan terpencil yang belum mendapat aliran listrik. Ekspansi sektor perhubungan merupakan konsekuensi dari cepatnya pertumbuhan perkotaan di Indonesia, dan tidak mencukupinya dan tidak efisiennya sistem transportasi publik dan meningkatnya kepemilikan mobilpribadi yang meningkatkan konsumsi energi. Kontribusi emisi oksida nitrogen (NOx) dan karbon dioksida (CO2) dari sektor perhubungan untuk total emisi gas rumah kaca terus meningkat. Kendaraan bermotor menghasilkan sekitar 79% NOx dan merupakan sumber dari 40% polusi partikulat. Kendaraan juga menyumbang emisi 60% karbon monoksida (CO) dan 15% oksida sulfur (SOx).
Dalam hal demografi meskipun laju pertumbuhan telah melambat, tingginya populasi bertambah hampir dua kali lipat, dan dalam hal sebaran, 92 persen populasi saat ini tinggal di empat pulau besar: Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Pulau Jawa, dengan luas daratan hanya sekitar 7 persen menjadi tempat hidup 59 persen penduduk. Penyebaran penduduk yang tidak merata ini diakibatkan oleh pembangunan daerah yang tidak seimbang. Maka diusahakan meningkatkan pembangunan berkelanjutan di daerah di pulau-pulau di luar Jawa dan Bali. Di bidang kesehatan Indonesia berusaha menjamin pelayanan dan fasilitas kesehatan terdistribusi secara merata. Salah satu program yang paling berhasil adalah pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang menyediakan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di kawasan terpencil. Untuk distribusi obat dan aksesnya oleh masyarakat, Departemen Kesehatan mempromosikan obat generik bermerek (Branded Generic Drugs, BGD). Dalam hal pemukiman Indonesia kekurangan rumah baik kuantitas maupun kualitas – khususnya untuk masyarakat miskin perkotaan. Maka itu sejak 1994, Indonesia telah mengadopsi strategi internasional yaitu “tempat perlindungan untuk semua” (“shelter for all”). Yaitu penyediaan perumahan dan pemukiman yang terjangkau masyarakat umum dan ramah lingkungan.
Mengenai partisipasi masyarakat: Beberapa kelompok utama telah memainkan peran penting dalam pembangunan berkelanjutan. Contohnya, ornop berperan penting dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pembangunan berkelanjutan, khususnya mengenai pentingnya pengelolaan lingkungan. Ornop juga telah melakukan advokasi untuk pengakuan hak-hak adat dan masyarakat lokal atas lahan dan sumber daya alam, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, pengakuan kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam peraturan perundangan di Indonesia dan penegakan hukum yang lebih kuat. Sejauh ini peran terpenting dari ornop adalah dalam memfasilitasi pemberdayaan masyarakat agar dapat lebih berperan dalam pembangunan berkelanjutan. Peran ornop ini diakui dalam beberapa undang-undang seperti UU No. 23/1997 tentang Manajemen Lingkungan dan UU No. 41 tentang Kehutanan. Ornop juga telah memfasilitasi, di antaranya, program-program kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat dan penguatan hak-hak perempuan. Masyarakat adat dan petani lokal juga mempunyai peran penting dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di tingkat lokal dan masyarakat. Namun demikian, hak mereka atas sumber daya belum sepenuhnya diakui oleh pemerintah dan hal ini menghambat partisipasi aktif mereka dalam pembangunan berkelanjutan. Di banyak kasus, mereka telah dipinggirkan oleh program pembangunan yang berdampak negatif pada mata pencarian mereka.
