Oleh JC Tukiman Taruna
Penulis buku “Pesan Moral Paribasan vs Perubahan Zaman: Khazanah Jawa,” SCU Knowledge Media, 2018.
Di sebuah padepokan spiritual, seorang murid bertanya: “Guru, semua gunung dan sungai itu, bumi, langit serta bintang-bintangnya, dari manakah asalnya?” Sang guru berkata: “Pertanyaanmu, dari manakah asalnya?” Semua murid terhenyak, dan guru beranjak seraya berucap: “Lihatlah ke dalam!” (A, de Mello, SJ. 1985, hal. 39)
Ternyata, dalam waktu dekat ini tidak ada/terjadi reshuffle kabinet Indonesia Maju, padahal berminggu-minggu kata “tungguuuuu,” atau “besokkkkk,” atau juga “sabarrrrrrr,” dan “ya betul besok Rabu Pon” telah dipersepsikan khalayak ramai sedemikian rupa seakan-akan segera terjadi reshuffle kabinet. . Sekarang ini, tibalah saatnya banyak orang bergumam, menganalisis, menyindir, merasa tertipu, dan bertanya-tanya: “Presiden lidok?”
Di sana (di mana ya?), mungkin Pak Jokowi bergumam juga: “Pertanyaanmu, dari manakah asalnya?” Dan seraya tersenyum, mungkin Pak Jokowi juga berkata dalam batinnya: “Yang mau reshuffle, siapa sih sebenarnya?”
Lidok
Lidok (Jawa) artinya (a) goroh, bohong, dan (b) ora nyata, tidak terbukti.
Kedua arti itu utamanya terkait dengan tindakan dan/atau ucapan seseorang. Jika seorang Bupati blusukan ke suatu daerah dan setiap kali berjanji akan membantu ini dan membangun itu, namun setelah minggu berganti bulan dan bulan berganti bulan berikutnya, janji itu tidak ada tindakan nyata; masyarakat akhirnya berucap: “Alah, bupati lidok,” karena ternyata bohong belaka dan tidak ada bantuan ini atau pun pembangunan itu.
Pertanyaannya sekarang, dalam hal tidak ada/terjadi reshuffle kabinet Indonesia Maju dalam waktu dekat, ini sebuah kebohongankah? Jika benar sebuah kebohongan, lalu pertanyaan selanjutnya, sapa sing lidok, siapakah yang telah berbohong? Pak Jokowikah yang bohong, sehingga beliau lalu dapat disebut Presiden lidok?
Rasanya, tidaklah dapat dikatakan demikian. Seseorang disebut lidok, goroh, atau bohong apabila orang itu kandha kang ora nyata utawa ora cetha, yakni mengatakan sesuatu namun tidak benar dan tidak terbukti. Rasanya, dengan mengatakan “tunggu,” “sabar,” atau “besok,” Pak Jokowi tidak menjanjikan apa pun kecuali sekedar basa-basi (daripada tidak menjawab), atau bahkan kehabisan kata-kata untuk menjawab padahal (selalu) ada pertanyaan. Dan tidak pernah satu kali pun mengatakan akan melakukan ada reshuffle. Begitukan, Pak Jokowi?
Re-evaluasi
Kalau begitu, siapa penarik pelatuknya sehingga isu reshuffle kabinet merebak berminggu-minggu, dan seolah-olah nyaris terjadi di Rabo Pon, 1 Februari lalu? Seorang oknumkah, atau sebuah entitas organisasikah pemicunya? Kiranya tidak perlu dicari-cari, apalagi lalu saling tuding dan tuduh. Namun demi kepentingan kita bersama sehingga juga menjadi bahan permenungan bersama, marilah kembali kita maknai secara benar, sadar, dan rendah hati apa yang selalu dikatakan oleh siapa pun, yaitu perihal hak prerogatif Presiden. Tidak ada seorang pun menyangkal hal itu, namun nyatanya amat sangat banyak orang (juga organisasi?) yang ingin memengaruhi, intervensi, mendorong-dorong, bahkan ada saja yang secara sengaja nggriseni, menggelitik-gelitik agar Presiden melakukan reshuffle.
Kita perlu melakukan re-evaluasi tentang hal itu, agar kondisi kerja semua pihak tenang dan tidak terganggu oleh isu-isu liar. Sangat bisa dibayangkan betapa salah-tingkahnya dan tidak nyamannya bekerja jika terdengar ada Menteri yang disebut-sebut (nama kementeriaannya, misalnya, apalagi secara tersirat namanya) diusulkan atau bahkan dikatakan harus segera dicopot/diganti. Bayangkan Anda yang disebut-sebut seperti itu. Mungkinkah Anda akan mampu menunjukkan betapa kuat-hebatnya adversity quotient (AQ), daya tahan banting Anda?
Khazanah Jawa akan menyarankan bersikaplah tepa-tepa, pun tepa salira, sebab masih ada banyak cara lain agar semuanya serba kondusif bagi kepentingan masyarakat. Re-evaluasi juga kita perlukan manakala kita bicara (berlindung?) tentang demokrasi, jangan sampai menimbulkan kesan seolah-olah atas nama demokrasi lalu beranggapan boleh berpendapat apa saja, bahkan kalau perlu boleh juga ad hominem. Perihal yang terakhir ini, yaitu berpendapat namun memojokkan seraya menyebut bahkan menyerang orang secara pribadi, selayaknya jangan dipersubur.
Demokrasi itu bukan untuk mengerdilkan seseorang atau organisasi, sekalipun orang atau organisasi itu selama ini dianggap sebagai lawannya. Bahkan menurut pendapat saya, dalam demokrasi itu tidak ada lawan, sebab yang ada hanyalah pihak yang berbeda, tetapi ia atau mereka itu bukan lawan yang harus dimusuhi, dipojokkan, atau pun dikerdilkan. Berdemokrasi itu pergulatan humanisasi!