Oleh I. Sandyawan Sumardi
Sudah berabad-abad dalam peradaban manusia, kuda dianggap sebagai simbol kekuatan, kecepatan, keanggunan, kegagahan, kesetiaan dan kebebasan.
KUDA DALAM SEJARAH PERADABAN MANUSIA
Dalam perjalanan sejarah, kuda pertama kali dimanfaatkan sebagai hewan tunggangan oleh suku-suku pengembara (Nomaden) di padang rumput dan gurun Asia Tengah dan Utara.
Peran berikutnya kuda merupakan hewan penarik dalam transportasi manusia.
Dalam penanggalan Tionghoa, mereka yang dilahirkan pada shio kuda dinujum bakal bersifat cerdas, mandiri, dan berjiwa merdeka.
Bagaimana pun kuda itu hewan yang unik dan istimewa.
Kuda telah dijinakkan selama lebih dari 5000 tahun.
Kuda adalah herbivora (pemakan tumbuhan).
Kuda memiliki mata yang lebih besar ketimbang mamalia lain yang hidup di darat.
Karena mata kuda berada di sisi kepala mereka, maka mereka bakal mampu melihat hampir 360 derajat pada satu waktu.
Kuda juga memiliki fitur anatomi unik yang disebut alat penahan, yang memungkinkan mereka untuk “mengistirahatkan” kaki belakang sambil berdiri di atas 3 kaki lainnya untuk waktu yang lama.
Inilah sebabnya mengapa kuda bisa tidur sambil berdiri.
Kuda berjalan dan berlari dengan kukunya.
MENGIKUTI “TERTIAT”, “SCHOLA AFECTUS”, “SEKOLAH RASA” YESUIT
Dalam salah satu tahap pendidikan yang aku alami ketika aku masih menjadi seorang “Saolin”, eh Yesuit di tahun 1990 (sekarang aku sudah bukan anggota yesuit lagi, tidak juga jadi imam), aku pernah menjalani masa “Tertiat” selama 1 tahun di Jesuit Residence, Ateneo de Manila, Filipina.
“Tertianship” adalah periode formal terakhir dari “on-going formation” Serikat Yesus.
Inilah tahap pendidikan “schola affectus”, “sekolah rasa”, “sekolah hati”. Karena selama masa ini seorang yesuit melatih diri mereka sendiri untuk lebih mendalami spiritualitas Ignatian, yang diharapkan seorang yesuit dapat menjadi lebih rendah hati, mampu menolak kelekatan tak teratur dan memperolah pengetahuan serta lebih mendalami cinta kasih yang lebih besar kepada Tuhan kita: bahwa ketika aku sendiri telah membuat kemajuan yang lebih besar, aku dapat membantu orang lain dengan lebih baik untuk maju lagi, demi kemuliaan Tuhan Junjungan Kita yang lebih besar.
Dengan kata lain seorang yesuit pada masa ini berkesempatan untuk meninjau kembali, menilai secara kritis pengalaman hidup dan karyanya selama dalam Serikat Yesus dan apakah ia sungguh-sungguh merasa dan yakin dipanggil oleh Kristus.
Dalam “tertiat”, seorang Yesuit pasti akan menjalani “Retret Agung” Latihan Rohani selama 30 hari berdasarkan Latihan Rohani St. Ignatius dari Loyola.
Selama masa “tertiat” ini seorang Yesuit akan menjalani juga penempatan kerasulan (apostolik) dalam pengajaran dan pelayanan.
Waktu itu, aku dan mas Antonius Hari Harjanto, serta Romo Padmo, SJ adalah 3 yesuit perwakilan dari Indonesia, di antara 14 yesuit utusan dari berbagai negara yang mengikuti “tertiat”.
Nah, celakanya di antara 14 Yesuit peserta “tertiat” itu, akulah satu-satunya yang bekerja di bidang sosial kemanusiaan (waktu itu aku di usia 30 tahun jadi direktur Institut Sosial Jakarta (ISJ) dan kemudian menjadi koordinator Karya Sosial Serikat Yesus Provinsi Indonesia.