Meskipun ikut berusaha mengerem laju perubahan iklim, emisi gas-gas rumah kaca Indonesia diperkirakan akan meningkat dengan cepat. Emisi Indonesia tahun 1994 ketika dilakukan inventarisasi emisi mencapai sekitar 343 MT setara CO2. Sebanyak 156 MT lagi emisi netto CO2 disebabkan oleh konversi penggunaan lahan, khususnya penebangan hutan. Antara tahun 1990 dan 1994 di Indonesia emisi karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dan oksida nitrogen (N2O) tumbuh dengan laju 1,8 persen pertahun. Sekitar 70 persen dari total emisi adalah CO2. Antara 1990 dan 1994, sekitar 35 hingga 60 persen emisi total berasal dari sektor-sektor energi, industri, transportasi, perumahan dan perdagangan. Sektor kehutanan merupakan emitor terbesar kedua, dengan menghasilkan antara 20% hingga 50% dari emisi total. Pertanian memberikan kontribusi sebesar 15 hingga 25 persen. Selama lebih dari tiga dekade dari 1967, berbagai fungsi hutan belum dikelola dengan baik , dan pemerintah lebih menekankan pemanfaatan kayu dibanding manajemen hutan berbasis ekosistem. Akibatnya, eksploitasi hutan besar-besaran dan konversi kawasan hutan untuk tujuan-tujuan bisnis menyebabkan penipisan sumber daya hutan. Laju penebangan hutan di Indonesia dengan kisaran antara 1,6 hingga 2,1 juta hektar per tahun merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Sayang sekali, sejak pertengahan 1997, krisis keuangan dunia merembet ke Indonesia dan membuat keuangan nasional terpuruk. Ditambah lagi El Nino menyebabkan kekeringan di Indonesia sehingga 426.000 hektar sawah padi gagal panen. Hasil kopi, kakao dan karet juga terkena dampaknya [PEACE, 2007. 4]. Pada tahun 1998 krisis keuangan dunia memicu krisis sosial dan politik di Indonesia, menyebabkan kerumitan yang kompleks dan berujung pada kejatuhan dan berakhirnya rezim pemerintah Orde Baru yang telah berkuasa selama 30 tahun. Pemerintahan berganti. Program-program untuk bumi dan pembangunan Indonesia dilanjutkan oleh Orde Reformasi.
Bencana bumi berupa tanah longsor di India 17 Agustus 1998 berdampak kepada 200,000 orang. Sedang 2,541 orang di India meninggal karena gelombang panas yang menerjang sepuluh negara bagian pada tahun yang sama (bdk. De dan Mukhopadhyay, 1998; Mohanty dan Panda, 2003; De et al., 2004).
Karena hutan-hutan dibabat, hujan deras yang dipengaruhi El Nino 1997-1998 selama beberapa hari tidak tertahankan airnya, menyebabkan banjir besar yang menggenangi seluruh cekungan Sungai Yangtze September 1998 menimbulkan kerugian hingga AS$30 milyar. Bendungan pun tak dapat menampung air, bobol karena kurang pemeliharan, membuat luapan air saat itu sebagai banjir terburuk sesudah 44 tahun sejak banjir besar 1954. Lebih dari 4,100 orang meninggal, 13.8 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan 240 juta orang terkena dampak genangan air. Banjir yang harusnya tersalur ke danau-danau tidak tertempung juga karena sebagian danau telah direklamasi sehingga air menenggelamkan 21 juta akre tanah, seluruhnya menggenangi 53 juta akre tanah dan menghancurkan 11 juta akre tanaman. Lebih dari 5,8 juta rumah hancur. (Bdk Qian Ye dan Michael H. Glantz, 2002).
Perundingan tentang keanekaragaman hayati bumi dianjutkan dalam COP-CBD ke-4 (1998) yang diselenggarakan di Bratislava-Slovakia [lihat The Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005, 503-544]. Peserta seluruh dunia membahas agenda yang cukup luas: keragaman hayati perairan darat, laut dan pesisir, pertanian dan kehutanan; mekanisme badan (CHM); biosafety; implementasi Artikel 8(j) tentang pengetahuan tradisional; akses dan bagi-maslahat; tinjauan atas kerja Konvensi; laporan nasional; administrasi, anggaran dan mekanisme keuangan. Diharapkan untuk memadukan perhatian tentang keanekaragaman hayati dengan kegiatan sektoral seperti turisme dan peran serta sektor swasta dalam implementasi sasaran Konvensi. Walau suasana umum lebih terkait tantangan administrasi organisasi, namun COP 4 CBD berhasil membahas sejumlah tema kerja, membentuk suatu kelompok kerja untuk implementasi Artikel 8(j) tentang kearifan lokal dan menetapkan agenda untuk tiga COP CBD selanjutnya.
