Oleh JC Tukiman Taruna
[Catatan duka karena anak: Saat tulisan ini dibuat, mata seru sekalian alam sedang tertuju kepada duka keluarga karena anak.
Ada keluarga ASN di Jambi, tiba-tiba anaknya bikin ulah karena bukan hanya merusakkan mobil kantor, melainkan juga karena ada peristiwa memalukan berhubung sanga anak sedang pacaran.
Di Jakarta, anak yang juga dalam konteks pacaran, melakukan tindak kekerasan terhadap temannya. Duka keluarga itu kini sedang semakin terpuruk karena sedang menjalani proses hukum. Kita doakan, mari.]
Siapakah anak itu? Melukiskan pergulatan kehidupan Maria, para pengarang Injil menulis: Bagi Maria, anak itu ialah ATT, aku tidak tahu; AB, aku bangga; dan AD, aku duka; dan AP, aku pasrah. . Siklus pergulatan Maria terhadap Yesus adalah ATT > AB> AD > AP; selanjutnya > ATT > AB > AD > AP dan seterusnya siklus itu berputar dan berputar sehingga besar kemungkinannya menjadi spiral.
Bagi Kahlil Gibran, lewat Sang Nabi (Pustaka Jaya, 1981) anak dilukiskan sebagai berikut:
Lalu, seorang ibu dengan bayi dalam dekapan datang
Mengajukan sebuah pertanyaan: Bicaralah kepada kami tentang anak keturunan.
Maka jawabnya:
Anakmu bukan milikmu,
Mereka itu putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau.
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kauberikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya;
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
yang tiada dapat kaukunjungi, sekali pun dalam impian.
Kauboleh berusaha menyerupai mereka
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap (hal. 22-24).
Jadi, siapakah anak itu? Sebenarnya, bagi setiap keluarga cukuplah bertanya seperti ini dan sampai ini saja, cukuplah. Namun sering, banyak keluarga terlalu gege mangsa, mendahului kehendak Illahi, lewat pertanyaan bahkan pernyataan: Jadi anakku bla…bla….bla. Padahal, bertanya: Jadi apakah anakku, nanti, oleh Kahlil Gibran agaknya sudah dikategorikan “menyodorkan bentuk pikiranmu.”
Anak, Ecce Homo
Anak, inilah orangnya; atau bisa juga lihatlah dia, inilah manusianya; dan ketika seorang ibu bertanya tentang suka dan duka, Kahlil Gibran menjawabnya:
Sukacita adalah dukacita yang terbuka kedoknya.
Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati,
Di sanalah nanti engkau dapati, bahwa hanya yang pernah membuat dertita,
berkemampuan memberimu Bahagia.
Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati,
Di sanalah pula engkau bakal menemui
bahwa sesungguhnya engkau sedang menangisi
sesuatu yang pernah engkau syukuri.
Ecce homo, adalah kata-kata Pilatus kepada para imam dan tua-tua Yahudi ketika Yesus sedang diadili: Lihatlah manusia ini, lihatlah orang ini, lihatlah dia. Saat itu rupanya Pilatus mau menegaskan: Aku tidak bisa memutuskan atas perkara orang ini, maka lihatlah dia, inilah orangnya, inilah manusianya. Karena emosi massa sedang terbakar, mereka berteriak: Salibkan dia, salibkan dia!
Perjalanan salib yang dijalani Bunda Maria dalam siklus AD dan AP: aku duka, namun aku pasrah: dan itu adalah kedok yang akan terbuka lewat AB, aku bangga. Artinya, siklus ATT > AB > AD > AP sangat mungkin tidak selalu demikian karena mungkin saja AD > AP > ATT> AB. Menurut saran Kahlil Gibran, mari mengaca dalam-dalam lubuk hati kita, karena di sanalah kita akan dapati Bahagia yang kita syukuri, atau syukur yang akan membahagiakan; sangatmungkin juga duka yang harus ditangisi karena itu adalah kedok yang terbuka dari Bahagia yang belum kita syukuri.
Ecce homo.