Bahkan di kalangan para tersiaris yang sebagian besar/nyaris semua bekerja di universitas (karya intelektual) dan pastor paroki, aku sampai dapat julukan “the dangerous man”.!
Akibatnya ketika sampai pada masa kami semua harus disebar selama 1 bulan penuh untuk berkarya dalam pengajaran dan pelayanan nyata di berbagai area di Filipina sesuai dengan latar belakang karya dan kecenderungan arah karya masa depannya, akulah yang dapat tempat paling menantang.
TUGAS PERUTUSAN YANG MENANTANG
Aku sendirian ditugaskan ke pegunungan Kitobo, Bukidnon, Mindanao Utara, Filipina.
Ah, bukankah wilayah itu, pada masa itu, adalah salah satu daerah yang paling berbahaya di Filipina, karena wilayah itu yang sedang jadi perebutan antara pemerintah Filipina, gerakan separatis Moro yang dipimpin Abu Sayyaf dan pemberontak komunis NPA,
“New People’s Army”. NPA adalah sayap milisi dari Partai Komunis Filipina (Communist Party of the Philippines/CPP).
Bahkan yang aku dengar saat itu, konon pegunungan Kitobo, Bukidnon, merupakan salah satu basis kekuasaan gerakan separatis Moro..
Awalnya, dari Manila, aku terbang ke Cagayan de Oro. Bandara Cagayan de Oro, adalah sebuah pangkalan udara dan merupakan bandara domestik yang melayani area umum Cagayan de Oro dan Mindanao Utara, di provinsi Misamis Oriental, Mindanao Utara, Filipina.
Gilanya di bandara kecil Cagayan de Oro inilah ternyata aku sudah dicurigai dan diperiksa tentara Filipina habis-habisan sambil membawa senjata laras panjang, hanya gara-gara waktu itu aku memang berjenggot dan berambut agak panjang.!
Tas ransel merah “Karibao” kesayanganku, satu-satunya bawaanku, dibongkar paksa secara amat kasar, sampai isinya berantakan semua di lantai bandara.
Begitu aku mengaku (waktu itu) bahwa aku ini seorang imam yesuit dan saat itu juga si militer dengan terlebih dahulu harus memastikan dengan cara menelpon Pater Rektor Jesuit Residence, Ateneo de Manila. Rupanya itu protab resmi guna memastikan.
Setelah yakin benar aku ini bukan seorang teroris, kemudian aku dilepas dengan permintaan maaf yang terbata-bata bahkan dengan penghormatan agak berlebihan, hanya karena ternyata benar, aku ini seorang imam yesuit (waktu itu, sekali lagi, sekarang sudah lama tidak lagi).
PERJALANAN PENUH PETUALANGAN
Kemudian dari Cagayan de Oro, aku harus naik kendaraan umum menuju Malaybalay, akhirnya ke desa Kitaotao, dengan kondisi jalan yang masih serba rusak.
Dalam kendaraan umum berupa “Jeepney”, semacam oplet terbuka khas Filipino, yang selalu dengan suara musik pekak telinga sepanjang perjalanan dari speaker mobil yang gede dan AC alam yang gerah minta ampun, ternyata aku dan beberapa penumpang lain, dicampur begitu saja dengan kambing, dan karungan sayuran pasar. Wah, debu jalanan, bau prengus kambing campur bau sayuran busuk, sedaap betul sepanjang jalan kenangan itu..!
Selama perjalanan, aku ingat kendaraan kami disetop polisi/tentara Filipina selama 4X. “Check Points”, pemeriksaan, ada gerilyawan Moro atau NPA, apa tidak.
Dan celakanya, tepat pada waktu itu ada pemogokan sopir-sopir di sebagian besar kota-kota di Mindanao, protes terhadap kenaikan harga BBM yang di hari-hari itu sedang gila-gilaan. Wah, perjalanan yang seharusnya hanya 5 jam jadi 9 jam..!
Maka perjalanan melewati sore dan malam yang gelap sampai pagi..
Pesan dari instruktor “tertiat”-ku, Pater Tom O’Gorman, SJ, “Sandy, nanti sesampainya di desa Kitaotao, kamu akan dijemput oleh seorang Jesuit Swiss yang jadi romo penguasa stasi Kitobo selama puluhan tahun”.