Perihal perubahan iklim, FCCC-COP ke-4 (1998) di Buenos Aires menyusun rencana tindak lanjut Kyoto Protocol yang dinamakan Buenos Aires Plan of Action, disingkat BAPA. Argentina didukung Indonesia dan China (Kelompok G77) mengajukan “partisipasi sukarela” untuk langkah nyata pengurangan emisi. Ini merupakan suatu yang baru di luar agenda tentang kesanggupan negara maju dalam Annex 1 untuk mengurangi tingkat emisinya. Jika bagi negara maju pengurangan emisi digambarkan sebagai “langkah mewah”, bagi negara berkembang pengurangan emisi adalah soal “hidup-mati”. Dalam UNFCCC usul komitmen “partisipasi sukarela” negara berkembang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca merupakan “jalan baru”. Sementara itu negara-negara maju masih berdebat mengenai “mekanisme yang fleksibel” dalam rangka Kyoto Protocol, yang oleh negara-negara berkembang dalam G77 dianggap akal-akal untuk menghindari komitmen. Di luar soal keorganisasian dan sikap-sikap nasional, Konvensi menyampaikan pemikiran menyangkut Penggunaan Lahan, Alih Guna Lahan dan Kehutanan; Hubungan antara upaya perlindungan lapisan ozon stratosfer dan upaya melindungi sistem iklim global, sehubungan dengan hydrofluorocarbons dan perfluorocarbons; serta tentang Riset dan pengamatan sistematik. [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 207-208].
Krisis keuangan dengan jatuhnya nilai tukar pelbagai mata uang nasional masih terasa, bahkan berkepanjangan di beberapa negara, terutama memukul negara-negara di Asia. Sebagian diikuti oleh krisis sosial, sehingga menimbulkan banyak kesulitan. Namun berangsur-angsur negara-negara yang terdampak krisis mulai bangkit menata diri.
Pada tahun 1999 untuk keragaman hayati bumi COP-CBD Luarbiasa ke-1 diselenggarakan di Cartagena dan menghasilkan Cartagena Protocol tentang bio-safety [The Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005, 547-550]. COP didahului oleh pertemuan ke-6 Kelompok Kerja AdHoc Terbuka tentang Biosafety yang sudah diamanatkan sejak COP ke-2 di Jakarta, diselenggarakan di Cartagena de Indias, Colombia. COP Luarbiasa CBD yang dihadiri wakil-wakil 138 negara dimaksudkan untuk menerima hasil kerja Kelompok Kerja AdHoc Biosafety untuk diadopsi. Sayangnya, kendati sudah berdebat, berdialog, berunding siang malam, belum ada kata sepakat. Disadari bahwa soal bio-safety sangat rumit, bahkan peka, karena bukan saja soal teknis, namun juga menyangkut keyakinan agama tentang hidup, etika hidup, sehingga tidak mudah dicapai kesepakatan. Hingga akhirnya sidang memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan tahun depan (2000), sebelum pelaksanaan COP ke-5 mendatang. Namun sidang menyepakati untuk menamakan dokumen yang telah dihasilkan Kelompok Kerja itu sebagai Protokol Cartagena (resminya Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity).
Penambangan minyak bumi kacau lagi pada tahun 1998. Harga minyak menukik hingga titik terendah, AS$11,91 per barel. Krisis keuangan yang melanda Asia melemahkan permintaan akan minyak bumi, sementara produksi OPEC terus mengalami ekspansi hingga pertengahan 1998. Kendati harga minyak rendah, pemulihan ekonomi keseluruhan merupakan agenda utama 1998. Harga minyak baru mendapat momentum untuk naik kembali pada 1999 (AS$16,56 per barel) dan 2000 (AS$27,39 per barel) ketika perekonomian AS, Eropa dan negara-negara berkembang berangsur pulih.
Produksi dan konsumsi Minyak Bumi Dunia dan Indonesia, 1995-1999, ribu barel/hari
Produksi | 1995 | 1996 | 1997 | 1998 | 1999 |
OPEC | 27654 | 28438 | 29950 | 31198 | 29903 |
Non OPEC | 35548 | 41451 | 42291 | 42410 | 42470 |
Total | 68102 | 69889 | 72241 | 73608 | 72373 |
Konsumsi | |||||
OECD | 44475 | 45616 | 46498 | 46592 | 47492 |
Non-OECD | 25031 | 25510 | 26746 | 27002 | 27595 |
Total | 69506 | 71126 | 73244 | 73594 | 75087 |
Produksi Indonesia | 1578 | 1580 | 1557 | 1520 | 1408 |
Konsumsi Indonesia | 820 | 888 | 963 | 914 | 980 |
Sumber: BP Statistical Review of Energy, 2005. Angka Non OPEC dan Non-OECD diolah penulis.
Indonesia yang berusaha keluar dari krisis multi-dimensi 1997-1998 dengan pemerintahan baru berusaha meninggalkan pola-pola politik monolitik lama dan melakukan pembaruan reformatif. Untuk pembangunan selanjutnya, Indonesia menerapkan “Program Pembangunan Nasional 1999-2004” atau Propenas yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Orde Reformasi. Prioritas pembangunan berubah. Prioritas pembangunan yang pertama adalah membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan, dan menguatkan pertahanan dan keamanan. Prioritas kedua mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik, melalui pembangunan di bidang hukum dan penyelenggaraan negara dalam bidang politik. Prioritas ketiga mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan bertumpu pada sistem ekonomi kerakyatan. Diusahakan untuk lebih memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan serta berbasis sumber daya alam, serta sumber daya manusia yang produktif dan mandiri. Sasaran umum Propenas di bidang ekonomi adalah mempercepat pemulihan ekonomi, antara lain melalui pertumbuhan ekonomi yang diharap secara bertahap mencapai sekitar 6-7 persen, dan laju inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunnya tingkat pengangguran menjadi sekitar 5,1 persen, dan menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004.
Menghadapi perubahan iklim, konferensi dunia FCCC-COP ke-5 (1999) diselenggarakan akhir Oktober hingga awal November di Bonn [Climate Change Secretariat (UNFCCC), 2006, 208-209] sebagai tahun pertama BAPA (Buenos Aires Plan of Action). Untuk aspek teknis dibahas soal riset dan pengamatan sistematik; pedoman tinjauan teknis atas inventarisasi gas rumah kaca; pengembangan dan transfer teknologi; pembinaan kapasitas dan tentang emisi terkait bahan bakar yang dijual kepada kapal dan pesawat udara dalam transportasi internasional. Di sini Kanselir Jerman Gerhard Schroeder menantang negara-negara terdaftar dalam Annex 1 untuk meratifikasi Protokol Kyoto selambat-lambatnya 2002. Uni Eropa sudah siap dan mau melakukannya. Namun Canada dan AS menentang tenggat waktu yang diajukan.
Indonesia masih memiliki hutan yang lebat dan luas pada tahun 1950. Namun Indonesia kehilangan hutan semakin lama semakin meningkat lajunya. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di
Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun [FWI/GFW. 2001. viii]. Mengingat semakin seriusnya kerusakan hutan degan rata-rata kerusakan hutan 2 juta hektar per tahun itu, Indonesia menerbitkan UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang antara lain menetapkan bahwa bila terjadi kebakaran di dalam kawasan perkebunan, tanggung jawab dipikul pemegang konsesi hutan/perkebunan tersebut. Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan pemerintah yang melarang praktek pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian atau pun pertambangan. Untuk mengatasi kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas, Indonesia memprioritaskan pencegahan.
Bumi menangis menjelang akhir tahun karena banjir bandang di lereng pegunungan Cordillera de la Costa, melabrak sembilan negara bagian termasuk yang paling parah, Vargas, di Venezuela sebelah utara. Pada 14-16 Desember 1999 hujan deras dengan curah 911mm (sedang tanah belum dapat menyerap curahan hujan selama dua minggu pertama bulan itu), menyebabkan puluhan tanah longsor yang meminta korban tewas 30.000 orang. Tercatat 40.150 rumah terdampak, 20.000 di antaranya roboh; 214.000 orang mengalami luka-luka (Larsen et al. CD tanpa nomor halaman, dalam W.F. Sylva, 2001).