Namun setelah perjalanan jauh yang sangat melelahkan dan cukup menegangkan, ketika aku sampai di desa Kitaotao, sekitar pukul 06.30 pagi, pada penjaga sebuah warung yang agak besar, rasanya satu-satunya warung agak besar di desa itu, aku malah terperengah hampir tak percaya, ketika diberitahu oleh Ibu penjaga warung, dalam bahasa Inggris campur bahasa Cebuano, bahwa “Romo yang turun dari Kitobo tadi sudah menunggumu 5 jam lalu.. Tapi karena kamu tidak sampai-sampai sini, maka kemudian Romo Kitobo itu harus pulang duluan naik ke Kitobo. Maka yah, silakan saja kamu naik kuda yang sudah disediakan/ditinggalkan ditambatkan/diikat di tiang samping warung ini oleh Romo dari Kitobo tadi..”
Hah! Gila, perjalanan masih sekitar 20 Km, naik pegunungan begitu rupa, harus kutempuh sendirian dengan menunggang seekor kuda yang belum kukenal sama sekali.?!
Tapi katanya kuda hitam bernama Komander (dari bahasa Inggris “Commander”, Sang Kamandan), ternyata benar, sangat jinak, meski dengan orang baru sekalipun. Katanya kuda ini juga sudah sangat hafal jalan ke arah stasi Kitobo. Kata penjaga warung itu, aku pasti akan diantar oleh kuda itu sampai tujuan dengan selamat.
“Percayalah, percayalah!”, kata ibu penjaga warung yang ramah itu berusaha membesarkan, meneguh-neguhkan hatiku..
Ada kalau 20 menit rasanya aku tercenung sendiri sambil memberanilan diri mencoba mengelus-elus kuda hitam legam yang amat gagah bernama Komander ini, yang langsung mengingatkanku pada si Hitam di tanah Minahasa itu..!
ROH KUDUS, ROH KUDA, ROH-KU SENDIRI?
Dalam semangat Ignatian, aku dididik untuk dapat menghayati “contemplativus in actione”, doa kontemplatif di mana kita lebih banyak mendengarkan dan membiarkan Allah menguasai diri kita sepenuhnya. Ini adalah doa yang dapat menggerakkan seseorang untuk mengubah diri dan berbuat sesuai kehendakNya.
“Finding God in all things”, menemukan Tuhan dalam segala.
Hemm.. Inilah tantangan, petualangan, Latihan Rohani yang nyata. Aku harus percaya pada bimbingan, tuntunan Roh Kudus.
Tapi naik kuda yang tidak kukenal, sendirian menempuh pejalanan di penggunungan yang sama sekali belum pernah kukenal, bahkan susah kubayangkan sebelumnya. Ini gila. Ini nekad.
Ya akhirnya aku setelah menguatkan dan memantabkan hatiku sendiri, aku naik ke sadel di punggung Komander, kuda hitam yang seketika bakal jadi sahabatku satu-satunya yang harus aku percayai sepenuh hati..
Waao, seperti cowboy juga, dengan topi ala joki, ransel besar warna merah, aku menunggang kuda komander yang anggun dan meyakinkan.
Tapi setelah perjalanan 40 menit, aku mulai tenang, merasa nyaman. Padahal awalnya aku agak tegang juga, berapa puluh tahun tidak naik kuda, sambil mengingat-ingat ketika aku berusia 10 tahun naik kuda di Girian Atas, Bitung, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara.
Duh, satu hal yang terasa menyiksa, selangkanganku terasa pegal bukan main terus-terusan beradu dengan sadel kuda terbuat dari kulit yang keras. Wah, sampai berapa lama aku bisa bertahan kalau begini terus?
Sementara si Komander nekad jalan ngeloyor terus, bahkan seakan sambil nyukurin aku, “Rasain, looh..!”, sambil nyengir kuda begitu rupa..!
Setelah sekitar 2 jam perjalanan menunggang kuda di jalan yang pada umumnya sempit, terjal berbukit-bukit.. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan pemandangan di bawah tebing: sebuah sungai yang agak besar dan deras! Wah, sepertinya cukup dalam..!
Apakah Komander akan membawaku menyeberangi sungai ini..? Edaan!
Ternyata, tanpa ragu-ragu Komander membawaku turun tebing, dan langsung nyebur ke sungai agak deras itu.
Meskipun dalam hati ingin rasanya aku protes, “Hai Komander, gila lu, apakah tidak ada jalan lain?”
Tapi bahkan kata-kata protes itu tak sempat keluar dari mulutku.
Yah aku sudah sibuk mengukur-ukur, bagaimana kalau Komander membawaku tenggelam di sungai yang lingkungannya hutan begitu sunyi? Tak ada seorangpun aku berpapasan, sejak 1 jam perjalanan terakhir. Makin lama makin berbukit dan berhutan. Dan akhirnya air sungai yang deras.
Waduh-waduh, aku ini sedang mengikuti Roh Kudus atau Roh Kuda, sih..?
Ternyata permukaan air sungai itu hanya setinggi punggung kuda, artinya aku yang basah kuyub hanya celana, dari pinggang ke bawah. Aku mau takut, takut sendiri, mau ketawa, ketawa sendiri. Tapi aku yakin, si Komander sudah mentertawakan aku sejak aku ragu sebelum nyebur ke sungai itu..
Setelah keluar dari air sungai deras itu, kami naik ke perbukitan dengan pemandangan yang agak lepas, aku lega dan mulai senyum-senyum sendiri.. Gila!
Bahkan aku mulai bernyanyi lagu-lagu kebangsaan seperti “Maju tak Gentar”, “17 Agustus tahun 45”, dlsb., yah, usaha menghibur dan menyemangati diri sendiri.. Sementara aku makin merasa pantat dan pinggangku sangat baal, kesemutan berat.!
Tapi anehnya aku merasa semakin bersemangat, berenergi.
BERRJUMPA DENGAN ORANG MORO
Dalam perjalanan setelah sekitar 1 jam 30 menit, aku terkesiap, karena tiba-tiba di depanku ada 5 orang menghadang. 3 lelaki berjenggot pakai penutup kepala berupa kain yang dililitkan, 2 perempuan berkerudung, berhijab, hanya nampak matanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Siaga segala kemungkinan.
Tapi satu hal yang menarik perhatianku, setelah mendekat pada 5 sosok orang yang menghadangku. Mereka berlima, laki dan perempuan, semuanya mengenakan sarung.
Dan aku kenal benar motif sarung itu. Kalau tidak salah itu sarung Makasar.
Maka begitu Komander membawaku sampai tepat di hadapan 5 orang yang kuyakini dari gerakan pembebasan Islam Moro, aku pun segera berucap salam, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh (yang aku tahu atinya “Semoga keselamatan diberikan atasmu dan juga dilimpahkan atasmu rahmat dari Allah dan keberkahan”).
Dan aku benar-benar lega, ketika kelima orang itu menjawab salamku dengan ucapan “Wa’alaikumussalam..!”
Lalu mereka berbicara dalam bahasa Cebuano yang aku hanya tahu satu dua kata saja.
Maka aku nekad jawab pakai bahasa Indonesia. Aku katakan bahwa aku berasal dari Indonesia. Lalu dalam bahasa Inggris, aku katakan, “Kalau tidak salah sarung yang saudara-saudara kenakan itu berasal dari Indonesia juga..”
Dan ternyata dengan senyuman lebar mereka membenarkan perkiraanku. Kata mereka, mereka membelinya dari orang Kalimantan, Indonesia.
Dan aku terharu sekali, setelah aku turun dari kuda, -aku juga berterus terang kalau ini pertama kali aku naik kuda, dan sejauh ini lagi- mereka langsung menawari aku untuk istirahat di sebuah pondok yang terbuat dari rumbai-rumbai dekat rumah mereka. Ternyata mereka begitu ramah, aku dijamu, dikasih makan dan minum.
Bahkan ketika sebelum aku pamit pulang aku bertanya arah stasi Kitobo, mereka bukan hanya menunjukkan arah, mereka mengirim seorang untuk mengantar, menemani aku sampai tujuan, stasi Kitobo.
Aku benar-benar berterima kasih setulus hati kepada warga Moro yang ramah dan baik hati itu.
Entah kenapa selama perjalanan bertualang ini, ayat yang selalu mengiang di batinku adalah Mikha 6:8, yang gemanya begini:
“Yahwe telah menunjukkan kepadamu, hai manusia, apa yang baik bagimu, apa yang Allah kehendaki darimu..
– Bertindaklah dengan adil..
– Cintailah dengan kasih setia..
– Berjalanlah bersama Tuhan Allahmu dengan rendah hati..
Ini ujub doa permohonan sepanjang hayatku..!
Wah wah, rupanya pastoran di Kitobo yang dipimpin oleh seorang yesuit tua asal Swiss sendirian hanya dengan seorang koster itu ternyata berupa sebuah “Ranch House” yang luas halaman berumputnya sebesar lapangan sepak bola, yang di tengahnya berdiri sebuah rumah panggung dari kayu khas Filipina, yang digunakan sebagai kapel (gereja kecil) sederhana, dan pastoran.
Lapangan rumput yang berbentuk bulat, bagai rotunda itu, ternyata disekelilingnya dikitari got/sungai kecil yang airnya jernih. Sehingga 3 ekor kuda milik pastoran, si jantan Komander, dan 2 kuda betina yang besar pula, tidak bisa keluar dari area “ranch” itu tanpa seijin tuannya.
KITOBO YANG TAK TERLUPAKAN
Kitobo adalah sebuah “barangay” (saat itu disebut “barrio, wilayah terkecil di Filipina) di “munisipalitas” (kewalikotaan) Kitaotao, di provinsi Bukidnon. Populasinya dalam sensus 1990 saat itu, adalah 2.332. Ini mewakili 5% dari total populasi Kitaotao, saat itu.
Di stasi Kitobo ini selama 1 bulan aku belajar dengan komunitas warga yang kehidupannya sangat sederhana.
Belum ada listrik masuk. Satu-satunya tempat yang ada listriknya ya di kapel dan pastoran. Listrik pakai disel.
Di pegunungan Kitobo, aku sempat berjumpa dan bergaul dengan suku asli Talaandig dan Manobo yang ditandai dengan kebiasaan menggunakan anting-anting besar di telinga sehingga telinganya jadi tumbuh panjang menggantung dan kalung di leher yang besar-besardan berjenjang-jenjang, sehingga leher jadi panjang-panjang. Mereka sangat ramah.
Makanan mereka, mirip-mirip masakan batak. Ada masakan babi dengan darahnya.
Tapi kehidupan warga di Kitobo waktu itu tidaklah aman.
Misalnya bergantian, kebau-kerbau mereka kadang dicuri-paksa baik oleh tentara Filipina sendiri yang berpatroli, gerilyawan NPA, maupun gerakan pembebasan Islam Moro.
SYUKUR TIADA TARA
Namun bagaimanapun juga, aku sangat bersyukur pada Gusti Allah Maha Baik, karena aku diberi kesempatan belajar dengan mengalami ziarah penuh petualangan ini, termasuk belajar dari peri kehidupan komunitas warga penuh kesahajaan di Kitobo, Bukidnon, Mindanao, Filipina.
Aku bersyukur karena mengalami kegembiraan batin yang senantiasa bergetar dalam kesunyian.
Saat aku berada di atas pelana kuda yang berlari menuju pegunungan Kitobo, Kitaotao, Mindanao, Filipina ini, aku mengalami begitu dalam momentum mistik penuh rahmat dalam hidup ini, yaitu anugerah energi penuh daya, keindahan, semangat, kerendahan hati dan kebebasan dari Sang Penyelenggara Kehidupan..!
————–
Catatan:
Kisah yang kutulis ini, merupakan penggalan dari artikel yang kutulis sendiri di FB ini yang berjudul “KUDA: KEKUATAN, KEANGGUNAN DAN KEBEBASAN”,
Jakarta, 30 Oktober 2021